BAB IV
MAKNA SIMBOLIK UNSUR-UNSUR TRADISI BERSIH SENDANG
YANG MEMUAT NILAI FILOSOFIS
A.
Penggunaan Sesaji dalam Tradisi Bersih
Sendang
Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab
sebelumnya mengenai sesaji dan makna simbolik yang terkandung di dalamnya,
sesaji juga memilik tata cara dalam penggunaanya. Sedangkan kalau kita amati
makanan dalam slametan, sesaji yang diisyaratkan sangat bermacam-macam.[1]
Simbol adalah objek, bunyi bicara atau
bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia sendiri. Bentuk primernya
adalah bahasa. Tetapi manusia juga menggunakan simbol dalam lukisan, tarian,
musik dan banyak lagi lainnya. Begitupun sesaji dalam tradisi Bersih Sendang
memiliki makna pada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan
dengan pikiran, gagasan atau emosi.[2]
Tradisi Bersih Sendang penuh dengan
nilai mistik, moral, budaya dan filosofis yang patut dikaji. Penggunaan sesaji
sebenarnya atas anjuran adat dalam mematuhi tradisi Jawa.[3]
Sesaji-sesaji yang digunakan dalam
tradisi Bersih Sendang tidak lain adalah turun temurun dari nenek
moyang. Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa adalah persembahan pada
makhluk halus sebagai upaya pendekatan
agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain tujuan sesaji
adalah untuk keselamatan.
Sesaji adalah tradisi Jawa
menjadi syarat dalam pelaksanaanya. Sesaji bisa dikatakan syirik dan bid’ah jika
kurang adanya suatu pemahaman yang mendasar.[4]Simbol
dalam sesaji memiliki makna akan suatu keberkahan dan keselamatan. Akan tetapi,
hanya beberapa orang saja yang mengetahui. Sesaji merupakan jalan mudah dalam
memaknai arti hidup. Sehingga simbol yang terkandung di dalamnya dapat
dijadikan pedoman hidup.
1.
Fungsi Sesaji
Dalam
masyarakat tradisional, mahluk halus merupakan bagian dari masyarakat itu
sendiri, dalam arti bahwa mahluk halus juga berasal dari para leluhur, sanak
saudara, dan keluarga yang telah meninggal. Mereka juga dipercaya sebagai
penghuni pertama sebelum manusia menempati daerah atau wilayah tersebut.
Pelaksanaan tradisi Bersih Sendang
menggunakan bermacam-macam sesaji. Penggunaan sesaji sangatlah penting
dalam suatu upacara adat yaitu sebagai berikut:
a.
Sebagai alat sedekah bagi leluhur
ataupun masyarakat sekitar.
b.
Sebagai fungsi
simbolik komunikasi
dengan makhuk halus
atau leluhur setempat.c.
Mempertebal
keyakinan bahwa upacara ritual atau tradisi merupakan sarana yang mengajarkan
nilai-nilai kehidupan yang hakiki.
Seperti yang
dikutip dalam wawancara dengan juru kunci setempat mengenai fungsi sesaji dalam
tradisi Bersih Sendang.
“Sesaji itu digunakan untuk kebutuhan atau perkengkapan dalam tradisi ini.
Selain itu juga dimakan oleh warga setempat. Ya sesaji itu sebagai komunikasi
dengan leluhur serta ditaruh dalam sumber beji menurut apa yang dibutuhkan oleh
Eang Lodorojoyo”[5]
Maka dari itu, sebelum
mengadakan suatu tradisi atau hajatan (perkawinan, pertunjukan seni tradisional)
masyarakat selalu memberi sesaji di tempat-tempat yang dianggap keramat di mana
dipercaya arwah leluhur desa berada. Demikian juga acara Bersih Sendang
juga merupakan penghormatan kepada leluhur yang telah membangun desa tersebut
selain juga sebagai doa agar desa tetap subur makmur dan bebas dari malapetaka.
Seperti wawancara yang dikutip dengan juru kunci.
“Ya leluhur di sini keturunan dari mbah-mbah yang membangun desa
ini, buktinya bisa bantu rakyat miskin di sini, dan saya sendiri terkadang mendengarkan
suara-suara di sekitar sendang”.[6]
Pemberian
sesaji ini untuk memberitahu dan mengajak leluhur ikut serta dalam pesta
tersebut dan menjaganya agar tidak mendapat gangguan dari mahluk halus yang
jahat.
2.
Mitos Sesaji
Banyak
sekali mitos yang berkenaan dengan hal gaib. Makhluk halus yang dimaksud dikenal dalam
kehidupan spiritual yang dapat dipahami dengan ajaran agama. Mungkin ini suatu isyarat atau simbol untuk menuju kehidupan nyata. Dalam tradisi
Bersih Sendang, penggunaan sesaji sangatlah sakral dan tidak boleh
diubah-ubah seenaknya. Akibat tidak menggunakan sesaji sangat bermacam-macam
yaitu:
a.
Mendapatkan bencana sehingga kehidupan tidak
tenang dan tentram.
b.
Mendapatkan gangguan dari makhluk halus karena
tidak memberi makanan.
c.
Hubungan manusia dan leluhur memburuk.
Seperti wawancara yang dikutip dengan warga
sekitar tentang mitos sesaji.
“Biar tidak
terjadi gangguan apa-apa mas, untuk leluhur setempat.Dan gak boleh diicipi
siapapun, kecuali habis bersih-bersih tidak apa-apa mas.Soalnya dulu tempat ini
angker, masih keturunan Mataram. Biasanya kalau ada burung yang terbang di atas
akan jatuh mati, padahal dulu di sini banyak burung berterbangan dan sekarang hampir
tidak ada mas”[7]
Masyarakat desa Tawun
sangat memegang teguh dalam penggunaan sesaji. Dikarenakan kepercayaan yang
turun-temurun dari leluhur mereka. Mereka yakin apabila tidak memenuhi sesaji
yang dibutuhkan dapat terjadi bencana dan mendapat gangguan dari makhluk halus
setempat.
B.
Unsur-unsur dalam Tradisi Bersih Sendang yang
Memuat Nilai Filosofis
1.
Kambing Kendhit
Masyarakat desa Tawun
juga mempersiapkan kambing untuk disembelih dan dibakar. Warga yang menyembelih
kambing kendhit haruslah turun temurun dan tidak boleh digantikan oleh
siapapun. Karena jika berganti orang juga ditakutkan akan terjadi hal yang
tidak diharapkan selama prosesi acara berlangsung. Seperti yang dikutip dalam
wawancara dengan warga:
“Orang yang menyembelih itu harus
turun temurun mas, Serta tidak boleh diganti orangnya. Kalau sampai diganti
takut terjadi apa-apa”[8]
Kambing yang digunakan
dalam tradisi adalah kendhit (kambing yang terdapat garis putih di
perutnya). Garis putih pada kambing memiliki makna filosofis bagaikan sabuk
seorang prajurit perang yang memiliki niat bersih dan suci dalam membela rakyatnya
yang lemah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru
kunci:
“Ya maksudnya dalam tradisi ini harus kambing kendhit, garis putih di perut
kambing seperti sabuknya seorang
prajurit yang berwarna putih dan juga memilki niat suci dalam membea rakyatnya”[9]
Sebelum disembelih dan
dibakar, kambing di mandikan tiga kali serta diarahkan ke arah utara dan
selatan.Arah utara menunjukkan lokasi sumber air dan arah selatan menunjukkan
arah air sumber mengalir.
2.
Tumpeng
Tumpeng merupakan sajian
yang berbentuk nasi kerucut dengan aneka lauk pauk
yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Dalam
upacara atau tradisi adat Jawa tumpeng merupakan syarat pelengkap baik yang
sifatnya sedih maupun gembira. Tumpeng merupakan syarat dengan simbol mengenai ajaran makna hidup.[10]
Dalam acara selamatan, nasi tumpeng biasanya
dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong
tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus
ungkapan atau ajaran falsafah hidup agar menjadi lebih baik.
Tumpeng yang menyerupai gunung menggambarkan
kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi tumbuh-tumbuhan.[11]Pada jaman
dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk
dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik. Yaitu sebagai berikut:
a.
Nasiputih
Berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Nasi putih juga melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin naik dan tinggi.[12]
Berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapat menyembah kepada Tuhan. Nasi putih juga melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin naik dan tinggi.[12]
b.
Ayam
Ayam
jago (jantan) dimasak utuh dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu
santan yang kental), merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung)
dengan hati yang tenang (wening).[13]Ketenangan
hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa).
Menyembelih
ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan
oleh ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela
dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak
perhatian kepada anak istri.
c.
Ikan Lele
Dahulu
lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan bandeng atau gurami atau
lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal
tersebut merupakan simbol ketabahan dan keuletan dalam hidup serta sanggup
hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.
d.
IkanTeri/gereh
Ikan
teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan
teri juga menyimbolkan akan suatu kebersamaan.
e.
Telur
Telur
direbus pindang yaitu telur yang tidak didadar atau mata sapi dan disajikan
utuh dengan kulitnya. Jadi tidak dipotong sehingga untuk memakannya harus
dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana
dan dievaluasi.
f.
Sayuran
Sayuran
yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih
dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap
Sedangkan tumpeng dapat
digunakan untuk segala acara dengan tujuan seperti selamatan masa hamil,
selamatan kelahiran bayi, selamtan anak, selamatan pengantin, selamatan bangsa
dan Negara.
3.
Alat Gamelan
Pelaksanaan
tradisi Bersih Sendang juga diiringi oleh beberapa musik gamelan beserta para penyanyi. Gamelan memainkan peranan penting dalam kegiatan
keagamaan atau beribadah, seperti kepada Sang Pencipta yang dilakukan di pura,
gereja, atau masjid. Dalam agama Islam, lagu-lagu pujian banyak diiringi dengan
pukulan rebana, sedangkan di gereja diringi dengan piano, gitar atau alat musik
lainnya.
Gamelan juga digunakan pada berbagai tradisi atau upacara adat
sehubungan dengan kondisi alam, musim tertentu, pernikahan, atau kematian.
Gamelan yang digunakan dalam tradisi Bersih Sendang yaitu Lukononto. Sedangkan
lagu yang digunakan untuk mengiringi prosesi acara yaitu Kembang Gayam dan
Gendhing Wilujeng. Pada acara tari pecut juga diringi dengan lagu yang
berbeda yaitu Gedhing Gologanjir. Seperti yang dikutip dalam wawancara
dengan Mbah Wo Supomo selaku juru junci.
“Gamelan yang digunakan dalam tradisi ini yaitu Lukononto. Sedangkan
lagu yang mengiringi acara ini beda-beda mas. Lagu untuk mengiringi acara
pertama yaitu Kembang Gayam dan
Gendhing Wilujengan. Sedangkan pada acara tarian pecut lagu yang digunakan
yaitu Gedhing Gologanjir mas”[14]
Fungsi dan peran gamelan sebagai alat musik tradisional sebagai
sarana ekspresi diri, upacara adat dan hiburan.
Fungsi dan Peran Gamelan Sebagai Alat Musik Tradisional yaitu:
a.
Sarana Upacara Budaya atau Tradisi
Gamelan biasanya berkaitan erat dengan upacara-
upacara kematian, perkawinan,
kelahiran, serta upacara keagamaan dan adat istiadat.Bunyi-bunyian dan
nada-nada yang dihasilkan sangat memungkinkan untuk mendukung upacara budaya
atau tradisi. Di beberapa daerah, bunyi yang dihasilkan oleh instrumen atau
alat tertentu diyakini memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu, instrumen
seperti itu dipakai sebagai sarana kegiatan tradisi Bersih Sendang. Gamelan
dalam tradisi Bersih Sendang berguna sebagai sarana mengiringi kambing kendhit
ketika mengeilingi Keduk Beji dan mengiri para pemuda-pemuda ketika
berlangsung tarian pecut-pecutan.
b.
Sarana Hiburan
Gamelan juga merupakan salah satu cara untuk
menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana rekreasi
dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya masyarakat Jawa
jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong-bondong
mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton. Sebagaimana dalam tradisi Bersih Sendang,
bunyi gamelan dapat mengundang seluruh warga desa Tawun untuk menghadiri
acara yang dilakukan setiap tahunnya. Serta sebagai tanda bahwa upacara akan
segera dimulai. Sebagaiman wawancara yang dikutip dengan Mbah Wo Supomo selaku
juru kunci.
“Gamelan itu
sebagai iringan dalam tradisi ini mas, selain itu juga dapat memberitahu warga
sekitar bahwa acara ini akan segera dimulai”[15]
Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan
bahwa musik tradisional dapat berfungsi sebagai sarana dalam suatu upacara
budaya (tradisi).
4.
Gunungan
Gunungan merupakan salah satu
perlengkapan pada tradisi Bersih Sendang.
Gunungan merupakan simbol yang mengandung makna luas, mendasar
serta terbuat dari berbagai macam hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan,
kue.Serta bahan-bahan tersebut sudah disucikan dan diberi mantra.Oleh karena
itu gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Ada
dua macam gunungan dalam tradisi Bersih Sendang yaitu:
a.
Gunungan Lanang (pria)
b.
Gunungan Wadhon (wanita)
Gunungan dalam tradisi Bersih Sendang terdapat
dua gunungan wadhon yang berada
disamping kanan dan kiri. Serta satu gunungan lanang yang terdapat
ditengah-tengah. Gunungan juga memilki makna akan keberadaan Tuhan dengan makhlukNya agar menjadi
posisi yang sama. Dalam istilah Jawa dikenal dengan dengan sebutan “Manuggaling
Kawulo Gusti”.[16]
5.
Sesaji-sesaji
Bunga dalam suatu tradisi atau upacara umumnya
digunakan untuk pelengkap sesaji. Khususnya dalam tradisi Bersih Sendang
terdapat bermacam-macam bunga yang dipersiapkan dan digunakan. Bunga dalam istilah Jawa dikenal dengan sebutan kembang.
Sedangkan dalam tradisi atau upacara,
masyarakat cenderung menggunakan kembang telon yaitu Kembang Kanthil, Kembang Mlati, Kembang Kenanga dan Kembang Mawar sebagai
pelengkapnya. Bunga-bunga
tersebut juga memiliki makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
a. Kembang Kanthil (kanthi laku, tansah kumanthil)
Bunga kanthil berarti
adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil, yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus.Yakni curahan kasih sayang
kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya dan para leluhurnya.Manusia
hidup pada dasarnya untuk saling memberi dan menerima kasih sayang kepada dan
dari seluruh makhluk.[17]Manusia
bisa melakukan hal demikian jika tanpa membedakan kulit atau status sosial
dalam hubungan antara sesamanya.
b. Kembang Melati (rasa melad saka njero ati)
Dalam berucap dan
berbicara hendaknya kita selalu mengandung ketulusan dari hati nurani yang
paling dalam. Lahir dan batin haruslah selalu sama, kompak, tidak munafik.
Menjalani segala sesuatu tidak asal bunyi, tidak asal-asalan. Kembang melati,
atau mlathi bermakna filosofis bahwa setiap orang melakukan segala
kebaikan hendaklah melibatkan hati (sembah kalbu), jangan hanya dilakukan
secara gerak ragawi saja.
c. Kembang Kenanga (Keneng-a)
Keneng-a atau gapailah. Segala keluhuran yang telah dicapai oleh para pendahulu. Berarti
generasi penerus seyogyanya mencontoh perilaku yang baik dan prestasi tinggi
yang berhasil dicapai para leluhur semasa hidupnya. Kenanga, kenang-en ing
angga bermakna filosofis agar supaya anak turun selalu mengenang, semua
“pusaka” warisan leluhur berupa benda-benda seni, tradisi, kesenian,
kebudayaan, filsafat, dan ilmu spiritual yang banyak mengandung nilai-nilai
kearifan lokal (local wisdom).
d. Kembang Mawar (Mawi-Arsa)
Dengan kehendak atau
niat. Menghayati nilai-nilai luhur hendaknya dengan niat. Mawar atau awar-awar
ben tawar. Buatlah hati menjadi “tawar” alias tulus.Jadi niat tersebut
harus berdasarkan ketulusan, menjalani segala sesuatu tanpa pamrih (tapa
ngrame) sekalipun pamrih mengharap-harap pahala. Pahala tetap saja “upah”
yang diharapkan datang dari tuhan apabila seseorang melakukan suatu perbuatan
baik. Pamrih menginginkan pahala berarti tetap saja pamrih, berarti belum
mencapai ketulusan yang tiada batas atau keadaan rasa tulus, yakni duwe
rasa, ora duwe rasa duwe (punya rasa tidak punya rasa punya) sebagaimana
ketulusan Tuhan serta kekuatan alam semesta dalam melimpahkan anugrah kepada
seluruh makhluk.
6. Doa-doa
Untuk mengiringi
harapan yang ingin di ucapkan dalam suatu ritual dan tradisi, selain
menggunakan sesaji seorang modhen harus mengucapakan doa-doa. Pelafalan
doa dalam tradisi Bersih Sendang berdasarka agama masing-masing. Para modhen
juga menggunakan beberapa ayat dalam Al-Qur’an sebagai pengiring harapan
yang diinginkan. Selain itu, modhen juga berdoa untuk kelancaran prosesi
tradisi Bersih Sendang dan kesejahteraan seluruh warga desa Tawun.
Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Wo Supomo selaku juru kunci.
“Doa yang diucapkan ya menurut agama masing-masing mas, tidak ada paksaan.
Biasanya modhen juga menggunakan ayat Al-Qur’an untuk mengiringi
doa-doa. Selain berdoa untuk kelancaran jalannya tradisi, modhen juga
berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan warga Tawun”.[18]
C.
Kontribusi Tradisi Bersih Sendang Bagi
Kehidupan Masyarakat
Masyarakat dan
kebudayaan selalu mengalami perubahan. Perubahan suatu kebudayaan dapat muncul
dari dalam masyarakat sendiri atau dari kebudayaan itu sendiri. Perubahan ini
terkadang karena jumlah penduduk yang semakin bertambah. Kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, norma-norma
dan adat-istiadat.Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan
kewajiban-kewajiban, larangan-larangan dan tindakan-tindakan yang diizinkan.[19]
Kebudayaan Jawa
memiliki beberapa ciri-ciri pokok yang dapat mencipatakan corak dan watak
manusia. Sehingga masyarakat Jawa cenderung bersifat damai, sejuk dan rukun.[20]Masyarakat
merupakan suatu sistem hidup bersama dan menimbulkan kebudayaan, oleh karena
setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. Keterikatan
ini menyebabkan kebudayaan memiliki pengaruh bagi setiap perilaku masyarakat.[21]
Kehidupan manusia dan aktifitasnya selalu
berada di dalam masyarakat. Hal yang demikian tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lain. Karena bukan hanya sekedar tuntunan dan tuntutan semata,
melainkan terdapat makna atau arti yang lebih komprehensif dan radikal. Kebudayaan
dapat mencipatakan masyarakat. Mengenai tradisi turun-temurun ini, sesepuh desa
Tawun selaku juru kunci Mbah Wo Supomo mengatakan bahwa tradisi Bersih Sendang
ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan adat budaya penduduk desa
Tawun sejak zaman dulu.
Tidak sekadar melestarikan warisan leluhur,
tradisi ini menurut Mbah Supomo berawal dari warisan Eyang Lodro Joyo yang dulu
pernah bertapa di sumber Beji untuk mencari ketenangan dan kesejahteraan
hidup. Setelah bertapa lama, tepat di hari Selasa Kliwon jasad Eyang Ludro Joyo
dipercaya hilang dan timbullah air sumber yang dimanfaatkan warga untuk
mengairi lahan pertanian penduduk sekitar dan digunakan untuk menyuplai air
kolam renang di tempat wisata Tawun yang merupakan objek wisata sumber
kehidupan bagi warga setempat.
Terkait
dengan air yang keluar dari sumber mata air ini, menurut kepercayaan warga
memiliki berbagai keistimewaan. Warga percaya, air sumber yang baru keluar
setelah upacara “Keduk Beji” sangat berkhasiat. Selain untuk kesehatan, air ini
juga bisa membuat awet muda. Sedangkan Gunungan Lanang dan Gunungan Wadon
yang disediakan sebagai sarana warga untuk mencari berkah.
Sementara
itu, inti dari ritual ini terletak pada penyimpanan kendi di pusat sumber Beji.
Pusat sumber tersebut terdapat di dalam gua yang terdapat di dalam sumber.
Setiap tahunnya kendi di dalam sumber diganti melalui upacara ini. Hal ini
dimaksudkan agar sumber Beji tetap bersih, serta tidak kalah sakralnya.
1.
Bidang Religi
dan Sosial
Tradisi
Bersih Sendang memiliki dampak dalam kehidupan religi masyarakat
setempat. Meskipun kepercayaan akan leluhur terlihat kental dengan adanya akulturasi
antara Islam dan Hindu, warga desa Tawun sangat menjunjung tinggi Islam. Warga
setempat menolak keras jika dibangun Pura atau Gereja di tempat tersebut.
Seperti wawancara yang dilakukan dengan Mbah Wo Supomo.
“Dulu itu mas, ada orang yang mau mendirikan gereja dan pura. Tapi,
warga di sini tidak ada yang setuju. Walaupun warga di sini berbeda latar
belakang, tetapi tetap satu prinsip mengenai kepercayaan”[22]
Begitupun
dalam pergaulan antara sesama pemuda-pemuda desa Tawun. Acara tradisi ini dapat
menciptakan tali silaturahmi dengan tanpa membedakan latar belakang mereka.
Masyarakat dapat mengetahui nilai suatu gotong royongdan menyadari bahwa
manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi juga dikelilingi oleh
komunitasnya, masyarakat dan alam semesta.[23]Seperti
yang dikutip dalam wawancara dengan pemuda desa Tawun:
“Saya senang bisa ikut acara ini karena bisa silaturahmi dengan
teman-teman yang agak jauh rumahnya. Selain itu, kami juga bisa saling
bergotong-royong dalam membersihkan kotoran di Keduk Beji”[24]
Di dalam tradisi Bersih Sendang, gamelan
juga mengiringi tari pecut yang dilakukan oleh pemuda-pemuda yang berada di
dasar Keduk Beji. Gaya tari biasanya berkaitan dengan budaya atau suatu aliran.[25] Tarian
pecut ini dilakukan dengan berpasang-pasangan yang memiliki makna latihan
perang yang dilakukan antara seorang prajurit perang dengan seorang senopati. Akan tetapi, terdapat beberapa orang yang menyalah gunakan tarian
dengan mabuk-mabukan. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Nur Khalim
selaku penari :
“Ya waktu berlangsungnya tari pecut ada yang meminum arak sehingga ada yang
mabuk-mabukan dan sedikit menggangu berlangsungnya acara ini, saya sendiri pun
tidak berani memperingati”[26]
Masyarakat adalah orang
yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan
tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. Kebudayaan tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat karena semua aspek dalam kehidupan masyarakat dapat
dikatakan sebagai wujud dari kebudayaan. Misalnya gagasan atau pikiran manusia,
aktivitas manusia, atau karya yang dihasilkan manusia. Segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh adanya
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
2.
Bidang Pendidikan
Di
antara tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berbudi pekerti luhur. Secara
filosofi titik tekannya adalah obyek nilai dan moral pada diri anak didik
tersebut. Seni dapat dimanfaatkan untuk membimbing dan mendidik mental serta
tingkah laku seseorang agar berubah menuju kondisi yang lebih baik, antara lain
memperluas perasaan, bersikap santun, berperilaku lemah lembut, bermoral mulia,
dan berbudi pekerti luhur.
Tradisi
Bersih Sendang memiliki unsur-unsur pendidikan yang dapat mendidik anak
bangsa. Dalam kisah Raden Lodrojoyo,dia tidak pernah membedakan status sosial
dan kasta. Raden Lodrojoyo mau bergaul dan mendengarkan masalah masyarakat
sekitar. Sehingga dengan niat suci dan tulusnya, Raden Lodrojoyo dengan izin Ki
Ageng Metawun ingin melakukan tirakat guna memperbaiki perairan sawah penduduk
sekitar sendang. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan yang
membangunkan penduduk sekitar sendang. Raden Lodrojoyo pun menghilang
tanpa bekas. Akhirnya, air sendang pun dapat mengalir ke persawahan
warga atas jasa Raden Lodrojoyo yang ikhlas dan rela berkorban sampai mati demi
membela orang lemah, miskin, kecil tanpa pamrih habis sampai mati.
3.
Bidang Ekonomi
Orang Jawa memiliki sifat alami dan perlu usaha
yang keras dalam memompa kehidupan mereka. Apalagi seiring berkembangnya
teknologi di era globalisasi.[27] Bagi
masyarakat desa Tawun, tradisi yang diadakan setiap tahun adalah sarana menambah
penghidupan ekonomi mereka. Mereka dapat mendirikan warung-warung di sekitar
Keduk Beji untuk menambah penghasilan. Semakin banyak masyarakat dari dalam
daerah ataupun luar daerah yang berkunjung, makin banyaklah barang dagangan
mereka yang terjual. Maka, akan semakin tinggi penghasilan yang mereka peroleh
dalam waktu satu hari dibandingkan apabila tidak ada acara tradisi Bersih Sendang
atau acara adat lainnya. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan ibu
Kartini, salah satu pemilik warung:
“Untungnya
kalau cuma hari biasa sekitar seratus ribu mas, tapi kalau ketika ada acara
seperti ini, bisa mencapai dua kali lipat mas, tergantung barang dagangannya
dan kalu hari-hari biasa hanya sedikit pembelinya, berbeda ketika ada acara”[28]
Untuk menambah penghasilan, warga desa Tawun
tidak segan berjualan apapun. Mereka berbondong-bondong mengangkat barang
dagangannya di sekitar tempat diadakannya tradisi. Dari hasil penjualannya ini
mereka mendapatkan tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Selain itu, mereka menggunakan pengahasilan untuk membiayai
sekolah anak-anak mereka. Para pedagang yang datang dari dalam daerah ataupun
luar daerah tidak di pungut biaya sepeserpun untuk berjualan disekitar Keduk
Beji. Tradisi adat yang diadakan setiap tahunnya ini tidak hanya mengundang
dari kalangan masyarakat, tetapi juga para perangkat desa dan MUSPIDA setempat.
Kemiskinan merupakan
masalah sosial yang bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang
dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang. Kemiskinan merupakan problema
kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban. Masyarakat desa Tawun
yang mayoritas petani dan peternak, sangatlah menggantungkan tambahan ekonomi
mereka melalui tradisi adat yang diadakan setiap tahunnya.
Pelaksanaan tradisi
sebagai perwujudan rasa syukur terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks adat budaya rasa syukur tidak cukup hanya
dengan lisan, namun perlu diwujudkan dalam bentuk upacara tradisi dan kalimat
syukur itu diucapkan berbarengan dengan acara tersebut.
[3]Edi
Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah
(Jakarta: Raja Grafido Pustaka, 2006), h. 414.
[5]Wawancara
pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[6]Wawancara
pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 25 Februari 2013.
[7]Wawancara
pribadi dengan Suparmi, Ngawi, 27 Februari 2013.
[8]Wawancara
pribadi dengan Suparmi, Ngawi, 25 Februari 2013.
[10]Muhammad
Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h.
55.
[12]Wahyana
Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 21.
[13]Muhammad
Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), h.
58.
[15]
Wawancara pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[16]Heniy
Astiyanto, Filsafat Jawa Menggali Butir-butir Kearifan Lokal
(Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), h. 357.
[17]Sujarwo, Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 288.
[18]Wawancara
pribadi dengan Mbah Wo Supomo, Ngawi, 27 Februari 2013.
[20]Sujamto, Refleksi
Budaya Jawa:dalam Pemerintahan dan Pembangunan (Semarang: Dahara Prize,
1997), h. 179.
[21]Elly M. Setiadi,
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h. 39.
[23]Abdurrohmat
Fathoni, Antropologi Sosial Budaya (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 72.
[25]Edi
Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah
(Jakarta: Raja Grafido Pustaka, 2006), h. 300.
[26]Wawancara
pribadi dengan Nur Khalim, Ngawi, 26 Desember 2012.
[27]John Joseph
Stockdale, Eksotisme Jawa: Ragam Kehidupan dan Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: Progresif Book, 2010), h. 195.
[28]Wawancara
pribadi dengan ibu Kartini, Ngawi, 26 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar