|
TINGKAH
LAKU MANUSIA DALAM SERAT SALOKATAMA
A. Gambaran Kelainan Tingkah Laku dalam Serat Salokatama
KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Salokatama memberikan
perhatian khusus pada satu gejala tingkah laku manusia, yakni tuna budi, yang
tertulis di bait pertama dalam serat Salokatama.
Wijiling kang pangripta murwani, myat ing reh salah ton,
kang milalu milara ragane, laling wiring kasereng ing kapti, nir yitnanta dadi,
nistha temahipun. Artinya yang dilihat
oleh pengarang adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya, yang selalu menyiksa
raganya, malu karena perbuatannya sendiri, berbuat tidak terkendali, akhirnya
mendapatkan nista.
|
Tuna budi juga merupakan masalah yang perlu di pecahkan
atau merupakan penyakit yang perlu diobati, dan bisa disebut juga garapan yang
perlu diselesaikan, supaya masalah tersebut tidak berkembang berkelanjutan
sampai menimbulkan akibat yang mencemaskan.
KGPAA Mangkunegara IV menerangkan tentang tingkah laku
manusia dalam bentuk, saloka (permisalan, perumpamaan), misalnya sebagai
berikut:
1. Pemisalan: “orang yang menyiksa raganya”. Maksud dari
permisalan ini adalah seseorang dengan sengaja memperburuk diri dan
penampilannya supaya terlihat oleh orang banyak bahwa raganya tampak kurus,
kering tidak terawat, tidak berdaya dan tidak berharga. Orang yang dengan sengaja
membuat raganya tampak tersiksa, seperti yang dikatakan dalam dalam serat milalu
milara ragane, (yang selalu meyiksa badan/raganya) pada bait 1.[2]
Mengapa orang menyiksa ragannya, karena mereka hanya ingin mendapatkan
perhatian atau ingin diperhatikan oleh lingkungan dan orang-orang di sekitarnya,
dengan terlihatnya mereka menjadi kurus, tidak terawat, tidak berdaya dan tidak
berharga, maka orang disekitar mereka akan memperhatikannya. Namun, dengan
mereka berkelakuan seperti itu orang disekitarnya akan mengasihani yang tidak
tulus, tetapi ada rasa jijik dan hina.
Pada umumnya orang hidup selalu berbuat baik, bekerja dan
berjuang untuk kebaikan dirinya, kebaikan jiwanya, dan kebaikan raganya. Perbuatan
menyiksa raganya tidak akan menguntungkan dirinya dan akan berakibat kurang baik
terhadap dirinya. Manusia yang hidup, bertanggung jawab pada kahidupannya
tersebut. Untuk melanjutkan kehidupannya, manusia harus merawat apa yang sudah diberikan
oleh Tuhan kepadanya, termasuk raga. Manusia diberi raga yang begitu sempurna
sebagai pembeda dan cirri khas dari makhluk-makhluk yang lain. Maka dari itu,
raga tersebut harus dijaga dengan penuh ikhlas, kasih sayang dan tanggung
jawab.
Manusia mempunyai kebebasan dalam untuk melakukan hal
yang diinginkannya. Manusia sendirilah yang menentukan sikap. Hal itu yang
disebut tanggung jawab.[3]Meskipun
manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan menentukan sikapnya, namun
dalam kebebasannya tersebut manusia juga mempunyai tanggung jawab terhadap
kebebasannya tersebut. Manusia berhak untuk menggerakkan maupun mendayakan
raganya, namun dalam kebebasannya tersebut manusia juga harus bertanggung jawab
untuk merawat raga yang dimilikinya.
2. Pemisalan: ”orang yang ingin hidup dua kali”. Maksud dari
pemisalan tersebut adalah orang yang dirundung kegagalan dan penyesalan yang
mendalam, terkadang ada dorongan dari dalam untuk menembus hidupnya dengan
jalan yang tidak sewajarnya dan yang pada akhirnya mengandai-ngandai “ andaikan
dapat hidup dua kali tentu dapat memperbaiki perbuatannya yang salah”. Seperti
dalam serat Salokatama yang mengatakan bahwa, Yen pasthiya
tumitah ping kalih, sakathaing uwong, ora ana kaduwung solahe, lan tan ana ing
kang wedi mati, gampang dennya budi, tan ana pamupus[4]
(jika terjadi hidup dua kali, banyak orang tidak kecewa dengan
perbuatannya, dan tidak ada yang takut mati, mereka jadi mudah bertingkah laku,
tidak ada hentinya )
Etika mengajarkan kepada manusia untuk menjadi makhluk
yang lebih baik.[5]
Dalam hal keinginan atau pengandaian untuk hidup dua kali dikatakan wajar
ketika manusia menginginkan untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam
kehidupan yang kedua. Namun, hal ini tidak akan dikatakan wajar karena pada kenyataannya
bahwa orang hidup itu hanya berlangsung dan dialami sekali saja, karena
pengandaiannya tersebut tidak dapat terlaksana maka malah akan menimbulkan
kekecewaan dan penyesalan yang mendalam.
Pengandaian tentang untuk hidup kedua kalinya, jika tidak
terlaksana maka akan membuat orang itu menjadi sangat kecewa, karena pada
kenyataannya kita hidup hanya sekali, jadi bertingkah lakulah yang baik supaya
tidak aka nada penyesalan. Orang yang mengandai-ngandai akan berbahaya untuk
dirinya sendiri, karena jika tidak bisa terlaksana akan membuat dia kecewa dan
akahirnya mencari jlan pintas yaitu bunuh diri.
3. Pemisalan: “orang bunuh diri”. Penderitaan batin yang
sangat berat dan tidak tertahankan menyebabkan orang kehabisan akal (cupeting
nalare). Hati dan dunia menjadi gelap, tidak lagi ditemukan jalan atau
solusi untuk bengkit dari keterpurukkan.
Pada serat Saloktama bait 7-8, :Yen nganyuta pati,
nimbuhi dosa gung (jika bunuh diri akan menambah dosa besar), jisime
wong kang nglampus diri tan kena den uwor lan makame para leluhure (jenazah
orang bunuh diri tidak dapat ditempatkan semakam dengan makam leluhurnya) myang
sawiyah mamakaming janmi sinarang sinirik (pada makam manusia (pemakaman umum)
dilarang dibenci).[6]
Pada serat Salokatama bunuh diri itu dibenci dan dilarang, orang yang bunuh
diri nantinya jenzahnya tidak boleh ditempatkan dekat dengan para keluarganya
dan tidak boleh pula ditempat pemakaman umum. Dari akibat-akibat itu sudah
teramat jelas bhawa bunuh diri benar-benar bukan merupakan perbuatan yang biak,
bahkan jenazahnya pun tidak boleh dimakamkan ditempat di mana manusia pada
umumnya memakamkan keluarganya.
Tindakan bunuh diri dalam serat Salokatama ini sejalan
dengan aliran determinisme religius yang mengatakan bahwa dengan bunuh diri
maka orang tersebut sudah mendahului kehendak dan kodrat Tuhan. Determinisme
religius tidak menerima adanya kehendak bebas manusia. Meski manusia masih
diakui untuk mempunyai pilihan, namun segala kejadian di dunia ini ditentukan
oleh Tuhan. Karena tingkah laku manusia tertentukan oleh Tuhan.[7]
Manusia hanyalah menjalani semua kehidupan di dunia ini dan Tuhan menentukan
semua jalan kehidupan manusia.
Bunuh diri merupakan salah satu jalan yang tidak pantas untuk
dipilih dalam kehidupan. Agama sebagai dasar keyakinan manusia menolak dengan
tegas bunuh diri sebagai langkah dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia
di dunia. Langkah tersebut dipandang masyarakat juga memiliki pemikiran yang
sempit dan tidak bisa berpikir panjang. Masyarakat sekitar dan lingkungan
sosial juga sangat menyayangkan tentang cara mengakhiri hidup seperti itu.
Banyak sekali contoh masyarakat yang memilih jalan bunuh diri, dan ini tidak
baik terapkan dalam diri sebagai makhluk sosial.
B. Penyebab terjadinya Kelainan Tingkah Laku dalam Serat
Salokatama
Ada beberapa penyebab yang melatar belakangi kelainan
tingkah laku, yaitu:
1. Ketunaan (cacad)
Ada bermacam-maacam ketunaan, misalnya tuna pisik, tuna
mental, tuna sosial, dan tuna harga diri. Ketunaan tersebut dapat menimbulkan
keterbatasan bagi individu yang bersangkutan. Keterbatasan menimbulkan adanya
perasaan kurang, yang berakibat memunculkan perbuatan yang tidak sewajarnya. Pada bait 1 menyatakan tentang ketunaan
(cacad), yaitu temah kengis wateke kang wadi.[8]
Syair tersebut menjelaskan bahwa terdapat perilaku yang dibuat-buat, tidak
menampakkan perilaku dan sifat sesungguhnya. pada pandangan yang salah,
kemudian menyiksa diri dan raganya).
2. Kegagalan membawa diri
Adanya jarak antara dirinya dengan apa yang diharapkan
terlalu jauh menjadi penyebab terjadinya kegagalan membawa diri, seperti yang
tertulis dalam serat salokatama bait 17, cupeting panggayuh[9]
(pendeknya kemampuan).
Ketidak seimbangan antara potensi dan kondisi diri dengan
apa yang ingin dicapai menimbulkan jarak yang jauh, dan inilah yang sering
menimbulkan kegagalan dalam membawa diri atau menyesuaikan diri.
3. Gangguan emosional
Perasaan sangat berpengaruh pada tingkah laku seseorang. Ketidak
seimbangan pribadi dapat menimbulkan gangguan emosional yang sering muncul pada
orang-orang tuna budi, misalnya: sikap suka menyendiri, tidak senang bergaul
dengan orang lain, suka menentang dengan lingkungan, tidak bersikap sopan
santun, kurang mampu menguasai diri, dan tindakkannya sering tidak terkendali. Penjelasan
ini terdapat dalam bait 4, ora ana kang bares sawiji, wong jail lan juti[10]
(tidak ada yang baik satupun, bahkan kelihatan seperti orang yang usil dan
sadis).
C. Penyembuhan Kelainan Tingkah Laku dalam Serat Salokatama
Dalam serat salokatama terdapat dua kubu
tingkah laku, yang pertama tuna budi seperti yang sudah dijelaskan diatas,
bahwasanya tingkah laku tersebut merupakan sebuah tingkah laku yang buruk dan
disebut juga kelainan tingkah laku. Pada kehidupan masyarakat orang tersebut
tidak bisa meyesuaikan diri pada lingkungan, maka harus ada peyembuhan terhadap
tingkah laku tersebut, yaitu dengan tingkah laku yang disebut ngudi budi.
1. Ngudi budi
(berusaha menjadi baik)
Hidup rahayu (sejahtera) yang menjadi idaman bagi
setiap orang tidaklah datang begitu saja. Hidup rahayu harus ditempuha
dengan jalan rahyu pula. Jalan menuju hidup rahyu adalah dengan berbuat dan
tingkah laku yang sesuai dengan kemungkinan akan menimbulkan karahayon. Semuanya
itu akan terlaksana bila ada niat yang rahayu pula, dan dengan
sendirinya dalam niat yang rahayu akan muncul sikap ngudi budi. Ngudi budi
adalah upaya lahir batin menuju hidup rahayu. Ngudi budi
merupakan upaya kejiwaan yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab
sejalan dengan tataran kadewasaning batin (sejalan dengan tingkat
kedewasaan kepribadian).[11]
Berikut ini ada beberapa gambaran yang berhubungan dengan
ngudi budi untuk hidup rahayu (sejahtera)[12]:
a. Menjauhi nglalu budi
Orang yang ngudi budi dapat menakar kemampuan diri dan dapat
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akan keberhasilannya. Berbeda dengan
sikap orang yang nglalu budi, yang selalu diganggu kecemasan dan cenderung
bersikap gampang mematikan kemampuan diri. Kebanyakan orang yang nglalu
budi sering bersikap pura-pura baik, tetapi kenyataannya tidak dapat dipercaya.
Pada serat nglalu budi tercantum di bait 17, dunungipun wong kang
nglalu budi, ana becik awon, becikira kang tinuturake, alanipun wus kocap ing
nguni, tan lyan jalaraning, cupeting panggayuh,[13]
artinya disitulah orang yang tidak tau budi baik, ada yang baik dan yang
buruk, kebaikan yang diucapkan, kejalekkannya sudah diucapkan diperbicaraan,
tidak lain penyebabnya, pendeknya tujuan. Syair tersebut menerangkan orang yang
tidak tahu budi baik, yang selalu menceritakan kejelakkan orang lain, karena
hal itu maka sikap seperti itu sudah sepantasnya untuk dijauhi. Sebaba itu
nantinya bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
b. Menghindari kegagalan
Setiap upaya yang dilakukan seseorang pastinya akan menghadapi
dua kemungkinan, yakni keberhasilan dan kegagalan. Pada dua kemungkinan
tersebut akan memberi dampak psikologis terhadap orang yang bersangkutan,
seperti perasaan kecewa tidak senang, menyesal, marah, putus asa dan mengulang
atau menambah kegagalan yang telah dialami, seperti yang tertulis dalam serat
Salokatama bait 19, Lamun majad kang
sinedyeng kapti, mangka tan kalakon, aja age kager ing driyane, salah tampa
panglaluning ati, nguring-uring dhiri, nutuh amun-amun,[14]
(jika keinginan yang kita inginkan, tidak terlaksana, maka jangan
terkejut, jangan menyalahkan diri sendir, jangan marah-marah menuduh
sembarangan). Syair ini menerangkan tentang
suatu kegagalan, tidak semua yang kita inginkan pastinya akan berjalan dengan
lancar, jangan menterah dengan kegagalan karena kesuksesan berawal dari
kegagalan dan jika terjadi kegagalan janganlah marah-marah tidak jelas dan
menyelahkan diri sendiri, terimalah dengan kerendahan hati mungkin sekarang
belum waktunya berhasil.
c. Menghindari sikap memaksakan keinginan
Etika mengajarkan manusia tentang perilaku baik buruk.
Perilaku tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan oleh manusia yang
mengerjakannya. Manusia dalam bertindak dan berperilaku juga berbatasan dengan
kebebasan orang lain. Manusia tidak serta merta boleh melakukan apapun. Tetapi,
manusia harus mengerti di mana posisinya dan mengerti apakah tindakannya
tersebut baik atau bahkan merugikan orang lain.
Manusia disebut bebas ketika ia mampu untuk bertindak
tanpa dibatasi oleh orang lain, masyarakat, maupun sebab lain. Manusia jika
bisa menjadi bebas ketika dia tidak mendapatkan paksaan dari orang lain untuk
melakukan sesuatu yang melawan kehendak manusia.[15]Manusia
bebas untuk menggerakkan tubuhnya tanpa batas. Yang membatasi maupun mengekang
kebebasan adalah paksaan. Kebebasan bergerak dapat dikurangi atau dihilangkan
oleh kekuatan yang lebih kuat, yaitu paksaan itu sendiri. Paksaan ini digunakan
manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan yang manusia
kehendaki.[16]
Manusia sering memaksakan kehendak dan keinginannya.
Pemaksaan ini tidak hanya diberlakukan untuk orang lain, melainkan juga untuk
dirinya sendiri. Manusia memaksa dirinya melakukan hal-hal yang diluar batas
kemampuannya. Sehingga nantinya bisa membuat dirinya menjadi kecewa, jika keinginannya
tersebut tidak terlaksana. Hal tertulis dalam serat Salokatama
bait 21, Mbokmanawa kang sira karepi, ginawe
lelakon durung waktu iku ing tegese, ngadatira saniska reng kapti, yen wus
kembalali, kono sok jinurung,[17] (seandainya
apa yang kamu harapkan, tidak terkabulkan sebenarnya itu belum waktunya,
mengedurkan keinginan, jika setengah dilupakan, mungkin akhirnya terkabulkan).
Selain ketiga cara tersebut, ada beberapa cara lain yang
disebutkan dalam amsal-amsal atau permisalan, diantaranya:
a. Permisalan: orang meruwat dosa.
Orang yang telah menyadari kesalahannya di masa lalu,
maka akan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut dan berusaha untuk tidak
mengulanginya. Orang tersebut menyadari bahwa dirinya telah berbuat salah dan
dosa. Untuk membangkitkan kepercayaan diri kembali, maka ia harus meruwat
segala dosanya (pangruwate dosa sawatawes) pada bait 10. Ada beberapa
jalan untuk meruwat dosa yang diisyaratkan dalam serat Salokatama,
diantaranya:
1) Pada bait 10
dituliskan: tan lyan amung minta aksamane, mring kang
samya sinrikken ing galih, prapta-a pribadi marang wismanipun.[18]
Syair tersebut menerangkan bahwa jika orang berbuat salah kepada seseorang
maupun membuat orang lain sakit hati, maka ia harus meminta maaf dengan sungguh
dan mendatangi rumah orang yang telah disalahi secara langsung. Dengan
bersilaturahim tersebut, maka orang yang disakiti hatinya akan merasakan
kesungguhan dan ketulusan dari orang bersalah tersebut.
2) Pada bait 11 dituliskan, Yen kaprenah tuwa
kalah inggil, ngabektiya gupoh, linairna ing kaluputane, lamun prenah nom nging
pangkat inggil, mengku mawa taklim, karma nuting tembung.[19] Syair tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih muda harus meminta
maaf dengan yang lebih tua. Hal ini dikarenakan orang Jawa sangat menjunjung
tinggi unggah-ungguh dan urut-urutan umur. Orang yang lebih tua harus dihormati oleh orang
yang lebih muda. Dan orang yang lebih muda harus sanggup menghormati orang yang
lebih tua. Berbeda halnya apabila orang yang bersalah tersebut lebih muda tetapi
mempunyai kedudukan dan pangkat yang lebih tinggi. Orang yang bersalah tersebut
diperkenankan untuk meminta maaf hanya dengan berkata dengan lembut, dengan
tutur kata yang halus dan penuh sopan.
3) Orang yang lebih muda tetapi mempunyai pangkat atau
kedudukan yang lebih tinggi, maka boleh meminta maaf hanya dengan mohon maaf
menggunakan kata-kata yang sopan dan tingkah laku yang santun, (mengku mawa
taklim karma nuting tembung)[20]
bait 11.
4) Jika ada rasa enggan (pekewuh), maka diperkenankan
untuk memohon maaf lewat tulisan dalam
surat dengan bahasa dan kata-kata yang manis, (lamun ana rikuhe ing ati,
kamota ing tulis lawan tembung arum)[21]
bait 12.
5) Jika ingin meruwat dosa pada leluhur yang telah dinodai,
maka hendaklah memohon ampunan agar dihapus tulahnya, (mumulenen luluhure
sami, kang sira alami, nulak walatipun) bait 13.
6) Jika ingin meruwat segala dosa dan kesalahan terhadap
Tuhan, maka hendaklah memohon ampunan atas segala dosa, bertaubat dalam batin
kepada Tuhan, (lan nuwuna apura Hyang Widi, tobata ing batos, rumangsa-a
driyanta salahe) bait 13.
b. Permisalan: orang mengendalikan diri
Orang yang mempunyai dorongan untuk memperbaiki
kekurangannya, berarti orang tersebut telah menunjukkan tanda-tanda
meninggalkan keburukkan dan menuju ‘jalan-rahayu’ agar tercipta ‘hidup rahayu’.
Salah satu jalan menuju ‘hidup rahayu’ adalah dengan mengendalikan diri.
Mengendalikan diri berarti menata dan membatasi diri supaya manusia bergerak
menuju kearah kebenaran dan kesejahteraan. Serat Salokatama
menyebutkan bahwa pengendalian diri untuk menuju hidup rahayu sangatlah
berat, namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan, seperti yang
tertilis dalam serat di bait 14 (mula abot wit amaksa kapti, mring reh
karahayon, wus mangkana lumrah prabawane ).[22]
Orang yang mengendalikan diri, maka ia dengan sadar dan
sengaja akan mengurangi atau membatasi segala sesuatu yang menyenangkan diri.
Dengan begitu, keterbatasan tersebut dapat menimbulkan suasana nyaman, tenang
dan jernih. Mengendalikan diri tidak hanya berlaku untuk kepentingan dan
kenyamanan pribadi, namun juga demi kenyamanan bersama. Manusia tidak bisa
hanya merasakan nyaman secara individu, tetapi kenyamanan merupakan rasa damai
bersama.
Permisalan-permisalan tersebut mengajarkan manusia untuk
berbuat baik dan benar terhadap manusia lain dalam menjalani kehidupan. Etika sosial
menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung maupun dalam
bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), tujuan dari etika sosial
adalah membuat manusia supaya sadar akan tanggung jawab kita sebagai manusia
dalam kehidupan. Etika sosial sendiri merupakan filsafat atau pemikiran kritis
tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia.[23]Jadi,
manusia memainkan perannya dalam hidup harus di dasari rasa tanggung jawab atas
konsekuensi kebebasan tindakannya.
Etika tidak hanya sebatas mengajarkan perbuatan baik dan
buruk. Tujuan utama dari etika adalah tercapainya ketenangan jiwa untuk menuju
pada kehidupan yang bahagia. Dalam serat Salokatama disebutkan bahwa orang yang
berbudi rahayu berarti mencapai kebahagiaan hidup. Semua kebahagiaan
yang diperoleh dari laku rahayu (ngudi rahayu), sering
disebut ‘wahyu sejati’. Wahyu sejati menurut serat Salokatama, ditandai dengan
beberapa hal, yaitu: bermanfaat besar bagi kehidupan manusia karena dapat
memberi rasa aman, tenang, tenteram, sejahtera, dan damai dalam arti luas;
tidak menyusahkan hati dan menimbulkan masalah baru; wahyu sejati dapat
diturunkan selama dapat menjaga dan memelihara dengan cara baik dan terhormat.
2. Ngudi budi
jalan menuju kebahagiaan
Ngudi budi
berupaya agar terbentuk budi rahayu. Dengan mempunyai budi rahayu,
maka manusia akan mencerminkan kerahayuan atau kesejahteraan. Tanda-tanda
orang yang berbudi rahayu adalah:[24]
a. Dalam hal tata batinnya, manusia untuk mencapai keinginan
harus disertai banyak samadi (beribadah) di waktu malam, (panedhane saking
jro samadi, kalanireng wengi) bait 26.
b. Manusia tidak pernah menolak perintah dan tidak pernah
menghindari kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, (tan mengeng sapakon,
mring kang wajib marentah awake) bait 27.
c. Bersikap jujur dan rajin menjalankan tugas, (temen lan
taberi) bait 27.
d. Suka merendahkan diri, (sasamben norragi) bait 27.
e. Sopan dalam sikap dan santun dalam tutur kata, (nyangking
tembung arum) bait 27.
f. Menunjukkan cinta kasih terhadap sesama, cinta kasih
bebas pamrih, (tan meling kang asor, tansah asih marang sasamane) bait
28.
g. Menginginkan sesuatu yang sesuai dengan kelayakan,
sehingga mudah tercapai dan terpenuhi, (luwangira yen bisa nglakoni, barabg
kang kinapti, ing samajatipun) bait 28.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia
yang berbudi luhur merupakan jalan menuju manusia bahagia. Hal ini sependapat
dengan pendapat hedoneisme yang mengatakan bahwa manusia akan menjadi bahagia
dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin, dan sebisa
mungkin menghindari perasaan-prasaan yang tidak enak.[25]
Titik puncak yang menjadi acuan Serat Salokatama adalah
hidup rahayu, yaitu kebahagiaan hidup sejati. Pada dasarnya tujuan hidup
manusia adalah kebahagiaan, oleh karena itu prinsip dasar bagi segala tindakan
adalah agar kebahagiaan tercapai. KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama
memperumpamakan kebahagiaan dengan buah durian yang matang di pohon. Apabila dihubungkan
dengan jalan kehidupan manusia, terdapat dalam serat pada bait 30, durian
kang mateng wit, jumbuhing lalakon, barabg seja ana jalarane, ora teko yen mung
den siri, wit kang Maha Suci tan adarbe suku,[26]
(seperti durian yang masak dipohon, pada kehidupan sesuatu terjadi bila ada
bebabnya, tidak akan datang kalau hanya selalu diingini belaka, yang Maha Suci
(Tuhan) tidak akan menurunkan begitu saja). Jadi kebahagian itu tidak akan
pernah datang pada manusia dengan begitu saja, jika manusia tersebut tidak
berusaha untuk mencari kebahgiaan tersebut. Tuhan pun tidak akan memberika
sesuatu pada hambanya yang hanya berpangku tangan tanp suatu usaha. Tujuan
manusia adalah tercapainya kebahagiaan, jika manusia tidak berusaha mencapai
kebahagian maka manusia tersebut tidak mempunyai tujuan hidup.
D. Relevansinya Serat Salokatama dengan Islam
Manusia bukanlah seseorang yang harus taat dan patuh
dalam segala aturan yang ada. Aturan memang harus dipatuhi tapi menanggapinya
dengan pemikiran kritis. manusia dapat memilih apakah aturan
tersebut baik digunakan atau tidak dalam masyarakat. Seperti halnya kelainan
tingkah laku yang sudah dipaparkan diatas. Orang yang mengalami kelainan
tingkah laku memerlukan penanganan khusus agar tidak menambahi penderitaan dari
orang tersebut.
KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Salokatama menegaskan
bahwasana bunuh diri di larang, karena bunuh diri bukan suatu cara yang baik untuk
kita menyelesaikan atau melupakan suatu masalah yang kita hadapi di dunia.
Pernyataan ini tertulis dalam serat di bait 7-8, yen nganyuta pati, nimbuhi dosa gung, wit
jisime wong kang nglampus diri, tan kena den-uwor, lan makame leluhure, myang
sawiyah makamaning janmi, sinarang sinirik[27] (jika bunuh diri akan menambah dosa
besar, Jenazahnya orang yang bunuh diri , makamnya tidak boleh dikumpulkan
dengan makamnya keluarga, dan makam manusia pada umunya, dilarang tidak disukai).
Pada Islam bunuh diri tegas
sangat dilarang, seperti yang terdapat dalam hadist, dibawah ini:
“Dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa menerjunkan diri dari gunung untuk bunuh diri, maka dia
di neraka jahannam menerjunkan diri di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di
dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun untuk bunuh diri, maka
racunnya itu di tangannya dia meminumnya di neraka jahannam kekal lagi
dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan
senjata tajam, maka senjata tajam itu di tangannya dia melukai dengannya
di neraka jahannam, kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya”. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)[28]
Tujuan hidup manusia adalah menuju kepada kebahagiaan. Agama Islam sebagai dasar keyakinan untuk menunjukkan jalan lurus yang
menuju pada sumber kebahagiaan. Terkait dengan itu, Islam menjelaskan bahwa kebahagiaan ada
dua macam, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan
di dunia yang bersifat sementara dan kebahagiaan di akhirat kekal untuk
selamanya. Firman Allah SWT dalam surat Yasin ayat (54-57), dibawah ini:
tPöquø9$$sù w ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© wur c÷rtøgéB wÎ) $tB óOçFZà2 tbqè=yJ÷ès? ÇÎÍÈ ¨bÎ) |=»ysô¹r& Ïp¨Ypgø:$# tPöquø9$# Îû 9@äóä© tbqßgÅ3»sù ÇÎÎÈ öLèe ö/àSã_ºurør&ur Îû @@»n=Ïß n?tã Å7ͬ!#uF{$# tbqä«Å3§GãB ÇÎÏÈ öNçlm; $pkÏù ×pygÅ3»sù Nçlm;ur $¨B tbqãã£t ÇÎÐÈ
Artinya:
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak
dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya
penghuni-penghuni surge pada hari itu dalam kesibukan lagi sangat senang.
Mereka bersama pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat-tempat yang teduh,
bertelekan diatas dipan-dipan. Buat mereka disana ada buah-buhan dan buat
mereka juga apa yang mereka minta.” [29]
Begitu pula dengan serat salokatama yang sudah dijelaskan. Semua bersumber menuju pada kebahagiaan yang
sejati. Kebahagian dalam serat Salokatama tertulis si bait 30, lir
angganing durian kang mateng wit, jumbuhing lalakon, barang seja ana jalarane,
ora teko yen mung den-esiri, wit kang Maha Suci, tan adarbe suku, (Kelihatan
seperti buah durian yang masak di pohon, pada kehidupan, sesuatu terjadi bila
ada sebabnya, tidak akan datang cuma hanya dilihat saja, sebab yang Maha Kuasa
tidak menurunkan begitu saja). KGPAA
Mangkunegara IV menggambarkan kebahagian dengan buah durian, karena buah durian
merupakan raja dari semua buah, buah yang mahal dan nikmat pula, seperti halnya
orang Jawa yang selalu menggambarkan kesenangan atau kebahagiaan dengan
ungkapan senenge koyo ketiban duren. Kebahagiaan merupakan kondisi
spriritual sebagai kesatuan perasaan tentram dan penuh kepuasan hidup
lahir-batin, duniawi dan surgawi. Kebahagiaan hanya memberikan pengarahan dalam
hidup manusia menjadi yang lebih baik, dan kebahagiaan di sini tidak bersifat
mutlak atau selamanya.
Pada serat Salokatama diterang bahwasannya hidup itu
harus mengendalikan diri, membatasi diri dalam setiap geraknya. Pada serat
Salokatama di bait 14, mulo abot wit amaksa kapti, mring reh karahayon, wus
mangkana lumrah prabawane, (Memang awalnya berat memaksa berbuat baik,
untuk menuju keselamatan, sudah nantinya wibawa), menerangk bahwa untuk menjadi
manusia yang berbudi baik itu memang sulit dan berat, namun nantinya akan
menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik dan membuat diri kita lebih
berwibawa. Orang yang mengendalikan diri bisa membatasi diri untuk tidak
menuruti semua hawa nafsu, berbeda dengan orang yang hanya menuruti hawa nafsu,
yang nantinya akan menjadi rakus, jahat, dan dapat merugikan diri sendiri dan
orang lain. Hal tentang mengendalikan diri juga diajarkan pula dalam Islam,
bahwa manusia harus menjaga hawa nafsu, karena menuruti nafsu hanya akan
membawa kita pada hal yang buruk. Ajaran ini tercantum dalam Al-Qur’an surat
Yusuf ayat 53,
4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ wÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ
Artinya:
“Sesungguhnnya nafsu itu selalu mendorong pada kejahatan, kcuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang”.[30]
Masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya Islamnya yang cukup
dominan dan sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam.Islam sangat luwes
dan halus dalam penyampaian maupun penyebarannya, agar dapat menyatu dan
meresap dalam sanubari setiap pemeluknya. Begitu juga dengan serat salokatama
yang dibuat dan ditujukan pada rakyat atau manusia yang memiliki kelainan
tingkah laku. Apabila serat ini diterapkan dalam
Islam sebagai landasan keyakinan sangat terkait sekali dan mempunyai kesamaan.
Masyarakat Jawa juga dikenal sebagai
masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial masyarakat. Semua masyarakat Jawa sangat berhati-hati terutama dalam bersikap dan
bertingkah laku. Jaman Hindu-Budha dikenal banyak
tradisi dan budaya yang lahir, terutama dalam bentuk tembang. Orang Jawa dulu sangat mudah memahami dan menerima nasihat-nasihat yang
diberikan oleh pemimpin, bahkan guru pada muridnya dalam bentuk sastra atau
syair. Ajaran Islam juga tidak jauh beda dalam penyampaian
tauhidnya pada masyarakat Jawa yang belum mengenal Islam. Membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk berpindah keyakinan dari animisme-dinamisme
menuju keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Islam tidak hanya membahas tentang
bagaimana manusia menjadi bahagia. Seperti halnya KGPAA Mangkunegara IV
dalam serat Salokatama, Islam juga memberi perhatian khusus pada perilaku maupun tingkah laku
manusia. Manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, hal ini karena manusia
dianugerahi Allah dengan akal pikiran. Dengan akal tersebut, manusia mampu
berpikir, bertindak mana yang benar dan tidak benar sesuai dengan norma maupun
aturan agama dan masyarakat. Tingkah laku manusia inilah yang menjadi suatu
awal manusia tersebut menjadi manusia yang baik dan tidak baik. Dengan mengerti
dan mengamalkan norma-norma yang berlaku, maka manusia diharapkan menjadi
manusia yang berbudi baik. Dalam QS Al-Qolam: 4 disebutkan:
وَإِنَّكَ لَعَلَى
خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[31]
Ayat tersebut bermaksud, bahwasanya
manusia merupakan makhluk yang berbudi pekerti yang agung, karena manusia mampu
berpikir, tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak seharusnya
dilakukan. Manusia mengerti apa yang terbaik untuk dirinya dan orang lain demi
menciptakan kedamaian bersama. Selain itu, manusia yang berbudi pekerti luhur atau berbudi pekerti yang agung, akan mendapatkan tempat
khusus di hari kiamat nanti.
Mempelajari etika (ilmu
akhlak/tingkah laku) manusia mempunyai beberapa manfaat, diantaranya:
1.
Kemajuan dalam bidang rohani
dan spiritual. Ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kemajuan manusia dibidang
rohaniah maupun mental spiritual. Di mana orang yang berilmu mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak berilmu.[32]
Dengan mempunyai ilmu pengetahuan dan ilmu terhadap akhlak, maka manusia
mengerti tentang perbuatan-perbuatan yang baik-buruk. Dengan begitu, manusia
akan mengalami kemajuan akhlak dan rohani.
2.
Penuntun kebaikan. Ilmu akhlak tidak hanya mengajarkan
tentang mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi ilmu akhlak diharapkan mampu
mempengaruhi dan mendorong manusia supaya membentuk hidup yang suci. Caranya
dengan melaksanakan kebaikan, yang dapat mendatangkan manfaat terhadap sesama
manusia.[33]
Sehingga manusia mampu menjaga diri agar selalu baik.
3.
Kesempurnaan Iman. Manusia yang mempunyai kesempurnaan
iman, maka akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Akhlak
yang baik dan sempurna merupakan jalan menuju kesempurnaan iman. Maka, untuk menyempurnakan iman,
manusia harus menyempurnakan akhlak dengan mempelajari ilmunya sebagai
penerang.[34]
4.
Keutamaan di akherat kelak. Orang-orang yang berbudi
luhur, berakhlak luhur, maka mereka dijanjikan tempat dan kedudukan yang
terhormat di akherat kelak.[35]
Semua agama
termasuk juga Islam, mempunyai hubungan erat dengan
moral. Dalam ajaran agama
apapun, terdapat ‘apa yang di boleh dilakukan’ dan ‘apa yang dilarang’ oleh Tuhan.
Semua agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan
bagi perilaku para penganutnya.[36]
Agama dan moral mengajarkan aturan-aturan yang selaras, yang sama-sama menuju
ke arah perilaku yang baik dan kehidupan yang lebih baik.
Etika ataupun moral dan agama mampu
berjalan beriringan membentuk perilaku manusia
yang baik dan benar. Namun, etika tidak dapat menggantikan agama. Ada
kalanya, agama membutuhkan etika untuk menjawab masalah di bidang keagamaan.
Misalnya, masalah interpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam
wahyu. Selain itu juga dalam masalah moral baru yang belum terfikirkan saat
wahyu itu diturunkan.[37]
Manusia yang beragama, mempunyai
perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu.[38]
Dalam Islam terdapat Firman Allah yang harus diartikan, dipahami dan dimengerti
maksud-maksud dari Firman tersebut. Para ahli agama sering berbeda pendapat
dalam mengartikan Firman Allah. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka
diperlukan untuk mengadakan interpretasi yang dibahas bersama sampai semua
sepakat bahwa memang itulah yang mau disampaikan Allah pada manusia. Dalam
usaha menemukan pesan wahyu yang sebenarnya bagi kehidupan manusia, maka
metode-metode perlu dipergunakan. Etika merangsang manusia untuk mempertanyakan
kembali pandangan-pandangan moral agama kita.[39]
Manusia membutuhkan etika dalam
menanggapi masalah-masalah agama yang belum terfikirkan saat diturunkannya
wahyu. Misalnya saja dalam bidang medis seperti pencangkokan ginjal, pencangkokan
jantung, sampai pada bayi tabung. Dalam menanggapi permasalahan seperti itu,
maka manusia membutuhkan etika agar bisa mengambil keputusan dan sikap yang
bisa dipertanggungjawabkan. Karena pada dasarnya, etika adalah usaha manusia
untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia
harus hidup jika ia ingin menjadi baik. Sedangkan akal budi adalah ciptaan
Allah dan diberikan kepada manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi
kehidupan.
[1]KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur, penerjemah Harmanto Bratasiswara, (Surakarta: Reksa Pustaka
Kabupaten Reksa Budaya Pura Mangkunegara), h, 154.
[3]Franz Magnis-Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 22.
[4] Ibid, h. 148
[5] Robert C. Solomon, Etika: Suatu Pengantar, h. 2.
[6]KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur,h. 163.
[7] Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, h.
20-21.
[8] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur,h. 147.
[9] Ibid, h. 148.
[10] Ibid.
[11] Ibid. h. 158.
[13] Ibid, h. 149
[14] Ibid, h. 150.
[15] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral, h. 22.
[17] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur, h.150.
[18] Ibid, h. 148.
[19] Ibid, h. 149.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, h. 149.
[23]Franz Magnis-Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 8.
[24] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur, h.151.
[25] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah
Pokok Filsafat Moral, h. 114.
[26] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang
Budi Luhur,h. 151.
[27] Ibid, h. 148.
[28] Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadadatuhu,
terj: Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, jilid:2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008),
h.706-707.
[29]Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya
(Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), h. 712
[30] Ibid, h. 357.
[31] Ibid, h. 960.
[35]Ibid.
[36]K. Bertens, Etika, Edisi Revisi (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 28.
[37]Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, h. 16-17.
[39]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar