Rabu, 19 November 2014

ETIKA MENURUT KGPAA MANGKUNEGARA IV-bab III



BAB III
ETIKA

A.    Pengertian Etika
Etika merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu etika mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik.[1] Secara etimologi etika berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos” yang mempunyai arti kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, cara berpikir, dan kata “ta etha” yang mempunyai arti adat kebiasaan. Dan secara terminologi etika adalah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia etika dijelaskan dengan tiga arti, yang pertama etika adalah ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan  kewajiban moral. Kedua, etika adalah kumpulan asas atau yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[2]
51
 
Perumusan tentang pengertian etika juga bisa dipertajam lagi menjadi tiga arti juga, sebagai berikut: 1) kata etika bisa dalam arti:  nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 2) Etika juga berarti: kumpulan asas atau atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. 3) Etika mempunyai arti juga: ilmu tentang yang baik dan buruk.[3] Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang merefleksi ajaran-ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas: bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik, dan normatif.
Kata etika juga erat kaitannya dengan kata moral yang berasal dari kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang mempunyai arti adat atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik.[4] Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Dan untuk lebih mengerti apa itu etika, perlu dibedakan dengan ajaran moral. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak berada ditingkatan yang sama, yang mengataka bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Ada perbedaan antara etika dan  ajaran moral. Perbedaannya, etika tidak berwenang untuk menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan, dan etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atsa dasar apa kita harus hidup menurut norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan sebagai buku petunjuk bagaiman kita harus memperlakukan sepeda motor dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor.[5]
Dari berbagai definisi tentenag etika dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis definisi: Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluative yang hanya memberika nilai baik buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberika informasi, menganjurkan dan merefleksikan.[6]
Menurut Robert C. Solomon, etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk pada dua hal. Pertama, disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup kita yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.[7]
Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam buku Kuliah Etika yang ditulis oleh Charris Zubair, bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya. Khususnya, mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dan perasaan, sampai terwujudnya suatu perbuatan.[8]
Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno, etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika adalaha ilmu, namun sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu empiris. Ciri khas filsafat itu dengan jelas tampak juga pada etika. Etika pun tidak berhenti pada hal yang konkret, tapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik atau buruk untuk dilakukan.[9]
Etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain dalam arti etika membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral” dan tugas utama etika adalah menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika membahas yang harus dilakukan, karena itu etika tidak jarang disebut juga filsafat praktis, mengapa praktis karena cabang ini berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.[10]
Obyek etika adalah pernyataan moral, pada dasarnya hanya dua macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsure-unsur kepribadian manusia.


B.     Macam-Macam Etika
Seperti yang sudah dijelaskan etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang aturan sosial dalam masyarakat. Namun untuk lebih fokus dalam mempelajarinya etika dibagi atas dua macam yakni etika umum dan etika khusus (terapan).
1.      Etika umum
Etika umum berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar. Bagaimana manusia bertindak secara etis. Bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan. Secara rinci etika umum menjelaskan tentang peraturan-peraturan yang menyangkut perilaku masyarakat secara keseluruhan dan mencakup semua bagian. Dari lingkungan masyarakat terutama, keluarga, sekolah, pekerjaan dan sebagainya. Dasar ini digunakan sebagai patokan dalam menilai baik buruk seseorang.
Etika tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggung jawab, menurut Van Peursen dalam bukunya Achmad Charris Zubair yang berjudul Kuliah Etika “etika merupakan suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan tanggung jawab manusia”. Tanggung jawab hanya dapat dituntun apabila ada kebebasan untuk memilih.[11]
a.       Kebebasan Manusia
Kebebasan adalah kemampuan manusia untuk bertindak, tidak dibatasi oleh orang lain atau masyarakat,[12] dan tidak mendapatkan paksaan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendak kita.[13]
Kebebsan bagi manusia pertama-tama, bahwa ia dapat menentukan apa yang mau dilakukannya secara fisik. Ia dapat mengerakkan anggota tubuhnya sesuai dengan kehendaknya, tentu dalam batas-batas kodratnya sebagai manusia.  Jadi kemampuan untuk mengerakkan tubuhnya memang tidak terbatas. Yang mengekang kebasan manusia adalah paksaan, karena tubuh kita berada dibawah hokum-hukum alam. Kebebasan untuk mengerakkan tubuh kita dapat dikurangi atau dihilangkan oleh kekuatan yang lebih kuat. Itu yang disebut paksaan, paksaan berarti bahwa kejasmanian kita dipergunakan untuk membuat kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak kita kehendaki.[14] Setiap paksaan atau manipulasi tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina manusia. maka kita bisa menjadi paling terhina
Adanya paksaan juga menunjukkan bahwa kebebasan fisik kita bukan sekedar kemampuan jasmani saja, melainkan berakar dalam kehendak kita. Kebebsan jasmani bersumber pada kebebasan rohani. Kebebasan rohani adalah kemampuan kita untuk menentukan sendiri apa yang kita fikirkan, untuk menghendaki sesuatu dan bertindak secara terencana. Kebebasan rohani bersumber pada akal budi, karena akal budi bisa membuat fikiran manusia melampaui keterbatasan fisik. Dan roh manusia bebas untuk mengembara, maka manusia dapat selalu memasang tujuan-tujuan baru, mencari jalan-jalan baru. Kebebasan rohani manusia adalah seluas jangkauan fikiran dan bayangan manusia.[15]dan jagkauan kebebasan jasmani ditentukan oleh kemampuan badan manusia, jadi jangkauan itu tentu tidak terbatas. Tetapi adanya batasan jangkauan  kemampuan manusia tidak mengurangi melainkan menentukan sifat kebebasan manusia.[16]
b.      Tanggung Jawab
Ruang kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita harus diisi dengan sikap dan tindakan. Kita sendirilah yang menentukan sikap, itulah tanggung jawab kita. Maka antara kebebasan dan tanggung jawab terdapat hubungan erat.[17]Jadi adanya kebebasan tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa saja dengan seenaknya. Bahwa kita diberi kebebasan sosial oleh masyarakat berarti bahwa kita dibebani tanggung jawab untuk mengisi ruang kebebasan itu secara bermakna.[18]
Keputusan dan tindakan yang kita ambil harus dipertanggung jawabkan sendiri. Kita tidak dapat melempar tanggung jawab kepada orang lain. Jadi orang yang tidak bertanggung jawab adalah orang yang lemah, ia mengalah terhadap segala macam perasaan. Ia tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sebagai tanggung jawab, karena ia malas, tidak suka susah, takut, lemah, emosi dan dikuasai hawa nafsu. Maka hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab dapat dirumuskan demikian: makin seseorang tidak mau bertanggung jawab , maka makin sempit wawasan dan makin lemah.[19]
2.      Etika khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Bagaimana cara mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan, dan kegiatan khusus yang dilakukan dengan cara menerapkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Bagaimana menilai perilaku diri sendiri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi memungkinkan manusia bertindak etis. Cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Mengarahkan manusia untuk menjadi yang lebih khusu misalnya; seorang dokter, biarawan, guru, dan sebagainya.
Pengertian etika khusus masih terbagi menjadi dua bagian, yakni etika individual dan etika sosial. Etika individual menyakut segala aspek tingakah laku manusia yang meliputi kewajiban dan hak manusia terhadap diri sendiri. Misalnya; memelihara kesehatan badan jasmani dan rohani, menjaga kerapian diri dan lingkungan sekitar dan sebagainya. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia. [20] 
Etika sosial meliputi sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi,etika lingkungan hidup, etika politik, dan sebagainya. Tujuan dari etika sosial, supaya manusia sadar akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama menurut semua dimensi yang disebut di atas. Etika sosial sendiri merupakan filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia.[21]
Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia. Etika ini kemudian diwujudkan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat dibutuhkan. Difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan secara logika-rasional umum (common sense) yang dinilai menyimpang dari kode etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Dalam hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu sistem yang mengatur, bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tenteram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Dengan demikian, aturan etik adalah aturan mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
Seperti yang sudah dijelaskan mengenai etika dan pengertiannya dalam karya wedatama yang merupakan karangan mangkuneragaran, merupakan karya berisi tentang aturan-aturan hidup manusia yakni tentang etika. Tanpa disadari manusia hidup di dunia sejak lahir sampai ia kembali pada sang pencipta harus mematuhi aturan-aturan yang ada dalam bermasyarakat.[22] Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membantu satu sama lain dan manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya orang lain. Prinsip ini sudah menjadi hukum alam dan harus dijalani oleh semua manusia. Kegiatan sosial yang ada didalamnya merupakan langkah untuk mendekatkan manusia yang satu dengan yang lainnya.

C.    Teori-teori Etika
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, artinya banyak uaraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam kehidupan manusia.[23] Pada dasarnya tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan, oleh karena itu prinsip dasar bagi segala tindakan adalah agar kebahagiaan tercapai. Ada tiga teori untuk mencapai kebahagiaan, yaitu hedonism, pengembangan diri, dan utilitarisme. Ketiga teori tersebut memiliki kesamaan bahwa nilai moral ditentukan oleh yang mau dicapai dengannya, suati tindakan baik kalau mau mengusahakan kebahagiaan dan buruk kalau akan menghalang-halangi tercapainya kebahagiaan.[24]


1.      Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone artinya nikmat, kegembiraan. Hedonisme bertolak dari anggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin bahagia. Pandangan bahwa tercapainya kebahagiaanharus menjadi tujuan kehidupan manusia dan oleh karena itu manusia hendaknya hidup dengan suatu cara yang mendekatkannya pada kebahagiaan. Yang khas dari hedonisme adalah anggapan bahwa manusia akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin dan sebisa mungkin mengindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Semboyan dari hedonisme “carilah nikmat dan hindarilah perasaan-perasaan yang menyakitkan”.[25]
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan oleh Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 SM), seorang murid Sokrates. Aristippos menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan, bagi aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain dari pada gerak dalam badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidak senangan, gerak yang halus dan itulah kesenagan dan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesengan actual, bukan kesengan dari masa lampau dan kesengan di masa mendatang.[26]   
2.      Pengembangan Diri
Kebahagiaan adalah keadaan manusia yang semakin menemukan diri, inilah inti dari pandangan etika pengembangan diri. Manusia tidak menjadi bahagia apabila secara pasif saja mau menikmati segala-galanya, melainkan kalau ia mau secara aktif merealisasikan bakat-bakat dan potensi-potensinya. Pengembangan diri (self realization) merupakan panggilan luhur dan salah satu kewajiban moral dasar bagi manusia. Semakin ia berhasil dalam panggilan luhur itu maka ia akan merasa semakin bahagia.[27]   
Jadi yang membahagiakan manusia adalah kalau kita mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakat yang kita punyai menjadi kenyataan, dan salah satu kewajiban manusia adalah mengembangkan diri.[28]
3.      Utilitarisme
Kata utilitarisme berasal dari kata latin “utilis” artinya berguna. Utilitarisme sering dianggap sebagai etika sukses, yaitu etika yang menilai kebaikan orang dari apakah perbuatannya menghasilkan sesuatu yang baik atau tidak. Utilitarisme tidak begitu saja  mengatakan bahwa suatu tindakan itu berguna bagi masyarakat namun juga baik dalam arti moral.[29]
Utilitarisme mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan adalah manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfaat, dikatakan buruk, jika menimbulkan mudarat.[30] Magnis Suseno menerangkan bahwa setiap manusia dalam bertindak harus menyebabkan akibat-akibat baik. Tindakan manusia diharapkan mampu membawa kemajuan terhadap sesama. Baginya, utilitarisme disebut universal, karena akibat-akibat baik yang ditimbulkan tidak hanya diperuntukkan si pelaku sendiri, namun juga harus berakibat baik terhadap seluruh dunia. Utilitarisme memperhatikan kepentingan semua orang yang berpengaruh terhadap tindakan tersebut, termasuk kepentingan si pelaku itu sendiri. Utilitarisme membenarkan bahwa mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan bersama (umum) adalah tindakan mempunyai nilai etika paling tinggi.[31]

D.    Etika Jawa
Etika Jawa itu mengenai orang Jawa.[32] orang Jawa adalah orang yang berbahasa Jawa, masih berakar dalam kebudayaan dan cara berfikir seperti orang-orang di daerah pedalaman Jawa, serta tidak eksplisit hidup berdasarkan agama Islam. Etika Jawa yang dimaksud di sini bukanlah etika yang pernah ada atau yang sat ini ada, melainkan suatu kontruksi teoritis yang disusun secara logis berdasarkan norma-norma dan nilai moral orang Jawa.[33]
Etika Jawa adalah aturan tata susila yang mengakar sebagai adat kebiasaan, sebagai tutunan norma hidup sehari-hari. Etika Jawa cenderung sebagai rambu-rambu tatakrama dan sopan santun atau unggah-ungguh orang Jawa. apabila orang Jawa bertindak mengikuti hal tersebut maka dipandang bersusila. Hal ini berarti bahwa etika Jawa juga merupakan refleksi dari self control karena segala sesuatunya dibuat dan ditentukan untuk individu atau kelompok itu sendiri.[34]
Kerukunan dalam semua segi kehidupan merupakan prinsip utama dalam etika Jawa. prinsip ini bertujuan untuk mempertahankan harmoni hubungan soaial dalam masyarakat. Konflik harus dicegah sebisa mungkin, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadi. Dalam bertindak, berbicara orang Jawa harus memperhatikan prinsip itu, karena itu relasi sosial dalam masyarakat Jawa. Menjaga kerukunan dan mengindari pertentangan sudah diajarkan sejak kecil, sehingga bila dilanggar akan menghadapi hambatan psikologis dan sosial yang berat.[35]
Corak etika Jawa sangant unik berbeda dengan etika barat, karena etika Jawa memiliki gambaran khas tentang manusia, pribadi, masyarakat dan alam semesta. Tidak ada keharusan untuk menaati aturan-aturan yang ada dalam etika, tetapi hati nurani kita yang menyuruh kita untuk mengikuti semua yang ada dalam etika. Dalam etika Jawa terdapat  beberapa aspek, yakni: tata cara, tata susila, tata pergaulan, sopan santun dan adat istiadat. Semua itu tidak dibuatnya secara resmi, tetapi secara tidak langsung dalam melaksanakan tugas semua itu muncul dengan sendirinya.[36]
Orang Jawa sangat menghargai keseimbangan batin, yang biasa orang Jawa kenal dengan sikap sabar, nrima, ikhlas, eling, waspada, andhap-asor, dan prasaja. Yang semua sikap tersebut mengarah pada kesempurnaan, yakni sikap  sepi ing pamrih. Sikap sepi ing pamrih memungkinkan seseorang mengkonsentrasikan daya Ilahi dalam batin seperti yang seharusnya dimiliki seorang penguasa. Untuk mengusahakan keseimbangan batin, orang juga harus menjaga jarak terhadap dunia dengan tujuan memperindah dunia. Usaha tersebut terjadi ketika melaksanakan kewajiban yang mengarah batin langsung agar terbebas dari emosi yang tak teratur.[37]
Segala sesuatu mempunyai tempat dan posisinya masing-masing. Dengan meletakkan segala sesuatu pada tempat yang tepat akan menjamin keselarasan kosmis. Setiap orang juga mempunyai tempat dan nasibnya sendiri yang terjalin dengan keseluruhan secara harmonis. Maka, setiap tindakan yang mengganggu keselarasan jagad akan dinilai negatif. Kewajiban setiap orang ditentukan oleh posisinya dalam masyarakat. Penilaian moral bergantung pada kesesuaian antara tindakan dengan status yang dimilikinya. Jadi, dalam masyarakat Jawa, yang terpenting adalah keseimbangan, model yang jelek pun mendapatkan tempatnya dalam realitas.[38]
Etika Jawa bertumpah pada ajaran ngesthi pribadi yang tidak individual dalam arti tidak egois. Mereka yang egois mesti menjadi buah bibir masyarakat. Ajaran etika Jawa sebagaiman yang tampak pada etikanya, meliputi banyak segi: unggah-ungguh, boja karma, pasegahan panakrama, suguh, iguh, tangguh, lungguh. Semua ajaran itu mencakup hubungan yang lengkap antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta.[39]
Ada peribahasa yang bersifat umum dalam etika Jawa, yakni wong becik ketitik wong ala ketara. Pernyataan ini sederhana sekali, akan tetapi jika diperhatikan sangat dalam isinya, karena nilai baik dan buruk pada hakikatnya bergantung pada hati nurani, insan kamil seseorang. Bagaimana pun ditutupnya suatu perbuatan yang buruk akhirnya akan ketahuan pula. Demikian pula sebaliknya, bagaiman pun ditutupnya perbuatan suatu perbuatan yang baik juga akhirnya terbukti kebaikannya.[40]


[1] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 14.
[2] K. Berstens, Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 4.
[3] Ibid, h. 6.
[4] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 13.  
[5] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 14.
[6] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 17.
[7] Robert C. Solomon, Etika: Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 2.
[8] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 15.
[9] K. Berstens, Etika, h. 21.
[10] Ibid, h. 22.
[11] Achmad charris Zubair, Kuliah Etika, h. 39.
[12] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 18.
[13] Frans Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 22.
[14] Ibid, h. 24.
[15] Ibid, h. 24.
[16] Achmad charris Zubair, Kuliah Etika, h. 40.
[17] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 22.
[18] Frans Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 41.
[19] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 23.
[20] Ibid, h. 7.
[21] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 8-9.
[22] Ibid,h. 20.
[23] K. Bertens, Etika, h. 183.
[24] Frans Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 113.
[25] Ibid, h. 114.
[26] K. Bertens, Etika, h. 184.
[27] Frans Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h.14.
[28] Frans Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 120.
[29] Ibid, h. 123.
[30] H. De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1987), h. 181.
[31] Frans Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 124-125.
[32] M. Soewdii, Etika Jawa Modernisasi dan Gotongroyong dalam Pembangunan Negara, (Surakarta: Museum Pers Nasional, 1989), h. 1.
[33] Sutrasno Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup, Mawas Diri, (Desember 1987), h. 6.
[34] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 34.
[35] Sutrasno Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup, h. 7.
[36] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, h. 35.
[37] Sutrasno Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup, Mawas Diri, (Desember 1987), h. 9-11.
[38] Sutrasno Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup, Mawas Diri, (Desember 1987), h. 10-11.
[39] Suwardi Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, h. 45.
[40] Heny Astiyanto, Filsafat Jawa, (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), h. 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar