Rabu, 19 November 2014

HUMANISME DALAM PEMIKIRAN R.M.P. SOSROKARTONO-bab III



BAB III
R.M.P.SOSROKARTONO DAN PEMIKIRANNYA
A.   Biografi R.M.P. Sosrokartono
Raden Mas Pandji Sosrokartono (1877-1952) adalah putra Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat, lahir di Mayong Jepara pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M[1] atau bertepatan dengan tanggal 17 Robi’ul Awwal 1297 (27 Maulud 1086 tahun Jawa). R.M.P. Sosrokartono biasa dipanggil dengan nama Kartono, ia adalah putra ketiga dari Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat dengan garwo ampil Ngasirah, putri kyai Mudirono dari Teluk Awur.[2]
Kartono hidup di zaman kolonial Belanda dan Jepang, salah satu pejuang kemerdekaan yang hilang namanya ditelan zaman. Ia adalah kakak kandung R.A.Kartini yang kita kenal Ibu Emansipasi Wanita Indonesia, kakak beradik ini sama-sama dilahirkan di Mayong ± 13 km dari kota Jepara. Kartono mempunyai 3 adik perempuan, yaitu Kartini, Kardinah, dan Roekmini.[3]
Pada usia 7 tahun Kartono masuk E.L.S. (Europeesche Lagere School) artinya Sekolah Dasar Eropa di kota Jepara. Sekolah ini diadakan untuk memberi pendidikan anak-anak Belanda, terutama dari kalangan pemerintah. Beberapa anak Indonesia yang diperbolehkan masuk umumnya

adalah dari kalangan Pangreh Pradja Tertinggi. Sore hari, Kartono belajar bersama adik-adiknya, pelajaran yang diajarkan antara lain mengenai bahasa, sastra Jawa serta membaca kitab suci Al Qur’an dan menulis huruf Arab.
Pada tahun 1982 Kartono lulus dari E.L.S dengan hasil sangat baik, kemudian melanjutkan studinya ke H.B.S. (Hogere Burger School) Sekolah Tinggi Warganegara setaraf SMP di Semarang pada tahun yang sama. Selama belajar di Semarang Kartono sangat gemar membaca bahkan bacaannya berbobot, seperti kitab kuno Jawa tentang kesusasteraan dan keagamaan, sastra Yunani ataupun buku-buku Barat. Pada pertengahan tahun 1897 Kartono bisa menyelesaikan belajarnya dari H.B.S dengan nilai yang sangat baik sekali.[4]
Kartono adalah mahasiswa yang pertama kali melanjutkan studinya di luar negeri (1897-1925). Awalnya Kartono masuk di Universitas Tecnische Hoges School (Sekolah Tinggi Teknik) di kota Delf, Jurusan Teknik. Pada tahun 1899 Kartono diangkat sebagai anggota “Instituut Voor Land en Volkenkunde”, sebuah lembaga yang mempelajari dan meneliti kebudayaan suku bangsa Nusantara. Setelah 2 tahun di Jurusan teknik, Kartono memutuskan untuk pindah ke Universitas Leiden-Belanda mengambil jurusan bahasa dan kesusasteraan Timur, kemudian lulus mendapat gelar Docterandus in de Oosterche Talen (Doktor dalam bidang Bahasa) menguasai 44 bahasa, 9 bahasa asing timur, 17 bahasa asing barat, dan 18 bahasa daerah.[5] Maka dari itu, profesinya di luar negeri menjadi wartawan perang Dunia II, ahli bahasa, dubes, penerjemah dan tabib.[6]
Pada perang Dunia ke-1 (1914-1918) Kartono bekerja sebagai wartawan perang pada koran New York Herald dan New York Herald Tribune.[7] Setelah perang usai (1918) Kartono menjadi penerjemah di Wina, kemudian berpindah menjadi ahli bahasa pada kedutaan Perancis Den Haag (1919) dan akhirnya pindah ke Jenewa menjadi ketua juru bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa (1920). Selama kurang lebih 28 tahun Kartono dikenal sebagai seorang Intelektual yang disegani di Eropa.[8]
Peristiwa yang melatar belakangi Kartono beralih profesi sebagai seorang tabib yaitu ketika mendengar bahwa putra sahabatnya yang berumur 12 tahun menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meski sudah diobati beberapa dokter. Dengan dorongan hatinya yang penuh cinta kasih dan hasrat untuk membantu meringankan beban orang lain, saat itu juga Kartono menjenguk anak sahabatnya. Sesampainya di sana Kartono meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban, seketika itu sembuhlah anak sahabatnya.
Semua orang terheran-heran, bahkan dokter pun juga ikut heran. Pada saat itu ternyata di tempat lokasi ada seorang ahli Psychiatrie (psikiatri) dan Hypnose (hipnotis), ia menjelaskan bahwa Kartono mempunyai daya Pesoonalijke Magneetisme (magnet pribadi) yang besar sekali yang tidak disadari olehnya. Mendengar penjelasan itu, kemudian Kartono melanjutkan studi lagi di Paris dengan mengambil Jurusan Physicometric (Psikomotorik) and Phsycotecniek (psikoteknik). Akan tetapi, karena ia sarjana bahasa maka hanya diterima sebagai Toehooder (pendengar). Jadi, Jurusan ini tidak bisa diambil olehnya, karena Jurusan ini dikhususkan untuk sarjana medisch (kesehatan), karena merasa kecewa tidak mendapatkan ilmu sesuai dengan harapannya, akhirnya Kartono memlilih kembali ke Indonesia untuk mengabdikan dirinya untuk bangsa.[9]
Tahun 1925 Kartono pulang ke Indonesia, pengembaraannya yang berlangsung selama 28 tahun tidak membuat Kartono merubah kebangsaannya menjadi bangsa Barat, hal ini terlihat juga dari pedoman hidupnya yaitu Jawi bares, Jawi deles, lan Jawi sejati (Jawa jujur, Jawa asli, dan Jawa sejati).[10] Kartono memutuskan pulang ke Tanah Air karena ingin ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan memperdalam ilmu pengobatan non medisnya. 
Masyarakat Indonesia melihat Kartono sebagai sosok yang religius, nasionalis dan humanis. Sikap religiusnya terlihat dari perilaku dan pemikiran Kartono sehari-hari, semua pemikirannya sebenarnya bertujuan untuk mencari kasunyatan, namun ia memang menekankan kepada menolong sesama manusia sebagai perantara mendapatkan kasunyatan atau yang biasa kita kenal yaitu manunggaling kawulo gusti.
Sikap nasioanalis yang ada pada diri Kartono dibuktikan dengan menolak tawaran jabatan dari orang Belanda, ia lebih memilih untuk merintis pendidikan di Indonesia bersama teman – temannya, salah satunya adalah R.M. Soerdjodipoetro (adik Ki Hajar Dewantoro), mereka mendirikan sekolah yang bernama Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional). Selain itu dalam Kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra di Belanda dari berbagai negara Kartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tidak dipenuhi pemerintah jajahan, dan dalam pidatonya yang berjudul Het Nederlandsch (Bahasa Belanda di Indonesia) Kartono mengungkapkan dengan bahasa yang tegas ;
“Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapapun yang akan membuat Hindia Belanda menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak – injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama Matahari dan Bulan besinar mereka akan saya tantang!”.[11]
Kartono juga pernah menemui W.B. Rooseboom, seorang pembesar Belanda untuk mengajukan beberapa tuntutan, tuntutan itu antara lain; Kartono menuntut supaya Gubernur Jenderal Belanda memperhatikan nasib buruk masyarakat Indonesia, supaya bangsa Indonesia disegerakan adanya pendidikan, dan bahasa Belanda diajarkan di sekolah-sekolah pribumi.[12]
Sikapnya yang humanis ditunjukkan dengan membantu sesama manusia yang mengalami penderitaan dan upayanya mengajarkan pentingnya berbuat baik sesama manusia, dengan Pondok Darussalamnya di Bandung Kartono terkenal dapat mengobati berbagai macam penyakit. Sifat humanis Kartono juga terlihat dalam sifat nasionalisnya, bagaimana ia memperjuangkan rakyat Indonesia pada waktu itu.
Seorang Kartono yang lama hidup di luar negeri akan tetapi dalam menelurkan pemikirannya tidak terlepas dari nilai-nilai orang Jawa, gaya hidupnya mencerminkan orang Jawa, sehingga orang Barat menjulukinya dengan sebutan De Javanese Prins (pangeran tampan dari Jawa).[13] Selain De Javanese Prins Sosrokartono juga mempunyai julukan yang unik oleh masyarakat Jawa yaitu Mandor Klungsu dan Djoko Pring.[14]
Mandor Klungsu maksudnya,  Klungsu artinya biji asam, bentuknya kecil tapi keras (kuat) yang ketika ditanam dan dirawat sebaik-baiknya, maka akan menjelma sebuah pohon yang besar-kekar, berdaun rimbun dan berbuah lebat. Bukan sekedar biji buah asam, melainkan kepala/pimpinannya. Pohon asam, mulai dari pohon sampai bijinya semua dapat dimanfaatkan. Selain itu, mempunyai sifat kokoh dan tegar. Klungsu dan pohon asam, ibarat manusia dengan Tuhan. Ciptaan dengan sang Pencipta.[15] Ketika melihat kiprahnya sehari-hari, maka Kartono hanya seorang Mandor, Mandor Klungsu, yang harus menjalankan perintah Sang Pimpinan (Tuhan), serta mempertanggung jawabkan semua karyanya selama itu kepada Tuhannya.[16]
Djoko Pring maksudnya adalah, Djoko adalah jejaka/laki-laki yang belum (tidak) menikah dan Pring adalah bambu. Bambu selalu tumbuh dan memperbanyak diri (berganda), pohon bambu dari daun hingga akarnya dapat bermanfaat bagi manusia. Ini melambangkan bahwasannya Sosrokartono dari hidup hingga matinya ingin sekali bermanfaat bagi banyak manusia. Selain itu, panggilan Djoko Pring ada karena Kartono juga mempunyai misi dengan tembang yang berjudul Djoko Pring, yang berbunyi:
Pring padha pring
Weruh padha weruh
Eling padha eling
Susah padha susah
Seneng padha seneng
Eling padha eling
Pring padha pring.[17]
Artinya bambu sama-sama bambu, tahu sama-sama tahu, ingat sama-sama ingat, susah sama-sama susah, senang sama-sama senang, ingat sama-sama ingat, bambu sama- sama bambu. Aji Pring ini mengajak kepada manusia untuk saling memanusiakan manusia yang satu dengan yang lainnya, dengan cara membantu dan saling mengingatkan, karena kita adalah manusia yang sama.
Hidup di dunia Barat tidak lantas membuat Kartono lupa dengan identitasnya yaitu darah Jawa, di ketahui Jawa sangat erat dengan ilmu kebatinan, Kartono sendiri juga mendalami ilmu kebatinan, tetapi penulis belum tahu dengan pasti aliran kebatinan apa yang diikuti Kartono, referensi yang penulis baca hanya menuliskan bahwa Kartono melakukan laku kebatinan yang bertujuan untuk menemukan kasunyatan.
Ilmu kebatinan dibutuhkan sekali untuk mengolah jiwa, karena jiwa yang mempengaruhi sikap kita. Dalam hidupnya Sosrokartono tidak sedikit melakukan tirakat jasmani maupun rohani untuk merasakan penderitaan-penderitaan hidup, hingga mencapai puncaknya mendapatkan ilmu kasampurnan bukan dari guru manusia, akan tetapi penderitaan hidup-lah yang mengajarinya.sehari-hari.
Sejak 1942 separuh badan Sosrokartono mangalami kelumpuhan, mangkat (wafat) pada hari Jum’at Pahing 8 Febuari tahun 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak. Kartono dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah.[18] Ketika Kartono wafat, Bung Karno[19] mengatakan bahwasannya: “Oleh karena Drs. Sosrokartono almarhum adalah seorang sahabat saja, dan oleh karena ia adalah seorang Putra Indonesia yang besar”.[20] Soekarno mengakui bahwa Sosrokartono adalah sahabatnya dan seorang Putra Indonesia yang besar, yang banyak memberikan kontribusi terhadap bangsa Indonesia ketika penjajahan, yang banyak memberikan contoh hidup yang humanis.
B.  Karya-karya R.M.P. Sosrokartono
Karya R.M.P. Sosrokartono ada yang berupa tulisan ada yang berupa karya bangunan dan ada yang berupa gambar. Diantaranya sebagai berikut:
1.   Karyanya yang berupa tulisan, antara lain :
a.       Kumpulan Renungan Rabu Pahing, dalam tulisan ini Sosrokartono menuliskan mutiara-mutiara nasehat untuk para pengikut Kartono disetiap hari Rabu Pahing, seperti sugih tanpa bandha “(kaya tanpa harta), digdaya tanpa adji (sakti tanpa jimat) , nglurug tanpa bala (menyerang tanpa bala tentara), menang tanpa ngasoraken (menang tanpa merendahkan), di sini Kartono menjabarkan secara luas makna filosofis dari nesehatnya itu.[21] 
Setiap nasehat-nasehat dan kata-kata mutiara yang diajarkan oleh Kartono mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Yang  ia harapkan adalah membentuk pribadi bangsa Indonesia yang humanis, walaupun Indonesia telah dijajah dengan cara tidak manusiawi, tetapi kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh membalas dendam dengan cara membabi buta.
b.      Aji Pring , dalam tulisannya ini Kartono membahas tentang manfaat dari Pring ( Bambu), ia mengatakan bahwa sekujur tubuh bambu itu bisa dimanfaatkan, misalnya bisa untuk kayu bakar, atap rumah, kursi, meja, gethek, dsb.[22]
Ajarannya ini mengajak kepada segenap manusia bahwa jadilah manusia yang bermanfaat dari kepala hingga ujung kaki, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang berbunyi “Khairu al-nnâsi anfa’uhum li al-nnâsi” (sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama). 
c.       Laku lan Maksudipun, dalam tulisan ini Kartono menjelaskan Anglurug, tanpo bolo, tanpo gaman; Ambedah, tanpo perang tanpo pedang; Menang , tanpo mejahi tanpo nyakiti; Wenang, tan ngrusak ajoe, tan ngrusak adil. Yen unggul, sudjud bakti marang sesami,[23] yang artinya Menyerang, tanpa bala tentara, tanpa senjata. Menerobos, tanpa perang , tanpa pedang. Menang , tanpa membunuh, tanpa menyakiti. Berkuasa, tidak merusak kebaikan, tidak merusak keadilan. Jika unggul, sujud berbakti kepada sesama manusia. Disini ia menjelaskan bahwasannya melawan musuh tidak harus dilawan dengan kekerasan, kebencian, dan dendam, berkuasa bukannya merusak kebaikan, akan tetapi mengajak kepada yang ma’ruf. Apabila sudah berkuasa maka berbaktilah kepada sesama manusia, kalau dalam kerajaan jawa semboyannya tahta untuk rakyat. Ada juga yang mengartikan mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang tanpa pedang. Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan, pertarungan, atau kekerasan.
d.      Omong Kosong
Surat omong kosong menceritakan perjalanan Kartono di Aceh, Tanjung Pura, dan Negeri Langkat. Surat ini ditujukan kepada keluarga Monosuka[24] di Bandung. Dalam surat inilah ia menceritakan perjuangan kemanusiaan dan mengenalkan istilah kantong bolong, kosong, dan sunyi.
e.       Serat Saking Medan
Kartono dalam suratnya ini menegaskan bahwa mengabdi kepada sesama tidak boleh mengharap imbalan, tidak boleh takut, harus yakin, percaya, dan menyerahkan kepada Allah. Tanpa jimat manusia tidak boleh ragu untuk mengabdi kepada sesama, karena sandarannya adalah Allah.
2.   Karyanya yang berupa bangunan :
a.      Pondok pengobatan Darussalam, pondok pengobatan Darussalam milik Kartono merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur no. 7, Bandung. Sekarang bangunan itu tepat berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa, Bandung. Akan tetapi, bangunan pondok pengobatan itu sekarang sudah tidak ada, sudah berubah menjadi rumah dan ruko-ruko. Paling tidak kita tahu bahwa dulu disitu berdiri pondok sederhana yang sudah membantu ribuan orang yang sedang kesusahan. Walaupun Darussalam sudah tidak ada, akan tetapi paguyuban Sosrokartono menyebar di berbagai kota, ada di Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
b.      Perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA Kardinah.[25] Tujuan Kartono membangun perpustakaan salah satunya adalah upaya peningkatan sumber daya manusia masyarakat Tegal.
c.      Perpustakaan Darussalam di Bandung, yang berarti rumah kedamaian, atau lebih dikenal dengan perpustakaan Taman Siswa. Sebenarnya Pondok Darussalam hanya digunakan untuk balai pengobatan, akan tetapi karena Kartono merasa banyak orang yang mengunjungi pondoknya, akhirnya ketika berobat harus antri. Untuk menghilangkan rasa jenuh ketika antri Kartono membuat perpustakaan, supaya pasien meluangkan waktunya untuk membaca, dan bangsa Indonesia mengenal ilmu pengetahuan.
d.      Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional), sekolah ini memang dikerjakan bersama-sama, akan tetapi jasa terbanyak adalah dari Kartono, ia diamanahi menjadi ketua untuk memajukan sekolah ini, karena pada saat itu Kartono adalah satu-satunya mahasiswa yang mengenyam banyak pendidikan di luar negeri, sehingga teman-temannya percaya pasti Kartono mempunyai metode yang bagus untuk memajukan sekolah ini. [26]
Inilah beberapa peninggalan yang berupa bangunan oleh Kartono, walaupun bangunan itu tidak didirikan oleh Kartono sendiri tetapi otak didirikannya bangunan di atas adalah Kartono. Setidaknya walaupun bangsa ini dijajah, tetapi akses untuk pengobatan dan belajar itu mudah, karena memang dari pihak penjajah tidak memperbolehkan masyarakat Indonesia untuk belajar.
3.   Karyanya yang berupa gambar :
Sebagai seorang Jawa Kartono lekat juga dengan simbol-simbol, seperti yang dinyatakan Minsarwati bahwa dunia Jawa adalah dunia yang penuh dengan simbol maupun mitos. Untuk memahami orang Jawa, diharuskan memahami simbol yang melingkupinya.[27]
Salah satu simbol karya peninggalan Kartono yang fenomenal, yaitu gambar sulaman huruf Alif yang disulam olehnya sendiri dengan bantuan sahabatnya yaitu Soepardi dengan benang putih di atas kain berwarna biru muda, diletakkan di dalam bingkai, dulunya gambar ini digantung di pintu masuk Darussalam, akan tetapi sekarang gambar itu diabadikan di Almari Pendopo Kanjeng Poernomo Hadiningrat Kudus (1974). Gambar sulaman ini ada tiga, ada yang diletakkan di depan pintu, ruang tengah, dan pintu belakang. Sulaman Alif yang dimiliki Kartono ada tiga, yaitu: Sang Alif warna hitam dengan dasar putih, sang Alif warna putih dengan dasar biru muda, dan sang Alif warna putih dengan dasar merah.[28]
Sulaman Alif bukan hanya sekedar sulaman, memang Alif ini sengaja dipasang oleh Kartono di rumah Darussalam. Alif mempunyai makna yang tinggi, yaitu Gusti Allah. Bagi Kartono segala pengobatan yang ia lakukan tidak akan ada yang manjur tanpa pertolongan Gusti Allah. Alif merupakan pengagungan terhadap Allah, Allah seperti halnya huruf Alif, berdiri sendiri tanpa ada yang mendampingi. Bukan Allah yang membutuhkan manusia, tetapi manusialah yang membutuhkan Allah.
C.  Pemikiran R.M.P. Sosrokartono
1.   Ilmu Guru Sejati
      Sepanjang perjalanan hidupnya Kartono tidak pernah menyebut dirinya sebagai guru, dan tidak pernah juga merasa mempunyai murid, walaupun banyak orang yang merasa berguru kepada Kartono. Hal ini yang menjadi banyak perdebatan, seorang Kartono yang mempunyai banyak ilmu mana mungkin ia tidak mempunyai guru?. Dalam hal ilmu dunia mungkin itu tidak masalah, tapi Kartono juga mendalami ilmu kebatinan, ilmu kebatinan sama halnya dengan ṭorîqoh, harus jelas runtutan gurunya.
     Banyak yang mengatakan bahwa Kartono berguru kepada Buddha, Hindu, Ahli Tasawuf, dan Kristen, karena memang ia tidak pernah menyebutkan siapa gurunya. Baginya guru sejati seperti yang sudah diucapkan dalam sebuah kata mutiara nasehatnya, yaitu:

   “Murid gurune pribadi Guru,
   Muride pribadi pamulangane,
   Sengsarane sesami Ganjarane,
   Ayu lan arumi sesami.”[29]

Artinya; Guru sang murid adalah pribadi murid sendiri, murid sang guru adalah pribadi sang guru sendiri, bahan pelajaran baginya adalah kesengsaraan dan penderitaan sesama, pahalanya adalah kebahagiaan semasa hidup.[30]
Kata mutiara guru sejati mempunyai makna bahwasannya di dalam guru ada murid, dan di dalam murid ada guru, murid dan guru satu kesatuan yaitu pribadi seseorang itu sendiri. Kartono tidak pernah menyebutkan siapa gurunya dan tidak pula merasa mempunyai murid.
Bahan pelajaran didapatkannya dari kesengsaraan dan penderitaan sesama, Kartono tidak pernah membanggakan belajarnya di luar negeri, ia mengatakan untuk menemukan pribadi, seseorang harus belajar dari kesengsaraan dan penderitaan sesama. Kartono berkeyakinan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia pasti menderita penyakit jasmani dan rohani. Ratapan tangis, jeritan, dan rintihan jiwa manusia yang membuat Kartono menemukan hakikat manusia hidup di dunia. Kartono belajar seperti Nabi Muhammad yang bangkit mengangkat rakyat tertindas,[31] walaupun sebenarnya Kartono mampu dan bisa untuk hidup berfoya-foya dan bahagia, berlimpah harta, tetapi Kartono tidak menginginkan hidup seperti itu.
Pahala baginya adalah kebahagiaan sesama manusia, bagi Kartono membahagiakan diri sendiri itu sangat mudah, sedang membahagiakan orang lain merupakan hal yang sangat sulit, karena belum tentu orang yang ditolong bahagia, ada juga yang menganggap pertolongan tersebut musibah bagi mereka, bukannya membantu, tetapi semakin membuat mereka susah.
Kartono mengatakan bahwa manusia harus: Sinau ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun agesang.[32] Artinya; Manusia Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.
Hal yang menyebabkan Kartono tidak pernah menganggap dirinya sebagai guru terlihat dalam puisinya yang penulis kutip di bawah ini:
“Aku, Sosrokartono,
Aku tak mampu,
Aku tak kuasa,
Tak ada perbuatan berarti yang kulakukan,
Sesungguhnya Tuhan, Allah, Gusti yang Maha Agunglah yang telah melakukan segala sesuatunya,
Orang-orang telah salah terka,
Dikiranya bahwa akulah (Sosrokartono) yang melakukannya.[33]

Jadi, belajar dari kesengsaraan merupakan guru sejati, dan seseorang yang memperlajarinya merupakan murid sejati, di dalam diri seseorang ada sosok guru sejati dan murid sejati, karena pada hakikatnya bagi Kartono guru yang benar-benar sejati hanya Allah semata, baginya perantara belajar yang lebih baik ialah belajar kepada sesama manusia yang menderita dan sengsara, dari itu manusia bisa mendapatkan ilmu dunia, kebatinan, dan akhirat.
2.   Ilmu dan Laku
Mencari hakikat hidup di dunia tidak cukup hanya mengetahui  ilmu tentang guru sejati, ilmu tanpa laku itu mati, fungsi dari ilmu hilang, tidak ada gunanya. Bagi Kartono ilmu dan laku itu harus berjalan beriringan, tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, karena jika berjalan sendiri-sendiri maka hasilnya tidak akan maximal.
Ilmunya sudah ada yaitu guru sejati, materinya sudah ada yaitu kesengsaraan dan penderitaan sesama manusia, kemudian bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan?.
Kehidupan selama masa penjajahan sangat menyengsarakan rakyat Indonesia, walaupun ada juga yang berpendapat bahwasannya selama masa penjajahan rakyat Indonesia dibentuk untuk menjadi manusia pekerja keras, hal ini terlihat selama penjajahan Jepang,[34] tetapi terlepas dari itu semua, yang namanya dikuasai oleh orang lain itu tidak nyaman, hidup mengalami tekanan, apalagi pemerintahan dikuasai oleh Negara lain?, pastinya banyak hati yang tertekan, menderita, sedih, dan sengara.
Kartono bukanlah rakyat Indonesia yang biasa, ia sangat disegani oleh penjajah Belanda dan Jepang,[35] walaupun tidak merasakan penderitaan yang ditimpa rakyat Indonesia pada umumnya tetapi hatinya tetap tidak nyaman. Untuk mendalami rasa sakit dan penderitaan sesama rakyat Indonesia Kartono melakukan banyak laku, misalnya berbulan-bulan tidak pernah tidur berbaring ditempat tidur, akan tetapi tidur dengan duduk ataupun berdiri. Selama 24 jam hanya beristirahat hanya beberapa jam saja. Selama beberapa bulan tidak pernah menikmati makanan apa saja, ia hanya minum teh dua kali sehari. Hanya menikmati 1 atau 2 lombok sebagai santapan selama 24 jam. Selama beberapa tahun tiap malam berjalan kaki tanpa berhenti.[36]
Laku merupakan aplikasi dari ilmu guru sejati, dengan melakukan laku Kartono bisa merasakan apa yang dirasakan rakyatnya, laku juga membuat Kartono mendalami ilmu kebatinan. Dengan melakukan laku Kartono mendapatkan banyak ilmu, belajar banyak hal dari kesengsaraan sesama manusia. Bagi Kartono, ilmu tidak sempurna jika tidak bersamaan dengan laku, hal ini sejalan dengan leluhur orang Jawa yang berbunyi ngelmu iku kelakone kanti laku (ilmu itu dijalani dengan laku).[37] Pemikiran inilah yang membuat kartono melakukan laku jasmaniah seperti di atas guna ingin merasakan penderitaan sesama.
Penggabungan ilmu dan laku membuat Kartono banyak membantu menyelesaikan kesengsaraan sesama manusia selama hidupnya, Kartono menjadi seorang manusia humanis, tetapi banyak orang yang tidak mengenal Kartono, bahkan Kartini lebih dikenal banyak orang daripada Kartono.
3.   Catur Murti
Melakukan ilmu dan laku harus bersamaan dengan Catur Murti, mikir bener, rumangsa bener, ngendiko bener, lan tumindak bener.[38] Menurut aksan Catur Murti yaitu bersatunya empat fa’al, yaitu perasaan, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Berawal dari perasaan maka timbullah pikiran, kemudian berkata dan terakhir berbuat.[39] Dengan bersatunya empat fa’al tersebut maka manusia akan menemukan kenyataan (Jawa: Kasunyatan).[40]
Sebagai contoh, si A sedang berjalan dengan si B. Kebetulan si B tidak punya uang sama sekali dan mereka sama-sama lapar, tetapi uang si A hanya Rp 2000. A mampir di warung, membeli nasi satu piring Rp 2000, jadi yang makan hanya si A sendiri. Sebab, uang itu adalah uang si A sendiri dan si B sangat lapar. Si B menunggu sambil berdiri di luar warung. Sampai hatikah si A berbuat begitu?
Contoh lainnya : Uang Rp 2000 Andi berikan kepada temannya, teman andi yang makan. Andi hanya duduk saja di dalam warung, sambil mengamati temannya yang sedang menikmati makanannya. Apakah Andi tidak merasa kelaparan juga?.[41]
Pada contoh yang pertama, si A egoistis. Sekalipun berpikir benar. Pada contoh yang kedua, andi adalah orang gila yang baik hati. Sekalipun berperasaan benar. Nah, coba si A mencari makanan yang harganya Rp 1000 saja. Si A dan si B sama-sama mendapat makan. Si A makan tidak kenyang, tetapi sudah makan. Si B tidak kelaparan. Jadi sebelum manusia berbuat, pikiran yang benar harus diselaraskan dengan perasaan yang benar. Artinya, ada unsur penyelarasan. Dengan begitu, dalam konteks tersebut, perbuatan anda adalah “Perbuatan benar”.
Catur Murti itu merupakan kesatuan, tidak boleh dipisahkan, jangan ambil protholannya saja, ambillah kesatuannya, keseluruhannya. itu baru namanya Catur Murti. Selain itu, Catur Murti bukan hanya sekedar dihafalkan, tapi harus dihayati dan diamalkan. Berlatih Catur Murti tanpa berhenti, baru ada manfaatnya. Sehingga menyatu dengan jiwa kita, sehingga kita terbiasakan untuk berpikir benar, berperasaan benar, berkata benar dan berbuat benar. Dalam situai dan kondisi apapun reaksi kita jadi cepat dan dalam mengambil keputusan bisa dengan tepat dan benar.
Ada juga yang memaknai bahwa Catur Murti bertujuan untuk mencari ketenangan Jiwa, keharmonisan, hidup, dan kebahagiaan akhirat. Itulah tanda-tanda orang beriman, tidak berfikir kecuali yang benar, tidak berperasaan kecuali yang benar, tidak berkata kecuali yang benar, tidak berbuat kecuali yang benar. Catur Murti mengarahkan manusia untuk menjadi bijak, terarah kepada perbuatan yang benar, terarah kepada sesama yang membutuhkan pertolongan, mengusahakan belas kasih, pengampunan, dan cinta kasih. Dengan ini juga, Kartono mempunyai pemikiran-pemikiran tentang kemanusiaa. Baginya untuk dekat dengan Allah, maka kita harus dekat dengan ciptaannya, khususnya sesama manusia. Dengan kita saling menghargai, menolong, dan saling menyayangi, maka Allah akan melakukan hal yang sama kepada kita.[42]
Pemaknaan Catur Murti terlihat seperti Ajaran Islam tentang taqwa,[43] menjalani perintah Allah dan menjauhi larangannya. Perintah Allah pasti sesuatu yang baik, tidak mungkin Allah memerintahkan ummatnya untuk berbuat buruk. Adapun ada manusia yang berbuat buruk itu bukanlah perintah Allah, Allah telah memberi pilihan, dan kitalah yang menentukan pilihan itu.
Zaman sekarang hampir tidak ada orang yang bisa menyatukan keempat fa’al tersebut, manusia sekarang hanya pandai berkata, berbicara, tetapi dalam perbuatannya non sense, tidak ada yang diaplikasikan sama sekali dari apa yang mereka ucapkan.
4.   Sang Alif
Sang Alif terkesan sangat sederhana, sekilas tidak ada yang istimewa dari Alif, karena sudah banyak orang juga yang mengenal Alif, tetapi berbeda dengan Kartono, Alif baginya sangatlah istimewa dan harus dihormati. Alif  tidak hanya dimaknai sebagai huruf pertama hijaiyah, Alif juga tidak hanya seperti coretan angka satu yang berdiri, Alif menyimpan makna yang sangat dalam, dan mungkin kita tidak pernah menyadari itu.
Semua ilmu yang dijalani Kartono tercurahkan kepada filsafat Sang Alif, Alif dalam term semiotik disebut sebagai simbol, sebuah tanda yang secara konvensional mengacu kepada huruf pertama abjad Arab, yang bentuknya tegak lurus tanpa variasi. Ia adalah huruf pertama, dan yang pertama itulah biasanya yang utama.
Alif mempunyai beberapa makna menurut Kartono, antara lain:
a)     Alif menggambarkan “Kenyataan atau Kasunyatan” yang merupakan perpaduan dan kesatuan empat fa’al Jiwa yaitu Catur Murti.
b)     Alif merupakan kiasan kekuatan ghaib, antara lain untuk menyembuhkan penyakit.
c)     Alif merupakan sarana fokus konsentrasi ke arah tercapainya situasi keterbukaan Jiwa untuk menerima unsur-unsur dari luar.
d)     Alif sebagai pengganti Sosrokartono.
e)     Alif menggambarkan Jumbuhing Kawulo Gusti.[44]
Alif berarti “Tuhan + Aku = Ana,[45] Alif  berarti Jumbuhing Kawulo Gusti. Jumbuhing Kawulo Gusti dan Manunggaling Kawulo Gusti mempunyai makna yang sama yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan, yang membedakan hanya lafadz dan pelafalannya saja.[46] Alif menunjukkan betapa kukuhnya Kartono menggenggamanya yaitu Islam.[47] Hal ini menggambarkan bahwa Kartono juga tidak berbeda dengan filsuf Kejawen lain dalam memaknai filsafat Ketuhanan dan inilah puncak pemikiran dari filsafat Alif.
Alif mempunyai makna yang sangat sakral bagi Kartono, hal ini membuat Kartono sangat berhati-hati dengan sulaman Alif-nya. Kartono mengatakan bahwasannya “memasang Alif harus dengan upaya laku, tidak boleh digantungkan begitu saja dan kemudian ditinggalkan, seperti menjemur baju”.[48]
Perkataan Kartono sangat jelas, bahwa ia tidak menginginkan seseorang memasang Alif sembarangan, orang yang boleh memasang Alif adalah orang yang sudah menjalani laku, karena Alif mempunyai makna yang dalam bagi kehidupan manusia di Dunia.
Kartono sangat menyukai yang serba lurus dan jejeg, misalnya ia menyukai Pring, Lidi, dan Alif.[49] Dalam ilmu Psikologi kesukaan seseorang itu mempengaruhi perilaku dan pemikirannya. Hal ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi dalam pemikiran Kartono.
Perwujudan dari semua Ilmu dan laku yang dijalani Kartono adalah Sang Alif, dari pemaknaan Alif Kartono banyak membantu sesama yang membutuhkan, karena pemaknaan Alif mempengaruhi pribadi Kartono, yang akhirnya melahirkan Kartono yang agamis, dan kejawen.
5.   Kemanusiaan
Keempat ilmu di atas melahirkan pemahaman tentang kemanusiaan yang mendalam bagi Kartono, dalam suratnya  omong kosong ia mengatakan bahwa Nulung Pepadane ora nganggo wayah, wadhuk, mikir, yen ana isine lumuntur marang sesami”[50] artinya menolong sesama tidak memikirkan waktu, perut, kantong,  jika berisi segera mengalir kepada sesama.
Berdasarkan perkataan tersebut Kartono dalam suratnya juga menyebutkan bahwa ilmunya yaitu ilmu kantong bolong, kosong, dan sunyi (sunji)[51], dengan bekal tiga ilmu tersebut Kartono menjadi sosok filosof yang sangat menekankan kepada kemanusiaan.
Hasil perenungan yang mendalam melahirkan sebuah istilah ilmu kemanusiaan yang mudah dipahami maknanya oleh orang Jawa, bahasa yang dipakai Kartono bukanlah bahasa simbol yang sulit dipahami oleh orang Jawa, tetapi ia memang sengaja memilih bahasa yang mudah dan sering didengar oleh orang Jawa. Sehingga menengenalkannya kepada masyarakat saat itu sangat mudah diterima dan dipahami maksudnya.
Tulisannya pada laku lan maksudipun sangat jelas menyatakan bahwa semua hal yang manusia lakukan pada akhirnya harus mengabdikan diri kepada sesama manusia, hal itu terlihat dalam tulisannya yen unggul sujud bakti marang sesami,[52] Jika menang sujud bakti kepada sesama.
Sedangkan pada suratnya serat saking Medan, Kartono menuliskan sebuah nasehat yang memperkuat ilmu kantong bolong, kosong, dan sunyi kepada keluarga besar Monosuka di Bandung yang berbunyi;
“Ngawula dateng kawulane Gusti, lan memaju ayuning urip,tanpo pamrih, tanpo ajrih, jejeg, mantep, mawi pasrah, tanpa aji, tanpo ilmu kulo mboten gadah ajrih, sebab payung kulo Gusti kulo, temeng kulo inggih Gusti kulo”.[53]

Artinya; mengabdi kepada abdi illahi, menyempurnakan kebahagiaan hidup, tanpa pamrih, tanpa rasa takut, yakin, menerima apa yang dianugrahkan Allah, tanpa kekuatan tanpa ilmu saya tidak takut, karena pelindung dan tempat bersandar ku adalah Tuhan ku.
Pernyataan di atas ditulis Kartono dalam suratnya kepada keluarga Monosuka guna memberitahukan kenapa harus ragu untuk mengabdikan diri kepada sesama, kenapa harus ragu untuk menjunjung tinggi kemanusiaan, bahkan tanpa kekuatan dan ilmu pun manusia harus tetap mengabdikan diri kepada manusia, karena dengan adanya Tuhan ketakutan dan keraguan harus dilenyapkan.


[4]John Tondowidjojo .T, Menapak Perjalanan Hidup Sosrokartono (Surabaya: Sanggar Bina Tama, 2012), h. 3- 4.
[5]Aksan,”Sosrokatono, Wong  Jowo”, dalam Majalah Jaya Baya, (15 Sepetember 1991), h. 10.
[6]Aksan, Ilmu dan Laku Drs. RMP.Sosrokarton, cet. 2 (Surabaya: Citra Jaya Murti, 1986), h. 14.
[7]Aksan, “ Sosrokartono Pribadi Kang Nengsemake” dalam Majalah Jaya Baya ( 6 Oktober 1991), h.18.
[8]John Tondowidjojo .T, Menapak Perjalanan Hidup Sosrokartono, h. 26-27.

[9] Hadiwijaya,  Tokoh-Tokoh Kejawen, h. 182-183.
[10] R.M.P. Sosrokartono, Serat Saking Medan, Medan, 12 Mei 1931.
[11]http: Ajaran R.M.P Sosrokartono « Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm. di download tgl 10 juni 2012.
[12] Aksan, “Sosrokartono, Priyayi Kendel”, dalam Majalah Jaya Baya (29 September 1991), h. 22.
[13]Hadiwijaya, Tokoh-Tokoh Kejawen (Yogyakarta : Eule Book, 2010), h. 182.
[14]Aksan, Ilmu dan Laku Drs. RMP.Sosrokartono, h. 5.
[15] Ibid. h. 25.
[16]“Ajaran R.M.P. Sosrokartono”, diakses Cab Remaja Kerokhanian Sapta Darma Sragen.htm, tgl  10 Juni 2012.
[17]Aksan, Ilmu dan Laku Drs. RMP.Sosrokartono, h. 31.
[18] Aksan, “ DRS. R.M.P. Sosrokartono Kondur Menyang Tanah Air” dalam Majalah Jaya Baya ( 13 Oktober 1991), h. 46.
[19] Bung Karno merupakan panggilan akrab Soekarno, ia lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, dan merupakan Presiden Pertama Negara Republik Indonesia. Soekarno, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat ( Jakarta: Gunung agung, 1966), h. 23.
[20] Aksan, ʺPribadi kang Negsemake” dalam Majalah Jaya Baya, h. 19.
[21] Koesno, ʺMengenang Almarhum Drs. R.M.P. Sosrokartonoʺ  dalam Majalah Mawas Diri, No. 3 Edisi ( T.tgl Maret 1988), h. 24.
[22] R.M.P. Sosrokartono, Aji Pring ( Surabaya : Panitya Kempalan Surat-Surat Sosrokartono, 1992), h . 42.
[23] R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan Maksudipun, Binjei, 12 November 1931.
[24] Monosuka adalah sebutan keluarga ataupun bisa juga disebut perkumpulan yang tinggal di Darussalam, Bandung. Perkumpulan Monosuka terdiri dari berbagai orang di penjuru Indonesia, disebut Monosuka karena selama hidupnya Kartono memberi kebebasan kepada para pengikutnya untuk menjalankan apa yang dilakukan dan diajarkan Kartono,  ia hanya member petunjuk, teguran, dan pembetula sekedarnya, karena memang Kartono tidak ingin disebut sebagai Guru dan tidak pula mengakui dirinya mempunyai murid. Aksan, R.M.P. Sosrokartono, Ilmu dan Laku, h. 46
[25] “Mandhor Klungsu lan Gusti Alit” dalam Majalah Jaka Lodang No. 970 ( 20 April 1991), h. 29.
[26] Hadiwijaya. Tokoh-Tokoh Kejawen, h. 184-186.
[27] Wiwien Widyawati, Etika Jawa ; Menggali Kebijaksanaan dan keutamaan demi ketentraman hidup lahir batin (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2010), h. 13.
[28] Abdullah Ciptoprawiro, Pengertian Huruf Alif Dalam Paguyuban Sosrokartono, Al Qur’an dan Kejawen, h. 14.
[29] R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan Maksudipun, Binjei, 12 November 1931
[30] Mohammad Ali,  Ilmu Kantong Bolong. Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunji (Djakarta : Bharatara, 1966), h. 63.
[31] Mansour Fakih, Mencari Teologi  Untuk Kaum Tertindas (Khidmat dan Kritik untuk Guruku Prof. Dr. Harun Nasution  dalam Refleksi, h. 167.
[32]Stevie, “Raden Mas Pandji Sosrokartono” artikel diakses 14 Mei 2013 dari http://www.raden-mas-panji-sosrokartono.html.
[33] Aksan, Ilmu dan Laku Drs. RMP.Sosrokartono, h. 58.
[34] http://www.wikipedia.co.id// diakses pada tanggal 11 Juni 2013.
[35] Sosrokartono sering kali ditawari jabatan yang menggiurkan ketika penjajahan Belanda dan jepang, tetapi Kartono tidak pernah mau menerima itu, baginya bangsanya adalah segalanya.  Lihat Aksan, “ Sosrokartno Priyayi Kendel”, h. 22.
[36] R.M.P. Sosrokartono, Omong Kosong, Binjei, 12 November 1931.
[37] Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa , h: 21.
[38] Aksan, “ Sosrokartono, Priyayi Kendel”, dalam Majalah Jaya Baya, h: 23.
[39] Ibid.
[40] Abdullah Ciptoprawiro, Alif; Pengertian Huruf Alif dalam Paguyuban Sosrokartono, Al-Qur’an, dan Kejawen (Surabaya: Citra Jaya Murti, 1996), h:13.
[41] Triscbn, “Ajaran R.M.P. Sosrokartono” artikel diakses pada tanggal 14 Mei 2013 dari http://www. Ajaran RMP Sosro Kartono « _Triscbn.html.
[42]John Tondowidjojo .T, Sosrokartono dan Spiritualitasnya dari Abad ke Abad (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2012), h. 127-128.
[43] Taqwa / takwa ,yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain dari taqwa adalah:
1. Melaksanakan segala perintah Allah
2. Menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah (haram)
3. Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan Allah ( mahabbah fillah, “ Pengertian taqwa menurut pandangan Islam” diakses pada alamat pengertian taqwa dalam pandangan islam~ mahabbah fillah. Html. Tgl, 11 Juni 2013.


[44] Abdullah Ciptoprawiro, Alif; Pengertian Huruf Alif dalam Paguyuban Sosrokartono, Al-Qur’an, dan Kejawen, h. 58.
[45] John Tondowidjojo .T, Sosrokartono dan Spiritualitasnya dari Abad ke Abad, h. 129-130.
[46] Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa , h. 18.
[47] “Sang Alif RMP Sosrokartono”, dalam Majalah Jaya Baya (21 April 1991), h. 15.
[48] R.M.P. Sosrokartono, Serat saking Tanjung Pura, Langkat 26 Oktober 1931.
[49] Ibid.
[50] R.M.P. Sosrokartono, Omong Kosong, Binjei 12 November 1931.
[51] Ibid.
[52] R.M.P. Sosrokartono, Laku lan Maksudipun, Binjei, 12 November 1931.
[53] R.M.P. Sosrokartono, Serat Saking Medan, Medan, 12 Mei 1931.




[1]Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen, Ajaran dan Pengaruhnya (Yogyakarta: Eule Book, 2010), h. 181.
[2]Solichin, R.M.P.Sosrokartono, Sebuah Biografi (Jakarta: Yayasan Sosrokartono, 1987), h. 19.
[3] Budi Hadisutrisno, Islam Kejawen (Yogyakarta: Eule Book, 2009), h. 243.

1 komentar:

  1. Maaf mas sbelumnya,saya mahasiswa uin malang,mau tanya referensi yang panjenengan tulis di atas,yg kerya sosrokartono asli masih adakah,sprti serat saking medan,omong kosong,laku lan maksudipun..atau mungkin panjenengan bisa memberi saran referensi tsb bisa didapatkan dimana?trimakasih sbelumnya,

    BalasHapus