
ETIKA
Etika merupakan cabang dari filsafat. Etika
mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang
sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu etika mencari ukuran baik-buruknya
bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang
baik.[1] Secara etimologi etika
berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos” yang mempunyai arti kebiasaan,
adat, akhlak, perasaan, cara berpikir, dan kata “ta etha” yang mempunyai
arti adat kebiasaan. Dan secara terminologi etika adalah ilmu tentang apa yang
bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia etika dijelaskan dengan tiga arti, yang pertama etika adalah ilmu
tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Kedua, etika adalah kumpulan
asas atau yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, etika adalah nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[2]
|
Kata etika juga erat kaitannya dengan
kata moral yang berasal dari kata latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya
“Mores” yang mempunyai arti adat atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik.[4] Etika dan moral lebih
kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat
perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan,
sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Dan
untuk lebih mengerti apa itu etika, perlu dibedakan dengan ajaran moral. Etika
bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika
adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran moral tidak
berada ditingkatan yang sama, yang mengataka bagaimana kita harus hidup, bukan
etika melainkan ajaran moral. Ada perbedaan antara etika dan ajaran moral. Perbedaannya, etika tidak
berwenang untuk menetapkan apa yang boleh kita lakukan dan yang tidak boleh
kita lakukan, dan etika berusaha untuk mengerti mengapa atau atsa dasar apa kita
harus hidup menurut norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan
sebagai buku petunjuk bagaiman kita harus memperlakukan sepeda motor dengan
baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi
sepeda motor.[5]
Dari berbagai definisi tentenag etika
dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis definisi: Jenis pertama, etika dipandang
sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk
dari perilaku manusia. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan
yang membicarakan masalah baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan
bersama. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma
karena adanya ketidaksaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang
deskriptif. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
bersifat normatif, evaluative yang hanya memberika nilai baik buruk terhadap
perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup
memberika informasi, menganjurkan dan merefleksikan.[6]
Menurut Robert C. Solomon, etika adalah
bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, dan
menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk pada dua hal.
Pertama, disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua,
pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup kita yang
sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita.[7]
Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam buku
Kuliah Etika yang ditulis oleh Charris Zubair, bahwa etika adalah ilmu yang
mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia
semuanya. Khususnya, mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat digunakan
sebagai pertimbangan dan perasaan, sampai terwujudnya suatu perbuatan.[8]
Etika termasuk filsafat dan malah
dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks
filsafat Yunani Kuno, etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan.
Etika adalaha ilmu, namun sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu
empiris. Ciri khas filsafat itu dengan jelas tampak juga pada etika. Etika pun
tidak berhenti pada hal yang konkret, tapi ia bertanya tentang yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, tentang yang baik atau buruk untuk
dilakukan.[9]
Etika tidak sama dengan cabang-cabang
filsafat yang lain dalam arti etika membatasi diri pada pertanyaan “apa itu
moral” dan tugas utama etika adalah menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh
manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika membahas
yang harus dilakukan, karena itu etika tidak jarang disebut juga filsafat
praktis, mengapa praktis karena cabang ini berhubungan dengan perilaku manusia,
dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.[10]
Obyek etika adalah pernyataan moral,
pada dasarnya hanya dua macam: pernyataan tentang tindakan manusia dan
pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsure-unsur kepribadian
manusia.
B. Macam-Macam Etika
Seperti yang sudah dijelaskan etika
merupakan ilmu yang mempelajari tentang aturan sosial dalam masyarakat. Namun
untuk lebih fokus dalam mempelajarinya etika dibagi atas dua macam yakni etika
umum dan etika khusus (terapan).
1. Etika umum
Etika umum berbicara mengenai
kondisi-kondisi dasar. Bagaimana manusia bertindak secara etis. Bagaimana
manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral
dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam
menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu
pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori. Etika
inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan
sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan. Secara rinci etika
umum menjelaskan tentang peraturan-peraturan yang menyangkut perilaku
masyarakat secara keseluruhan dan mencakup semua bagian. Dari lingkungan
masyarakat terutama, keluarga, sekolah, pekerjaan dan sebagainya. Dasar ini
digunakan sebagai patokan dalam menilai baik buruk seseorang.
Etika tidak akan berguna tanpa dilandasi
sikap tanggung jawab, menurut Van Peursen dalam bukunya Achmad Charris Zubair yang
berjudul Kuliah Etika “etika merupakan suatu perencanaan menyeluruh yang
mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan tanggung jawab manusia”.
Tanggung jawab hanya dapat dituntun apabila ada kebebasan untuk memilih.[11]
a.
Kebebasan Manusia
Kebebasan adalah kemampuan manusia untuk bertindak, tidak dibatasi
oleh orang lain atau masyarakat,[12] dan tidak mendapatkan
paksaan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendak kita.[13]
Kebebsan bagi manusia pertama-tama, bahwa ia dapat menentukan apa
yang mau dilakukannya secara fisik. Ia dapat mengerakkan anggota tubuhnya
sesuai dengan kehendaknya, tentu dalam batas-batas kodratnya sebagai
manusia. Jadi kemampuan untuk
mengerakkan tubuhnya memang tidak terbatas. Yang mengekang kebasan manusia
adalah paksaan, karena tubuh kita berada dibawah hokum-hukum alam. Kebebasan
untuk mengerakkan tubuh kita dapat dikurangi atau dihilangkan oleh kekuatan
yang lebih kuat. Itu yang disebut paksaan, paksaan berarti bahwa kejasmanian
kita dipergunakan untuk membuat kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang tidak kita kehendaki.[14] Setiap paksaan atau
manipulasi tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina manusia. maka
kita bisa menjadi paling terhina
Adanya paksaan juga menunjukkan bahwa kebebasan fisik kita bukan
sekedar kemampuan jasmani saja, melainkan berakar dalam kehendak kita. Kebebsan
jasmani bersumber pada kebebasan rohani. Kebebasan rohani adalah kemampuan kita
untuk menentukan sendiri apa yang kita fikirkan, untuk menghendaki sesuatu dan
bertindak secara terencana. Kebebasan rohani bersumber pada akal budi, karena
akal budi bisa membuat fikiran manusia melampaui keterbatasan fisik. Dan roh
manusia bebas untuk mengembara, maka manusia dapat selalu memasang
tujuan-tujuan baru, mencari jalan-jalan baru. Kebebasan rohani manusia adalah
seluas jangkauan fikiran dan bayangan manusia.[15]dan jagkauan kebebasan
jasmani ditentukan oleh kemampuan badan manusia, jadi jangkauan itu tentu tidak
terbatas. Tetapi adanya batasan jangkauan
kemampuan manusia tidak mengurangi melainkan menentukan sifat kebebasan
manusia.[16]
b.
Tanggung Jawab
Ruang kebebasan yang diberikan oleh masyarakat kepada kita harus
diisi dengan sikap dan tindakan. Kita sendirilah yang menentukan sikap, itulah
tanggung jawab kita. Maka antara kebebasan dan tanggung jawab terdapat hubungan
erat.[17]Jadi adanya kebebasan
tidak berarti bahwa kita boleh memutuskan apa saja dengan seenaknya. Bahwa kita
diberi kebebasan sosial oleh masyarakat berarti bahwa kita dibebani tanggung
jawab untuk mengisi ruang kebebasan itu secara bermakna.[18]
Keputusan dan tindakan yang kita ambil harus dipertanggung
jawabkan sendiri. Kita tidak dapat melempar tanggung jawab kepada orang lain. Jadi
orang yang tidak bertanggung jawab adalah orang yang lemah, ia mengalah
terhadap segala macam perasaan. Ia tidak kuat untuk melakukan apa yang
dinilainya sebagai tanggung jawab, karena ia malas, tidak suka susah, takut,
lemah, emosi dan dikuasai hawa nafsu. Maka hubungan antara kebebasan dan
tanggung jawab dapat dirumuskan demikian: makin seseorang tidak mau bertanggung
jawab , maka makin sempit wawasan dan makin lemah.[19]
2. Etika khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Bagaimana cara mengambil keputusan dan bertindak
dalam bidang kehidupan, dan kegiatan khusus yang dilakukan dengan cara
menerapkan teori-teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Bagaimana menilai
perilaku diri sendiri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus
yang dilatarbelakangi oleh kondisi memungkinkan manusia bertindak etis. Cara
bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta
prinsip moral dasar yang ada dibaliknya. Mengarahkan manusia untuk menjadi yang
lebih khusu misalnya; seorang dokter, biarawan, guru, dan sebagainya.
Pengertian etika khusus masih terbagi menjadi dua bagian, yakni
etika individual dan etika sosial. Etika individual menyakut segala aspek
tingakah laku manusia yang meliputi kewajiban dan hak manusia terhadap diri
sendiri. Misalnya; memelihara kesehatan badan jasmani dan rohani, menjaga
kerapian diri dan lingkungan sekitar dan sebagainya. Etika sosial berbicara
mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat
manusia. [20]
Etika sosial meliputi sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika
profesi,etika lingkungan hidup, etika politik, dan sebagainya. Tujuan dari
etika sosial, supaya manusia sadar akan tanggung jawab kita sebagai manusia
dalam kehidupan bersama menurut semua dimensi yang disebut di atas. Etika
sosial sendiri merupakan filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang
kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia.[21]
Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya
yang secara khusus dikaitkan dengan seni
pergaulan manusia. Etika ini kemudian diwujudkan
dalam bentuk aturan (code) tertulis
yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang
ada pada saat dibutuhkan. Difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan secara
logika-rasional umum (common sense) yang dinilai menyimpang dari kode
etik.
Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan
“self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial
(profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah
profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri
para elit professional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada
masyarakat yang memerlukannya.
Dalam hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup
tingkat internasional di perlukan suatu sistem yang mengatur, bagaimana
seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling
menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan
lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan
masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tenteram, terlindung
tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah
dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi umumnya. Dengan demikian, aturan etik adalah aturan
mengenai moral atau atau berkaitan dengan sikap moral. Filsafat etika adalah
filsafat tentang moral. Moral menyangkut nilai mengenai baik dan buruk, layak
dan tidak layak, pantas dan tidak pantas.
Seperti yang sudah dijelaskan mengenai etika dan pengertiannya
dalam karya wedatama yang merupakan karangan mangkuneragaran, merupakan
karya berisi tentang aturan-aturan hidup manusia yakni tentang etika. Tanpa
disadari manusia hidup di dunia sejak lahir sampai ia kembali pada sang
pencipta harus mematuhi aturan-aturan yang ada dalam bermasyarakat.[22] Manusia merupakan makhluk
sosial yang saling membantu satu sama lain dan manusia tidak dapat hidup
sendiri tanpa adanya orang lain. Prinsip ini sudah menjadi hukum alam dan harus
dijalani oleh semua manusia. Kegiatan sosial yang ada didalamnya merupakan
langkah untuk mendekatkan manusia yang satu dengan yang lainnya.
C. Teori-teori Etika
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, artinya
banyak uaraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan
peranannya dalam kehidupan manusia.[23] Pada dasarnya tujuan
kehidupan manusia adalah kebahagiaan, oleh karena itu prinsip dasar bagi segala
tindakan adalah agar kebahagiaan tercapai. Ada tiga teori untuk mencapai
kebahagiaan, yaitu hedonism, pengembangan diri, dan utilitarisme. Ketiga teori
tersebut memiliki kesamaan bahwa nilai moral ditentukan oleh yang mau dicapai
dengannya, suati tindakan baik kalau mau mengusahakan kebahagiaan dan buruk
kalau akan menghalang-halangi tercapainya kebahagiaan.[24]
1.
Hedonisme
Kata hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedone artinya
nikmat, kegembiraan. Hedonisme bertolak dari anggapan bahwa manusia hendaknya
hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin bahagia. Pandangan bahwa
tercapainya kebahagiaanharus menjadi tujuan kehidupan manusia dan oleh karena
itu manusia hendaknya hidup dengan suatu cara yang mendekatkannya pada
kebahagiaan. Yang khas dari hedonisme adalah anggapan bahwa manusia akan
menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin
dan sebisa mungkin mengindari perasaan-perasaan yang tidak enak. Semboyan dari
hedonisme “carilah nikmat dan hindarilah perasaan-perasaan yang menyakitkan”.[25]
Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan oleh Aristippos
dari Kyrene (sekitar 433-355 SM), seorang murid Sokrates. Aristippos menyamakan
kebahagiaan dengan kesenangan, bagi aristippos kesenangan itu bersifat badani
belaka, karena hakikatnya tidak lain dari pada gerak dalam badan. Mengenai
gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar dan itulah ketidak
senangan, gerak yang halus dan itulah kesenagan dan tiadanya gerak merupakan
suatu keadaan netral, misalnya tidur. Aristippos menekankan lagi bahwa
kesenangan harus dimengerti sebagai kesengan actual, bukan kesengan dari masa
lampau dan kesengan di masa mendatang.[26]
2.
Pengembangan Diri
Kebahagiaan adalah keadaan manusia yang semakin menemukan diri,
inilah inti dari pandangan etika pengembangan diri. Manusia tidak menjadi
bahagia apabila secara pasif saja mau menikmati segala-galanya, melainkan kalau
ia mau secara aktif merealisasikan bakat-bakat dan potensi-potensinya. Pengembangan
diri (self realization) merupakan panggilan luhur dan salah satu
kewajiban moral dasar bagi manusia. Semakin ia berhasil dalam panggilan luhur
itu maka ia akan merasa semakin bahagia.[27]
Jadi yang membahagiakan manusia adalah kalau kita mengembangkan
diri sedemikian rupa sehingga bakat yang kita punyai menjadi kenyataan, dan
salah satu kewajiban manusia adalah mengembangkan diri.[28]
3.
Utilitarisme
Kata utilitarisme berasal dari kata latin “utilis” artinya
berguna. Utilitarisme sering dianggap sebagai etika sukses, yaitu etika yang
menilai kebaikan orang dari apakah perbuatannya menghasilkan sesuatu yang baik
atau tidak. Utilitarisme tidak begitu saja
mengatakan bahwa suatu tindakan itu berguna bagi masyarakat namun juga
baik dalam arti moral.[29]
Utilitarisme mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan adalah
manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfaat,
dikatakan buruk, jika menimbulkan mudarat.[30] Magnis Suseno menerangkan
bahwa setiap manusia dalam bertindak harus menyebabkan akibat-akibat baik.
Tindakan manusia diharapkan mampu membawa kemajuan terhadap sesama. Baginya,
utilitarisme disebut universal, karena akibat-akibat baik yang ditimbulkan
tidak hanya diperuntukkan si pelaku sendiri, namun juga harus berakibat baik
terhadap seluruh dunia. Utilitarisme memperhatikan kepentingan semua orang yang
berpengaruh terhadap tindakan tersebut, termasuk kepentingan si pelaku itu
sendiri. Utilitarisme membenarkan bahwa mengorbankan kepentingan diri sendiri
demi kepentingan bersama (umum) adalah tindakan mempunyai nilai etika paling
tinggi.[31]
D. Etika Jawa
Etika Jawa itu mengenai orang Jawa.[32] orang Jawa adalah orang
yang berbahasa Jawa, masih berakar dalam kebudayaan dan cara berfikir seperti
orang-orang di daerah pedalaman Jawa, serta tidak eksplisit hidup berdasarkan agama
Islam. Etika Jawa yang dimaksud di sini bukanlah etika yang pernah ada atau
yang sat ini ada, melainkan suatu kontruksi teoritis yang disusun secara logis
berdasarkan norma-norma dan nilai moral orang Jawa.[33]
Etika Jawa adalah aturan tata susila yang mengakar sebagai adat
kebiasaan, sebagai tutunan norma hidup sehari-hari. Etika Jawa cenderung
sebagai rambu-rambu tatakrama dan sopan santun atau unggah-ungguh orang
Jawa. apabila orang Jawa bertindak mengikuti hal tersebut maka dipandang
bersusila. Hal ini berarti bahwa etika Jawa juga merupakan refleksi dari self
control karena segala sesuatunya dibuat dan ditentukan untuk individu atau
kelompok itu sendiri.[34]
Kerukunan dalam semua segi kehidupan merupakan prinsip utama dalam
etika Jawa. prinsip ini bertujuan untuk mempertahankan harmoni hubungan soaial
dalam masyarakat. Konflik harus dicegah sebisa mungkin, kalau perlu dengan
mengorbankan kepentingan pribadi. Dalam bertindak, berbicara orang Jawa harus
memperhatikan prinsip itu, karena itu relasi sosial dalam masyarakat Jawa.
Menjaga kerukunan dan mengindari pertentangan sudah diajarkan sejak kecil,
sehingga bila dilanggar akan menghadapi hambatan psikologis dan sosial yang
berat.[35]
Corak etika Jawa sangant unik berbeda dengan etika barat, karena
etika Jawa memiliki gambaran khas tentang manusia, pribadi, masyarakat dan alam
semesta. Tidak ada keharusan untuk menaati aturan-aturan yang ada dalam etika,
tetapi hati nurani kita yang menyuruh kita untuk mengikuti semua yang ada dalam
etika. Dalam etika Jawa terdapat
beberapa aspek, yakni: tata cara, tata susila, tata pergaulan, sopan
santun dan adat istiadat. Semua itu tidak dibuatnya secara resmi, tetapi secara
tidak langsung dalam melaksanakan tugas semua itu muncul dengan sendirinya.[36]
Orang Jawa sangat menghargai keseimbangan batin, yang biasa orang
Jawa kenal dengan sikap sabar, nrima, ikhlas, eling, waspada, andhap-asor,
dan prasaja. Yang semua sikap tersebut mengarah pada kesempurnaan, yakni
sikap sepi ing pamrih. Sikap sepi
ing pamrih memungkinkan seseorang mengkonsentrasikan daya Ilahi dalam batin
seperti yang seharusnya dimiliki seorang penguasa. Untuk mengusahakan
keseimbangan batin, orang juga harus menjaga jarak terhadap dunia dengan tujuan
memperindah dunia. Usaha tersebut terjadi ketika melaksanakan kewajiban yang
mengarah batin langsung agar terbebas dari emosi yang tak teratur.[37]
Segala sesuatu mempunyai tempat dan posisinya masing-masing.
Dengan meletakkan segala sesuatu pada tempat yang tepat akan menjamin
keselarasan kosmis. Setiap orang juga mempunyai tempat dan nasibnya sendiri
yang terjalin dengan keseluruhan secara harmonis. Maka, setiap tindakan yang
mengganggu keselarasan jagad akan dinilai negatif. Kewajiban setiap orang
ditentukan oleh posisinya dalam masyarakat. Penilaian moral bergantung pada
kesesuaian antara tindakan dengan status yang dimilikinya. Jadi, dalam masyarakat
Jawa, yang terpenting adalah keseimbangan, model yang jelek pun mendapatkan
tempatnya dalam realitas.[38]
Etika Jawa bertumpah pada ajaran ngesthi pribadi yang
tidak individual dalam arti tidak egois. Mereka yang egois mesti
menjadi buah bibir masyarakat. Ajaran etika Jawa sebagaiman yang tampak pada
etikanya, meliputi banyak segi: unggah-ungguh, boja karma, pasegahan
panakrama, suguh, iguh, tangguh, lungguh. Semua ajaran itu mencakup
hubungan yang lengkap antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan
manusia dengan alam semesta.[39]
Ada peribahasa yang bersifat umum dalam etika Jawa, yakni wong
becik ketitik wong ala ketara. Pernyataan ini sederhana sekali, akan tetapi
jika diperhatikan sangat dalam isinya, karena nilai baik dan buruk pada
hakikatnya bergantung pada hati nurani, insan kamil seseorang. Bagaimana pun
ditutupnya suatu perbuatan yang buruk akhirnya akan ketahuan pula. Demikian
pula sebaliknya, bagaiman pun ditutupnya perbuatan suatu perbuatan yang baik
juga akhirnya terbukti kebaikannya.[40]
[1] Achmad Charris
Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 14.
[2] K.
Berstens, Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 4.
[3] Ibid,
h. 6.
[4] Achmad
Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 13.
[5] Frans
Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), h. 14.
[6] Achmad
Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 17.
[7] Robert
C. Solomon, Etika: Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 2.
[8] Achmad
Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 15.
[9] K.
Berstens, Etika, h. 21.
[10] Ibid,
h. 22.
[11] Achmad
charris Zubair, Kuliah Etika, h. 39.
[12] Frans
Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 18.
[13] Frans
Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 22.
[14] Ibid,
h. 24.
[15] Ibid,
h. 24.
[16] Achmad
charris Zubair, Kuliah Etika, h. 40.
[17] Frans
Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 22.
[18] Frans
Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 41.
[19] Frans
Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 23.
[20] Ibid,
h. 7.
[21] Frans
Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 8-9.
[23] K.
Bertens, Etika, h. 183.
[24] Frans
Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 113.
[25] Ibid,
h. 114.
[26] K.
Bertens, Etika, h. 184.
[27] Frans
Magnis Suseno, dkk, Etika Sosial, h.14.
[28] Frans
Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 120.
[29] Ibid,
h. 123.
[30] H. De
Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1987), h.
181.
[31] Frans
Magnis Suseno, Etika DasarMasalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h.
124-125.
[32] M.
Soewdii, Etika Jawa Modernisasi dan Gotongroyong dalam Pembangunan Negara, (Surakarta:
Museum Pers Nasional, 1989), h. 1.
[33] Sutrasno
Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup,
Mawas Diri, (Desember 1987), h. 6.
[34] Suwardi
Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 34.
[35] Sutrasno
Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup,
h. 7.
[36] Suwardi
Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, h. 35.
[37] Sutrasno
Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup,
Mawas Diri, (Desember 1987), h. 9-11.
[38] Sutrasno
Purwanto, Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup,
Mawas Diri, (Desember 1987), h. 10-11.
[39] Suwardi
Endraswara, Etika Hidup Orang Jawa, h. 45.
[40] Heny
Astiyanto, Filsafat Jawa, (Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006), h. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar