Rabu, 19 November 2014

ETIKA MENURUT KGPAA MANGKUNEGARA IV-bab I



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Balakang Masalah
Manusia hidup mempunyai kodrat sebagai makhluk pribadi dan sosial. Selain manusia bertanggung jawab atas diri pribadi, manusia juga harus berhadapan dengan manusia lain. Tidak hanya sebatas hidup untuk memenuhi kebutuhan sendiri, manusia berinteraksi dengan manusia lain juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang lain tersebut. Dengan adanya hubungan timbal balik antar manusia inilah, maka akan terjadi bermacam-macam interaksi ataupun kesepakatan tertentu. Tanpa manusia lain, tanpa peran dan pengakuan dari manusia lain, seseorang tidak akan berarti dalam kehidupannya.
Manusia itu dinilai oleh manusia lain dalam tindakannya. Jika tindakan ini diambil seluas-luasnya maka ada beberapa macam penilaian. Mungkin tindakan dinilai sebagai sehat atau kurang sehat, adapun tindakan yang dinilai menurut indah tidaknya, dan mungkin tindakan juga dinilai sebagai baik atau buruk. Jika tindakan manusia dinilai atas baik-buruknya, tindakan itu seakan-akan keluar dari manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan dengan satu perkataan “sengaja”. Faktor kesengajaan ini mutlak untuk penilaian baik-buruk, yang disebut penilaian etis atau moral.[1]
1
 
Perilaku manusia mengandung maksud dan tujuan, bukan semata-mata bergerak secara mekanis. Sumber atau penggerak utama perilaku bukan kekuatan eksternal (stimulus dan sisitem saraf pusat), melainkan kekuatan internal, yakni jiwa, yang hendak mewujudkan dirinya dalam menggapai nilai-nilai pribadinya dan norma-norma atau hukum-hukum masyarakat dan agamanya. Tujuan hidup manusia, dengan demikian adalah untuk mengaktualisasikan diri dan nilai-nilai yang diyakininya.[2]
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Norma dapat dibagi atas norma sopan santun, norma hukum dan norma moral. Norma yang paling penting untuk tindakan manusia adalah norma moral, yang datang dari suara hati.[3] Norma moral menjadi landasan perilaku setiap manusia. Etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat, dasar perbuatan dan keputusan benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim. Bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang.[4]
Etika sebagai norma, kaidah atau peraturan tingkah laku yang baik dapat bersifat tertulis.[5] Etika mencari kebenaran dan mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan, manusia manakah yang baik.[6] Etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata etika merujuk pada dua hal, yang pertama: disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua: pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.[7]
Etika yang dipahami secara umum adalah seperangkat peraturan tak tertulis yang disepakati bersama dan bertujuan agar manusia melakukan hal-hal atau perbuatan baik. Etika mempunyai pengaruh dalam aktifitas fisik maupun religious spiritual pada kehidupan manusia. Arti yang lebih luas lagi dari etika yaitu keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya.[8]
Banyak perbuatan manusia berkaitan dengan baik atau buruk, tapi tidak semuanya. Misalnya disaat saya mengikat lebih dulu tali sepatu kanan dan kemudian tali sepatu kiri, perbuatan ini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan sifat baik atau buruk pada kita. Baik dan buruk dalam arti etis seperti dimaksudkan dalam contoh di atas ini memainkan peranan dalam hidup setiap manusia.[9] Kata etika juga berarti karakter yang memegang teguh etika, tentu dapat disebut orang susila. Susila berarti sopan santun yang baik, segala sikap dan perilaku sopan santun tidak melukai orang lain.
Pengertian etika sebagai kesusilaan itu, tampaknya yang paling tepat dalam mengartikan etika Jawa. Jadi etika Jawa berarti aturan tata susila yang telah mengakar sebagai adat kebiasaan, sebagai tuntunan norma hidup sehari-hari. Etika Jawa sebagai rambu-rambu tatakrama dan sopan santun atau unggah-ungguh orang Jawa. Hal ini berarti bahwa etika Jawa juga merupakan refleksi dari self control, karena segala sesuatunya dibuat dan ditentukan untuk individu atau kelompok itu sendiri.[10]
Manusia Jawa sangat menjunjung tinggi etika dan norma dalam segala tindakannya. Seperti yang dijelaskan oleh KGPAA Mangkunegaran IV setiap orang mempunyai sifat dan perilaku sejak ia lahir kedunia ini. Sifat manusia ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitar terutama keluarganya. KGPAA Mangkunegaran IV menjelaskan tentang sifat dan perilaku ini dalam Serat Salokatama. Perbedaan tentang perilaku yang dimiliki oleh setiap manusia menjadi dasar dalam pemikiran KGPAA Mangkunegaran IV. Manusia dengan kondisi normal tanpa adanya cacat fisik ataupun mental, tetapi ia tidak memiliki etika yang baik dan benar.
Menurut KGPAA Mangkunegaran IV, manusia yang dimaksudkan pada uraian diatas adalah manusia yang memiliki kelainan tingkah laku. Orang-orang yang mempunyai kelainan dalam bersikap merupakan gejala yang bermasalah, selalu ada ditengah-tengah pergaulan antar manusia. Gejala tersebut dapat menimbulakan masalah bagi diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Pada dasarnya mereka adalah manusia yang tidak bisa menyesuaikan diri pada lingkungan sekitar.[11]
Dijelaskan bahwa masyarakat Jawa sangat melekat dengan budaya dan sopan santunnya. Dimanapun mereka berada pasti akan terlihat sisi ataupun ciri khas dari masayarakat Jawa tersebut. Mereka lebih terkenal dengan perilaku yang lemah lembut. Seperti teman-teman sesama pujangga asal Jawa layaknya Ronggowarsito dan Pakubuwono IV, Mangkunegara IV juga memberi perhatian khusus tentang etika Jawa. Ajaran-ajarannya tentang etika tertuang dalam hasil karyanya, misalnya Serat Salokatama dan Wedhatama. Dalam serat ini dijelaskan bahwa masyarakat jawa mempunyai tingkah laku yang sangat luhur dan mempunyai budi pekerti baik. Seperti halnya yang terdapat dalam tembang serat wedhatama.
Sabarang tindak-tanduk
Tumindake lan sakadaripun
Den ngaksama kasisipaning sasami
Sumimpanga ing laku dur
Ardaning budi kang ngrodon

Artinya: semua sikap laku yang dilaksanakan harus tidak sembarangan.   Bertindaklah sewajarnya dan mudah memberi maaf  kepada sesama, yang berbuat kesalahan, karena sikap laku jahat adalah dorongan hawa nafsu.[12]
Mereka memang orang Jawa akan tetapi ada yang membedakan walaupun mereka sesama orang Jawa. Itu disebabkan karena Jawa sendiri memiliki banyak suku di dalamnya. Misalnya suku Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Setiap suku ini memiliki budaya dan budi pekerti yang berbeda. Sifat-sifat tersebut menandakan ciri khas budaya masing-masing. Ciri khas dari kebudayaan Jawa terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang kebudayaan yang datang dari luar namun, kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya.[13] Dalam budaya Jawa mengandung pesan-pesan moral yang mengarah pada sebuah kehidupan hakiki manusia. Bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya  selalu diliputi keinginan yang luhur, yakni untuk menggapai totalitas kesempurnaan hidup yang diiringi dengan langkah bijak dalam memberi arti kehidupan itu sendiri.[14]
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya  Mangkunegara IV dapat disebut sebagai guru penulis utama kejawen setelah era kepujanggaan Jawa ditutup oleh RNg Ronggawarsita.[15] KGPAA Mangkunegara IV dilahirkan pada hari Ahad Legi tanggal 1 Sapar tahun Jumakir 1736 Jawa atau 3 Maret 1811, di Surakarta dengan nama kecil Raden Mas Sudiro.[16] Sedari kanak-kanak RM Sudiro yang tidak mendapatkan pendidikan formal di bangku sekolah telah menunjukkan kecerdasan dan kepandaiaannya,[17] karena sistem ini belum muncul ketika itu. Ia dididik kakeknya KGPAA Mangkunegara II. Setelah berumur 10 tahun, oleh kakeknya ia diserahkan kepada Sarengat alias Pangeran Riya, saudara sepupunya yang kelak menjadi KGPAA  Mangkunegara III. Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro tentang membaca, menulis, berbagai cabang keseniaan dan kebudayaan serta ilmu pengetahuaan lainnya. Lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio.[18] Sudah menjadi tradisi para putra bangsawan tinggi Mangkunegaran, apabila sudah cukup umur harus mengikuti pendidikan militer. Pada usianya yang ke-15 tahun RM Sudiro pun menjadi kadet di Legiun Mangkunegaran. Begitu lulus pendidikan militer yang ditempuhnya selama satu tahun, RM Sudiro ditempatkan sebagai perwira baru di kompi 5.[19]
Peneliti lebih memilih KGPAA KGPAA Mangkunegaran IV, dikarenakan banyak referensi buku yang membahas tentang pemikiran dan karya-karyanya. Salah satunya Serat Salokatama, pada penelitian ini lebih khusus pada Serat Salokatama. Dari kesekian karyanya KGPAA Mangkunegara IV hampir semuanya ditujukan kepada putra-putrinya namun, tidak pada serat ini. Sebagai pemimpin praja dan sebagai “Dwara”, palawanganing pepadang (pintu pencerahan) KGPAA Mangkunegara IV prihatin melihat tingkah laku yang tidak sewajarnya pada warga-kawulanya. Dengan curahan cinta kasihnya memperhatikan dan memberi petunjuk kepada orang-orang bermasalah, yakni orang berkelainan tingkah laku. Disamping itu dia juga merupakan salah satu tokoh yang sangat unik, dikarenakan dia bukan hanya seorang pemikir, dia juga termasuk seorang negarawan, pujangga dan kemiliteran. Pemikiran tentang etika yang menjadi batasan dalam penelitian ini dan membedakan dengan penelitian lainnya.
Pada  penelitian ini peneliti  memilih Serat Salokatama untuk menjadi obyek penelitian, dikarenakan sebagian besar karya Mangkunegara IV ditunjukkan untuk putra-putrinya. Namun, tidak untuk Serat Salokatama, Mangkunegara IV menulis serai ini dikarenakan Mangkunegara IV khawatir melihat perilaku yang tidak sewajarnya yang dialami warga-kawulanya. Dan sebagai palawanganing pepadhang (pintu pencerahan) Mangkunegara IV dengan curahan cinta kasihnya memperhatikan, membantu, dan memberi petunjuk kepada orang-orang bermasalah, yakni orang berkelainan tingkah laku.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang sangat penting, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Sebab jatuh-bangunnya suatu bangsa tergantung pada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik maka akan sejahtera lahir-batinnya, tetapi apabila akhlaknya buruk maka rusaklah lahir dan batinnya. Seseorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajibannya-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Dia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan, terhadap sesama dan terhadap alam lingkungannya yang menjadi hak manusia lainnya.[20]
Manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Dalam kehidupannya ada masalah lahiriah, marterial, dan ada masalah spiritual. Apabila seseorang tidak ada lagi rihaniya, maka orang tersebut dikatakan mati. Begitu sebaliknya, bila tidak ada jasmani maka tidak bisa dikatakan sebagai manusia. Di dalam kehidupan masyarakat dan bangsa pun sama halnya dengan kehidupan individu. Masyarakat terdiri dari individu-individu seperti tubuh yang terdiri dari anggota-anggota tubuh dan benda terdiri dari sel-sel. Apabila tubuh itu rusak maka seluruh benda itu terkena noda dan menyebabkan sakit.[21]
Apabila yang terkena noda hanyalah salah satu orang dari sebuah keluarga maka akan menimbulkan dampak pada keluarga itu sendiri. begitu juga dengan masyarakat, apabila yang terkena noda itu seseorang dalam masyarakat yang memiliki peranan penting, maka akan menimbulkan pada masyarakat itu sendiri. Semua ini menjadi dasar dalam kehidupan dimasyarakat, bahwa seorang pemimpin yang memiliki akhlak buruk maka rusaklah semua susunan dibahwanya.
Islam menjelaskan tentang perilaku manusia sangat jelas adanya, bahwa akhlak baik-buruk sifat seseorang itu dipengaruhi oleh orang itu sendiri. orang lain dan lingkungan disekitarnya hanyalah fator pendukung. Kedudukan akhlak manusia dalam Islam identik dengan ajaran agama itu sendiri. Islam yang mengajarkan tentang jalan lurus yang terdiri dari iman, ikhsan, dan Islam.[22]
Berdasarkan latar belakang diatas penulis ingin memaparkan tentang ajaran etika menurut KGPAA  Mangkunegara IV secara mendalam dan menganalilis dengan kehidupan di dunia serta ingin menjelaskan relevansinnya dengan kehidupan sekarang ini, khususnya di Jawa.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti dapat menentukan rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu:
1.      Bagaimana ajaran etika menurut KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama?
2.      Bagaimana relevansi ajaran etika menurut KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama tersebut terhadap Islam?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui dan menganalisa ajaran etika menurut KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama.
2.      Mengetahui relevansi ajaran etika menurut KGPAA Mangkunegar IV dalam Serat Salokatama terhadap kehidupan Islam.

D.    Manfaat dan Kegunaan
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini adalah:
1.      Manfaat penelitian ini secara akademis adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran etika dari salah satu tokoh filsuf Jawa yaitu KGPAA Mangkunegara IV dan juga sebagai bahan masukan/informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa IAIN Surakarta dan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat.
2.      Manfaat penelitian ini secara praktis adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat luas bahwasannya Jawa sangat menjunjung tinggi tentang etika.

E.     Tinjauan Pustaka
M. Najib Eko Saputro, 2008. Manusia Utama Menurut Mangkunegara IV (Kajian Atas Teks Serat Wedhatama Dan Serat-Serat Piwulang). Dalam penelitian ini menjelaskan tentang perbandingan antara serat Wedhatama dengan serat Piwulang. Konsep Manusia Utama yang lahir dari sebuah kontemplasi kebatinaan dalam serat Piwulang. Sedangkan, dalam serat Wedhatama konsep manusia Utama Mangkunegara dijabarkan melalui tiga tahapan sesuai dengan konsep yang ada dalam aliran Pangestu, yaitu distansi, konsentrasi (kontemplasi) dan representasi. Serta mencari hubungan makna antara keningratan melalui pengabdian dan kepemimpinan. Penelitian ini lebih menjelaskan tentang bagaimana menjadi manusia sempurna dan penjelasan dalam penelitian ini membandingkan antara serat-serat piwulang dengan serat wedhatama. Sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti lebih cenderung pada satu serat piwulang yaitu Serat Salokatama dan hanya membahas tentang etika.
Moh. Ardani. 1989. Konsep Sembah dan Budi Luhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV. Dalam penelitian ini menjelaskan tentang konsep sembah dan budi luhur yang ditinjau dari sudut pandang Islam. Konsep sembah dan budi luhur di sini adalah merupakan essensi ajaran Islam dalam rangka menjalin hubungan manusia dengan Tuhan, Tuhan dengan manusia dan manusia dengan manusia. Pada penelitian ini membahas tentang dua pemikiran Mangkunegara IV yaitu catur sembah dan budi luhur. Penelitian ini lebih codong pad ajaran tasafufnya Mangkunegara yaitu catur sembah. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, lebih cenderung hanya pada pmikiran etikanya Mangkunegara IV.
Mulyoto dan Endang Siti Saparimah. 1992. Ajaran Mangkunegara IV dalam Tinjauan Falsafati. Pada penelitian ini mengulas tentang ajaran-ajaran Mangkunegara IV, khususnya dalam serat Tripama dan serat Wedhatama. Dalam penelitian ini penulis mengutarakan tinjauaan falsafati pada dua serat tersebut, yaitu: Eksistensi manusia Jawa menuju kesempurnaan yakni bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, manusia dan alam semesta. Disebutkan pula mengenai ajaran catur sembah meliputi sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta, sembah rasa. Penelitian ini membahas bagaimana manusia menuju kesempurnaan dengan cara menyeimbangkan antara Tuhan, manusia dan alam semesta. Dan penelitian ini juga menjelaskan relevansinya ajaran Mangkunegara IV dengan falsafat pancasila, yang meliputi: nilai religious atau ke-Tuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan, nilai persatuan atau kebangsaan, nilai demokrasi atau kerakyatan, nilai keadilan atau kesejahteraan soaial. Pada penelitian ini hanya membahas secara luas tentang ajaran Mangkunegara IV yang terdapat pada serat wedhatama dan tripama, tentang bagaimana manusia menjadi sempurna melalui ajaran Mangkunegara IV yang termashur yaitu catur sembah. Sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti hanya membahas etika dalam Serat Salokatama.
Berdasarkan dari tinjauan pustaka diatas, kesemuanya membahas tentang KGPAA Mangkunegara IV dari berbagai aspek, namun belum ada yang membahas tentang etika. Maka dari itu, penelitian ini perlu untuk dilakukan, dikarenakan belum ada yang melakukan penelitian sebelumnya.

F.     Kerangka Teori
Etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Pengertian ini memuat pandangan bahwa etika itu merupakan rambu-rambu normatif untuk menilai apakah seseorang dianggap mencerminkan budiluhur atau tidak. Penyimpangan terhadap etika berarti juga sekaligus pengingkaran terhadap nilai budi luhur. Begitu pula etika kebijaksanaan Jawa, tentu dapat diartikan sebagai norma yang digunakan masyarakat Jawa untuk menilai pekerti seseorang dalam kehidupannya.[23]
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu etos dalam bentuk tunggal. Mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, habitat, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika”. Maka etika berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kamus bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Etika dijelaskan menjadi tiga arti: Pertama, ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak-kewajiban moral. Kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Tiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[24]
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusisa sejauh berkaitan dengan moralitas. Cara lain untuk merumuskan hal yang sama adalah bahwa Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Tetapi perlu ditekankan ada berbagai cara untuk memperlajari moralitas atau berbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral.[25]

G.    Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian naskah/kepustakaan (library research).
1.      Sumber Data
Bahan-bahan kajian untuk melakukan penelitian ini diperlukan dua jenis sumber data, baik dari sumber primer maupunn sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini, yaitu: Serat Salokatama yang terdapat di dalam Piwulang Budi.
Sedangkan sumber data sekunder yaitu semua data yang berhubungan dengan penelitian. Data sekunder dalam dalam penelitian ini menggunakan buku-buku, artikel, majalah, maupun tulisan lainnya yang berkaitan dengan etika dan KGPAA Mangkunegara IV.


2.      Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengumpulkan berbagai literatur yang membahas tentang KGPAA Mangkunegara IV dan etika, baik dari buku yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan, artikel dan tilisan-tulisan lainnya.  Data-data yang diperoleh dipilah menjadi data primer dan data sekunder. Setelah itu ditelaah supaya pembahasannya bisa tersusun dengan sistematis. Dan tahap yang terakhir adalah pengolahan data.
3.      Analisis Data
Setelah semua data terkumpulkan, maka yang harus dilakukan penulis ialah menganalisis data dengan mengacu pada buku-buku yang berkaitan dengan Serat Salokatama dan etika. Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, metode kesinambungan historis, metode interpretasi.
a.       Metode deskriptif
Menguraikan dan membahas secara teratur pemikiran tokoh yang dimaksud, tentunya berkenaan dengan judul tersebut dengan tujuan mendapatkan suatu pemahaman yang benar dan lebih jauh diharapkan dapat melahirkan suatu pemahaman baru dari pemikiran tersebut.
b.      Metode kesinambungan historis
Menganalisa sejarah seorang tokoh serta menguraikan perjalanan hidup seorang tokoh dan pemikiran yang melatar belakangi munculnya sebuah pemikiran dan ideologi dari tokoh tersebut, serta pemaknaan yang berhubungan dengan dunia diluar, yakni filsafat dan ideologi lainnya.[26]
c.       Metode interpretasi
Metode ini dipakai untuk menyelami karya karya tokoh untuk menangkap arti, nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas.[27]

H.    Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan sistem bab per bab, antara satu dengan bab yang lain merupakan kesinambungan dan saling terkait. Bab pertama berisikan pendahuluan  yang menjelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan menguraikan KGPAA Mangkunegara IV dan pemikirannya yang meliputi biografi KGPAA Mangkunegara IV, dan karyanya.
Bab ketiga akan menguraikan pengertian etika, macam-macam etika, dan teori etika, yaitu hedonisme, pengembangan diri, dan utilitarisme.
Bab keempat akan membahas tentang pemikiran etika KGPAA Mangkunega IV yang meliputi ajaran etika  KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama, dan relevansinya etika KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama dengan Islam.
Bab kelima berisi penutup. Dalam bab ini peneliti akan memberikan kesimpulan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan dan beberapa saran.


[1] Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 1982). h. 13-14.
[2] Abidin, zainal, Filsafat Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). h. 29.
[3] Hamersma, Harry, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1981). h. 24.
[4] Fakhry, Majid, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996). h. xv.
[5] Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006). h. 1-2.
[6] Ahmad, Charris Zubair,  Kuliah Etika (Jakarta: Rajawali, 1990), h.14.
[7] Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, terj. Andre Karo-Karo (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 2.
[8] Yana MH, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2012), h. 150-151.
[9] K. Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 10.
[10] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 34.
[11] Harmanto Bratasiswara, Piwulang Budi Luhur karya KGPAA Mangkunegara IV (Surakarta:  Reksa Pustaka Kabupaten Reksa Budaya Pura Mangkunegara, 1998), h. 152.
[12] Ki Sabdacarakatama, Serat Wedhatama (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 61.
[13] Soewidji, Etika Jawa Modernisasi dan Gotongroyong dalam Perkembangan Negara (Surakarta: Museum Pres Nasional, 1999), h. 1.
[14] ibid. h. 74.
[15] Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 92.
[16] M. Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), h. 303.
[17] Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa, h. 93.
[18] M. Hariwijaya, Islam Kejawen, h. 303.
[19] Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa, h. 93.
[20] Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islam (Surabaya: Pustaka Islam, 1987), h. 11.
[21] Ibid, h. 13.
[22] Ibid, h. 21.
[23] Soewidji, Etika Jawa Modernisasi dan Gotongroyong dalam Perkembangan Negara h, 18.
[24] K. Bertens, Etika,h. 4.
[25] Ibid, h. 6.
[26] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 51.
[27] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar