
TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN
KASREMAN KABUPATEN NGAWI
A. Gambaran Desa Tawun
1. Keadaan Geografis
Desa Tawun secara administratif termasuk
dalam Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Jarak desa Tawun menuju ke kota
kurang lebih tiga puluh lima kilometer (35 KM). Sedangkan luas wilayah
pemukiman kurang lebih 115 hektar dan
luas wilayah pertanian sawah sekitar 130 hektar.[1]
Batas- batas desa Tawun adalah sebagai berikut :
Sebelah
Utara : Desa Mbajar Kiyonten,
Kecamatan Margomulyo.
Sebelah
Selatan : Desa Kartoharjo,
Kecamatan Ngawi.
Sebelah
Barat : Desa Karang Tengah
Prandon, Kecamatan Ngawi.
Sebelah
Timur : Desa Lego Kulon,
Kecamatan Kasreman.
Desa Tawun memililki luas wilayah
ladang kurang lebih 270 hektar. Dengan memiliki ladang yang luas, masyarakat desa
Tawun sangat memungkinkan untuk memiliki perkebunan yang sangat luas serta
beberapa tempat rekreasi dan sarana olahraga. Wilayah desa Tawun memiliki
ketinggian kurang lebih 153 meter di atas permukaan air laut, dengan curah
hujan rata-rata 2800 mm/tahun.
Desa Tawun terdiri dari sembilan (9)
dusun. Diantaranya yaitu Tawun Satu, Tawun Dua, Tawun Tiga, Tawun Empat, Dusun
Mencon, Dusun Mbeton, Dusun Mbugel, Dusun Pucang dan Dusun Ndari. Setiap dusun
dikepalai oleh kepala dusun (Kasun) dan di bantu oleh sekretaris desa.
Sekretaris desa di bantu oleh beberapa staf diantaranya staf urusan
pemerintahan, staf urusan umum dan staf urusan keuangan. Dari semua struktur
tersebutlah yang membawahi dan mengatur
kelangsungan seluruh warga desa Tawun.[2]
Dalam pembangunan desa Tawun Mereka juga
dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKMD). Lembaga ini juga membantu
masyarakat dalam berbagai kebutuhan serta mengontrol adanya kebijakan. Lembaga
adat juga mengatur adanya kegiatan-kegiatan yang berlangsung dengan berdasarkan
kebijakan musyawarah diantaranya adalah musyawarah adat, sanksi adat,
perkawinan adat, upacara kematian secara adat, upacara pernikahan secara adat,
upacara adat dalam kegiatan pertanian/peternakan, rumah adat, upacara adat
dalam membangun rumah.
Dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat desa
Tawun terdapat beraneka ragam upacara adat yang patut dilestarikan sebagai
simbol kebudayaan. Tradisi Bersih Sendang merupakan salah satu upacara
adat yang dilakukan dalam kegiatan pertanian. Masyarakat mengadakan tradisi
Bersih Sendang juga merupakan kesyukuran atas panen yang melimpah. Masyarakat
desa Tawun sangatlah bergantung pada sumber air yang berada di Keduk Beji
tersebut. Merupakan kewajiban dan tugas bagi para pemuda-pemudi setempat dalam
menjaga serta melestarikannya agar tetap awet sampai generasi selanjutnya.
2. Keadaan Demografis
a. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk desa Tawun berdasarkan data yang dikumpulkan berjumlah 4.381 jiwa,
dengan perinciannya sebagai berikut:
Jumlah laki-laki : 2.246 jiwa
Jumlah perempuan : 2.135 jiwa
Jumlah Kepala Keluarga : 1.434 KK
Dari data yang dikumpulkan dapat disimpulkan
bahwa jumlah penduduk di desa Tawun berdasarkan usia hampir sama rata. Pertumbuhan
penduduk di desa Tawun bertambah terus tiap tahun. Jumlah penduduk tahun 2011 kurang
lebih 4.370 orang dan tahun 2012 sekitar 4.381 orang.
b. Keadaan Ekonomi
Penduduk desa Tawun lebih mengandalkan lahah
untuk pertanian dan berternak sebagai mata pencaharian pokok untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari. Disamping itu mereka juga bekerja di sektor perdagangan
ataupun sektor industri. Masyarakat desa Tawun memiliki sumber air yang
melimpah dan tidak pernah berhenti untuk mengairi sawah dan ladang mereka.
Penduduk desa Tawun yang bekerja sebagai
petani sebanyak 1027 orang, sebagai Peternak sebanyak 1985 orang. Sementara itu
juga ada dari sektor-sektor lain diantaranya adalah sebagai pegawai negri sipil
(PNS) sebanyak 198 orang, pegawai swasta sebanyak 8 orang, ABRI sebanyak 5
orang, pedagang sebanyak 33 orang, buruh
bangunan sebanyak 85 orang, pertukangan sebanyak 160 orang, buruh tani sebanyak
611 orang, jasa sebanyak 138 orang dan pensiunan sebanyak 24 orang.
Dari penenjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk desa Tawun adalah peternak dan
petani. Karena penduduk desa Tawun masih mengandalkan sumber air yang berada di
Keduk Beji. Masyarakat menggunakan sumber air untuk mengairi sawah, ladang. Penduduk
desa Tawun yang bekerja sebagai buruh bangunan biasanya mereka dengan system
harian. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang berjumlah 33 orang, ada yang
berjualan di rumah mereka ataupun mereka mendirikan penginapan ataupun warung
di tempat rekreasi yang berada di sekitar desa Tawun. Ada beberapa peternak
diantaranya yaitu usaha ternak sapi potong, usaha ternak kerbau, usaha ternak
kambing dan usaha ternak ayam buras.
Untuk memudahkan warga dalam menjalankan
hubungan ataupun bisnis diperlukan sarana transportasi. Masyarakat desa Tawun
memiliki bermacam-macam sarana transportasi diantaranya yaitu sepeda, sepeda
motor, mobil, truk, kol dan becak.
Dalam melakukan komunikasi antara desa,
masyarakat masih menggunakan telepon pribadi ataupun wartel terdekat. Karena
tidak ditemukannya telepon umum ataupun kios telepon untuk kepentingan bersama.
c. Keadaan Pendidikan
Adapun tingkat pendidikan di desa Tawun
bermacam-macam dari tingkat SD, SLTA, SLTP atau sederajat dengan perguruan
tinggi. Penduduk desa Tawun ada buta huruf sebanyak 989 orang, berpendidikan
tidak tamat SD sebanyak 825 orang , tamat SLTA 271 orang , tamat SLTP sebanyak 467
orang.
Walaupun banyak warga desa Tawun yang buta
huruf, tetapi sebagian warga juga ada
yang menuntaskan pendidikannya sampai tingkat sarjana. Hal ini terlihat dari
jumlah penduduk yang tamat dari perguruan tinggi cukup besar yaitu penduduk tamat
D- 1 sebanyak 4 orang, tamat D- 2
sebanyak 5 orang, tamat D- 3 sebanyak 7
orang, tamat S- 1 sebanyak 8 orang, tamat S- 2 sebanyak 25 orang.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa mayoritas penduduk desa Tawun adalah tamatan SD. Walaupun juga ada yang
tidak sekolah atau buta huruf, penduduk desa Tawun juga memiki kesadaran dalam
tingkat pendidikan dengan jumlah sarjana dari tingkat D1, D2, D3, S1, S2 yaitu
49 orang.
d. Keadaan Keagamaan
Kehidupan keagamaan di desa Tawun mayoritas
umat muslim. Bahkan hampir semua penduduknya beragama muslim. Jumlah masjid
sebanyak 3 buah dan mushola sebanyak 3 buah. Disamping itu tidak ditemukannya
sarana peribadatan untuk agama lainnya kecuali Islam.[3]
Dari penejelasan di atas dapat menunjukkan bahwa tidak
ditemukan sarana peribadatan berupa gereja, wihara atau pura. Melainkan yang
terdapat di desa Tawun hanyalah beberapa masjid dan mushola. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa mayoritas penduduk desa Tawun adalah umat muslim.
B. Asal Usul Tradisi Bersih
Sendang
1.
Legenda Sendang Tawun
Pada abad ke-15 di daerah Padas, seorang
pengembara menemukan sebuah sendang. Pengembara itu bernama Ki Ageng Tawun.
Karena yang menemukan sendang itu Ki Ageng Tawun, maka oleh masyarakat setempat
dinamakan Sendang Tawun.
Ki Ageng Tawun beserta keluarganya hidup di
daerah sekitar sendang tersebut dengan aman, nyaman dan tenteram. Akhirnya, Ki
Ageng Tawun dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Raden Lodrojoyo dan
Raden Hascaryo. Mereka berdua memiliki beberapa kegemaran yang sangat berbeda.
Dari anak pertama yaitu Raden Lodrojoyo memiliki kegemaran bertani di ladang.
Raden Lodrojoyo sering sekali berkomunikasi dengan masyarakat setempat sehingga
mengetahui apa masalah yang sedang menimpa mereka. sedangkan Raden Hascaryo
lebih suka belajar tentang keprajuritan, olah perang dan mendalami ilmu
ketatanegaraan.
Tanpa terasa umur mereka sudah menginjak
dewasa. Raden Hascaryo dengan kegemarannya mendalami ilmu ketatanegaraan, ia
ikut mengabdi di Kesultanan Pajang. Oleh Ki Ageng Tawun, Raden Hascaryo
dibekali sebuah Cinde Pusaka. Konon, pada waktu terjadi pertempuran antara
Kesultanan Pajang dan Kerajaan Blambangan, Raden Hascaryo dipercaya oleh Sultan
Pajang sebagai seorang senopati perang. Berkat ketangkasan dan kegigihannya
dalam berperang, Kesultanan Pajang menuai kemenangan di bawah pimpinanya
melawan Kerajaan Blambangan.
Lain cerita dengan Raden Lodrojoyo. Sehari-hari
dengan kesibukannya bertani dan bercocok tanam, ia selalu memperhatikan nasib
rakyat kecil dan petani. Suatu saat Raden Lodrojoyo berfikir dan merenungkan
nasib rakyat yang tidak dapat menanam padi dengan sempurna karena kekurangan
air. Padahal area persawahan warga sangat dekat dengan lokasi sendang. Raden
Lodrojoyo tak habis pikir untuk mencari ide dan akal bagaimana air sendang agar
dapat mengalir menuju ke persawahan warga.
Pada suatu hari, tepatnya hari Kamis Kliwon,
Raden Lodrojoyo mengutarakan niat baik dan sucinya kepada ayahnya Ki Ageng Tawun.
“Romo, jika romo mengizinkan nanti malam
putranda hendak menjalankan ulah tirakat atau bertapa di Sendang Tawun.”
“Kamu hendak bertapa di Sendang Tawun malam
ini?”
“Iya Romo.”
“Lalu, tapa apa yang hendak kamu lakukan?”
“Matirto Romo.”
“Matirto?”
“Iya Romo.”
Matirto adalah ulah tirakat atau bertapa dengan
cara merendam diri ke dalam air. Di pulau Jawa bertapa seperti ini juga dikenal
dengan sebutan topo kungkum. Merendam seluruh tubuh dengan sebatas leher
atau bahu di dalam air. Dengan matirto, Raden Lodrojoyo berharap cita-cita
luhurnya akan dikabulkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta.
”Apa tujuanmu matirto Lodro?” lagi-lagi tanya
Ki Ageng Tawun kepada anak lelakinya.”
“Putranda mengerti bagaimana warga sekitar
sendang selalu gagal dalam panen. Hal ini terjadi karena sawah-sawah mereka
yang kekurangan air meski ada sendang. Namun bagaimana mengalirkan airnya ke
persawahan? Sedangkan letak sawah mereka lebih tinggi dibandingkan dengan letak
Sendang Tawun.”
“Kamu ingin mengubah nasib mereka?”
“Putranda berniat hendak memohon petunjuk dari
Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa bagaimana caranya mengalirkan air Sendang
Tawun ke sawah-sawah mereka.”
“Baiklah, Romo merestui niat tulusmu Lodro.”
”Terima kasih Romo.”
Tepat pukul tujuh malam hari Jumat Legi, Raden
Lodrojoyo pergi ke Sendang Tawun. Sambil berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan
Yang Maha Agung, ia merendamkan dirinya atau matirto di Sendang Tawun.
Malam dengan langit yang cerah, bulan purnama
yang tersenyum ramah. Di tengah-tengah sendang dinaungi teduhnya pepohonan yang
memagari Sendang Tawun, Raden Lodrojoyo terus memanjatkan doanya.
Tepat pada pukul dua belas malam, tiba-tiba
bulan menjadi redup tertutup awan tebal. Suasana menjadi menyeramkan. Tak lama
kemudian, terdengar suara ledakan yang amat dasyat. Karena besarnya suara
ledakan tersebut, sampai membangunkan seluruh warga setempat. Mereka
beramai-ramai menuju pusat ledakan yang diduga berasal dari Sendang Tawun.
Namun, apa yang mereka lihat? Raden Lodrojoyo lenyap seketika, sedangkan
Sendang Tawun berpindah ke sebelah utara pada tempat yang lebih tinggi dari
sawah penduduk.
Ki Ageng Tawun dengan dibantu oleh masyarakat
setempat terus mencari Raden Lodrojoyo di dalam sendang tersebut sampai hari
Selasa Kliwon, tetapi tidak ditemukan sama sekali. Sampai Sendang Tawun dikuras
bersih airnya, Raden Lodrojoyo pun tidak ditemukan[4].
Untuk mengenang peristiwa tersebut, setahun
sekali warga setempat selalu mengadakan Tradisi adat secara turun-temurun. Tradisi
tersebut untuk mengenang pengorbanan Raden Lodrojoyo putra Ki Ageng Tawun yang
peduli terhadap nasib kaum miskin dan para petani.Tradisi tersebut dinamakan
“Bersih Sendang” dan diadakan tepat jatuh pada Selasa Kliwon. Mereka
menyiapakan sesaji-sesaji dengan kewangian baunya. Dalam Tradisi tersebut juga
disembelih kambing yang sebelumnya dimandikan. Beberapa juru silem dengan
berpakaian kebesaran melakukan penyelaman.
Kemudian diadakan selamatan atau kenduri yang
diakhri dengan perebutan tumpeng. Dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan
berpasangan sebagai ungkapan latihan perang antara seorang senopati dengan
seorang prajurit. Kini tarian itu telah dikembangkan menjadi Tari Kecetan atau
Tari Keduk Beji. Tarian ini menggambarkan tentang serangkaian kegiatan ritual
bersih sendang yang dimainkan oleh pemuda-pemuda dengan dinamis yang indah.
C.
Tahapan Pelaksanaan dan Unsur-Unsur Tradisi Bersih
Sendang di Keduk Beji
1.
Waktu Penyelenggaraan
Pelaksanaan tradisi Bersih Sendang bisa
dilakukan oleh semua kalangan baik dari luar daerah ataupun luar kota.
Sedangkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan waktu dan hari yang sudah
ditentukan. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
a)
Kamis kliwon : Nyadaran
yaitu upacara doa dengan sesaji berupa tumpeng kepada para leluhur setempat
yang dilakukan warga setempat, Lurah dan juru kunci.[5]
b)
Jum’at Wage : Slametan
atau Kenduren yaitu upacara yang dilakukan warga setempat dan juru
silem dengan beberapa sesaji. Warga saling membawa berkat dari rumah untuk di
makan bersama-sama di pesarean.
c)
Sabtu Pahing
dan Minggu Pon : Gugur Gunung yaitu kerja bakti yang dilakukan oleh
warga setempat yang dilakukan secara bergotong- royong guna membersihkan
wilayah sekitar Keduk Beji.
d)
Senin Wage : Gunungan
yaitu pembuatan sesaji dalam bentuk gunung yang menjulang dari batang pisang
dengan berbagai hiasan dan juga pembukaan bahwa telah dibukanya tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji.
e)
Selasa Kliwon :
acara puncak tradisi
Bersih Sendang yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Tawun
dan segenap perangkat Pemerintah Daerah.
2.
Persiapan penyelenggaraan
Dalam
melaksanakan tradisi tersebut perlunya adanya persiapan yaitu adah kinang yang di dalamnya terdapat daun sirih (suroh
gambir), enjet (gamping yang di rendam dalam air), kendi, tumpeng, ayam ingkung,
kembang setaman, kembang telon (mawar, kenongo, kantil). Selain itu juga warga
juga meletakkan beberapa alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi
ritual tersebut.
Menjelang acara puncak juga di
persiapkan dalam membuat tiga gunungan yang
terbuat dari batang pisang dan diberi beberapa makanan-makanan untuk
diperebutkan pada puncak acara. Warga setempat juga tidak lupa untuk menghiasi
tempat tradisi dengan janur beserta juru silem. Dalam pelaksanaan tradisi ini tidak diperlukan persyaratan khusus untuk mengikutinya, melainkan
bebas dari kalangan manapun. Namun, ada beberapa peziarah yang membawa kemenyan
dari rumah mereka masing-masing. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan
Mbah Supomo selaku juru kunci:
“ya kalau ingin
mengikuti acara ini tidak ada persyaratan apapun, ya silahkan saja dari manapun
untuk mengukuti tradisi adat ini. Baik dari luar daerah ataupun
luar kota asalkan tidak menggangu”
3.
Prosesi Jalannya Tradisi Bersih Sendang
a.
Prosesi pada
hari Kamis Kliwon yaitu dengan di bersihkannya makam para leluhur agar bersih sebelum di laksanakannya
tradisi berupa doa-doa. Doa tersebut juga di hadiri oleh warga dan lurah
setempat. Dalam mengiringi doa yang dilakukan oleh modhen, tidak lupa
oleh warga di siapkan berupa sesaji-sesaji.
Prosesi
pembukaan pertama dilakukan di pesarean Nyi Ageng Tetawang yakni ibunda dari
Eang Lodrojoyo. Prosesi kedua dilakukan di pesarean Ki Ageng Metawun yang tidak
lain adalah ayahanda dari Eang Lodorojoyo. Letak pesarean Nyi Ageng Tetawang
berdekatan dengan letak pesarean Ki Ageng Metawun, yaitu berada diatas bukit. Prosesi
ketiga dilanjutkan di pesarean Eang Lodrojoyo, yaitu putra dari perkawinan antara
Ki Ageng Metawun dengan Nyi Ageng Tetawang. Pesarean Eang Lodrojoyo inilah yang
diletakakan berdekatan dengan Keduk beji. Dulu letak makam Ki Ageng Lodrojoyo
diletakkan di Paseban. Paseban yaitu berupa ruang pertemuan yang sangat megah
dan difungsikan oleh raja-raja sebagai tempat membahas berbagai permasalahan
masyarakat setempat dan terdapat banyak patung- patung.
Selain
itu dikarenakan meningkatnya tingkat kriminalitas di daerah Tawun sehingga yang
tersisa tinggal dua patung, dan menurut kesepakatan bersama akhirnya pesarean
Eang Lodrojoyo di pindahkan di dekat Keduk Beji beserta patung-patungnya.
Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan
Mbah Wo Supomo selaku juru kunci:
“Sebenarnya dulu disini ada “Paseban” seperti ruang pertemuan yang ada
banyak patung dan akhirnya banyak yang dicuri. Maka dari itu makam Eang
Lodrojoyo di pindahkan di dekat Beji.”
b.
Prosesi ada
hari Jumat Legi yaitu slametan atau kenduren yang di hadiri oleh
Lurah dan warga setempat yang di buka dengan sedikit pidato dari Lurah yang diikuti
seluruh masyarakat desa Tawun. Pusat dari acara ini bertempat di Tawun satu
sebagai sentralnya. Kenduren juga di maksudkan untuk menghantarkan roh
leluhur. Seperti dikutip dalam wawancara dengan juru kunci :
“Acara ini tujuannya “Kintun leluhur wonten
sarean Ageng Sentono Tawun”.
Artinya menghantarkan roh leluhur di makam Ageng Sentono Tawun. Ya termasuk
sebagai penghormatan atas jasad Eang Lodrojoyo yang telah musnah.
Dalam
prosesi kedua ini seperti biasa modhen membacakan (Ujub) doa yang
diiringi dengan membakar kemenyan bersama warga setempat dan Lurah. Ritual ini
memiliki makna sebagai tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan
dalam meraih sandang pangan, sebagaimana yang dilakukan yaitu dengan makan
bersama di pesarean tersebut yang menunjukkan akan melimpahnya sandang yang
diperoleh warga.
c.
Pada prosesi
hari Sabtu Pahing dan Minggu Pon ini warga melakukan tradisi yang dikenal dengan gugur gunung yaitu acara kerja bakti
bersama yang dilakukan oleh semua warga sekitar beserta perangkat desa. Diawali
dengan arahan dari Lurah yang kemudian disertai oleh kepala dusun kepada warga.
Masyarakat bergotong- royong dalam melaksanakan kerja bakti ini, mereka
memperbaiki parit- parit yang sudah tidak layak dan juga membersihkan selokan-
selokan yang menghambat air untuk memasuki sawah-sawah mereka yang mana
bersumber dari Keduk Beji.
d.
Pada hari Senin
Wage khususnya pada pagi hari, warga beserta Lurah setempat membuat tiga
gunungan yang akan dipakai pada acara puncak. Masyarakat setempat juga
mempersiapkan banner untuk menyambut kedatangan Bupati Ngawi dan para tamu
undangan.
Menjelang sore
hari, Lurah beserta juru silem mandi bersama sebagai tanda telah di
bukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu barulah semua warga sekitar
bisa mandi bersama. Berendamnya mereka tidak ditentukan waktu , tetapi
melainkan tergantung kepada daya tahan tubuh mereka masing-masing. Peziarah ada yang datang dari luar daerah seperti
Bojonegoro, Surabaya, Nganjuk, Madiun dan Jogja.
e.
Pada hari
Selasa Kliwon diadakan puncak acara di Keduk Beji. Di mulai dengan kambing kendit
(kambing yang terdapat garis putih
diperutnya) yang diiringi dengan beberapa alat-alat gamelan. Kambing di bawa
keliling oleh warga di dalam keduk beji dan diarahkan ke satu arah saja yaitu
utara dan selatan dan dilakukan sebanyak tiga kali. Prosesi ini berlangsung
pukul 04.45 dengan lancar tanpa halangan apapun. Setelah itu kambing pun dibawa ke atas dan
didoakan untuk disembelih dan dibakar.
Acara
puncak pun di laksanakan pukul 10.00 yang diawali dengan musik gamelan agar
warga sekitar berkumpul di Keduk Beji. Satu persatu para pemuda dan orang tua
memasuki Keduk ini untuk membersihkan dasarnya dari semua kotoran yang
menggenang jalannya air.
Setelah
para juru silem selesai di tata rias, maka para pemuda berhenti sejenak membersihkan Keduk Beji untuk melihat para juru
silem memasukinya. Setelah juru silem turun dengan dandanan khasnya, mereka
memasuki sumber air untuk memasukkan sesaji yang telah dipersiapkan. Juru
silem tidak lupa membawa badek (air tape) yang dimasukkan ke dalam sumber air guna memastikan air
sumber sudah bersih atau belum. Setelah itu para pemuda langsung menyiram air
secara bersamaan kearah juru silem. Jika dalam prosesi menyelam tersebut juru silem kurang membawa syarat-
syarat sesaji, juru silem akan kesulitan untuk naik ke atas permukaan.[6]
Dalam
sumber tersebut dipercaya terdapat bulus dan pitek (ikan-ikan kecil yang ikut bulus). Selanjutnya para
pemuda mengadakan tarian yang diiringi dengan gamelan dan mereka saling pukul
memukul sesamanya dengan menggunakan kayu. Mereka tidak merasakan kesakitan
setelah saling memukul di dalam air. Tetapi setelah mereka keluar dari Keduk
itu, perasaan sakit muncul dari tubuh mereka yang tadi dipukuli. Selesainya
prosesi yang cukup berjalan lama, akhirnya para pemuda langsung berlari ke arah
gunungan untuk saling berebut dan memakannya. Bukan hanya dari pemuda-pemudi
yang ikut berebut gunungan, tetapi juga warga sekitar dan warga dari
daerah lain. Mereka juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk mandi ataupun
di taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut
mereka. Maknanya agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan
dapat dipercaya menjadikan awet muda.
Pada akhir
acara, Lurah, juru silem dan
warga sekitar mengadakan slametan atas berakhirnya prosesei di Keduk
Beji dengan berdoa bersama warga Tawun
dan pemuda dengan menggunakan kambing tadi yang sudah disembelih dan dibakar
untuk dimakan bersama.
4.
Unsur-unsur
dalam Tradisi Bersih Sendang
Lokasi desa Tawun terletak di tengah-tengah hutan belantara.
Walaupun demikian, jarak antara pedesaan dan perkotaan sangatlah berdekatan.
Sehingga warga setempat dapat beradaptasi dengan keadaan tanpa terisolasi
dengan suasana pedesaan.
Sehingga suasana yang muncul ketika diadakannya tradisi Bersih Sendang
sangat membaur dengan alam yang terbuka. Dalam pelaksanaan tradisi Bersih
Sendang, terdapat beberapa ubarampe sesaji yang terkandung di dalamnya.
Sesaji tersebut berbeda-beda serta memiliki makna tersendiri. Dalam tradisi
masyarakat Jawa, sesaji merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan
suatu ritual ataupun tradisi.
a. Kambing Kendhit yaitu kambing yang terdapat garis ditengah
perutnya. Kambing kendhit telah dipersiapkan oleh panitia sebelumnya
untuk disembelih dan dibakar ketika acara puncak tradisi Bersih Sendang. Jumlah
kambing yang dipersiapkan sekitar 12 ekor kambing. Sebelum disembelih, kambing
harus dimandikan di dalam Keduk Beji dan diputar sebanyak tiga kali.
b. Tumpeng yaitu berupa nasi
yang berbentuk kerucut atau gunung. Di dalam tumpeng terdapat
bermacam-macam makanan. adah kinang yang di dalamnya terdapat suroh gambir, enjet atau gamping yg di rendem dalam air, kendi, tumpeng ayam, kembang setaman, kembang telon, mawar, kenongo, kantil.
c. Alat gamelan. Warga juga meletakkan
beberapa alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi berlangsungnya
tradisi tersebut.
d. Gunungan yaitu sesajen berbentuk gunung yang
terdapat berbagai makanan atau jajanan pasar. Gunungan ini akan
diperebutkan oleh warga sekitar sebagai tanda sandang pangan yang melimpah.
Dalam tradisi Bersih Sendang terdapat dua macam yaitu Gunungan Lanang
dan Gunungan Wadhon.
e. Sesaji. Dalam pelaksanaan tradisi Bersih
Sendang, terdapat 30 macam sesaji yang
dipersiapkan termasuk hasil bumi dan bunga-bunga segar dengan keharuman dan
kewangian banunya.
f. Doa-doa. Dalam mengucapakan suatu
harapan dan keinginan, modhen menggunakan sesaji dan doa-doa untuk mengiringi. Pengucapan doa-doa
tidak harus keras, melainkan boleh di dalam hati.
Dikarenakan pergeseran
waktu dari jaman dahulu sampai sekarang, Sesaji- sesaji yang digunakan dalam
tradisi Bersih Sendang, juga terdapat beberapa yang mengalami
perubahan seperti :
a. Kambing khendit yang dipersiapkan panitia untuk puncak acara berjumlah 1 ekor.
b. Macam
sesaji yang telah dipersiapkan oleh warga setempat seperti kembang telon,
menyan, jadah, pisang raja, tape, jenang merah, rengginan, lempeng telo, karak,
merica, polo. Sesajen tersebut akan dibawa oleh juru silem serta dimasukkan ke dalam sumber air. Para juru silem juga tidak lupa membawa badek (air tape) sebagai tanda bahwa air di dalam sumber sudah menjadi
jernih.
D.
Tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji Mengandung Ajaran
Filsafat
Istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu philo
dansophia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni suatu keinginan
dan sophia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran. Jadi secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijakan atau
kebenaran (love of wisdom).[7]
Pengertian filsafat dari para filsuf sangatlah bermacam-macam, baik dari
ungkapan ataupun titik tekannya. Namun, pada dasarnya mereka telah memilki
patokan dalam definisi filsafat dan mempertimbangkan aneka perspektif, teori
yang telah mereka hasilkan.[8]
Sebagaimana
yang kita ketahui, filsafat sebagai ilmu termasuk ilmu pengetahuan dasar.
Berbeda dengan ilmu terapan dan berbeda pula dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu
dalam filsafat sesuai dengan obyek formalnya dan selalu berusaha menempatkan
obyek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar.[9]
Tradisi berpikir dalam filsafat mempunyai sifat kritis terhadap diri sendiri. Kritis
di dalam filsafat bukan berpikir asal beda. Kritis yang harus didasarkan pada
kekuatan argumen yang memadai.
Sesuai dengan sifat dan ilmu filsafat yang demikian, maka pendekatan yang
ditempuh dalam penulisan ini adalah dengan hermeneutik, deskriptif dan verstehen. Hermeneutik berfungsi untuk mendapatkan gambaran
sekilas tentang tradisi Bersih Sendang di Keduk. Sedangkan deskriptif
bertujuan untuk membuat suatu lukisan mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat
suatu populasi atau daerah tertentu dengan secara sistematis, faktual dan
teliti.
Dengan cara terakhir, verstehen
dimaksudkan untuk memahami objek penelitian serta menangkap dan memahami makna
kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran, serta
kelakuan manusia yang terdapat dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk
Beji.
Sedangkan dalam tradisi Bersih Sendang terdapat bermacam-macam unsur
yang memiliki makna simbol dan arti filosofis tersendiri. Dengan menggunakan
beberapa pendekatan seperti yang di atas, penulis berusaha menguraikan kembali
unsur-unsur dalam tradisi Bersih Sendang secara filosofis “sebagaimana
adanya”. Dengan maksud untuk dapat memahami jalan fikiran atau makna simbolik
yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Masyarakat desa Tawun pada umumnya memiliki keyakinan kepada kekuatan gaib.
Kepercayaan itulah yang telah melahirkan tata nilai untuk menopang budaya
hidupnya. Nilai-nilai tradisi Bersih Sendang itu kemudian melembaga
dalam upacara adat yang telah diwariskan turun menurun dan mengikat seluruh
anggota masyarakat. Oleh karena itu, tradisi sangat sulit untuk merubahnya dan
kalau berubah sangat lambat.[10]
Dengan beberapa pendekatan yang dilakukan, penulis berharap dapat
mendapatkan berbagai kesimpulan dariberbagai unsur-unsur yang terkandung di
dalamnya, untuk menemukan satu kesatuan pendapat yang sistematis, komprehensif
dan radikal.
Budaya Jawa tidak akan pernah tuntas untuk didiskusikan dalam suatu
forum atau perkumpulan. Budaya Jawa juga dikenal dengan keotentikannya walaupun
mesti mengalami perubahan. Semenjak jaman sejarah hingga kini suatu kebudayaan
pasti diwarnai dengan sesaji dan pelafalan mantra-mantra.[11]
Sedangkan istilah leluhur sendiri dalam masyarakat kejawen dianggap
sebagai para pembuka tanah atau cikal bakal desa tersebut. Oleh karena itu,
tidak sedikit dari kalangan masyarakat sendiri yang kurang terpelajar, selalu
mengutamakan budaya lisan sebagai tolak ukur dalam menilai suatu kebudayaan.
Sehingga seringkali apa yang disebut leluhur itu sebagai perkiraan saja.
Melainkan masyarakat kejawen lebih menonjolkan dan memitoskan sosok tokoh dalam
leluhur tersebut.
Dalam tahapan tradisi Bersih Sendang, juga terdapat makna filosofis
yang dilambangkan kepada sosok tokoh dalam leluhur. Tokoh yang berjasa tanpa
balas budi apapun, serta tidak ingin dipuji yaitu Eang Lodrojoyo. Sebab hal
demikian itu akibatnya tidak baik.[12]
Tradisi Nyadran juga memiliki makna secara filosofis sebagai doa dan
minta izin (restu) agar tradisi yang akan dilaksanakan berjalan lancar dan
tidak ada halangan, serta keselamatan bagi warga setempat selama terjadinya prosesi
tradisi tersebut. Sedangkan Kenduren sendiri sebagai tujuan keselamatan warga setempat dan juga di
mudahkan dalam meraih sandang pangan.
Acarapun dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan yang
saling berpasangan sebagai simbol latihan perang antara seorang senopati dengan
seorang prajurit. Warga juga tidak
lupa membawa air dari Keduk Beji untuk di buat mandi, ataupun di taruh di dalam
botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut mereka. Makna
dari itu agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan dapat
dipercaya menjadikan awet muda.
[1] (Sumber :
Monografi Desa Tawun 2012)
[2] ( Sumber:
Monografi Desa Tawun 2012)
[3]
(Sumber :
Monografi Desa Tawun 2012)
[4]
Wawancara
pribadi dengan Mbah Supomo, Ngawi, 26 November 2012.
[5] Yana, Falsafah
dan Pandangan Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2012), h.
61.
[6] Wawancara
pribadi dengan Mbah Supomo, Ngawi, 26 November 2012.
[7]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 6.
[8]Zaprulkan,
Filsafat Umum;Sebuah Pendekatan Tematik (Depok: Raja Grafindo Persada,
2012), h. 11.
[9]Koento
Wibisono, Arti
Perkembangan menurut Filsafat Positivisme August Comte
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), h. 8.
[10]Amsal
Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 55.
[11]Muhammad
Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa (Yogyakarta: Lesfi, 2009), h. 39.
[12]Asep
Rachmatullah, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010),
h. 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar