BAB III
R.M.P.SOSROKARTONO DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi R.M.P.
Sosrokartono
Raden Mas Pandji Sosrokartono (1877-1952) adalah putra Bupati
Jepara, Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat, lahir di Mayong Jepara
pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M[1] atau bertepatan dengan
tanggal 17 Robi’ul Awwal 1297 (27 Maulud 1086 tahun Jawa).
R.M.P. Sosrokartono biasa dipanggil dengan nama Kartono, ia adalah putra ketiga
dari Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat dengan garwo ampil Ngasirah,
putri kyai Mudirono dari Teluk Awur.[2]
Kartono hidup di zaman kolonial Belanda dan Jepang, salah satu
pejuang kemerdekaan yang hilang namanya ditelan zaman. Ia adalah kakak kandung
R.A.Kartini yang kita kenal Ibu Emansipasi Wanita Indonesia, kakak beradik ini
sama-sama dilahirkan di Mayong ± 13 km dari kota Jepara. Kartono mempunyai 3
adik perempuan, yaitu Kartini, Kardinah, dan Roekmini.[3]
Pada usia 7 tahun Kartono masuk E.L.S. (Europeesche Lagere
School) artinya Sekolah Dasar Eropa di kota Jepara. Sekolah ini diadakan
untuk memberi pendidikan anak-anak Belanda, terutama dari kalangan pemerintah.
Beberapa anak Indonesia yang diperbolehkan masuk umumnya
adalah
dari kalangan Pangreh Pradja Tertinggi. Sore hari, Kartono belajar
bersama adik-adiknya, pelajaran yang diajarkan antara lain mengenai bahasa,
sastra Jawa serta membaca kitab suci Al Qur’an dan menulis huruf Arab.
Pada tahun 1982 Kartono lulus dari E.L.S dengan hasil sangat baik,
kemudian melanjutkan studinya ke H.B.S. (Hogere Burger School) Sekolah
Tinggi Warganegara setaraf SMP di Semarang pada tahun yang sama. Selama belajar
di Semarang Kartono sangat gemar membaca bahkan bacaannya berbobot, seperti
kitab kuno Jawa tentang kesusasteraan dan keagamaan, sastra Yunani ataupun
buku-buku Barat. Pada pertengahan tahun 1897 Kartono bisa menyelesaikan
belajarnya dari H.B.S dengan nilai yang sangat baik sekali.[4]
Kartono adalah mahasiswa yang pertama kali melanjutkan studinya di
luar negeri (1897-1925). Awalnya Kartono masuk di Universitas Tecnische
Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di kota Delf, Jurusan Teknik. Pada
tahun 1899 Kartono diangkat sebagai anggota “Instituut Voor Land en
Volkenkunde”, sebuah lembaga yang mempelajari dan meneliti kebudayaan suku
bangsa Nusantara. Setelah 2 tahun di Jurusan teknik, Kartono memutuskan untuk
pindah ke Universitas Leiden-Belanda mengambil jurusan bahasa dan kesusasteraan
Timur, kemudian lulus mendapat gelar Docterandus in de Oosterche Talen
(Doktor dalam bidang Bahasa) menguasai 44 bahasa, 9 bahasa asing timur,
17 bahasa asing barat, dan 18 bahasa daerah.[5] Maka dari itu, profesinya
di luar negeri menjadi wartawan perang Dunia II, ahli bahasa, dubes, penerjemah
dan tabib.[6]
Pada perang Dunia ke-1 (1914-1918) Kartono bekerja sebagai
wartawan perang pada koran New York Herald dan New York Herald
Tribune.[7]
Setelah perang usai (1918) Kartono menjadi penerjemah di Wina, kemudian
berpindah menjadi ahli bahasa pada kedutaan Perancis Den Haag (1919) dan
akhirnya pindah ke Jenewa menjadi ketua juru bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa
(1920). Selama kurang lebih 28 tahun Kartono dikenal sebagai seorang
Intelektual yang disegani di Eropa.[8]
Peristiwa yang melatar belakangi Kartono beralih profesi sebagai
seorang tabib yaitu ketika mendengar bahwa putra sahabatnya yang berumur 12
tahun menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meski sudah diobati
beberapa dokter. Dengan dorongan hatinya yang penuh cinta kasih dan hasrat
untuk membantu meringankan beban orang lain, saat itu juga Kartono menjenguk
anak sahabatnya. Sesampainya di sana Kartono meletakkan tangannya di atas dahi
anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban, seketika itu sembuhlah anak
sahabatnya.
Semua orang terheran-heran, bahkan dokter pun juga ikut heran.
Pada saat itu ternyata di tempat lokasi ada seorang ahli Psychiatrie
(psikiatri) dan Hypnose (hipnotis), ia menjelaskan bahwa Kartono
mempunyai daya Pesoonalijke Magneetisme (magnet pribadi) yang
besar sekali yang tidak disadari olehnya. Mendengar penjelasan itu, kemudian Kartono
melanjutkan studi lagi di Paris dengan mengambil Jurusan Physicometric
(Psikomotorik) and Phsycotecniek (psikoteknik). Akan tetapi, karena ia sarjana
bahasa maka hanya diterima sebagai Toehooder (pendengar). Jadi,
Jurusan ini tidak bisa diambil olehnya, karena Jurusan ini dikhususkan untuk
sarjana medisch (kesehatan), karena merasa kecewa tidak
mendapatkan ilmu sesuai dengan harapannya, akhirnya Kartono memlilih kembali ke
Indonesia untuk mengabdikan dirinya untuk bangsa.[9]
Tahun 1925 Kartono pulang ke Indonesia, pengembaraannya yang
berlangsung selama 28 tahun tidak membuat Kartono merubah kebangsaannya menjadi
bangsa Barat, hal ini terlihat juga dari pedoman hidupnya yaitu Jawi bares,
Jawi deles, lan Jawi sejati (Jawa jujur, Jawa asli, dan Jawa sejati).[10] Kartono memutuskan pulang ke Tanah Air karena ingin ikut berjuang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan memperdalam ilmu pengobatan non
medisnya.
Masyarakat Indonesia melihat Kartono sebagai sosok yang religius,
nasionalis dan humanis. Sikap religiusnya terlihat dari perilaku dan pemikiran
Kartono sehari-hari, semua pemikirannya sebenarnya bertujuan untuk mencari kasunyatan,
namun ia memang menekankan kepada menolong sesama manusia sebagai perantara
mendapatkan kasunyatan atau yang biasa kita kenal yaitu manunggaling
kawulo gusti.
Sikap nasioanalis yang ada pada diri Kartono dibuktikan dengan
menolak tawaran jabatan dari orang Belanda, ia lebih memilih untuk merintis
pendidikan di Indonesia bersama teman – temannya, salah satunya adalah R.M.
Soerdjodipoetro (adik Ki Hajar Dewantoro), mereka mendirikan sekolah yang
bernama Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional). Selain
itu dalam Kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra di Belanda dari
berbagai negara Kartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda
yang tidak dipenuhi pemerintah jajahan, dan dalam pidatonya yang berjudul Het
Nederlandsch (Bahasa Belanda di Indonesia) Kartono mengungkapkan dengan
bahasa yang tegas ;
“Dengan tegas saya
menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapapun yang akan membuat Hindia
Belanda menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak – injak
tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama Matahari dan
Bulan besinar mereka akan saya tantang!”.[11]
Kartono juga pernah menemui W.B. Rooseboom, seorang pembesar
Belanda untuk mengajukan beberapa tuntutan, tuntutan itu antara lain; Kartono
menuntut supaya Gubernur Jenderal Belanda memperhatikan nasib buruk masyarakat
Indonesia, supaya bangsa Indonesia disegerakan adanya pendidikan, dan bahasa
Belanda diajarkan di sekolah-sekolah pribumi.[12]
Sikapnya yang humanis ditunjukkan dengan membantu sesama manusia
yang mengalami penderitaan dan upayanya mengajarkan pentingnya berbuat baik
sesama manusia, dengan Pondok Darussalamnya di Bandung Kartono terkenal dapat
mengobati berbagai macam penyakit. Sifat humanis Kartono juga terlihat dalam
sifat nasionalisnya, bagaimana ia memperjuangkan rakyat Indonesia pada waktu
itu.
Seorang Kartono yang lama hidup di luar negeri akan tetapi dalam
menelurkan pemikirannya tidak terlepas dari nilai-nilai orang Jawa, gaya
hidupnya mencerminkan orang Jawa, sehingga orang Barat menjulukinya dengan
sebutan De Javanese Prins (pangeran tampan dari Jawa).[13]
Selain De Javanese Prins Sosrokartono juga mempunyai julukan yang
unik oleh masyarakat Jawa yaitu Mandor Klungsu dan Djoko Pring.[14]
Mandor Klungsu maksudnya, Klungsu artinya biji asam, bentuknya
kecil tapi keras (kuat) yang ketika ditanam dan dirawat sebaik-baiknya, maka
akan menjelma sebuah pohon yang besar-kekar, berdaun rimbun dan berbuah lebat.
Bukan sekedar biji buah asam, melainkan kepala/pimpinannya. Pohon asam, mulai
dari pohon sampai bijinya semua dapat dimanfaatkan. Selain itu, mempunyai sifat
kokoh dan tegar. Klungsu dan pohon asam, ibarat manusia dengan Tuhan.
Ciptaan dengan sang Pencipta.[15] Ketika melihat kiprahnya
sehari-hari, maka Kartono hanya seorang Mandor, Mandor Klungsu,
yang harus menjalankan perintah Sang Pimpinan (Tuhan), serta mempertanggung
jawabkan semua karyanya selama itu kepada Tuhannya.[16]
Djoko Pring maksudnya adalah, Djoko
adalah jejaka/laki-laki yang belum (tidak) menikah dan Pring adalah
bambu. Bambu selalu tumbuh dan memperbanyak diri (berganda), pohon bambu dari
daun hingga akarnya dapat bermanfaat bagi manusia. Ini melambangkan bahwasannya
Sosrokartono dari hidup hingga matinya ingin sekali bermanfaat bagi banyak
manusia. Selain itu, panggilan Djoko Pring ada karena Kartono juga
mempunyai misi dengan tembang yang berjudul Djoko Pring, yang berbunyi:
Pring padha pring
Weruh padha weruh
Eling padha eling
Susah padha susah
Seneng padha seneng
Eling padha eling
Pring padha pring.[17]
Artinya bambu sama-sama bambu, tahu sama-sama tahu, ingat
sama-sama ingat, susah sama-sama susah, senang sama-sama senang, ingat
sama-sama ingat, bambu sama- sama bambu. Aji Pring ini mengajak kepada
manusia untuk saling memanusiakan manusia yang satu dengan yang lainnya, dengan
cara membantu dan saling mengingatkan, karena kita adalah manusia yang sama.
Hidup di dunia Barat tidak lantas membuat Kartono lupa dengan
identitasnya yaitu darah Jawa, di ketahui Jawa sangat erat dengan ilmu
kebatinan, Kartono sendiri juga mendalami ilmu kebatinan, tetapi penulis belum
tahu dengan pasti aliran kebatinan apa yang diikuti Kartono, referensi yang
penulis baca hanya menuliskan bahwa Kartono melakukan laku kebatinan
yang bertujuan untuk menemukan kasunyatan.
Ilmu kebatinan dibutuhkan sekali untuk mengolah jiwa, karena jiwa
yang mempengaruhi sikap kita. Dalam hidupnya Sosrokartono tidak sedikit
melakukan tirakat jasmani maupun rohani untuk merasakan
penderitaan-penderitaan hidup, hingga mencapai puncaknya mendapatkan ilmu kasampurnan
bukan dari guru manusia, akan tetapi penderitaan hidup-lah yang mengajarinya.sehari-hari.
Sejak
1942 separuh badan Sosrokartono mangalami kelumpuhan, mangkat (wafat)
pada hari Jum’at Pahing 8 Febuari tahun 1952, tanpa meninggalkan
istri dan anak. Kartono dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa
Tengah.[18]
Ketika Kartono wafat, Bung Karno[19]
mengatakan bahwasannya: “Oleh karena Drs. Sosrokartono almarhum adalah seorang
sahabat saja, dan oleh karena ia adalah seorang Putra Indonesia yang besar”.[20]
Soekarno mengakui bahwa Sosrokartono adalah sahabatnya dan seorang Putra
Indonesia yang besar, yang banyak memberikan kontribusi terhadap bangsa
Indonesia ketika penjajahan, yang banyak memberikan contoh hidup yang humanis.
B. Karya-karya R.M.P. Sosrokartono
Karya R.M.P. Sosrokartono ada yang berupa tulisan ada yang berupa
karya bangunan dan ada yang berupa gambar. Diantaranya sebagai berikut:
1. Karyanya yang berupa tulisan, antara lain :
a.
Kumpulan Renungan Rabu Pahing,
dalam tulisan ini Sosrokartono menuliskan mutiara-mutiara nasehat untuk para
pengikut Kartono disetiap hari Rabu Pahing, seperti sugih tanpa
bandha “(kaya tanpa harta), digdaya tanpa adji (sakti tanpa jimat) ,
nglurug tanpa bala (menyerang tanpa bala tentara), menang tanpa
ngasoraken (menang tanpa merendahkan), di sini Kartono menjabarkan secara
luas makna filosofis dari nesehatnya itu.[21]
Setiap nasehat-nasehat
dan kata-kata mutiara yang diajarkan oleh Kartono mengandung nilai-nilai
kemanusiaan. Yang ia harapkan adalah
membentuk pribadi bangsa Indonesia yang humanis, walaupun Indonesia telah
dijajah dengan cara tidak manusiawi, tetapi kita sebagai bangsa Indonesia tidak
boleh membalas dendam dengan cara membabi buta.
b.
Aji Pring , dalam tulisannya ini Kartono membahas tentang manfaat dari Pring
( Bambu), ia mengatakan bahwa sekujur tubuh bambu itu bisa dimanfaatkan,
misalnya bisa untuk kayu bakar, atap rumah, kursi, meja, gethek, dsb.[22]
Ajarannya ini mengajak
kepada segenap manusia bahwa jadilah manusia yang bermanfaat dari kepala hingga
ujung kaki, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, hal ini
sejalan dengan ajaran Islam yang berbunyi “Khairu al-nnâsi anfa’uhum li al-nnâsi”
(sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama).
c.
Laku lan Maksudipun, dalam tulisan ini Kartono menjelaskan Anglurug,
tanpo bolo, tanpo gaman; Ambedah,
tanpo perang tanpo pedang; Menang , tanpo mejahi tanpo nyakiti; Wenang, tan ngrusak ajoe, tan ngrusak
adil. Yen unggul, sudjud
bakti marang sesami,[23]
yang artinya Menyerang, tanpa bala tentara, tanpa
senjata. Menerobos, tanpa perang , tanpa pedang. Menang , tanpa membunuh, tanpa
menyakiti. Berkuasa, tidak merusak kebaikan, tidak merusak keadilan. Jika
unggul, sujud berbakti kepada sesama manusia. Disini ia menjelaskan bahwasannya melawan
musuh tidak harus dilawan dengan kekerasan, kebencian, dan dendam, berkuasa
bukannya merusak kebaikan, akan tetapi mengajak kepada yang ma’ruf.
Apabila sudah berkuasa maka berbaktilah kepada sesama manusia, kalau dalam
kerajaan jawa semboyannya tahta untuk rakyat. Ada juga yang mengartikan mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh)
tanpa perang tanpa pedang. Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah
peperangan, pertarungan, atau kekerasan.
d.
Omong Kosong
Surat omong kosong
menceritakan perjalanan Kartono di Aceh, Tanjung Pura, dan Negeri Langkat.
Surat ini ditujukan kepada keluarga Monosuka[24] di Bandung. Dalam surat
inilah ia menceritakan perjuangan kemanusiaan dan mengenalkan istilah kantong bolong,
kosong, dan sunyi.
e.
Serat Saking Medan
Kartono dalam suratnya
ini menegaskan bahwa mengabdi kepada sesama tidak boleh mengharap imbalan,
tidak boleh takut, harus yakin, percaya, dan menyerahkan kepada Allah. Tanpa jimat
manusia tidak boleh ragu untuk mengabdi kepada sesama, karena sandarannya
adalah Allah.
2. Karyanya yang berupa bangunan :
a.
Pondok pengobatan
Darussalam, pondok pengobatan Darussalam milik Kartono merupakan rumah panggung yang terbuat
dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf L
sepanjang Jalan Pungkur no. 7, Bandung. Sekarang bangunan itu tepat berada di
depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa, Bandung. Akan tetapi, bangunan
pondok pengobatan itu sekarang sudah tidak ada, sudah berubah menjadi rumah dan
ruko-ruko. Paling tidak kita tahu bahwa dulu disitu berdiri pondok sederhana
yang sudah membantu ribuan orang yang sedang kesusahan. Walaupun Darussalam
sudah tidak ada, akan tetapi paguyuban Sosrokartono menyebar di berbagai kota,
ada di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
b.
Perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA Kardinah.[25] Tujuan Kartono membangun
perpustakaan salah satunya adalah upaya peningkatan sumber daya manusia
masyarakat Tegal.
c.
Perpustakaan Darussalam di Bandung, yang berarti rumah kedamaian,
atau lebih dikenal dengan perpustakaan Taman Siswa. Sebenarnya Pondok Darussalam hanya digunakan untuk balai pengobatan, akan tetapi
karena Kartono merasa banyak orang yang mengunjungi pondoknya, akhirnya ketika berobat harus
antri. Untuk menghilangkan rasa jenuh ketika antri Kartono membuat
perpustakaan, supaya pasien meluangkan waktunya untuk membaca, dan bangsa
Indonesia mengenal ilmu pengetahuan.
d.
Nationale Middelbare
School (Sekolah Menengah Nasional), sekolah ini
memang dikerjakan bersama-sama, akan tetapi jasa terbanyak adalah dari Kartono,
ia diamanahi menjadi ketua untuk memajukan sekolah ini, karena pada saat itu Kartono
adalah satu-satunya mahasiswa yang mengenyam banyak pendidikan di luar negeri,
sehingga teman-temannya percaya pasti Kartono mempunyai metode yang bagus untuk
memajukan sekolah ini. [26]
Inilah beberapa
peninggalan yang berupa bangunan oleh Kartono, walaupun bangunan itu tidak
didirikan oleh Kartono sendiri tetapi otak didirikannya bangunan di atas adalah
Kartono. Setidaknya walaupun bangsa ini dijajah, tetapi akses untuk pengobatan
dan belajar itu mudah, karena memang dari pihak penjajah tidak memperbolehkan
masyarakat Indonesia untuk belajar.
3. Karyanya yang berupa gambar :
Sebagai seorang Jawa Kartono lekat juga dengan simbol-simbol,
seperti yang dinyatakan Minsarwati bahwa dunia Jawa adalah dunia yang penuh
dengan simbol maupun mitos. Untuk memahami orang Jawa, diharuskan memahami
simbol yang melingkupinya.[27]
Salah satu simbol karya peninggalan Kartono yang fenomenal, yaitu
gambar sulaman huruf Alif yang disulam olehnya sendiri dengan bantuan
sahabatnya yaitu Soepardi dengan benang putih di atas kain berwarna biru muda,
diletakkan di dalam bingkai, dulunya gambar ini digantung di pintu masuk
Darussalam, akan tetapi sekarang gambar itu diabadikan di Almari Pendopo
Kanjeng Poernomo Hadiningrat Kudus (1974). Gambar sulaman ini ada tiga, ada
yang diletakkan di depan pintu, ruang tengah, dan pintu belakang. Sulaman Alif
yang dimiliki Kartono ada tiga, yaitu: Sang Alif warna hitam dengan dasar
putih, sang Alif warna putih dengan dasar biru muda, dan sang Alif warna putih
dengan dasar merah.[28]
Sulaman Alif bukan hanya sekedar sulaman, memang Alif ini sengaja
dipasang oleh Kartono di rumah Darussalam. Alif mempunyai makna yang tinggi,
yaitu Gusti Allah. Bagi Kartono segala pengobatan yang ia lakukan tidak
akan ada yang manjur tanpa pertolongan Gusti Allah. Alif merupakan
pengagungan terhadap Allah, Allah seperti halnya huruf Alif, berdiri sendiri
tanpa ada yang mendampingi. Bukan Allah yang membutuhkan manusia, tetapi
manusialah yang membutuhkan Allah.
C.
Pemikiran R.M.P. Sosrokartono
1. Ilmu Guru Sejati
Sepanjang perjalanan
hidupnya Kartono tidak pernah menyebut dirinya sebagai guru, dan tidak pernah
juga merasa mempunyai murid, walaupun banyak orang yang merasa berguru kepada
Kartono. Hal ini yang menjadi banyak perdebatan, seorang Kartono yang mempunyai
banyak ilmu mana mungkin ia tidak mempunyai guru?. Dalam hal ilmu dunia mungkin
itu tidak masalah, tapi Kartono juga mendalami ilmu kebatinan, ilmu kebatinan
sama halnya dengan ṭorîqoh, harus jelas runtutan gurunya.
Banyak yang mengatakan
bahwa Kartono berguru kepada Buddha, Hindu, Ahli Tasawuf, dan Kristen, karena
memang ia tidak pernah menyebutkan siapa gurunya. Baginya guru sejati seperti
yang sudah diucapkan dalam sebuah kata mutiara nasehatnya, yaitu:
“Murid
gurune pribadi Guru,
Muride
pribadi pamulangane,
Sengsarane
sesami Ganjarane,
Ayu lan
arumi sesami.”[29]
Artinya; Guru sang
murid adalah pribadi murid sendiri, murid sang guru adalah pribadi sang guru
sendiri, bahan pelajaran baginya adalah kesengsaraan dan penderitaan sesama,
pahalanya adalah kebahagiaan semasa hidup.[30]
Kata mutiara guru sejati mempunyai makna bahwasannya
di dalam guru ada murid, dan di dalam murid ada guru, murid dan guru satu
kesatuan yaitu pribadi seseorang itu sendiri. Kartono tidak pernah menyebutkan
siapa gurunya dan tidak pula merasa mempunyai murid.
Bahan pelajaran didapatkannya dari kesengsaraan dan penderitaan sesama, Kartono
tidak pernah membanggakan belajarnya di luar negeri, ia mengatakan untuk
menemukan pribadi, seseorang harus belajar dari kesengsaraan dan penderitaan
sesama. Kartono berkeyakinan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia pasti
menderita penyakit jasmani dan rohani. Ratapan tangis, jeritan, dan rintihan
jiwa manusia yang membuat Kartono menemukan hakikat manusia hidup di dunia.
Kartono belajar seperti Nabi Muhammad yang bangkit mengangkat rakyat tertindas,[31] walaupun sebenarnya Kartono
mampu dan bisa untuk hidup berfoya-foya dan bahagia, berlimpah harta, tetapi
Kartono tidak menginginkan hidup seperti itu.
Pahala baginya adalah kebahagiaan sesama manusia, bagi Kartono
membahagiakan diri sendiri itu sangat mudah, sedang membahagiakan orang lain
merupakan hal yang sangat sulit, karena belum tentu orang yang ditolong bahagia, ada juga yang menganggap pertolongan
tersebut musibah bagi mereka, bukannya membantu, tetapi semakin membuat mereka
susah.
Kartono mengatakan bahwa manusia harus: Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun
manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang.[32]
Artinya; Manusia Perlu
belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu,
berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.
Hal yang menyebabkan Kartono tidak pernah menganggap
dirinya sebagai guru terlihat dalam puisinya yang
penulis kutip di bawah ini:
“Aku,
Sosrokartono,
Aku tak mampu,
Aku tak kuasa,
Tak ada
perbuatan berarti yang kulakukan,
Sesungguhnya
Tuhan, Allah, Gusti yang Maha Agunglah yang telah melakukan segala sesuatunya,
Orang-orang
telah salah terka,
Dikiranya bahwa
akulah (Sosrokartono) yang melakukannya.[33]
Jadi, belajar dari kesengsaraan merupakan guru
sejati, dan seseorang yang memperlajarinya merupakan murid sejati, di dalam
diri seseorang ada sosok guru sejati dan murid sejati, karena pada hakikatnya
bagi Kartono guru yang benar-benar sejati hanya Allah semata, baginya perantara
belajar yang lebih baik ialah belajar kepada sesama manusia yang menderita dan
sengsara, dari itu manusia bisa mendapatkan ilmu dunia, kebatinan, dan akhirat.
2. Ilmu dan Laku
Mencari hakikat hidup di dunia tidak
cukup hanya mengetahui ilmu tentang guru
sejati, ilmu tanpa laku itu mati, fungsi dari ilmu hilang, tidak ada
gunanya. Bagi Kartono ilmu dan laku itu harus berjalan beriringan, tidak
boleh berjalan sendiri-sendiri, karena jika berjalan sendiri-sendiri maka hasilnya
tidak akan maximal.
Ilmunya sudah ada yaitu guru sejati,
materinya sudah ada yaitu kesengsaraan dan penderitaan sesama manusia, kemudian
bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan?.
Kehidupan selama masa penjajahan sangat
menyengsarakan rakyat Indonesia, walaupun ada juga yang berpendapat bahwasannya
selama masa penjajahan rakyat Indonesia dibentuk untuk menjadi manusia pekerja
keras, hal ini terlihat selama penjajahan Jepang,[34] tetapi terlepas dari itu
semua, yang namanya dikuasai oleh orang lain itu tidak nyaman, hidup mengalami
tekanan, apalagi pemerintahan dikuasai oleh Negara lain?, pastinya banyak hati
yang tertekan, menderita, sedih, dan sengara.
Kartono bukanlah rakyat Indonesia yang biasa, ia sangat
disegani oleh penjajah Belanda dan Jepang,[35] walaupun tidak merasakan
penderitaan yang ditimpa rakyat Indonesia pada umumnya tetapi hatinya tetap
tidak nyaman. Untuk mendalami rasa sakit dan penderitaan sesama rakyat
Indonesia Kartono melakukan banyak laku, misalnya berbulan-bulan tidak pernah tidur berbaring ditempat tidur, akan tetapi tidur dengan duduk ataupun berdiri. Selama 24 jam hanya
beristirahat hanya beberapa jam saja. Selama beberapa bulan tidak pernah
menikmati makanan apa saja, ia hanya minum teh dua kali sehari. Hanya menikmati
1 atau 2 lombok sebagai santapan selama 24 jam. Selama beberapa tahun tiap
malam berjalan kaki tanpa berhenti.[36]
Laku merupakan aplikasi dari ilmu guru sejati, dengan
melakukan laku Kartono bisa merasakan apa yang dirasakan rakyatnya, laku
juga membuat Kartono mendalami ilmu kebatinan. Dengan melakukan laku Kartono
mendapatkan banyak ilmu, belajar banyak hal dari kesengsaraan sesama manusia. Bagi Kartono, ilmu tidak sempurna jika tidak
bersamaan dengan laku, hal ini sejalan dengan leluhur orang Jawa yang
berbunyi ngelmu iku kelakone kanti laku (ilmu itu dijalani dengan laku).[37]
Pemikiran inilah yang membuat kartono melakukan laku jasmaniah seperti di atas
guna ingin merasakan penderitaan sesama.
Penggabungan ilmu dan laku membuat
Kartono banyak membantu menyelesaikan kesengsaraan sesama manusia selama
hidupnya, Kartono menjadi seorang manusia humanis, tetapi banyak orang yang
tidak mengenal Kartono, bahkan Kartini lebih dikenal banyak orang daripada
Kartono.
3. Catur Murti
Melakukan ilmu dan laku harus bersamaan dengan Catur
Murti, mikir bener, rumangsa bener,
ngendiko bener, lan tumindak bener.[38]
Menurut aksan Catur Murti yaitu bersatunya empat fa’al, yaitu
perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Berawal dari perasaan maka
timbullah pikiran, kemudian berkata dan terakhir berbuat.[39] Dengan bersatunya empat fa’al
tersebut maka manusia akan menemukan kenyataan (Jawa: Kasunyatan).[40]
Sebagai contoh, si A sedang berjalan dengan si B.
Kebetulan si B tidak punya uang sama sekali dan mereka sama-sama lapar, tetapi
uang si A hanya Rp 2000. A mampir di warung, membeli nasi satu piring Rp 2000, jadi
yang makan hanya si A sendiri. Sebab, uang itu adalah uang si A sendiri dan si
B sangat lapar. Si B menunggu sambil berdiri
di luar warung. Sampai hatikah si A berbuat begitu?
Contoh
lainnya : Uang Rp 2000 Andi berikan kepada temannya, teman andi yang makan.
Andi hanya duduk saja di dalam
warung, sambil mengamati temannya yang sedang menikmati makanannya. Apakah Andi
tidak merasa kelaparan juga?.[41]
Pada
contoh yang pertama, si A egoistis. Sekalipun berpikir benar. Pada contoh yang
kedua, andi adalah orang gila yang baik hati. Sekalipun berperasaan benar. Nah,
coba si A mencari makanan yang
harganya Rp 1000 saja. Si A dan si B sama-sama mendapat makan. Si A makan tidak
kenyang, tetapi sudah makan. Si B tidak kelaparan. Jadi sebelum manusia
berbuat, pikiran yang benar harus diselaraskan dengan perasaan yang benar.
Artinya, ada unsur penyelarasan. Dengan begitu, dalam konteks tersebut,
perbuatan anda adalah “Perbuatan benar”.
Catur
Murti itu merupakan kesatuan, tidak boleh dipisahkan,
jangan ambil protholannya saja, ambillah
kesatuannya, keseluruhannya.
itu baru namanya Catur Murti. Selain itu, Catur Murti bukan hanya
sekedar dihafalkan, tapi harus dihayati dan diamalkan. Berlatih Catur Murti
tanpa berhenti, baru ada manfaatnya. Sehingga menyatu dengan jiwa kita,
sehingga kita terbiasakan untuk berpikir benar, berperasaan benar, berkata
benar dan berbuat benar. Dalam situai dan kondisi apapun reaksi kita jadi cepat
dan dalam mengambil keputusan bisa dengan tepat dan benar.
Ada
juga yang memaknai bahwa Catur Murti bertujuan untuk mencari ketenangan
Jiwa, keharmonisan, hidup, dan kebahagiaan akhirat. Itulah tanda-tanda orang beriman, tidak
berfikir kecuali yang benar, tidak berperasaan kecuali yang benar, tidak
berkata kecuali yang benar, tidak berbuat kecuali yang benar. Catur Murti mengarahkan
manusia untuk menjadi bijak, terarah kepada perbuatan yang benar, terarah
kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, mengusahakan belas kasih,
pengampunan, dan cinta kasih. Dengan ini juga, Kartono mempunyai
pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaa. Baginya untuk dekat dengan Allah, maka
kita harus dekat dengan ciptaannya, khususnya sesama manusia. Dengan kita
saling menghargai, menolong, dan saling menyayangi, maka Allah akan melakukan
hal yang sama kepada kita.[42]
Pemaknaan
Catur Murti terlihat seperti Ajaran Islam tentang taqwa,[43]
menjalani perintah Allah dan menjauhi larangannya. Perintah Allah pasti sesuatu
yang baik, tidak mungkin Allah memerintahkan ummatnya untuk berbuat buruk.
Adapun ada manusia yang berbuat buruk itu bukanlah perintah Allah, Allah telah
memberi pilihan, dan kitalah yang menentukan pilihan itu.
Zaman
sekarang hampir tidak ada orang yang bisa menyatukan keempat fa’al
tersebut, manusia sekarang hanya pandai berkata, berbicara, tetapi dalam
perbuatannya non sense, tidak ada yang diaplikasikan sama sekali dari apa yang mereka ucapkan.
4. Sang Alif
Sang Alif terkesan
sangat sederhana, sekilas tidak ada yang
istimewa dari Alif, karena sudah banyak orang juga yang mengenal Alif, tetapi berbeda
dengan Kartono, Alif baginya sangatlah istimewa dan harus dihormati. Alif
tidak hanya dimaknai sebagai huruf
pertama hijaiyah, Alif juga tidak hanya seperti coretan angka satu yang
berdiri, Alif menyimpan makna yang sangat dalam, dan mungkin kita tidak
pernah menyadari itu.
Semua ilmu yang dijalani Kartono tercurahkan kepada filsafat Sang Alif, Alif dalam
term semiotik disebut sebagai simbol, sebuah tanda yang secara konvensional
mengacu kepada huruf pertama abjad Arab, yang bentuknya tegak lurus tanpa
variasi. Ia adalah huruf pertama, dan yang pertama itulah biasanya yang utama.
Alif mempunyai beberapa makna menurut Kartono, antara lain:
a) Alif menggambarkan “Kenyataan
atau Kasunyatan” yang merupakan perpaduan dan kesatuan empat fa’al Jiwa
yaitu Catur Murti.
b) Alif merupakan kiasan kekuatan
ghaib, antara lain untuk menyembuhkan penyakit.
c) Alif merupakan sarana fokus
konsentrasi ke arah tercapainya situasi keterbukaan Jiwa untuk menerima
unsur-unsur dari luar.
d) Alif sebagai pengganti
Sosrokartono.
Alif berarti “Tuhan + Aku = Ana,[45] Alif berarti Jumbuhing Kawulo Gusti. Jumbuhing
Kawulo Gusti dan Manunggaling Kawulo Gusti mempunyai makna yang sama
yaitu bersatunya manusia dengan
Tuhan, yang membedakan hanya lafadz dan pelafalannya saja.[46] Alif menunjukkan
betapa kukuhnya Kartono menggenggamanya yaitu Islam.[47] Hal ini menggambarkan
bahwa Kartono juga tidak berbeda dengan filsuf Kejawen lain dalam memaknai
filsafat Ketuhanan dan inilah puncak pemikiran dari filsafat Alif.
Alif mempunyai makna yang sangat
sakral bagi Kartono, hal ini membuat Kartono sangat berhati-hati dengan sulaman Alif-nya. Kartono
mengatakan bahwasannya “memasang Alif harus dengan upaya laku, tidak
boleh digantungkan begitu saja dan kemudian ditinggalkan, seperti menjemur baju”.[48]
Perkataan Kartono sangat jelas, bahwa ia tidak menginginkan
seseorang memasang Alif sembarangan, orang yang boleh memasang Alif adalah
orang yang sudah menjalani laku, karena Alif mempunyai makna yang
dalam bagi kehidupan manusia di Dunia.
Kartono sangat menyukai yang serba lurus dan jejeg, misalnya
ia menyukai Pring, Lidi, dan Alif.[49]
Dalam ilmu Psikologi kesukaan seseorang itu mempengaruhi perilaku dan
pemikirannya. Hal ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi dalam pemikiran
Kartono.
Perwujudan dari semua Ilmu dan laku yang dijalani Kartono
adalah Sang Alif, dari pemaknaan Alif Kartono banyak membantu
sesama yang membutuhkan, karena pemaknaan Alif mempengaruhi pribadi Kartono, yang akhirnya melahirkan
Kartono yang agamis, dan kejawen.
5.
Kemanusiaan
Keempat ilmu di atas melahirkan pemahaman tentang
kemanusiaan yang mendalam bagi Kartono, dalam suratnya omong kosong ia mengatakan
bahwa “Nulung Pepadane ora nganggo wayah, wadhuk,
mikir, yen ana isine lumuntur marang sesami”[50] artinya menolong sesama tidak memikirkan waktu, perut,
kantong, jika berisi segera mengalir
kepada sesama.
Berdasarkan perkataan tersebut Kartono
dalam suratnya juga menyebutkan bahwa ilmunya yaitu ilmu kantong bolong, kosong,
dan sunyi (sunji)[51], dengan bekal tiga ilmu
tersebut Kartono menjadi sosok filosof yang sangat menekankan kepada
kemanusiaan.
Hasil perenungan yang mendalam melahirkan sebuah
istilah ilmu kemanusiaan yang mudah dipahami maknanya oleh orang Jawa, bahasa
yang dipakai Kartono bukanlah bahasa simbol yang sulit dipahami oleh orang
Jawa, tetapi ia memang sengaja memilih bahasa yang mudah dan sering didengar
oleh orang Jawa. Sehingga menengenalkannya kepada masyarakat saat itu sangat
mudah diterima dan dipahami maksudnya.
Tulisannya pada laku lan maksudipun sangat
jelas menyatakan bahwa semua hal yang manusia lakukan pada akhirnya harus
mengabdikan diri kepada sesama manusia, hal itu terlihat dalam tulisannya yen
unggul sujud bakti marang sesami,[52]
Jika menang sujud bakti kepada sesama.
Sedangkan pada suratnya serat saking Medan,
Kartono menuliskan sebuah nasehat yang memperkuat ilmu kantong bolong, kosong,
dan sunyi kepada keluarga besar Monosuka di Bandung yang berbunyi;
“Ngawula dateng
kawulane Gusti, lan memaju ayuning urip,tanpo pamrih, tanpo ajrih, jejeg,
mantep, mawi pasrah, tanpa aji, tanpo ilmu kulo mboten gadah ajrih, sebab payung
kulo Gusti kulo, temeng kulo inggih Gusti kulo”.[53]
Artinya; mengabdi kepada abdi illahi, menyempurnakan
kebahagiaan hidup, tanpa pamrih, tanpa rasa takut, yakin, menerima apa yang
dianugrahkan Allah, tanpa kekuatan tanpa ilmu saya tidak takut, karena
pelindung dan tempat bersandar ku adalah Tuhan ku.
Pernyataan di atas ditulis Kartono dalam suratnya
kepada keluarga Monosuka guna memberitahukan kenapa harus ragu untuk
mengabdikan diri kepada sesama, kenapa harus ragu untuk menjunjung tinggi
kemanusiaan, bahkan tanpa kekuatan dan ilmu pun manusia harus tetap mengabdikan
diri kepada manusia, karena dengan adanya Tuhan ketakutan dan keraguan harus
dilenyapkan.
[4]John
Tondowidjojo .T, Menapak Perjalanan Hidup Sosrokartono (Surabaya:
Sanggar Bina Tama, 2012), h. 3- 4.
[11]http:
Ajaran R.M.P Sosrokartono « Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. di
download tgl 10 juni 2012.
[16]“Ajaran
R.M.P. Sosrokartono”, diakses Cab Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm,
tgl 10 Juni 2012.
[18] Aksan, “ DRS. R.M.P.
Sosrokartono Kondur Menyang Tanah Air” dalam Majalah Jaya Baya ( 13
Oktober 1991), h. 46.
[19] Bung Karno merupakan panggilan
akrab Soekarno, ia lahir
pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, dan merupakan Presiden Pertama Negara
Republik Indonesia. Soekarno, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ( Jakarta:
Gunung agung, 1966), h. 23.
[21] Koesno, ʺMengenang Almarhum Drs. R.M.P.
Sosrokartonoʺ dalam Majalah Mawas Diri, No. 3 Edisi (
T.tgl Maret 1988), h. 24.
[22] R.M.P. Sosrokartono, Aji Pring ( Surabaya : Panitya
Kempalan Surat-Surat Sosrokartono, 1992), h . 42.
[24] Monosuka adalah
sebutan keluarga ataupun bisa juga disebut perkumpulan yang tinggal di
Darussalam, Bandung. Perkumpulan Monosuka terdiri dari berbagai orang di
penjuru Indonesia, disebut Monosuka karena selama hidupnya Kartono memberi
kebebasan kepada para pengikutnya untuk menjalankan apa yang dilakukan dan
diajarkan Kartono, ia hanya member
petunjuk, teguran, dan pembetula sekedarnya, karena memang Kartono tidak ingin disebut sebagai Guru dan
tidak pula mengakui dirinya mempunyai murid. Aksan, R.M.P. Sosrokartono,
Ilmu dan Laku, h. 46
[27] Wiwien Widyawati, Etika
Jawa ; Menggali Kebijaksanaan dan keutamaan demi ketentraman hidup lahir batin (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010), h. 13.
[28] Abdullah Ciptoprawiro, Pengertian Huruf Alif
Dalam Paguyuban Sosrokartono, Al Qur’an dan Kejawen, h. 14.
[30] Mohammad Ali, Ilmu Kantong Bolong. Ilmu
Kantong Kosong, Ilmu Sunji (Djakarta : Bharatara, 1966), h. 63.
[31] Mansour Fakih, Mencari
Teologi Untuk Kaum Tertindas (Khidmat
dan Kritik untuk Guruku Prof. Dr. Harun Nasution dalam Refleksi, h. 167.
[32]Stevie, “Raden Mas Pandji Sosrokartono” artikel
diakses 14 Mei 2013 dari http://www.raden-mas-panji-sosrokartono.html.
[34] http://www.wikipedia.co.id//
diakses pada tanggal 11 Juni 2013.
[35]
Sosrokartono sering kali ditawari jabatan yang menggiurkan ketika penjajahan
Belanda dan jepang, tetapi Kartono tidak
pernah mau menerima itu, baginya bangsanya adalah segalanya. Lihat Aksan, “ Sosrokartno Priyayi Kendel”, h. 22.
[37] Suwardi Endraswara, Kebatinan
Jawa , h: 21.
[38] Aksan, “ Sosrokartono, Priyayi Kendel”, dalam Majalah Jaya
Baya, h: 23.
[39] Ibid.
[40] Abdullah Ciptoprawiro, Alif; Pengertian Huruf
Alif dalam Paguyuban Sosrokartono, Al-Qur’an, dan Kejawen (Surabaya: Citra
Jaya Murti, 1996), h:13.
[41] Triscbn, “Ajaran R.M.P. Sosrokartono” artikel
diakses pada tanggal 14 Mei 2013 dari http://www. Ajaran RMP Sosro Kartono «
_Triscbn.html.
[42]John
Tondowidjojo .T, Sosrokartono dan Spiritualitasnya dari Abad ke Abad (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2012), h. 127-128.
[43] Taqwa / takwa ,yaitu memelihara diri
dari siksaan Allah dengan
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain
dari taqwa adalah:
1.
Melaksanakan segala perintah Allah
2.
Menjauhkan diri dari segala yang dilarang
Allah (haram)
3.
Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum
dan ketentuan Allah ( mahabbah fillah, “ Pengertian taqwa menurut pandangan
Islam” diakses pada alamat pengertian taqwa dalam pandangan islam~ mahabbah
fillah. Html. Tgl, 11 Juni 2013.
[44] Abdullah Ciptoprawiro, Alif; Pengertian Huruf Alif dalam
Paguyuban Sosrokartono, Al-Qur’an, dan Kejawen, h. 58.
[49] Ibid.
Maaf mas sbelumnya,saya mahasiswa uin malang,mau tanya referensi yang panjenengan tulis di atas,yg kerya sosrokartono asli masih adakah,sprti serat saking medan,omong kosong,laku lan maksudipun..atau mungkin panjenengan bisa memberi saran referensi tsb bisa didapatkan dimana?trimakasih sbelumnya,
BalasHapus