Rabu, 19 November 2014

MAKNA SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI -bab III



BAB III
TATA CARA RITUAL BERSIH SENDANG

A.    Legenda Sendang Tawun
Konon pada abad ke-15 di daerah Padas, seorang pengembara menemukan sebuah sendang. Pengembara itu bernama Ki Ageng Tawun. Karena yang menemukan sendang itu Ki Ageng Tawun, maka oleh masyarakat setempat dinamakan Sendang Tawun.
Ki Ageng Tawun beserta keluarganya hidup di daerah sekitar sendang tersebut dengan aman, nyaman dan tenteram. Akhirnya, Ki Ageng Tawun dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Raden Lodrojoyo dan Raden Hascaryo. Mereka berdua memiliki beberapa kegemaran yang sangat berbeda. Dari anak pertama yaitu Raden Lodrojoyo memiliki kegemaran bertani di ladang. Raden Lodrojoyo sering sekali berkomunikasi dengan masyarakat setempat sehingga mengetahui apa masalah yang sedang menimpa mereka. sedangkan Raden Hascaryo lebih suka belajar tentang keprajuritan, olah perang dan mendalami ilmu ketatanegaraan.
Tanpa terasa umur mereka sudah menginjak dewasa. Raden Hascaryo dengan kegemarannya mendalami ilmu ketatanegaraan, ia ikut mengabdi di Kesultanan Pajang. Oleh Ki Ageng Tawun, Raden Hascaryo dibekali sebuah Cinde Pusaka. Konon, pada waktu terjadi pertempuran antara Kesultanan Pajang dan Kerajaan Blambangan, Raden Hascaryo dipercaya oleh Sultan Pajang sebagai seorang senopati perang. Berkat ketangkasan dan kegigihannya dalam berperang, Kesultanan Pajang menuai kemenangan di bawah pimpinanya melawan Kerajaan Blambangan.
Lain cerita dengan Raden Lodrojoyo. Sehari-hari dengan kesibukannya bertani dan bercocok tanam, ia selalu memperhatikan nasib rakyat kecil dan petani. Suatu saat Raden Lodrojoyo berfikir dan merenungkan nasib rakyat yang tidak dapat menanam padi dengan sempurna karena kekurangan air. Padahal area persawahan warga sangat dekat dengan lokasi sendang. Raden Lodrojoyo tak habis pikir untuk mencari ide dan akal bagaimana air sendang agar dapat mengalir menuju ke persawahan warga.
Pada suatu hari, tepatnya hari Kamis Kliwon, Raden Lodrojoyo mengutarakan niat baik dan sucinya kepada ayahnya Ki Ageng Tawon.
“Romo, jika room mengizinkan nanti malam putranda hendak menjalankan ulah tirakat atau bertapa di Sendang Tawun.”
“Kamu hendak bertapa di Sendang Tawun malam ini?”
“Iya Romo.”
“Lalu, tapa apa yang hendak kamu lakukan?”
“Matirto Romo.”
“Matirto?”
“Iya Romo.”
Matirto adalah ulah tirakat atau bertapa dengan cara merendam diri kedalam air. Di Pulau Jawa bertapa seperti ini juga dikenal dengan sebutan topo kungkum . Merendam seluruh tubuh dengan sebatas leher atau bahu di dalam air. Dengan matirto, Raden Lodrojoyo berharap cita-cita luhurnya akan dikabulkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta.
”Apa tujuanmu matirto Lodro?” lagi-lagi tanya Ki Ageng Tawun kepada anak lelakinya.”
“Putranda mengerti,  bagaimana warga sekitar sendang selalu gagal dalam panen. Hal ini terjadi karena sawah-sawah mereka yang kekurangan air meski ada sendang. Namun bagaimana mengalirkan airnya ke persawahan? Sedangkan letak sawah mereka lebih tinggi dibandingkan dengan letak Sendang Tawun.”
“Kamu ingin mengubah nasib mereka?”
“Putranda berniat hendak memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa bagaimana caranya mengalirkan air Sendang Tawun ke sawah-sawah mereka.”
“Baiklah, Romo merestui niat tulusmu Lodro.”
”Terima kasih Romo.”
Tepat pukul tujuh malam hari Jumat Legi, Raden Lodrojoyo pergi ke Sendang Tawun. Sambil berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Agung, ia merendamkan dirinya atau matirto di Sendang Tawun.
Malam dengan langit yang cerah, bulan purnama yang tersenyum ramah. Di tengah-tengah sendang dinaungi teduhnya pepohonan yang memagari Sendang Tawun, Raden Lodrojoyo terus memanjatkan doanya.
Tepat pada pukul dua belas malam, tiba-tiba bulan menjadi redup tertutup awan tebal. Suasana menjadi menyeramkan. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan yang amat dasyat. Karena besarnya suara ledakan tersebut, sampai membangunkan seluruh warga setempat. Mereka beramai-ramai menuju pusat ledakan yang diduga berasal dari Sendang Tawun. Namun, apa yang mereka lihat? Raden Lodrojoyo lenyap seketika, sedangkan Sendang Tawun berpindah ke sebelah utara pada tempat yang lebih tinggi dari sawah penduduk.
Ki Ageng Tawun dengan dibantu oleh masyarakat setempat terus mencari Raden Lodrojoyo di dalam sendang tersebut sampai hari Selasa Kliwon, tetapi tidak ditemukan sama sekali. Sampai Sendang Tawun dikuras bersih airnya, Raden Lodrojoyo pun tidak ditemukan[1].
Untuk mengenang peristiwa tersebut, setahun sekali warga setempat selalu mengadakan ritual adat secara turun-temurun. Ritual tersebut untuk mengenang pengorbanan Raden Lodrojoyo putra Ki Ageng Tawon yang peduli terhadap nasib kaum miskin dan para petani. Ritual tersebut dinamakan “Bersih Sendang” dan diadakan tepat jatuh pada Selasa Kliwon. Mereka menyiapakan sesaji-sesaji dengan kewangian baunya. Dalam ritual tersebut juga disembelih kambing yang sebelumnya dimandikan. Beberapa juru silem dengan berpakaian kebesaran melakukan penyelaman.
Kemudian diadakan selamatan atau kenduri yang diakhri dengan perebutan tumpeng. Dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan berpasangan sebagai ungkapan latihan perang antara seorang senopati dengan seorang prajurit. Kini tarian itu telah dikembangkan menjadi Tari Kecetan atau Tari Keduk Beji. Tarian ini menggambarkan tentang serangkaian kegiatan ritual bersih sendang yang dimainkan oleh pemuda-pemuda dengan dinamis yang indah.

B.     Tata cara ritual Bersih Sendang
1.      Waktu penyelenggaraan
Pelaksanaan ritual Bersih Sendang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik dari luar daerah ataupun luar kota. Sedangkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan waktu dan hari yang sudah ditentukan. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 
a)      Kamis kliwon : Nyadaran yaitu upacara doa dengan sesaji dan tumpeng ayam kepada para leluhur setempat yang dilakukan warga setempat, Lurah dan juru silem.
b)      Jum’at Wage : Slametan atau Kenduren yaitu upacara yang dilakukan warga setempat dan juru silem dengan beberapa sesaji. Warga saling membawa berkat dari rumah untuk di makan bersama-sama di pesarean.
c)      Sabtu Pahing dan Minggu Pon : Gugur Gunung yaitu kerja bakti yang dilakukan oleh warga setempat yang dilakukan secara bergotong- royong guna membersihkan wilayah sekitar Keduk Beji.
d)     Senin Wage :Gunungan yaitu pembuatan sesaji dalam bentuk gunungan yang menjulang dari batang pisang dengan berbagai hiasan dan juga pembukaan telah dibukanya prosesi ritual Bersih Sendang di Keduk Beji.
e)      Selasa Kliwon : acara puncak ritual Bersih Sendang yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Tawun dan segenap perangkat Pemerintah Daerah.
2.      Persiapan penyelenggaraan
Dalam melaksanakan ritual tersebut perlunya adanya persiapan yaitu adah kinang yang di dalamnya terdapat suroh gambir, enjet atau gamping yg di rendem dalam air, kendi, tumpeng ayam, kembang setaman, kembang telon, mawar, kenongo, kantil. Selain itu juga warga juga meletakkan beberapa alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi ritual tersebut.
Serta dalam menjelang acara puncak juga di persiapkan dalam membuat tiga gunungan yang terbuat dari batang pisang dan di beri beberapa makanan-makanan untuk diperebutkan pada puncak acara. Warga setempat juga tidak lupa untuk menghiasi tempat ritual dengan janur beserta juru silem. Dalam pelaksanaan ritual ini tidak diperlukan persyaratan khusus untuk mengikutinya, melainkan bebas dari kalangan manapun. Namun, ada beberapa peziarah yang membawa kemenyan dari rumah mereka masing-masing. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Supomo :
“ya kalau ingin mengikuti acara ini tidak ada persyaratan apapun, ya silahkan saja dari manapun untuk mengukuti ritual adat ini. Baik dari luar daerah ataupun luar kota asalkan tidak menggangu”



3.      Prosesi jalannya ritual
Pertama dengan di bersihkannya makam para leluhur agar bersih sebelum di lakasanakannya ritual berupa doa-doa. Doa tersebut juga di hadiri oleh warga dan lurah setempa. Dalam mengiringi doa yang dilakukan oleh Modhen, tidak lupa oleh warga di siapkan berupa sesaji-sesaji.
Prosesi pembukaan pertama dilakukan di pesarean Nyi Ageng Tetawang, oleh warga setempat dan juga lurah yakni ibunda dari Eang Lodrojoyo. Prosesi kedua dilakukan di pesarean Ki Ageng Metawun yang tidak lain adalah ayahanda dari Eang Lodorojoyo. Prosesi ketiga dilanjutkan di pesarean Eang Lodrojoyo, yaitu putra dari perkarkawin antara Ki Ageng Metawun dengan Nyi Ageng Tetawang. Pesarean Eang Lodrojoyo inilah yang diletakakan berdekatan dengan Keduk beji. Dulu letak makam Ki Ageng Lodrojoyo diletakkan di Paseban. Paseban yaitu berupa ruang pertemuan yang sangat megah dan difungsikan oleh raja- raja sebagai tempat membahas berbagai permasalahan masyarakat setempat dan terdapat banyak patung- patung.
Alasan lainnya adalah. Di karenakan meningkatnya tingkat kriminalitas di daerah tawun sehingga yang tersisa tinggal dua patung, dan menurut kesepakatan bersama akhirnya pesarean Eang Lodrojoyo di pindahkan di dekat Beji beserta patung-patungnya. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan  Mbah Wo Supomo :
“Sebenarnya dulu disini ada “Paseban” seperti ruang pertemuan yang ada banyak patung dan akhirnya banyak yang dicuri. Maka dari itu makam Eang Lodrojoyo di pindahkan di dekat Beji.”

Prosesi ada hari Jumat Legi yaitu Slametan ato Kenduren yang di hadiri oleh Lurah dan warga setempat yang di buka dengan sedikit pidato dari Lurah yang diikuti seluruh masyarakat Desa Tawun. Pusat dari acara ini bertempat di Tawon satu sebagai sentralnya. Kenduren  juga di maksudkan untuk menghantarkan roh leluhur. Seperti dikutip dalam wawancara dengan juru kunci :
 “Acara ini tujuannya “Kintun leluhur wonten sarean Ageng Sentono Tawon”. Artinya menghantarkan roh leluhur di makam Ageng Sentono Tawon. Ya termasuk sebagai penghormatan atas jasad Eang Lodrojoyo yang telah musnah.

Dalam prosesi kedua ini seperti biasa modhen membacakan (Ujub) doa yang diiringi dengan membakar kemenyan bersama warga setempat dan Lurah. Ritual ini memiliki makna sebagai tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan dalam meraih sandang pangan, sebagaimana yang dilakukan yaitu dengan makan bersama di pesarean tersebut yang menunjukkan akan melimpahnya sandang yang diperoleh warga.
Pada prosesi hari Sabtu Pahing dan Minggu Pon ini warga melakukan ritual yang dikenal dengan Gugur Gunung yaitu acara kerja bakti bersama yang dilakukan oleh semua warga sekitar beserta perangkat desa. Diawali dengan arahan dari Lurah yang kemudian disertai oleh kepala dusun kepada warga. Masyarakat bergotong- royong dalam melaksanakan kerja bakti ini, mereka memperbaiki parit- parit yang sudah tidak layak dan juga membersihkan selokan- selokan yang menghambat air untuk memasuki sawah-sawah mereka yang mana bersumber dari Beji.
Pada hari Senin Wage khususnya pada pagi hari, warga beserta Lurah setempat membuat tiga gunungan yang akan dipakai pada acara puncak. Masyarakat setempat juga mempersiapkan banner untuk menyambut kedatangan Bupati Ngawi dan para tamu undangan.
Menjelang sore hari, Lurah beserta juru silem mandi bersama sebagai tanda telah di bukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu barulah semua warga sekitar bisa mandi bersama. Berendamnya mereka tidak ditentukan waktu , tetapi melainkan tergantung kepada daya tahan tubuh mereka masing-masing.  Peziarah ada yang datang dari luar daerah seperti Bojonegoro, Surabaya, Nganjuk, Madiun dan Jogja.
Pada hari Selasa Kliwon diadakan puncak acara ritual di Keduk Beji. Di mulai dengan kambing kendit (kambing yang terdapat garis putih diperutnya) yang diiringi dengan beberapa alat-alat gamelan. Kambing pun di bawa keliling oleh warga di dalam keduk beji dan diarahkan ke satu arah saja yaitu utara dan selatan dan dilakukan sebanyak tiga kali. Prosesi ini berlangsung pukul 04.45 dengan lancar tanpa halangan apapun.  Setelah itu kambing pun dibawa ke atas dan didoakan untuk disembelih dan dibakar.
Acara puncakpun di laksanakan pukul 10.00 yang diawali dengan music gamelan agar warga sekitar berkumpul di Keduk Beji. Satu persatu para pemuda dan orang tua memasuki Keduk ini untuk membersihkan dasarnya dari semua kotoran yang menggenang jalannya air.  
Setelah para juru silem selesai di tata rias, maka para pemuda berhenti sejenak  membersihkan Keduk Beji untuk melihat para juru silem memasukinya. Setelah juru silem turun dengan dandanan khasnya, mereka memasuki sumber air untuk memasukkan sesaji yang telah dipersiapkan. Juru silem tidak lupa membawa Badek (air tape) yang dimasukkan ke dalam sumber air guna memastikan air sumber sudah bersih atau belum. Setelah itu para pemuda langsung menyiram air secara bersamaan kearah juru silem. Jika dalam prosesi menyelam tersebut juru silem kurang membawa syarat- syarat sesaji, konon juru silem akan kesulitan untuk naik ke atas permukaan.
Dalam sumber tersebut dipercaya terdapat buluz dan pitek (ikan-ikan kecil yang ikut buluz). Selanjutnya para pemuda mengadakan tarian yang diiringi dengan gamelan yang mana mereka saling pukul memukul sesamanya dengan menggunakan kayu. Mereka tidak merasakan kesakitan setelah saling memukul di dalam air. Tetapi setelah mereka keluar dari Keduk itu, perasaan sakit muncul dari tubuh mereka yang tadi dipukuli. Selesainya prosesi yang cukup berjalan lama , akhirnya para pemuda langsung berlari ke arah Gunungan untuk saling berebut dan memakannya. Bukan hanya dari pemuda-pemudi yang ikut berebut Gunungan, tetapi juga warga sekitar dan warga dari daerah lain. Mereka juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk mandi ataupun di taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut mereka. Yang bermaksud agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda.
Pada akhir acara,  Lurah, juru silem dan warga sekitar mengadakan Slametan atas berakhirnya prosesei di Keduk Beji dengan berdoa  bersama warga Tawun dan pemuda dengan menggunakan kambing tadi yang sudah disembelih dan dibakar untuk dimakan bersama.

C.    Mistisisme Simbolik Ritual Bersih Sendang dalam Tradisi Jawa
Budaya Jawa tidak akan pernah tuntas untuk didiskusikan dalam suatu forum atau perkumpulan. Semenjak jaman sejarah hingga kini suatu kebudayaan pasti diwarnai dengan sesaji dan pelafalan mantra-mantra.
Mistik merupakan salah satu bentuk dari proses pembentuk kebudayaan religi di Jawa. Dimana Islam yang terbawa dari pesantren bersentuhan dengan kebudayaan di Jawa. Dalam tradisi kepercayaan masyarakat kejawen, penghormatan terhadap orang yang lebih tua sangatlah ditanam sejak kecil. Bahkan apabila orang yang dianggap sudah tiada atau meninggal dunia mereka menyebutnya leluhur.
Sedangkan istilah leluhur sendiri dalam masyarakat kejawen dianggap sebagai para pembuka tanah atau cikal bakal desa tersebut. Oleh karena itu, tidak sedikit dari kalangan masyarakat sendiri yang kurang terpelajar, selalu mengutamakan budaya lisan sebagai tolak ukur dalam menilai suatu kebudayaan. Sehingga seringkali apa yang disebut leluhur itu sebagai perkiraan saja. Melainkan masyarakat kejawen lebih menonjolkan dan memitoskan sosok tokoh dalam leluhur tersebut.
Dalam tahapan ritual Bersih Sendang, juga terdapat makna filosofis yang dilambangkan kepada sosok tokoh dalam leluhur tesebut. Diantaranya Nyadran yang memiliki makna secara filosofis sebagai doa dan minta izin (restu) agar ritual yang akan dilaksanakan berjalan lancar dan tidak ada halangan, serta keselamatan bagi warga setempat selama terjadinya psosesi upacara tersebut. Sedangkan Kenduren sendiri sebagai  tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan dalam meraih sandang pangan.
Selain itu, Dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan berpasangan sebagai simbol latihan perang antara seorang senopati dengan seorang prajurit. Mereka juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk di buat mandi, ataupun di taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut mereka. Makna dari itu agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda. Dalam mengiri ritual tersebut juga terdapat beberapa sesaji-sesaji yang memiliki makna simbolik tersendiri.






[1] Wawancara pribadi dengan Mbah Supomo, Ngawi, 26 November 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar