BAB
III
TATA
CARA RITUAL BERSIH SENDANG
A.
Legenda Sendang Tawun
Konon pada abad ke-15 di daerah Padas, seorang
pengembara menemukan sebuah sendang. Pengembara itu bernama Ki Ageng Tawun.
Karena yang menemukan sendang itu Ki Ageng Tawun, maka oleh masyarakat setempat
dinamakan Sendang Tawun.
Ki Ageng Tawun beserta keluarganya hidup di
daerah sekitar sendang tersebut dengan aman, nyaman dan tenteram. Akhirnya, Ki
Ageng Tawun dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Raden Lodrojoyo dan
Raden Hascaryo. Mereka berdua memiliki beberapa kegemaran yang sangat berbeda.
Dari anak pertama yaitu Raden Lodrojoyo memiliki kegemaran bertani di ladang. Raden
Lodrojoyo sering sekali berkomunikasi dengan masyarakat setempat sehingga
mengetahui apa masalah yang sedang menimpa mereka. sedangkan Raden Hascaryo
lebih suka belajar tentang keprajuritan, olah perang dan mendalami ilmu
ketatanegaraan.
Tanpa terasa umur mereka sudah menginjak
dewasa. Raden Hascaryo dengan kegemarannya mendalami ilmu ketatanegaraan, ia
ikut mengabdi di Kesultanan Pajang. Oleh Ki Ageng Tawun, Raden Hascaryo
dibekali sebuah Cinde Pusaka. Konon, pada waktu terjadi pertempuran antara
Kesultanan Pajang dan Kerajaan Blambangan, Raden Hascaryo dipercaya oleh Sultan
Pajang sebagai seorang senopati perang. Berkat ketangkasan dan kegigihannya
dalam berperang, Kesultanan Pajang menuai kemenangan di bawah pimpinanya
melawan Kerajaan Blambangan.
Lain cerita dengan Raden Lodrojoyo. Sehari-hari
dengan kesibukannya bertani dan bercocok tanam, ia selalu memperhatikan nasib
rakyat kecil dan petani. Suatu saat Raden Lodrojoyo berfikir dan merenungkan
nasib rakyat yang tidak dapat menanam padi dengan sempurna karena kekurangan
air. Padahal area persawahan warga sangat dekat dengan lokasi sendang. Raden
Lodrojoyo tak habis pikir untuk mencari ide dan akal bagaimana air sendang agar
dapat mengalir menuju ke persawahan warga.
Pada suatu hari, tepatnya hari Kamis Kliwon,
Raden Lodrojoyo mengutarakan niat baik dan sucinya kepada ayahnya Ki Ageng
Tawon.
“Romo, jika room mengizinkan nanti malam
putranda hendak menjalankan ulah tirakat atau bertapa di Sendang Tawun.”
“Kamu hendak bertapa di Sendang Tawun malam
ini?”
“Iya Romo.”
“Lalu, tapa apa yang hendak kamu lakukan?”
“Matirto Romo.”
“Matirto?”
“Iya Romo.”
Matirto adalah ulah tirakat atau bertapa dengan
cara merendam diri kedalam air. Di Pulau Jawa bertapa seperti ini juga dikenal
dengan sebutan topo kungkum . Merendam seluruh tubuh dengan sebatas
leher atau bahu di dalam air. Dengan matirto, Raden Lodrojoyo berharap
cita-cita luhurnya akan dikabulkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta.
”Apa tujuanmu matirto Lodro?” lagi-lagi tanya
Ki Ageng Tawun kepada anak lelakinya.”
“Putranda mengerti, bagaimana warga sekitar sendang selalu gagal
dalam panen. Hal ini terjadi karena sawah-sawah mereka yang kekurangan air
meski ada sendang. Namun bagaimana mengalirkan airnya ke persawahan? Sedangkan
letak sawah mereka lebih tinggi dibandingkan dengan letak Sendang Tawun.”
“Kamu ingin mengubah nasib mereka?”
“Putranda berniat hendak memohon petunjuk dari
Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa bagaimana caranya mengalirkan air Sendang
Tawun ke sawah-sawah mereka.”
“Baiklah, Romo merestui niat tulusmu Lodro.”
”Terima kasih Romo.”
Tepat pukul tujuh malam hari Jumat Legi, Raden
Lodrojoyo pergi ke Sendang Tawun. Sambil berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan
Yang Maha Agung, ia merendamkan dirinya atau matirto di Sendang Tawun.
Malam dengan langit yang cerah, bulan purnama
yang tersenyum ramah. Di tengah-tengah sendang dinaungi teduhnya pepohonan yang
memagari Sendang Tawun, Raden Lodrojoyo terus memanjatkan doanya.
Tepat pada pukul dua belas malam, tiba-tiba
bulan menjadi redup tertutup awan tebal. Suasana menjadi menyeramkan. Tak lama
kemudian, terdengar suara ledakan yang amat dasyat. Karena besarnya suara
ledakan tersebut, sampai membangunkan seluruh warga setempat. Mereka
beramai-ramai menuju pusat ledakan yang diduga berasal dari Sendang Tawun.
Namun, apa yang mereka lihat? Raden Lodrojoyo lenyap seketika, sedangkan
Sendang Tawun berpindah ke sebelah utara pada tempat yang lebih tinggi dari
sawah penduduk.
Ki Ageng Tawun dengan dibantu oleh masyarakat
setempat terus mencari Raden Lodrojoyo di dalam sendang tersebut sampai hari
Selasa Kliwon, tetapi tidak ditemukan sama sekali. Sampai Sendang Tawun dikuras
bersih airnya, Raden Lodrojoyo pun tidak ditemukan[1].
Untuk mengenang peristiwa tersebut, setahun
sekali warga setempat selalu mengadakan ritual adat secara turun-temurun.
Ritual tersebut untuk mengenang pengorbanan Raden Lodrojoyo putra Ki Ageng
Tawon yang peduli terhadap nasib kaum miskin dan para petani. Ritual tersebut dinamakan
“Bersih Sendang” dan diadakan tepat jatuh pada Selasa Kliwon. Mereka
menyiapakan sesaji-sesaji dengan kewangian baunya. Dalam ritual tersebut juga
disembelih kambing yang sebelumnya dimandikan. Beberapa juru silem dengan
berpakaian kebesaran melakukan penyelaman.
Kemudian diadakan selamatan atau kenduri yang
diakhri dengan perebutan tumpeng. Dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan
berpasangan sebagai ungkapan latihan perang antara seorang senopati dengan
seorang prajurit. Kini tarian itu telah dikembangkan menjadi Tari Kecetan atau
Tari Keduk Beji. Tarian ini menggambarkan tentang serangkaian kegiatan ritual
bersih sendang yang dimainkan oleh pemuda-pemuda dengan dinamis yang indah.
B.
Tata cara
ritual Bersih Sendang
1.
Waktu penyelenggaraan
Pelaksanaan
ritual Bersih Sendang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik dari luar daerah
ataupun luar kota. Sedangkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan waktu dan
hari yang sudah ditentukan. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
a)
Kamis kliwon : Nyadaran
yaitu upacara doa dengan sesaji dan tumpeng ayam kepada para leluhur setempat
yang dilakukan warga setempat, Lurah dan juru silem.
b)
Jum’at Wage : Slametan
atau Kenduren yaitu upacara yang dilakukan warga setempat dan juru
silem dengan beberapa sesaji. Warga saling membawa berkat dari rumah untuk di
makan bersama-sama di pesarean.
c)
Sabtu Pahing
dan Minggu Pon : Gugur Gunung yaitu kerja bakti yang dilakukan oleh
warga setempat yang dilakukan secara bergotong- royong guna membersihkan
wilayah sekitar Keduk Beji.
d)
Senin Wage :Gunungan
yaitu pembuatan sesaji dalam bentuk gunungan yang menjulang dari batang pisang
dengan berbagai hiasan dan juga pembukaan telah dibukanya prosesi ritual Bersih
Sendang di Keduk Beji.
e)
Selasa Kliwon :
acara puncak ritual Bersih Sendang yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Tawun
dan segenap perangkat Pemerintah Daerah.
2.
Persiapan penyelenggaraan
Dalam
melaksanakan ritual tersebut perlunya adanya persiapan yaitu adah kinang yang di dalamnya terdapat suroh gambir,
enjet atau gamping yg di rendem dalam air, kendi, tumpeng ayam, kembang setaman,
kembang telon, mawar, kenongo, kantil. Selain itu juga warga juga meletakkan beberapa
alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi ritual tersebut.
Serta dalam menjelang acara puncak juga di
persiapkan dalam membuat tiga gunungan yang
terbuat dari batang pisang dan di beri beberapa makanan-makanan untuk
diperebutkan pada puncak acara. Warga setempat juga tidak lupa untuk menghiasi
tempat ritual dengan janur beserta juru silem. Dalam pelaksanaan ritual ini
tidak diperlukan persyaratan khusus untuk mengikutinya, melainkan bebas dari
kalangan manapun. Namun, ada beberapa peziarah yang membawa kemenyan dari rumah
mereka masing-masing. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Supomo :
“ya kalau ingin
mengikuti acara ini tidak ada persyaratan apapun, ya silahkan saja dari manapun
untuk mengukuti ritual adat ini. Baik dari luar daerah ataupun luar kota
asalkan tidak menggangu”
3.
Prosesi jalannya ritual
Pertama dengan di bersihkannya makam para leluhur agar bersih sebelum di
lakasanakannya ritual berupa doa-doa. Doa tersebut juga di hadiri oleh warga
dan lurah setempa. Dalam mengiringi doa yang dilakukan oleh Modhen, tidak lupa
oleh warga di siapkan berupa sesaji-sesaji.
Prosesi pembukaan pertama dilakukan di pesarean Nyi Ageng Tetawang,
oleh warga setempat dan juga lurah yakni ibunda dari Eang Lodrojoyo. Prosesi
kedua dilakukan di pesarean Ki Ageng Metawun yang tidak lain adalah ayahanda
dari Eang Lodorojoyo. Prosesi ketiga dilanjutkan di pesarean Eang Lodrojoyo,
yaitu putra dari perkarkawin antara Ki Ageng Metawun dengan Nyi Ageng Tetawang.
Pesarean Eang Lodrojoyo inilah yang diletakakan berdekatan dengan Keduk beji.
Dulu letak makam Ki Ageng Lodrojoyo diletakkan di Paseban. Paseban yaitu berupa
ruang pertemuan yang sangat megah dan difungsikan oleh raja- raja sebagai
tempat membahas berbagai permasalahan masyarakat setempat dan terdapat banyak patung-
patung.
Alasan lainnya adalah. Di karenakan meningkatnya tingkat
kriminalitas di daerah tawun sehingga yang tersisa tinggal dua patung, dan
menurut kesepakatan bersama akhirnya pesarean Eang Lodrojoyo di pindahkan di
dekat Beji beserta patung-patungnya. Seperti yang dikutip dalam wawancara
dengan Mbah Wo Supomo :
“Sebenarnya dulu disini ada “Paseban” seperti ruang pertemuan yang ada
banyak patung dan akhirnya banyak yang dicuri. Maka dari itu makam Eang
Lodrojoyo di pindahkan di dekat Beji.”
Prosesi ada hari Jumat Legi yaitu Slametan ato Kenduren yang
di hadiri oleh Lurah dan warga setempat yang di buka dengan sedikit pidato dari
Lurah yang diikuti seluruh masyarakat Desa Tawun. Pusat dari acara ini bertempat
di Tawon satu sebagai sentralnya. Kenduren juga di maksudkan untuk menghantarkan roh
leluhur. Seperti dikutip dalam wawancara dengan juru kunci :
“Acara ini tujuannya “Kintun leluhur wonten
sarean Ageng Sentono Tawon”.
Artinya menghantarkan roh leluhur di makam Ageng Sentono Tawon. Ya termasuk
sebagai penghormatan atas jasad Eang Lodrojoyo yang telah musnah.
Dalam prosesi kedua ini seperti biasa modhen membacakan (Ujub) doa yang
diiringi dengan membakar kemenyan bersama warga setempat dan Lurah. Ritual ini
memiliki makna sebagai tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan
dalam meraih sandang pangan, sebagaimana yang dilakukan yaitu dengan makan
bersama di pesarean tersebut yang menunjukkan akan melimpahnya sandang yang
diperoleh warga.
Pada prosesi hari Sabtu Pahing dan Minggu Pon ini warga melakukan
ritual yang dikenal dengan Gugur Gunung yaitu acara kerja bakti bersama yang
dilakukan oleh semua warga sekitar beserta perangkat desa. Diawali dengan
arahan dari Lurah yang kemudian disertai oleh kepala dusun kepada warga.
Masyarakat bergotong- royong dalam melaksanakan kerja bakti ini, mereka
memperbaiki parit- parit yang sudah tidak layak dan juga membersihkan selokan-
selokan yang menghambat air untuk memasuki sawah-sawah mereka yang mana
bersumber dari Beji.
Pada hari Senin Wage khususnya pada pagi hari, warga beserta Lurah
setempat membuat tiga gunungan yang akan dipakai pada acara puncak. Masyarakat
setempat juga mempersiapkan banner untuk menyambut kedatangan Bupati Ngawi dan
para tamu undangan.
Menjelang sore hari, Lurah beserta juru silem mandi bersama sebagai
tanda telah di bukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu barulah semua
warga sekitar bisa mandi bersama. Berendamnya mereka tidak ditentukan waktu ,
tetapi melainkan tergantung kepada daya tahan tubuh mereka masing-masing. Peziarah ada yang datang dari luar daerah seperti
Bojonegoro, Surabaya, Nganjuk, Madiun dan Jogja.
Pada hari Selasa Kliwon diadakan puncak acara ritual di Keduk Beji.
Di mulai dengan kambing kendit (kambing
yang terdapat garis putih diperutnya) yang diiringi dengan beberapa
alat-alat gamelan. Kambing pun di bawa keliling oleh warga di dalam keduk beji
dan diarahkan ke satu arah saja yaitu utara dan selatan dan dilakukan sebanyak
tiga kali. Prosesi ini berlangsung pukul 04.45 dengan lancar tanpa halangan
apapun. Setelah itu kambing pun dibawa
ke atas dan didoakan untuk disembelih dan dibakar.
Acara puncakpun di laksanakan pukul 10.00 yang diawali dengan music
gamelan agar warga sekitar berkumpul di Keduk Beji. Satu persatu para pemuda
dan orang tua memasuki Keduk ini untuk membersihkan dasarnya dari semua kotoran
yang menggenang jalannya air.
Setelah para juru silem selesai di tata rias, maka para pemuda
berhenti sejenak membersihkan Keduk Beji
untuk melihat para juru silem memasukinya. Setelah juru silem turun dengan
dandanan khasnya, mereka memasuki sumber air untuk memasukkan sesaji yang telah
dipersiapkan. Juru silem tidak lupa membawa Badek (air tape) yang dimasukkan ke dalam sumber air guna memastikan air
sumber sudah bersih atau belum. Setelah itu para pemuda langsung menyiram air
secara bersamaan kearah juru silem. Jika dalam prosesi menyelam tersebut juru
silem kurang membawa syarat- syarat sesaji, konon juru silem akan kesulitan
untuk naik ke atas permukaan.
Dalam sumber tersebut dipercaya terdapat buluz dan pitek (ikan-ikan kecil yang ikut buluz). Selanjutnya para
pemuda mengadakan tarian yang diiringi dengan gamelan yang mana mereka saling
pukul memukul sesamanya dengan menggunakan kayu. Mereka tidak merasakan kesakitan
setelah saling memukul di dalam air. Tetapi setelah mereka keluar dari Keduk
itu, perasaan sakit muncul dari tubuh mereka yang tadi dipukuli. Selesainya
prosesi yang cukup berjalan lama , akhirnya para pemuda langsung berlari ke
arah Gunungan untuk saling berebut dan memakannya. Bukan hanya dari pemuda-pemudi
yang ikut berebut Gunungan, tetapi juga warga sekitar dan warga dari daerah
lain. Mereka juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk mandi ataupun di
taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut
mereka. Yang bermaksud agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan
bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda.
Pada akhir acara, Lurah, juru
silem dan warga sekitar mengadakan Slametan atas berakhirnya prosesei di
Keduk Beji dengan berdoa bersama warga
Tawun dan pemuda dengan menggunakan kambing tadi yang sudah disembelih dan
dibakar untuk dimakan bersama.
C.
Mistisisme Simbolik Ritual Bersih Sendang dalam Tradisi Jawa
Budaya
Jawa tidak akan pernah tuntas untuk didiskusikan dalam suatu forum atau
perkumpulan. Semenjak jaman sejarah hingga kini suatu kebudayaan pasti diwarnai
dengan sesaji dan pelafalan mantra-mantra.
Mistik
merupakan salah satu bentuk dari proses pembentuk kebudayaan religi di Jawa.
Dimana Islam yang terbawa dari pesantren bersentuhan dengan kebudayaan di Jawa.
Dalam tradisi kepercayaan masyarakat kejawen, penghormatan terhadap orang yang
lebih tua sangatlah ditanam sejak kecil. Bahkan apabila orang yang dianggap
sudah tiada atau meninggal dunia mereka menyebutnya leluhur.
Sedangkan
istilah leluhur sendiri dalam masyarakat kejawen dianggap sebagai para pembuka
tanah atau cikal bakal desa tersebut. Oleh karena itu, tidak sedikit dari
kalangan masyarakat sendiri yang kurang terpelajar, selalu mengutamakan budaya
lisan sebagai tolak ukur dalam menilai suatu kebudayaan. Sehingga seringkali
apa yang disebut leluhur itu sebagai perkiraan saja. Melainkan masyarakat
kejawen lebih menonjolkan dan memitoskan sosok tokoh dalam leluhur tersebut.
Dalam
tahapan ritual Bersih Sendang, juga terdapat makna filosofis yang dilambangkan
kepada sosok tokoh dalam leluhur tesebut. Diantaranya Nyadran yang
memiliki makna secara filosofis sebagai doa dan minta izin (restu) agar ritual
yang akan dilaksanakan berjalan lancar dan tidak ada halangan, serta
keselamatan bagi warga setempat selama terjadinya psosesi upacara tersebut.
Sedangkan Kenduren sendiri sebagai
tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan dalam meraih
sandang pangan.
Selain
itu, Dilanjutkan
dengan permainan pecut-pecutan berpasangan sebagai simbol latihan perang antara
seorang senopati dengan seorang prajurit. Mereka
juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk di buat mandi, ataupun di
taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut
mereka. Makna dari itu agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan
bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda. Dalam mengiri ritual tersebut juga
terdapat beberapa sesaji-sesaji yang memiliki makna simbolik tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar