BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Manusia selalu ingin berusaha untuk memahami masalah kebudayaan. Masyarakat
tradisional dan modern berusaha untuk mengadaptasi terhadap lingkungannya. Kebudayaan
selalu berkaitan dengan simbol-simbol dengan makna dan arti tertentu.
Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagaian tengah dan
timur dari pula Jawa. Sungguh demikian ada daerah-daerah yang kolektif sering
disebut Kejawen.[1]
Orang Jawa dan
fungsi simbol sangatlah berkaitan dan relevan. Dalam kutipan dari analisis Hariwijaya
oleh Siti Nurlaili memberikan beberapa pandangan.
“Manusia Jawa
adalah manusia yang kaya simbol. Simbol tidak berupa kata-kata, melainkan suatu
objek yang menjadi wakil dari sebuah artian.Sepanjang sejarah manusia jawa,
simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan dan religi.Fungsi
simbol adalah sebagai media untuk menyampaikan pesan secara halus.
Kadang-kadang, simbol berupa sesuatu yang rumit, sehingga hanya manusia yang
memiliki pengetahuan lebih(linuwih)yang
akan mampu memahami segala bentuk dan tujuannya. Pepatah jawa Klasik mengatakan
“wong jowo iku nggoning semu, sinamun ing
samudana, sesadone ingadu manis”. Maksudnya, orang Jawa iku tempatnya
simbol, segala sesuatunya disamarkan berupa simbol dengan maksud agar segala
sesuatunya tampak indah dan manis.[2]
Dalam budaya, yang terjadi adalah integrasi
“logis-bermakna” yang melainkan adalah sebuah “pencarian makna”, yang
menjadikan posisi simbol begitu urgen, bukan terhadap simbol secara abstrak,
melainkan symbols in their natural
habitat; the common world in which human look, name, listen, and make. Konteks
sosial di mana masyarakat menjadikan makna dalam sistem simbol, yang kemudian membentuk
praktik kehidupan. Inilah yang oleh Geertz disebut sebagai kebudayaan. Di sinilah
Geertz memaknai budaya sebagai suatu persoalan semiotik sehingga mengkaji budaya
adalah mengkaji makna.[3]
Menurut Mulder
dalam Mutiara
Kearifan Lokal Nusantara karangan Sartini mengatakan bahwa secara umum orang Jawa
mempunyai kekhasan dibandingkan dengan latar belakang pemikiran kelompok etnis
lain, karena tradisi Jawa penuh dengan nilai mistik dan filosofis. Pandangan
hidup orang Jawa yang dikenal dengan kejawen
ini hidup di tengah masyarakat termasuk yang sudah mengikuti agama Islam
atau Kristen. Terkadang pandangan kejawen
mempunyai dimensi kosmologis yang menyolok meskipun hanya memiliki sedikit
kaitan dengan agama atau dengan peraturan keagamaan secara formal. Dapat
dikatakan bahwa pandangan ini mengalir begitu saja dalam kehidupan masyarakat
Jawa, Meskipun merekasudah secara formal memeluk agama-agama besar seperti
Islam atau Krtisten yang jelas-jelas membawa konsep tersendiri meskipun tidak
dapat dikatakan bertentangan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa pemahaman kejawen tersebut lebih kental
dibandingkan dengan pengajaran nilai agama formal tersebut.[4]
Budaya Jawa yang
beragam dan berbeda dengan daerah lainnya di nusantara memberikan identitas dan
kekhususan tersendiri bagi orang jawa. Biasanya dikatakan budaya ini merupakan
poin plus bagi orang jawa untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya orang jawa
Solo mempunyai ciri yang halus dan lembut, dimanapun ia berada orang akan bisa
menebak bahwa orang tersebut adalah orang jawa Solo atau sebaliknya orang
Surabaya yang mempunyai ciri yang kasar dalam perkataannya.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa
sansekerta buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Jadi,arti dari kebudayaan itu bisa diartikan dengan hal-hal
yang bersangkutan dengan budi dan akal.[5]
Kehidupan masyarakat Jawa tidak bisa
dipisahkan dengan budaya dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Salah
satu diantaranya adalah tradisi “Bersih Sendang” yang sering dilakukan
oleh masyarakat Tawun. Tradisi ini mengandung makna filosofi yaitu keberkahan
dan keselamatan mereka. Apalagi slametan
juga dimaksudkan untuk tolak bala dari gangguan makhluk-makhluk gaib. Slametan juga memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan. Dalam tradisi slametan,
unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat hajat, melainkan suatu
oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah”.[6]
Suatu pengungkapan makna simbol perlu dilakukan,
karena kekuatan suatu tradisi dalam budaya. Masyarakat sekitar desa Tawun sendiri tidak bisa dilepaskan dari
simbol-simbol yang sudah melekat dan menjadi tradisi setiap tahunnya,
dengan maksud keselamatan dan memohon
perlindungan kepada Tuhan serta kelancaran dalam usaha, bisnis dan keselamatan
dunia akhirat.
Tradisi ini bermula
dari suatu legenda dan kini menjadi suatu adat budaya yang mana rutin dilakukan
setiap tahunnya. Tradisi
adat di Keduk Beji dilaksanakan setahun sekali pada hari Selasa Kliwon setelah
selesainya masa panen para petani. Prosesi dalam tradisi adat ini memiliki
beberapa tahapan yaitu;
1.
Pertama
dimulai dengan Nyadran yaitu proses berziarah warga dan
juru kunci ke makam (pundhen) para
leluhur di pesarean.Tujuan dari acara
ini adalah keselamatan warga desa Tawun selama melaksanakan prosesi tradisi di
Keduk Beji.
2.
Prosesi
kedua yaitu Kendhuren yang
berlangsung di pesarean sekitar desa Tawun
yang bertujuan sebagai penghormatan kepada para leluhur bahwasanya akan diadakan upacara di Keduk Beji. Selain
itu juga warga membawa makanan dari rumah masing-masing karena akan diadakan
makan bersama (slametan), yang
bertujuan agar memiliki sandang pangan yang melimpah.
3.
Prosesi
ketiga dan keempat yaitu Gugur Gunung
yang bertujuan mempersatukan seluruh warga Tawun dan sekitar dengan
membersihkan selokan-selokan yang terhambat dan memperbaiki parit yang rusak.
Agar berjalan dengan lancar dan tertib, acara ini langsung diarahkan oleh Lurah
setempat dan Ketua RT.
4.
Prosesi
kelima yaitu dimulai dengan membuat tiga gunungan oleh warga setempat dengan
mengumpulkan makanan di setiap gunungan untuk diperebutkan pada puncak acara. Untuk
sore hari dilanjutkan dengan nyelem yang
dilakukan oleh Lurah setempat dan Juru
Silem sebagai tanda telah dibukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu
banyak dari warga yang langsung bisa
mandi atau mengambil airnya untuk di bawa pulang. Proses terakhir dimulai pada
pagi hari setelah subuh tepatnya jam 04.30 dengan memandikan kambing yang
bagian perutnya yang terdapat garis putih (kendhit)
dengan mengarahkan ke satu arah dengan diiringi oleh beberapa musik gamelan.
Dalam proses ini diwarnai
mandi lumpur oleh para pemuda yang terjun ke air. Mandi lumpur ini dipercaya
warga Desa setempat untuk membersihkan badan. Masyarakat
menyakini tradisi tersebut membawa keberkahan dan dapat awet muda bagi mereka
yang melakukannya. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
lebih mendalam dan komprehensif di daerah tersebut, dengan menjelaskan prosesi
tradisi dan menjelaskan makna simbolik yang terkait dengan tradisi tersebut.
B.
Rumusan
masalah
Berdasarkan
analisis latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ditemukan adalah :
1. Bagaimana
prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan
Kasreman, Kabupaten Ngawi?
2. Apa
makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk
Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi?
3. Apa
kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi
tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi?
C.
Tujuan
penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1.
Mengetahui secara spesifik prosesi
tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi.
2. Mengetahui
makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk
Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
3. Mengetahui
kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi
tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi.
D.
Manfaat
dan kegunaan penelitian
Penelitian ini semoga dapat
bermanfaat untuk semua kalangan, yaitu :
1.
Manfaat secara akademis yaitu kontribusi
yang bersifat ideologi bagi keilmuan-keilmuan yang lebih spesifik dalam ilmu
antropologi dan teologi.
2.
Manfaat praktis yaitu hasil dari
penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat sebagai
pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan lebih baik.
E.
Tinjauan
pustaka
Merujuk dari berbagai
penelitian yang dilakukan untuk mengungkap makna dan simbol di suatu daerah yang sering dilakukan oleh
peneliti-peneliti lain, diantaranya :
Penelitian Lena
Berty Wulandari (2011) dengan judul Makna Simbol Dalam Tradisi Sanggaran Di
Kompleks Wisata Pengging Boyolali. Penelitian yang dilakukan oleh Lena menjelaskan
makna dan simbol tentang tradisi sanggaran di kompleks Wisata Pengging
Boyolali. Sedangkan penelitian ini sama-sama menjelaskan tentang makna dan
simbol tradisi pemandian. Akan tetapi, objek kajian yang peneliti lakukan
berbeda dengan peneliti-peneliti lainnya.[7]
Penelitian
Angelina Puji Lestari (2010) dengan judul Makna Simbol Dalam Upacara
Cembengan Di Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar. Di dalam penelitian
tersebut Angelina lebih membahas tentang makna simbol yang terdapat dalam upacara cembengan baik secara vertikal dan
horizontal.
Penelitian Thohir
(2005) dengan judul Simbol Kekeramatan Makam Sunan Gunung Jati di Astana
Gunung Jati Cirebon. Di sini Thohir menjelasakan tentang prosesi terjadinya
simbol kekeramatan makam Sunan Gunung Jati khususnya pada masyarakat Astana
Gunung Jati dan pengaruh simbol kekeramatan dalam kehidupan masyarakat Astana
Gunung Jati Cirebon.[8]
Penelitian
Rusmiyati Zuweni (2004) dengan judul Makna Simbolik Tumbuhan-tumbuhan dan
Bangunan Masjid Wot Galeh Sendang Tirto, Berbah, Sleman. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Rusmiyati Zuweni ini lebih menjelaskan makna dan pesan yang
terkandung di dalam simbol-simbol tumbuhan dan bangunan di Masjid Wot Galeh.[9]
Dari uraian
karya-karya tulis diatas baik buku-buku atau skripsi, belum ada yang mengupas
tentang makna simbolik yang terkandung di dalam tradisi Bersih Sendang di
Keduk Beji, maka peneliti berusaha menjelaskan apa saja sesaji dan makna simbolik
prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan
Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Berdasarakan
tinjauan pustaka di atas,penulis berkesimpulan bahwasanya obyek penelitian ini
belum pernah diangkat dan diteliti sebelumnya, sehingga membuat peneliti
tertarik untuk menjadikan karya tulis dalam bentuk skripsi.
F.
Kerangka
Teori
Pengertian
simbolik menurut Cassirer adalah suatu arah penangkapan dan perwujudan rohani
tertentu. Ekspresi simbolik artinya bagaimana mengekspresikan sesuatu hal yang
bersifat rohani dengan tanda dan gambar inderawi. Harus ditangkap dan dipahami
dalam arti secara komprehensif dan seluas mungkin. Sehingga memungkinkan
masyarakat untuk melihat, merasa dan berfikir tentang dunia mereka dan dapat
bertindak dengan nilai-nilai yang sesuai dan bersikap secara simbolik.[10]
Dalam pikiran manusia tidak hanya sebagai tumpuan pengetahuan atau kejadian-kejadian
akibat berfikir dan mempunyai kaitan dengan munculnya berbagai budaya dan
terdiri dari berbagai simbol-simbol seperti perhiasan, isyarat dan lain
sebagainya. Karena setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut
memiliki simbol dan nilai sama. Terkadang timbul konflik dan ketegangan antara
agama dan budaya lokal itu sendiri, yang mana dari setiap kelompok ingin
memepertahankan eksistensi masing-masing. Simbol dan nilai ini merupakan
perbendaharaan kelompok sebagai dasar bertindak dalam kehidupannya sehari-hari.[11]
Manusia telah menemukan simbol-simbol (yang banyak) dari luar dirinya.
Dimulai dari sejak lahir hingga mati, terjadinya proses pengurangan dan
penambahan terjadi yang memungkinkan pasang surutnya makna kehidupan dan
kebudayaan. Dengan adanya kebudayaan manusia berusaha memahami, menguasai,
melihat, dan memahami lingkungan. Manusia berusaha untuk mengklasifikasikan
gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya.[12]
Inti suatu emosi keagamaan dipandang tidak diekspresikan, maka semua
upaya untuk itu semata-mata untuk suatu perkiraan saja dan karena itu bersifat
simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan
benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang gaib dalam pikiran dan jiwa manusia
ataupun pemeluk agama tertentu. Simbolisme, meskipun kurang tepat dibandingkan
dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetapi memiliki potensi yang
ilmiah. Karena suatu lambang dapat membangkitkan perasaan dari benda-benda yang
mereka percayai sebagai simbol. Lambang tersebut sepanjang sejarah dan juga
sampai sekarang merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan
manusia tersebut. Karena itu tidak sukar untuk dipahami bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan
cara yang efektif untuk mempererat persatuan diantara pemeluk agama di dunia
ini. Ini tidak lain karena makna lambang-lambang tersebut menyimpan definisi
intelektual sehinggga lambang tersebut mampu dapat mempersatukan lebih besar,
dan sedangkan definisi intelektual itu sendiri dapat menimbulkan suatu
perpecahan.[13]
Kata simbol berasal dari kata yunani yaitu symbolos yang berarti
tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam
Kamus Ilmiah Populer arti suatu simbol atau lambang ialah gaya bahasa yang
melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol,
perlambangan atau yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu;
misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai lambang
kemakmuran.[14]
Tradisi atau adat istiadat disebut juga adat tata kelakuan. Menurut koentjaranigrat
dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu tingkatan nilai budaya, tingkatan
norma-norma, tingkatan hukum dan tingkatan aturan khusus. Tingkatan nilai
budaya adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari
alam jiwa manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan
solidaritas yang besar. Tingkatan adat yang kedua adalah sistem norma-norma
yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing
anggota masyarakat dalam lingkungannya.Tingkatan adat yang ketiga adalah sistem
hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat kekayaan. Tingkat
adat ke empat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang
jelas terbatas ruang lingkupannya dalam masyarakat dan bersifat kongkrit
sifatnya.[15]
Simbol ikut serta dalam ritualisasi tindakan simbolis. Hal-hal dan
orang-orang bisa di angkat dalam mengatasi arti, pemakaian dan fungsi
sehari-hari. Oleh karena itu budaya secara harfiyah berarti hal-hal yang
berkaitan dengan fikiran dan hasil dari tenaga fikirantersebut. Sumber daya
apapun yang menjadi buah berfikir masuk dalam lingkup kebudayaan. Karena setiap
manusia berakal, budaya identik dengan manusia, sekaligus membedakannya dengan
makhluk hidup yang lain. Disebutkan bahwa menurut soekarno, kebudayaan adalah
“tjiptaan hidup jang berasal dari manusia”.[16]
Setiap manusia mempunyai akal pikiran. Berpikir adalah kerja organ sistem
syaraf manusia yang berpusat di otak guna memperoleh ide tentang kebenaran. Kenyataan
itu menghasilkan pendapat-pendapat tentang tingkatan kebenaran dari hasil
pemikiran, yaitu kebenaran mitos, rasional dan kebenaran ilmiah. Ketika
seseorang tidak lagi mampu menjawab persoalan berdasarkan akalnya yang
sederhana, maka ia akan lari pada mitos. Kebenaran mitos sering diindentikkan
pada masyakat terbelakang yang mudah sekali terpengaruh kepercayaan supranatural
dalam segala kehidupan mereka.
G.
Metode
penelitian
1. Sumber
data
Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif lapangan tentang tradisi Bersih Sendang di
Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Adapun sumber-sumber
data yang terkumpul dapat di bagi dua bagian yaitu :
a. Sumber
data primer
Sumber data primer adalah prosesi
tradisi Bersih Sendang yang berlangsung di Keduk Beji, serta wawancara
dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci dan ibu Suparmi selaku orang terdekat
dengan juru kunci dan warga yang memiliki wawasan mengenai tradisi tersebut.
b. Sumber
data sekunder
Sumber data sekunder adalah artikel, buku-buku,
majalah, jurnal, dan data-data kepustakaan yang berkaitan dengan pokok
permasalahan dalam penelitian. Antara lain yaitu Tsaqofah (Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Mutiara-Mutiara
Terpendam dari Jawa, Memahami Islam Jawa, dll.
2. Teknik
pengumpulan data
Langkah
pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengumpulkan seluruh informasi baik
dari informan yang terkait dengan tujuan penelitian. Setelah terkumpulnya
informasi tersebut barulah disaring menjadi sebuah data yang valid dengan tema
pembahasan. Dalam penelitian ini metode yang yang digunakan adalah observasi,
wawancara (interview) dan
dokumentasi.
a. Observasi,
merupakan langkah untuk menyelesaikan suatu penelitian. Salah satu caranya kita
mendatangi langsung objek yang berkaitan dengan penelitian. Pengamatan secara lengkap bertujuan untuk mengenal
segala unsur lingkungan sosial, fisik dan keadaan alam.[17]
Serta mengecek kebenaran data informasi yang dikumpulkan. Peneliti juga
berusaha untuk terlibat dan membantu menyiapkan sesaji dan mampu aktif bertanya
mengenai sesaji-sesaji yang digunakan dalam acara tersebut.
b. Wawancara,
adalah salah satu langkah yang dilakukan dengan jalan komunikasi yakni dengan
melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan
sumber data (responden).[18] Peneliti
juga menanyai seseorang tokoh yang bersangkutan terutama sesepuh adat maupun masyarakat.
Informan yaitu orang-orang yang bersedia memberikan
informasi dan terlibat dalam upacara dan kegiatan tersebut.
c. Dokumentasi,
salah satu cara untuk mengabadikan suatu moment dalam bentuk surat-surat,
catatan harian, laporan dan merupakan berbentuk tulisan.[19]
Dalam konteks ini terutama acara yang berkaitan dengan penelitian yakni tradisi
Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten
Ngawi.
d. Data literatur diambil dari buku-buku pustaka
yang menyajikan atau menuliskan tentang tata cara sesaji dalam tradisi Bersih
Sendang. Untuk mempermudah
dan memberi pemahaman paparan dan bukti-bukti foto yang sangat di butuhkan.
3. Analisis
data
Analisis
data di sini berfungsi untuk memberi arti, makna dan nilai yang terkandung dalam
data yang terkumpul.[20]Setelah
terkumpulnya semua data, maka selanjutnya data-data tersebut dianalisis dan
dijelaskan sesuai dengan permasalahan. Dalam menganalisa data peneliti menggunakan beberapa metode yaitu;
a.
Metode deskriptif adalah suatu metode yang
bertujuan untuk membuat suatu lukisan mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat
suatu populasi atau daerah tertentu dengan secara sistematis, faktual dan
teliti.[21]
b.
Metode verstehen
adalah suatu metode penelitian untuk memahami objek penelitian melalui ‘insight’,
‘einfuehlung’ serta empathy dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan
manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran, serta kelakuan
manusia yang memiliki sifat ganda.[22]
c.
Metode hermeneutik. Metode hermeneutik yaitu mendapatkan gambaran tentang
tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman,
Kabupaten Ngawi. Serta mengetahui makna dan simbol yang terkandung di dalamnya.
H.
Sistematika
pembahasan
Dalam
mempermudah pemahaman dan penjelasan dalam penelitian yang dilakukan, agar
lebih jelasnya sebagai berikut :
Bab I berisi
tentang pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan sistematika penulisan.
Bab II berisi
tentang gambaran umum desa Tawun, gambaran lokasi penelitian dan keadaan
masyarakat yang meliputi keadaan keagamaan, ekonomi, pendidikan dan sosial
budaya dan tata cara tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun,
Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab III berisi tentang
pengertian simbol, bentuk dan kegunaannya. Serta menganalisa simbol-simbol yang
terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun,
Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab IV berisi
tentang unsur-unsur dalam tradisi Bersih Sendang yang mengandung nilai filosofis dan kontribusi
yang diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi tradisi Bersih Sendang
di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab V berisi
tentang penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
Sebagai bagian akhir penulisan skripsi ini
akan dicantumkan daftar pustaka, curriculum
vitae, dan lampiran-lampiran. Lampiran yang dimaksud adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian antara lain: daftar informan, dokumentasi,
daftar pertanyaan, dan lain-lain.
MAKNA
SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN
KASREMAN KABUPATEN NGAWI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Ushuluddin
Untuk Memenuhi Syarat Penulisan Skripsi
Dalam Ilmu Ushuluddin
Oleh:
M.
Zainuddin Amirulloh Akbar
NIM.
26.10.4.6.005
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SURAKARTA
2013
[1]Koentjaraningrat,
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), h.329.
[2]Siti Nurlaili, Dimensi Metafisik Tradisi Grebeg Maulud
Keraton Kasunanan Surakarta (Kudus: Maseifa Jendela Ilmu, 2009), h. 58-59.
[3]Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan Pergeseran Pasca
Kultural (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 110-111.
[4]Sartini, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara
(Yogyakarta: Kepel Press, 2009), h.46-47.
[5]Koentjaraningrat, Kebudayaan
Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia), h. 19.
[6]Fahmi Suwadi dan Abu Aman, Ensiklopedia Syirik & Bid’ah Jawa
(Solo: Aqwam, 2011), h. 74.
[7] Lena Berty
Wulandari “Makna Simbol dalam Tradisi Sanggaran di Kompleks Wisata Pengging
Boyolali” , (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta,
2011), h. 68.
[8]Thohir, “Simbol Kekeramatan Makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Jati”,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), h. 57.
[9]Rusmiyati Zuweni, “Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan
Masjid Wot Galeh Sendang Tirto, berbah, Sleman”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 68.
[10]Siti Nurlaili, Dimensi Metafisik Tradisi Grebeg Maulud
Keraton Kasunanan Surakarta (Kudus: Maseifa Jendela Ilmu, 2009), h. 56.
[11]Redi Panuju, Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 28.
[12]Asmoro Achmadi, Filsafat dan Kebudayaan Jawa upacara
membangun keselarasan islam dan budaya jawa (Sukoharjo: Cendrawasih, 2004), h.
36.
[13]Elizabeth K
Nottingham, Agama dan Masyarakat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), h.16-17.
[14]M. Dahlan Yacub Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta:
Arkola, 2001), h. 708.
[16]Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:Teras, 2009), h.
43.
[17]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta:
Paradigma, 2005), h. 178.
[18]Rianto adi, Metodologi Penelitian dan Hukum(Jakarta:
Granit, 2004), h. 72.
[19]Ibid. h. 61.
[20]Moh. Kasiram, Metodologi penelitian Kualitatif-Kuantitatif
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 298.
[21]Soetriono dan
Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metode
Penelitian (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 164-165.
[22]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat
(Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar