Rabu, 19 November 2014

MAKNA SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI -bab I



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia selalu ingin berusaha untuk memahami masalah kebudayaan. Masyarakat tradisional dan modern berusaha untuk mengadaptasi terhadap lingkungannya. Kebudayaan selalu berkaitan dengan simbol-simbol dengan makna dan arti tertentu. Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagaian tengah dan timur dari pula Jawa. Sungguh demikian ada daerah-daerah yang kolektif sering disebut Kejawen.[1]
Orang Jawa dan fungsi simbol sangatlah berkaitan dan relevan. Dalam kutipan dari analisis Hariwijaya oleh Siti Nurlaili memberikan beberapa pandangan.
“Manusia Jawa adalah manusia yang kaya simbol. Simbol tidak berupa kata-kata, melainkan suatu objek yang menjadi wakil dari sebuah artian.Sepanjang sejarah manusia jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan dan religi.Fungsi simbol adalah sebagai media untuk menyampaikan pesan secara halus. Kadang-kadang, simbol berupa sesuatu yang rumit, sehingga hanya manusia yang memiliki pengetahuan lebih(linuwih)yang akan mampu memahami segala bentuk dan tujuannya. Pepatah jawa Klasik mengatakan “wong jowo iku nggoning semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis”. Maksudnya, orang Jawa iku tempatnya simbol, segala sesuatunya disamarkan berupa simbol dengan maksud agar segala sesuatunya tampak indah dan manis.[2]

Dalam budaya, yang terjadi adalah integrasi “logis-bermakna” yang melainkan adalah sebuah “pencarian makna”, yang menjadikan posisi simbol begitu urgen, bukan terhadap simbol secara abstrak, melainkan symbols in their natural habitat; the common world in which human look, name, listen, and make. Konteks sosial di mana masyarakat menjadikan makna dalam sistem simbol, yang kemudian membentuk praktik kehidupan. Inilah yang oleh Geertz disebut sebagai kebudayaan. Di sinilah Geertz memaknai budaya sebagai suatu persoalan semiotik sehingga mengkaji budaya adalah mengkaji makna.[3]
Menurut Mulder dalam Mutiara Kearifan Lokal Nusantara karangan Sartini mengatakan bahwa secara umum orang Jawa mempunyai kekhasan dibandingkan dengan latar belakang pemikiran kelompok etnis lain, karena tradisi Jawa penuh dengan nilai mistik dan filosofis. Pandangan hidup orang Jawa yang dikenal dengan kejawen ini hidup di tengah masyarakat termasuk yang sudah mengikuti agama Islam atau Kristen. Terkadang pandangan kejawen mempunyai dimensi kosmologis yang menyolok meskipun hanya memiliki sedikit kaitan dengan agama atau dengan peraturan keagamaan secara formal. Dapat dikatakan bahwa pandangan ini mengalir begitu saja dalam kehidupan masyarakat Jawa, Meskipun merekasudah secara formal memeluk agama-agama besar seperti Islam atau Krtisten yang jelas-jelas membawa konsep tersendiri meskipun tidak dapat dikatakan bertentangan. Dalam konteks kehidupan sehari-hari  dapat dikatakan bahwa pemahaman kejawen tersebut lebih kental dibandingkan dengan pengajaran nilai agama formal tersebut.[4]
Budaya Jawa yang beragam dan berbeda dengan daerah lainnya di nusantara memberikan identitas dan kekhususan tersendiri bagi orang jawa. Biasanya dikatakan budaya ini merupakan poin plus bagi orang jawa untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya orang jawa Solo mempunyai ciri yang halus dan lembut, dimanapun ia berada orang akan bisa menebak bahwa orang tersebut adalah orang jawa Solo atau sebaliknya orang Surabaya yang mempunyai ciri yang kasar dalam perkataannya.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata budaya berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi,arti dari kebudayaan itu bisa diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.[5]
Kehidupan masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Salah satu diantaranya adalah tradisi “Bersih Sendang” yang sering dilakukan oleh masyarakat Tawun. Tradisi ini mengandung makna filosofi yaitu keberkahan dan keselamatan mereka. Apalagi slametan juga dimaksudkan untuk tolak bala dari gangguan makhluk-makhluk gaib. Slametan juga memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan. Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat hajat, melainkan suatu oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah”.[6]
Suatu  pengungkapan makna simbol perlu dilakukan, karena kekuatan suatu tradisi dalam budaya. Masyarakat sekitar desa Tawun  sendiri tidak bisa dilepaskan dari simbol-simbol yang sudah melekat dan menjadi tradisi setiap tahunnya, dengan  maksud keselamatan dan memohon perlindungan kepada Tuhan serta kelancaran dalam usaha, bisnis dan keselamatan dunia akhirat.
Tradisi ini bermula dari suatu legenda dan kini menjadi suatu adat budaya yang mana rutin dilakukan setiap tahunnya. Tradisi adat di Keduk Beji dilaksanakan setahun sekali pada hari Selasa Kliwon setelah selesainya masa panen para petani. Prosesi dalam tradisi adat ini memiliki beberapa tahapan yaitu;
1.         Pertama dimulai dengan Nyadran yaitu proses berziarah warga dan juru kunci ke makam (pundhen) para leluhur di pesarean.Tujuan dari acara ini adalah keselamatan warga desa Tawun selama melaksanakan prosesi tradisi di Keduk Beji.
2.         Prosesi kedua yaitu Kendhuren yang berlangsung di pesarean sekitar desa Tawun yang bertujuan sebagai penghormatan kepada para leluhur bahwasanya akan diadakan upacara di Keduk Beji. Selain itu juga warga membawa makanan dari rumah masing-masing karena akan diadakan makan bersama (slametan), yang bertujuan agar memiliki sandang pangan yang melimpah.
3.         Prosesi ketiga dan keempat yaitu Gugur Gunung yang bertujuan mempersatukan seluruh warga Tawun dan sekitar dengan membersihkan selokan-selokan yang terhambat dan memperbaiki parit yang rusak. Agar berjalan dengan lancar dan tertib, acara ini langsung diarahkan oleh Lurah setempat dan Ketua RT.
4.         Prosesi kelima yaitu dimulai dengan membuat tiga gunungan oleh warga setempat dengan mengumpulkan makanan di setiap gunungan untuk diperebutkan pada puncak acara. Untuk sore hari dilanjutkan dengan nyelem yang dilakukan oleh Lurah setempat dan Juru Silem sebagai tanda telah dibukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu banyak dari warga yang  langsung bisa mandi atau mengambil airnya untuk di bawa pulang. Proses terakhir dimulai pada pagi hari setelah subuh tepatnya jam 04.30 dengan memandikan kambing yang bagian perutnya yang terdapat garis putih (kendhit) dengan mengarahkan ke satu arah dengan diiringi oleh beberapa musik gamelan.
 Dalam proses ini diwarnai mandi lumpur oleh para pemuda yang terjun ke air. Mandi lumpur ini dipercaya warga Desa setempat untuk membersihkan badan. Masyarakat menyakini tradisi tersebut membawa keberkahan dan dapat awet muda bagi mereka yang melakukannya. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam dan komprehensif di daerah tersebut, dengan menjelaskan prosesi tradisi dan menjelaskan makna simbolik yang terkait dengan tradisi tersebut.

B.     Rumusan masalah
Berdasarkan analisis latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ditemukan adalah :
1.      Bagaimana prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi?
2.      Apa makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi?
3.      Apa kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi?

C.    Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1.      Mengetahui secara spesifik prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
2.      Mengetahui makna simbolik yang terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
3.      Mengetahui kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.


D.    Manfaat dan kegunaan penelitian
Penelitian ini semoga dapat bermanfaat untuk semua kalangan, yaitu :
1.      Manfaat secara akademis yaitu kontribusi yang bersifat ideologi bagi keilmuan-keilmuan yang lebih spesifik dalam ilmu antropologi dan teologi.
2.      Manfaat praktis yaitu hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat sebagai pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan lebih baik.

E.     Tinjauan pustaka
Merujuk dari berbagai penelitian yang dilakukan untuk mengungkap makna dan simbol  di suatu daerah yang sering dilakukan oleh peneliti-peneliti lain, diantaranya :
Penelitian Lena Berty Wulandari (2011) dengan judul Makna Simbol Dalam Tradisi Sanggaran Di Kompleks Wisata Pengging Boyolali. Penelitian yang dilakukan oleh Lena menjelaskan makna dan simbol tentang tradisi sanggaran di kompleks Wisata Pengging Boyolali. Sedangkan penelitian ini sama-sama menjelaskan tentang makna dan simbol tradisi pemandian. Akan tetapi, objek kajian yang peneliti lakukan berbeda dengan peneliti-peneliti lainnya.[7]
Penelitian Angelina Puji Lestari (2010) dengan judul Makna Simbol Dalam Upacara Cembengan Di Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar. Di dalam penelitian tersebut Angelina lebih membahas tentang makna simbol yang terdapat dalam  upacara cembengan baik secara vertikal dan horizontal.
Penelitian Thohir (2005) dengan judul Simbol Kekeramatan Makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Jati Cirebon. Di sini Thohir menjelasakan tentang prosesi terjadinya simbol kekeramatan makam Sunan Gunung Jati khususnya pada masyarakat Astana Gunung Jati dan pengaruh simbol kekeramatan dalam kehidupan masyarakat Astana Gunung Jati Cirebon.[8]
Penelitian Rusmiyati Zuweni (2004) dengan judul Makna Simbolik Tumbuhan-tumbuhan dan Bangunan Masjid Wot Galeh Sendang Tirto, Berbah, Sleman. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rusmiyati Zuweni ini lebih menjelaskan makna dan pesan yang terkandung di dalam simbol-simbol tumbuhan dan bangunan di Masjid Wot Galeh.[9]
Dari uraian karya-karya tulis diatas baik buku-buku atau skripsi, belum ada yang mengupas tentang makna simbolik yang terkandung di dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, maka peneliti berusaha  menjelaskan apa saja sesaji dan makna simbolik prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji, desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Berdasarakan tinjauan pustaka di atas,penulis berkesimpulan bahwasanya obyek penelitian ini belum pernah diangkat dan diteliti sebelumnya, sehingga membuat peneliti tertarik untuk menjadikan karya tulis dalam bentuk skripsi.

F.     Kerangka Teori
Pengertian simbolik menurut Cassirer adalah suatu arah penangkapan dan perwujudan rohani tertentu. Ekspresi simbolik artinya bagaimana mengekspresikan sesuatu hal yang bersifat rohani dengan tanda dan gambar inderawi. Harus ditangkap dan dipahami dalam arti secara komprehensif dan  seluas mungkin. Sehingga memungkinkan masyarakat untuk melihat, merasa dan berfikir tentang dunia mereka dan dapat bertindak dengan nilai-nilai yang sesuai dan bersikap secara simbolik.[10]
Dalam pikiran manusia tidak hanya sebagai tumpuan pengetahuan atau kejadian-kejadian akibat berfikir dan mempunyai kaitan dengan munculnya berbagai budaya dan terdiri dari berbagai simbol-simbol seperti perhiasan, isyarat dan lain sebagainya. Karena setiap orang dalam suatu kelompok budaya merasa ikut memiliki simbol dan nilai sama. Terkadang timbul konflik dan ketegangan antara agama dan budaya lokal itu sendiri, yang mana dari setiap kelompok ingin memepertahankan eksistensi masing-masing. Simbol dan nilai ini merupakan perbendaharaan kelompok sebagai dasar bertindak dalam kehidupannya sehari-hari.[11]
Manusia telah menemukan simbol-simbol (yang banyak) dari luar dirinya. Dimulai dari sejak lahir hingga mati, terjadinya proses pengurangan dan penambahan terjadi yang memungkinkan pasang surutnya makna kehidupan dan kebudayaan. Dengan adanya kebudayaan manusia berusaha memahami, menguasai, melihat, dan memahami lingkungan. Manusia berusaha untuk mengklasifikasikan gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya.[12]
Inti suatu emosi keagamaan dipandang tidak diekspresikan, maka semua upaya untuk itu semata-mata untuk suatu perkiraan saja dan karena itu bersifat simbolik. Meskipun demikian sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang gaib dalam pikiran dan jiwa manusia ataupun pemeluk agama tertentu. Simbolisme, meskipun kurang tepat dibandingkan dengan cara-cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetapi memiliki potensi yang ilmiah. Karena suatu lambang dapat membangkitkan perasaan dari benda-benda yang mereka percayai sebagai simbol. Lambang tersebut sepanjang sejarah dan juga sampai sekarang merupakan pendorong yang paling kuat bagi timbulnya perasaan manusia tersebut. Karena itu tidak sukar untuk dipahami  bahwa dimilikinya lambang bersama merupakan cara yang efektif untuk mempererat persatuan diantara pemeluk agama di dunia ini. Ini tidak lain karena makna lambang-lambang tersebut menyimpan definisi intelektual sehinggga lambang tersebut mampu dapat mempersatukan lebih besar, dan sedangkan definisi intelektual itu sendiri dapat menimbulkan suatu perpecahan.[13]
Kata simbol berasal dari kata yunani yaitu symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Di dalam Kamus Ilmiah Populer arti suatu simbol atau lambang ialah gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol, perlambangan atau yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu; misalnya warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran.[14]
Tradisi atau adat istiadat disebut juga adat tata kelakuan. Menurut koentjaranigrat dapat dibagi menjadi empat tingkatan yaitu tingkatan nilai budaya, tingkatan norma-norma, tingkatan hukum dan tingkatan aturan khusus. Tingkatan nilai budaya adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat dan biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka kerja sama berdasarkan solidaritas yang besar. Tingkatan adat yang kedua adalah sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya.Tingkatan adat yang ketiga adalah sistem hukum yang berlaku, misalnya hukum adat perkawinan, hukum adat kekayaan. Tingkat adat ke empat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupannya dalam masyarakat dan bersifat kongkrit sifatnya.[15]
Simbol ikut serta dalam ritualisasi tindakan simbolis. Hal-hal dan orang-orang bisa di angkat dalam mengatasi arti, pemakaian dan fungsi sehari-hari. Oleh karena itu budaya secara harfiyah berarti hal-hal yang berkaitan dengan fikiran dan hasil dari tenaga fikirantersebut. Sumber daya apapun yang menjadi buah berfikir masuk dalam lingkup kebudayaan. Karena setiap manusia berakal, budaya identik dengan manusia, sekaligus membedakannya dengan makhluk hidup yang lain. Disebutkan bahwa menurut soekarno, kebudayaan adalah “tjiptaan hidup jang berasal dari manusia”.[16]
Setiap manusia mempunyai akal pikiran. Berpikir adalah kerja organ sistem syaraf manusia yang berpusat di otak guna memperoleh ide tentang kebenaran. Kenyataan itu menghasilkan pendapat-pendapat tentang tingkatan kebenaran dari hasil pemikiran, yaitu kebenaran mitos, rasional dan kebenaran ilmiah. Ketika seseorang tidak lagi mampu menjawab persoalan berdasarkan akalnya yang sederhana, maka ia akan lari pada mitos. Kebenaran mitos sering diindentikkan pada masyakat terbelakang yang mudah sekali terpengaruh kepercayaan supranatural dalam segala kehidupan mereka.
G.    Metode penelitian
1.      Sumber data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif lapangan tentang tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Adapun sumber-sumber data yang terkumpul dapat di bagi dua bagian yaitu :
a.       Sumber data primer
Sumber data primer adalah prosesi tradisi Bersih Sendang yang berlangsung di Keduk Beji, serta wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci dan ibu Suparmi selaku orang terdekat dengan juru kunci dan warga yang memiliki wawasan mengenai tradisi tersebut.
b.      Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah artikel, buku-buku, majalah, jurnal, dan data-data kepustakaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian. Antara lain yaitu Tsaqofah (Jurnal Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Islam, Mutiara-Mutiara Terpendam dari Jawa, Memahami Islam Jawa, dll.
2.      Teknik pengumpulan data
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengumpulkan seluruh informasi baik dari informan yang terkait dengan tujuan penelitian. Setelah terkumpulnya informasi tersebut barulah disaring menjadi sebuah data yang valid dengan tema pembahasan. Dalam penelitian ini metode yang yang digunakan adalah observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi.
a.       Observasi, merupakan langkah untuk menyelesaikan suatu penelitian. Salah satu caranya kita mendatangi langsung objek yang berkaitan dengan penelitian. Pengamatan secara lengkap bertujuan untuk mengenal segala unsur lingkungan sosial, fisik dan keadaan alam.[17] Serta mengecek kebenaran data informasi yang dikumpulkan. Peneliti juga berusaha untuk terlibat dan membantu menyiapkan sesaji dan mampu aktif bertanya mengenai sesaji-sesaji yang digunakan dalam acara tersebut.
b.      Wawancara, adalah salah satu langkah yang dilakukan dengan jalan komunikasi yakni dengan melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden).[18] Peneliti juga menanyai seseorang tokoh yang bersangkutan terutama sesepuh adat maupun masyarakat. Informan yaitu orang-orang yang bersedia memberikan informasi dan terlibat dalam upacara dan kegiatan tersebut.
c.       Dokumentasi, salah satu cara untuk mengabadikan suatu moment dalam bentuk surat-surat, catatan harian, laporan dan merupakan berbentuk tulisan.[19] Dalam konteks ini terutama acara yang berkaitan dengan penelitian yakni tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
d.      Data literatur diambil dari buku-buku pustaka yang menyajikan atau menuliskan tentang tata cara sesaji dalam tradisi Bersih Sendang. Untuk mempermudah dan memberi pemahaman paparan dan bukti-bukti foto yang sangat di butuhkan.
3.      Analisis data
Analisis data di sini berfungsi untuk memberi arti, makna dan nilai yang terkandung dalam data yang terkumpul.[20]Setelah terkumpulnya semua data, maka selanjutnya data-data tersebut dianalisis dan dijelaskan sesuai dengan permasalahan. Dalam menganalisa data peneliti  menggunakan beberapa metode yaitu;
a.         Metode deskriptif adalah suatu metode yang bertujuan untuk membuat suatu lukisan mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat suatu populasi atau daerah tertentu dengan secara sistematis, faktual dan teliti.[21]
b.        Metode verstehen adalah suatu metode penelitian untuk memahami objek penelitian melalui ‘insight’, ‘einfuehlung’ serta empathy dalam menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran, serta kelakuan manusia yang memiliki sifat ganda.[22]
c.         Metode hermeneutik. Metode hermeneutik yaitu mendapatkan gambaran tentang tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Serta mengetahui makna dan simbol yang terkandung di dalamnya.
H.    Sistematika pembahasan
Dalam mempermudah pemahaman dan penjelasan dalam penelitian yang dilakukan, agar lebih jelasnya sebagai berikut :
Bab I berisi tentang pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, kerangka  teori dan sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang gambaran umum desa Tawun, gambaran lokasi penelitian dan keadaan masyarakat yang meliputi keadaan keagamaan, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya dan tata cara tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab III berisi tentang pengertian simbol, bentuk dan kegunaannya. Serta menganalisa simbol-simbol yang terkandung dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab IV berisi tentang unsur-unsur dalam tradisi Bersih Sendang  yang mengandung nilai filosofis dan kontribusi yang diberikan kepada masyarakat secara luas dari prosesi tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji desa Tawun, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi.
Bab V berisi tentang penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
   Sebagai bagian akhir penulisan skripsi ini akan dicantumkan daftar pustaka, curriculum vitae, dan lampiran-lampiran. Lampiran yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian antara lain: daftar informan, dokumentasi, daftar pertanyaan, dan lain-lain.


MAKNA SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI

 










SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Ushuluddin
Untuk Memenuhi Syarat Penulisan Skripsi
Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh:
M. Zainuddin Amirulloh Akbar
NIM. 26.10.4.6.005


PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
JURUSAN USHULUDDIN
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SURAKARTA
2013


[1]Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), h.329.
[2]Siti Nurlaili, Dimensi Metafisik Tradisi Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta (Kudus:  Maseifa Jendela Ilmu, 2009), h. 58-59.
[3]Syaiful Arif, Refilosofi Kebudayaan Pergeseran Pasca Kultural (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 110-111.
[4]Sartini, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara (Yogyakarta: Kepel Press, 2009), h.46-47.
[5]Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia), h. 19.
[6]Fahmi Suwadi dan Abu Aman, Ensiklopedia Syirik & Bid’ah Jawa (Solo: Aqwam, 2011), h. 74.
[7] Lena Berty Wulandari “Makna Simbol dalam Tradisi Sanggaran di Kompleks Wisata Pengging Boyolali” , (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2011), h. 68.
[8]Thohir, “Simbol Kekeramatan Makam Sunan Gunung Jati di Astana Gunung Jati”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), h. 57.
[9]Rusmiyati Zuweni, “Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Masjid Wot Galeh Sendang Tirto, berbah, Sleman”,  (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 68.
[10]Siti Nurlaili, Dimensi Metafisik Tradisi Grebeg Maulud Keraton Kasunanan Surakarta (Kudus: Maseifa Jendela Ilmu, 2009), h. 56.
[11]Redi Panuju, Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 28.
[12]Asmoro Achmadi, Filsafat dan Kebudayaan Jawa upacara membangun keselarasan islam dan budaya jawa (Sukoharjo: Cendrawasih, 2004), h. 36.
[13]Elizabeth K Nottingham, Agama dan Masyarakat  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), h.16-17.
[14]M. Dahlan Yacub Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Arkola, 2001), h. 708.
[15]Ibid, h. 25.
[16]Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:Teras, 2009), h. 43.
[17]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 178.
[18]Rianto adi, Metodologi Penelitian dan Hukum(Jakarta: Granit, 2004), h. 72.
[19]Ibid. h. 61.
[20]Moh. Kasiram, Metodologi penelitian Kualitatif-Kuantitatif (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 298.
[21]Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 164-165.
[22]Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h. 72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar