Rabu, 19 November 2014

MAKNA SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI -bab IV



BAB IV
MAKNA SIMBOLIK UNSUR-UNSUR TRADISI BERSIH SENDANG YANG MEMUAT NILAI FILOSOFIS

A.      Penggunaan Sesaji dalam Tradisi Bersih Sendang
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya mengenai sesaji dan makna simbolik yang terkandung di dalamnya, sesaji juga memilik tata cara dalam penggunaanya. Sedangkan kalau kita amati makanan dalam slametan, sesaji yang diisyaratkan sangat bermacam-macam.[1]
Simbol adalah objek, bunyi bicara atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia sendiri. Bentuk primernya adalah bahasa. Tetapi manusia juga menggunakan simbol dalam lukisan, tarian, musik dan banyak lagi lainnya. Begitupun sesaji dalam tradisi Bersih Sendang memiliki makna pada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan atau emosi.[2]
Tradisi Bersih Sendang penuh dengan nilai mistik, moral, budaya dan filosofis yang patut dikaji. Penggunaan sesaji sebenarnya atas anjuran adat dalam mematuhi tradisi Jawa.[3] Sesaji-sesaji  yang digunakan dalam tradisi Bersih Sendang tidak lain adalah turun temurun dari nenek moyang. Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain tujuan sesaji adalah untuk keselamatan.
Sesaji adalah tradisi Jawa menjadi syarat dalam pelaksanaanya. Sesaji bisa dikatakan syirik dan bid’ah jika kurang adanya suatu pemahaman yang mendasar.[4]Simbol dalam sesaji memiliki makna akan suatu keberkahan dan keselamatan. Akan tetapi, hanya beberapa orang saja yang mengetahui. Sesaji merupakan jalan mudah dalam memaknai arti hidup. Sehingga simbol yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pedoman hidup.
1.      Fungsi Sesaji
Dalam masyarakat tradisional, mahluk halus merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, dalam arti bahwa mahluk halus juga berasal dari para leluhur, sanak saudara, dan keluarga yang telah meninggal. Mereka juga dipercaya sebagai penghuni pertama sebelum manusia menempati daerah atau wilayah tersebut.
Pelaksanaan tradisi Bersih Sendang menggunakan bermacam-macam sesaji. Penggunaan sesaji sangatlah penting dalam suatu upacara adat yaitu sebagai berikut:
a.       Sebagai alat sedekah bagi leluhur ataupun masyarakat sekitar.
b.      Sebagai fungsi simbolik komunikasi dengan makhuk halus atau leluhur setempat.
c.       Mempertebal keyakinan bahwa upacara ritual atau tradisi merupakan sarana yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang hakiki.
Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan juru kunci setempat mengenai fungsi sesaji dalam tradisi Bersih Sendang.
Sesaji itu digunakan untuk kebutuhan atau perkengkapan dalam tradisi ini. Selain itu juga dimakan oleh warga setempat. Ya sesaji itu sebagai komunikasi dengan leluhur serta ditaruh dalam sumber beji menurut apa yang dibutuhkan oleh Eang Lodorojoyo”[5]

Maka dari itu, sebelum mengadakan suatu tradisi atau hajatan (perkawinan, pertunjukan seni tradisional) masyarakat selalu memberi sesaji di tempat-tempat yang dianggap keramat di mana dipercaya arwah leluhur desa berada. Demikian juga acara Bersih Sendang juga merupakan penghormatan kepada leluhur yang telah membangun desa tersebut selain juga sebagai doa agar desa tetap subur makmur dan bebas dari malapetaka. Seperti wawancara yang dikutip dengan juru kunci.
“Ya leluhur di sini keturunan dari mbah-mbah yang membangun desa ini, buktinya bisa bantu rakyat miskin di sini, dan saya sendiri terkadang mendengarkan suara-suara di sekitar sendang”.[6]

Pemberian sesaji ini untuk memberitahu dan mengajak leluhur ikut serta dalam pesta tersebut dan menjaganya agar tidak mendapat gangguan dari mahluk halus yang jahat.


2.      Mitos Sesaji
Banyak sekali mitos yang berkenaan dengan hal gaib. Makhluk halus yang dimaksud dikenal dalam kehidupan spiritual yang dapat dipahami dengan ajaran agama. Mungkin ini suatu isyarat atau simbol untuk menuju kehidupan nyata. Dalam tradisi Bersih Sendang, penggunaan sesaji sangatlah sakral dan tidak boleh diubah-ubah seenaknya. Akibat tidak menggunakan sesaji sangat bermacam-macam yaitu:
a.       Mendapatkan bencana sehingga kehidupan tidak tenang dan tentram.
b.      Mendapatkan gangguan dari makhluk halus karena tidak memberi makanan.
c.       Hubungan manusia dan leluhur memburuk.
Seperti wawancara yang dikutip dengan warga sekitar tentang mitos sesaji.
“Biar tidak terjadi gangguan apa-apa mas, untuk leluhur setempat.Dan gak boleh diicipi siapapun, kecuali habis bersih-bersih tidak apa-apa mas.Soalnya dulu tempat ini angker, masih keturunan Mataram. Biasanya kalau ada burung yang terbang di atas akan jatuh mati, padahal dulu di sini banyak burung berterbangan dan sekarang hampir tidak ada mas”[7]

Masyarakat desa Tawun sangat memegang teguh dalam penggunaan sesaji. Dikarenakan kepercayaan yang turun-temurun dari leluhur mereka. Mereka yakin apabila tidak memenuhi sesaji yang dibutuhkan dapat terjadi bencana dan mendapat gangguan dari makhluk halus setempat.
B.         Unsur-unsur dalam Tradisi Bersih Sendang yang Memuat Nilai Filosofis
1.      Kambing Kendhit
Masyarakat desa Tawun juga mempersiapkan kambing untuk disembelih dan dibakar. Warga yang menyembelih kambing kendhit haruslah turun temurun dan tidak boleh digantikan oleh siapapun. Karena jika berganti orang juga ditakutkan akan terjadi hal yang tidak diharapkan selama prosesi acara berlangsung. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan warga:
“Orang yang menyembelih itu harus turun temurun mas, Serta tidak boleh diganti orangnya. Kalau sampai diganti takut terjadi apa-apa”[8]

Kambing yang digunakan dalam tradisi adalah kendhit (kambing yang terdapat garis putih di perutnya). Garis putih pada kambing memiliki makna filosofis bagaikan sabuk seorang prajurit perang yang memiliki niat bersih dan suci dalam membela rakyatnya yang lemah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci:
“Ya maksudnya dalam tradisi ini harus kambing kendhit, garis putih di perut kambing seperti sabuknya seorang prajurit yang berwarna putih dan juga memilki niat suci dalam membea rakyatnya”[9]

Sebelum disembelih dan dibakar, kambing di mandikan tiga kali serta diarahkan ke arah utara dan selatan.Arah utara menunjukkan lokasi sumber air dan arah selatan menunjukkan arah air sumber mengalir.
2.      Tumpeng
Tumpeng merupakan sajian yang berbentuk nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Dalam upacara atau tradisi adat Jawa tumpeng merupakan syarat pelengkap baik yang sifatnya sedih maupun gembira. Tumpeng merupakan syarat dengan simbol mengenai ajaran makna hidup.[10]
Dalam acara selamatan, nasi tumpeng biasanya dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus ungkapan atau ajaran falsafah hidup agar menjadi lebih baik.
Tumpeng yang menyerupai gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan.[11]Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik. Yaitu sebagai berikut:
a.       Nasiputih
Berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Nasi putih juga melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin naik dan tinggi.
[12]
b.      Ayam
Ayam jago (jantan) dimasak utuh dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening).[13]Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).
Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.
c.       Ikan Lele
Dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan bandeng atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan simbol ketabahan dan keuletan dalam hidup serta sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.


d.      IkanTeri/gereh
Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri juga menyimbolkan akan suatu kebersamaan.
e.       Telur
Telur direbus pindang yaitu telur yang tidak didadar atau mata sapi dan disajikan utuh dengan kulitnya. Jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi.
f.       Sayuran
Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap
Sedangkan tumpeng dapat digunakan untuk segala acara dengan tujuan seperti selamatan masa hamil, selamatan kelahiran bayi, selamtan anak, selamatan pengantin, selamatan bangsa dan Negara.
3.      Alat Gamelan
Pelaksanaan tradisi Bersih Sendang juga diiringi oleh beberapa musik  gamelan beserta para penyanyi. Gamelan memainkan peranan penting dalam kegiatan keagamaan atau beribadah, seperti kepada Sang Pencipta yang dilakukan di pura, gereja, atau masjid. Dalam agama Islam, lagu-lagu pujian banyak diiringi dengan pukulan rebana, sedangkan di gereja diringi dengan piano, gitar atau alat musik lainnya.

Gamelan juga digunakan pada berbagai tradisi atau upacara adat sehubungan dengan kondisi alam, musim tertentu, pernikahan, atau kematian. Gamelan yang digunakan dalam tradisi Bersih Sendang yaitu Lukononto. Sedangkan lagu yang digunakan untuk mengiringi prosesi acara yaitu Kembang Gayam dan Gendhing Wilujeng. Pada acara tari pecut juga diringi dengan lagu yang berbeda yaitu Gedhing Gologanjir. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru junci.
“Gamelan yang digunakan dalam tradisi ini yaitu Lukononto. Sedangkan lagu yang mengiringi acara ini beda-beda mas. Lagu untuk mengiringi acara pertama yaitu Kembang Gayam dan Gendhing Wilujengan. Sedangkan pada acara tarian pecut lagu yang digunakan yaitu Gedhing Gologanjir mas”[14]

Fungsi dan peran gamelan sebagai alat musik tradisional sebagai sarana ekspresi diri, upacara adat dan hiburan.
Fungsi dan Peran Gamelan Sebagai Alat Musik Tradisional yaitu:
a.       Sarana Upacara Budaya atau Tradisi
Gamelan biasanya berkaitan erat dengan upacara- upacara kematian, perkawinan, kelahiran, serta upacara keagamaan dan adat istiadat.Bunyi-bunyian dan nada-nada yang dihasilkan sangat memungkinkan untuk mendukung upacara budaya atau tradisi. Di beberapa daerah, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau alat tertentu diyakini memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu, instrumen seperti itu dipakai sebagai sarana kegiatan tradisi Bersih Sendang. Gamelan dalam tradisi Bersih Sendang berguna sebagai sarana mengiringi kambing kendhit ketika mengeilingi Keduk Beji dan mengiri para pemuda-pemuda ketika berlangsung tarian pecut-pecutan.
b.      Sarana Hiburan
Gamelan juga merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Jawa jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong-bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton. Sebagaimana dalam tradisi Bersih Sendang, bunyi gamelan dapat mengundang seluruh warga desa Tawun untuk menghadiri acara yang dilakukan setiap tahunnya. Serta sebagai tanda bahwa upacara akan segera dimulai. Sebagaiman wawancara yang dikutip dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci.
“Gamelan itu sebagai iringan dalam tradisi ini mas, selain itu juga dapat memberitahu warga sekitar bahwa acara ini akan segera dimulai”[15]

Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa musik tradisional dapat berfungsi sebagai sarana dalam suatu upacara budaya (tradisi).
4.      Gunungan
Gunungan merupakan salah satu perlengkapan pada tradisi Bersih Sendang. Gunungan merupakan simbol yang mengandung makna luas, mendasar serta terbuat dari berbagai macam hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan, kue.Serta bahan-bahan tersebut sudah disucikan dan diberi mantra.Oleh karena itu gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Ada dua macam gunungan dalam tradisi Bersih Sendang yaitu:
a.       Gunungan Lanang (pria)
b.      Gunungan Wadhon (wanita)
Gunungan dalam tradisi Bersih Sendang terdapat dua gunungan  wadhon yang berada disamping kanan dan kiri. Serta satu gunungan lanang yang terdapat ditengah-tengah. Gunungan juga memilki makna akan keberadaan Tuhan dengan makhlukNya agar menjadi posisi yang sama. Dalam istilah Jawa dikenal dengan dengan sebutan “Manuggaling Kawulo Gusti”.[16]
5.      Sesaji-sesaji
Bunga dalam suatu tradisi atau upacara umumnya digunakan untuk pelengkap sesaji. Khususnya dalam tradisi Bersih Sendang terdapat bermacam-macam bunga yang dipersiapkan dan digunakan. Bunga dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan kembang. Sedangkan dalam tradisi atau upacara, masyarakat cenderung menggunakan kembang telon yaitu Kembang Kanthil, Kembang Mlati, Kembang Kenanga dan Kembang Mawar sebagai pelengkapnya. Bunga-bunga tersebut juga memiliki makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
a.       Kembang Kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil)
Bunga kanthil berarti adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus.Yakni curahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.Manusia hidup pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk.[17]Manusia bisa melakukan hal demikian jika tanpa membedakan kulit atau status sosial dalam hubungan antara sesamanya.
b.      Kembang Melati (rasa melad saka njero ati)
Dalam berucap dan berbicara hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang paling dalam. Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, tidak munafik. Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati, atau mlathi bermakna filosofis bahwa setiap orang melakukan segala kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), jangan hanya dilakukan secara gerak ragawi saja.


c.       Kembang Kenanga (Keneng-a)
Keneng-a atau gapailah. Segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing angga bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua “pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian, kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
d.      Kembang Mawar (Mawi-Arsa)
Dengan kehendak atau niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar atau awar-awar ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus.Jadi niat tersebut harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah” yang diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik. Pamrih menginginkan pahala berarti tetap saja pamrih, berarti belum mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus, yakni duwe rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya rasa punya) sebagaimana ketulusan Tuhan serta kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah kepada seluruh makhluk.

6.      Doa-doa
Untuk mengiringi harapan yang ingin di ucapkan dalam suatu ritual dan tradisi, selain menggunakan sesaji seorang modhen harus mengucapakan doa-doa. Pelafalan doa dalam tradisi Bersih Sendang berdasarka agama masing-masing. Para modhen juga menggunakan beberapa ayat dalam Al-Qur’an sebagai pengiring harapan yang diinginkan. Selain itu, modhen juga berdoa untuk kelancaran prosesi tradisi Bersih Sendang dan kesejahteraan seluruh warga desa Tawun. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci.
“Doa yang diucapkan ya menurut agama masing-masing mas, tidak ada paksaan. Biasanya modhen juga menggunakan ayat Al-Qur’an untuk mengiringi doa-doa. Selain berdoa untuk kelancaran jalannya tradisi, modhen juga berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan warga Tawun”.[18]

C.         Kontribusi Tradisi Bersih Sendang Bagi Kehidupan Masyarakat
                    Masyarakat dan kebudayaan selalu mengalami perubahan. Perubahan suatu kebudayaan dapat muncul dari dalam masyarakat sendiri atau dari kebudayaan itu sendiri. Perubahan ini terkadang karena jumlah penduduk yang semakin bertambah. Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, norma-norma dan adat-istiadat.Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan tindakan-tindakan yang diizinkan.[19]
Kebudayaan Jawa memiliki beberapa ciri-ciri pokok yang dapat mencipatakan corak dan watak manusia. Sehingga masyarakat Jawa cenderung bersifat damai, sejuk dan rukun.[20]Masyarakat merupakan suatu sistem hidup bersama dan menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. Keterikatan ini menyebabkan kebudayaan memiliki pengaruh bagi setiap perilaku masyarakat.[21]
Kehidupan manusia dan aktifitasnya selalu berada di dalam masyarakat. Hal yang demikian tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena bukan hanya sekedar tuntunan dan tuntutan semata, melainkan terdapat makna atau arti yang lebih komprehensif dan radikal. Kebudayaan dapat mencipatakan masyarakat. Mengenai tradisi turun-temurun ini, sesepuh desa Tawun selaku juru kunci Mbah Wo Supomo mengatakan bahwa tradisi Bersih Sendang ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan adat budaya penduduk desa Tawun sejak zaman dulu.
Tidak sekadar melestarikan warisan leluhur, tradisi ini menurut Mbah Supomo berawal dari warisan Eyang Lodro Joyo yang dulu pernah bertapa di sumber Beji  untuk mencari ketenangan dan kesejahteraan hidup. Setelah bertapa lama, tepat di hari Selasa Kliwon jasad Eyang Ludro Joyo dipercaya hilang dan timbullah air sumber yang dimanfaatkan warga untuk mengairi lahan pertanian penduduk sekitar dan digunakan untuk menyuplai air kolam renang di tempat wisata Tawun yang merupakan objek wisata sumber kehidupan bagi warga setempat.
Terkait dengan air yang keluar dari sumber mata air ini, menurut kepercayaan warga memiliki berbagai keistimewaan. Warga percaya, air sumber yang baru keluar setelah upacara “Keduk Beji” sangat berkhasiat. Selain untuk kesehatan, air ini juga bisa membuat awet muda. Sedangkan Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon yang disediakan sebagai sarana warga untuk mencari berkah.
Sementara itu, inti dari ritual ini terletak pada penyimpanan kendi di pusat sumber Beji. Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber. Setiap tahunnya kendi di dalam sumber diganti melalui upacara ini. Hal ini dimaksudkan agar sumber Beji tetap bersih, serta tidak kalah sakralnya.
1.      Bidang Religi dan Sosial
Tradisi Bersih Sendang memiliki dampak dalam kehidupan religi masyarakat setempat. Meskipun kepercayaan akan leluhur terlihat kental dengan adanya akulturasi antara Islam dan Hindu, warga desa Tawun sangat menjunjung tinggi Islam. Warga setempat menolak keras jika dibangun Pura atau Gereja di tempat tersebut. Seperti wawancara yang dilakukan dengan Mbah Wo Supomo.
“Dulu itu mas, ada orang yang mau mendirikan gereja dan pura. Tapi, warga di sini tidak ada yang setuju. Walaupun warga di sini berbeda latar belakang, tetapi tetap satu prinsip mengenai kepercayaan”[22]

Begitupun dalam pergaulan antara sesama pemuda-pemuda desa Tawun. Acara tradisi ini dapat menciptakan tali silaturahmi dengan tanpa membedakan latar belakang mereka. Masyarakat dapat mengetahui nilai suatu gotong royongdan menyadari bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi juga dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakat dan alam semesta.[23]Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan pemuda desa Tawun:
“Saya senang bisa ikut acara ini karena bisa silaturahmi dengan teman-teman yang agak jauh rumahnya. Selain itu, kami juga bisa saling bergotong-royong dalam membersihkan kotoran di Keduk Beji”[24]

Di dalam tradisi Bersih Sendang, gamelan juga mengiringi tari pecut yang dilakukan oleh pemuda-pemuda yang berada di dasar Keduk Beji. Gaya tari biasanya berkaitan dengan budaya atau suatu aliran.[25] Tarian pecut ini dilakukan dengan berpasang-pasangan yang memiliki makna latihan perang yang dilakukan antara seorang prajurit perang dengan seorang senopati. Akan tetapi, terdapat beberapa orang yang menyalah gunakan tarian dengan mabuk-mabukan. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Nur Khalim selaku penari :
“Ya waktu berlangsungnya tari pecut ada yang meminum arak sehingga ada yang mabuk-mabukan dan sedikit menggangu berlangsungnya acara ini, saya sendiri pun tidak berani memperingati”[26]

Masyarakat adalah orang yang  hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena semua aspek dalam kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai wujud dari kebudayaan. Misalnya gagasan atau pikiran manusia, aktivitas manusia, atau karya yang dihasilkan manusia. Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
2.      Bidang Pendidikan
Di antara tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berbudi pekerti luhur. Secara filosofi titik tekannya adalah obyek nilai dan moral pada diri anak didik tersebut. Seni dapat dimanfaatkan untuk membimbing dan mendidik mental serta tingkah laku seseorang agar berubah menuju kondisi yang lebih baik, antara lain memperluas perasaan, bersikap santun, berperilaku lemah lembut, bermoral mulia, dan berbudi pekerti luhur.
Tradisi Bersih Sendang memiliki unsur-unsur pendidikan yang dapat mendidik anak bangsa. Dalam kisah Raden Lodrojoyo,dia tidak pernah membedakan status sosial dan kasta. Raden Lodrojoyo mau bergaul dan mendengarkan masalah masyarakat sekitar. Sehingga dengan niat suci dan tulusnya, Raden Lodrojoyo dengan izin Ki Ageng Metawun ingin melakukan tirakat guna memperbaiki perairan sawah penduduk sekitar sendang. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan yang membangunkan penduduk sekitar sendang. Raden Lodrojoyo pun menghilang tanpa bekas. Akhirnya, air sendang pun dapat mengalir ke persawahan warga atas jasa Raden Lodrojoyo yang ikhlas dan rela berkorban sampai mati demi membela orang lemah, miskin, kecil tanpa pamrih habis sampai mati.
3.      Bidang Ekonomi
Orang Jawa memiliki sifat alami dan perlu usaha yang keras dalam memompa kehidupan mereka. Apalagi seiring berkembangnya teknologi di era globalisasi.[27] Bagi masyarakat desa Tawun, tradisi yang diadakan setiap tahun adalah sarana menambah penghidupan ekonomi mereka. Mereka dapat mendirikan warung-warung di sekitar Keduk Beji untuk menambah penghasilan. Semakin banyak masyarakat dari dalam daerah ataupun luar daerah yang berkunjung, makin banyaklah barang dagangan mereka yang terjual. Maka, akan semakin tinggi penghasilan yang mereka peroleh dalam waktu satu hari dibandingkan apabila tidak ada acara tradisi Bersih Sendang atau acara adat lainnya. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan ibu Kartini, salah satu pemilik warung:
“Untungnya kalau cuma hari biasa sekitar seratus ribu mas, tapi kalau ketika ada acara seperti ini, bisa mencapai dua kali lipat mas, tergantung barang dagangannya dan kalu hari-hari biasa hanya sedikit pembelinya, berbeda ketika ada acara”[28]

Untuk menambah penghasilan, warga desa Tawun tidak segan berjualan apapun. Mereka berbondong-bondong mengangkat barang dagangannya di sekitar tempat diadakannya tradisi. Dari hasil penjualannya ini mereka mendapatkan tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, mereka menggunakan pengahasilan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. Para pedagang yang datang dari dalam daerah ataupun luar daerah tidak di pungut biaya sepeserpun untuk berjualan disekitar Keduk Beji. Tradisi adat yang diadakan setiap tahunnya ini tidak hanya mengundang dari kalangan masyarakat, tetapi juga para perangkat desa dan MUSPIDA setempat.
Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban. Masyarakat desa Tawun yang mayoritas petani dan peternak, sangatlah menggantungkan tambahan ekonomi mereka melalui tradisi adat yang diadakan setiap tahunnya.
Pelaksanaan tradisi sebagai  perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks adat budaya rasa syukur tidak cukup hanya dengan lisan, namun perlu diwujudkan dalam bentuk upacara tradisi dan kalimat syukur itu diucapkan berbarengan dengan acara tersebut.




[1]Fahmi Suwadi dan Abu Aman, Ensiklopedia Syirik & Bid’ah Jawa (Solo: Aqwam, 2011), h. 76.
[2]Achmad Fedyani, Antropologi Kontemporer (Jakarta: Predana Media Group, 2006), h. 290.
[3]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (Jakarta: Raja Grafido Pustaka, 2006), h. 414.
[4]Fahmi Suwadi dan Abu Aman, Ensiklopedia Syirik & Bid’ah Jawa (Solo: Aqwam, 2011), h. 163.
[5]Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[6]Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 25 Februari 2013.
[7]Wawancara pribadi dengan Suparmi, Ngawi, 27 Februari 2013.
[8]Wawancara pribadi dengan Suparmi, Ngawi, 25 Februari 2013.
[9]Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 25 Februari 2013.
[10]Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 55.
[11]Ibid, h. 54.
[12]Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 21.
[13]Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 58.
[14] Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[15] Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[16]Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa Menggali Butir-butir Kearifan Lokal (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), h. 357.
[17]Sujarwo, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 288.
[18]Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[19]M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 45-46.
[20]Sujamto, Refleksi Budaya Jawa:dalam Pemerintahan dan Pembangunan (Semarang: Dahara Prize, 1997), h. 179.
[21]Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar  (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 39.
[22] Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[23]Abdurrohmat Fathoni, Antropologi Sosial Budaya (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 72.
[24]Wawancara pribadi dengan Iswanto, Ngawi,  26 November 2012.
[25]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (Jakarta: Raja Grafido Pustaka, 2006), h. 300.
[26]Wawancara pribadi dengan Nur Khalim, Ngawi, 26 Desember 2012.
[27]John Joseph Stockdale, Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Progresif Book, 2010), h. 195.
[28]Wawancara pribadi dengan ibu Kartini, Ngawi, 26 November 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar