Rabu, 19 November 2014

MAKNA SIMBOLIK TRADISI BERSIH SENDANG DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI -bab II



BAB II
TRADISI BERSIH SENDANG  DI KEDUK BEJI DESA TAWUN KECAMATAN KASREMAN KABUPATEN NGAWI

A.    Gambaran Desa Tawun
1.      Keadaan Geografis
Desa Tawun secara administratif termasuk dalam Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Jarak desa Tawun menuju ke kota kurang lebih tiga puluh lima kilometer (35 KM). Sedangkan luas wilayah pemukiman  kurang lebih 115 hektar dan luas wilayah pertanian sawah sekitar 130 hektar.[1]
Batas- batas  desa Tawun adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara              : Desa Mbajar Kiyonten, Kecamatan Margomulyo.
Sebelah Selatan           : Desa Kartoharjo, Kecamatan Ngawi.
Sebelah Barat              : Desa Karang Tengah Prandon, Kecamatan Ngawi.
Sebelah Timur             : Desa Lego Kulon, Kecamatan Kasreman.
Desa Tawun memililki luas wilayah ladang kurang lebih 270 hektar. Dengan memiliki ladang yang luas, masyarakat desa Tawun sangat memungkinkan untuk memiliki perkebunan yang sangat luas serta beberapa tempat rekreasi dan sarana olahraga. Wilayah desa Tawun memiliki ketinggian kurang lebih 153 meter di atas permukaan air laut, dengan curah hujan rata-rata 2800 mm/tahun.
Desa Tawun terdiri dari sembilan (9) dusun. Diantaranya yaitu Tawun Satu, Tawun Dua, Tawun Tiga, Tawun Empat, Dusun Mencon, Dusun Mbeton, Dusun Mbugel, Dusun Pucang dan Dusun Ndari. Setiap dusun dikepalai oleh kepala dusun (Kasun) dan di bantu oleh sekretaris desa. Sekretaris desa di bantu oleh beberapa staf diantaranya staf urusan pemerintahan, staf urusan umum dan staf urusan keuangan. Dari semua struktur tersebutlah  yang membawahi dan mengatur kelangsungan seluruh warga desa Tawun.[2]
Dalam pembangunan desa Tawun Mereka juga dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKMD). Lembaga ini juga membantu masyarakat dalam berbagai kebutuhan serta mengontrol adanya kebijakan. Lembaga adat juga mengatur adanya kegiatan-kegiatan yang berlangsung dengan berdasarkan kebijakan musyawarah diantaranya adalah musyawarah adat, sanksi adat, perkawinan adat, upacara kematian secara adat, upacara pernikahan secara adat, upacara adat dalam kegiatan pertanian/peternakan, rumah adat, upacara adat dalam membangun rumah.
Dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat desa Tawun terdapat beraneka ragam upacara adat yang patut dilestarikan sebagai simbol kebudayaan. Tradisi Bersih Sendang merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan dalam kegiatan pertanian. Masyarakat mengadakan tradisi Bersih Sendang juga merupakan kesyukuran atas panen yang melimpah. Masyarakat desa Tawun sangatlah bergantung pada sumber air yang berada di Keduk Beji tersebut. Merupakan kewajiban dan tugas bagi para pemuda-pemudi setempat dalam menjaga serta melestarikannya agar tetap awet sampai generasi selanjutnya.

2.       Keadaan Demografis
a.       Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk desa Tawun berdasarkan  data yang dikumpulkan berjumlah 4.381 jiwa, dengan perinciannya sebagai berikut:
Jumlah laki-laki                       : 2.246 jiwa
Jumlah perempuan                  : 2.135 jiwa
Jumlah Kepala Keluarga         : 1.434 KK
Dari data yang dikumpulkan dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk di desa Tawun berdasarkan usia hampir sama rata. Pertumbuhan penduduk di desa Tawun bertambah terus tiap tahun. Jumlah penduduk tahun 2011 kurang lebih 4.370 orang dan tahun 2012 sekitar 4.381 orang.

b.      Keadaan Ekonomi
Penduduk desa Tawun lebih mengandalkan lahah untuk pertanian dan berternak sebagai mata pencaharian pokok untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Disamping itu mereka juga bekerja di sektor perdagangan ataupun sektor industri. Masyarakat desa Tawun memiliki sumber air yang melimpah dan tidak pernah berhenti untuk mengairi sawah dan ladang mereka.
Penduduk desa Tawun yang bekerja sebagai petani sebanyak 1027 orang, sebagai Peternak sebanyak 1985 orang. Sementara itu juga ada dari sektor-sektor lain diantaranya adalah sebagai pegawai negri sipil (PNS) sebanyak 198 orang, pegawai swasta sebanyak 8 orang, ABRI sebanyak 5 orang, pedagang sebanyak 33 orang,  buruh bangunan sebanyak 85 orang, pertukangan sebanyak 160 orang, buruh tani sebanyak 611 orang, jasa sebanyak 138 orang dan pensiunan sebanyak 24 orang.
Dari penenjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk desa Tawun adalah peternak dan petani. Karena penduduk desa Tawun masih mengandalkan sumber air yang berada di Keduk Beji. Masyarakat menggunakan sumber air untuk mengairi sawah, ladang. Penduduk desa Tawun yang bekerja sebagai buruh bangunan biasanya mereka dengan system harian. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang berjumlah 33 orang, ada yang berjualan di rumah mereka ataupun mereka mendirikan penginapan ataupun warung di tempat rekreasi yang berada di sekitar desa Tawun. Ada beberapa peternak diantaranya yaitu usaha ternak sapi potong, usaha ternak kerbau, usaha ternak kambing dan usaha ternak ayam buras.
Untuk memudahkan warga dalam menjalankan hubungan ataupun bisnis diperlukan sarana transportasi. Masyarakat desa Tawun memiliki bermacam-macam sarana transportasi diantaranya yaitu sepeda, sepeda motor, mobil, truk, kol dan becak.
Dalam melakukan komunikasi antara desa, masyarakat masih menggunakan telepon pribadi ataupun wartel terdekat. Karena tidak ditemukannya telepon umum ataupun kios telepon untuk kepentingan bersama.
c.       Keadaan Pendidikan
Adapun tingkat pendidikan di desa Tawun bermacam-macam dari tingkat SD, SLTA, SLTP atau sederajat dengan perguruan tinggi. Penduduk desa Tawun ada buta huruf sebanyak 989 orang, berpendidikan tidak tamat SD sebanyak 825 orang ,  tamat SLTA 271 orang , tamat SLTP sebanyak 467 orang.
Walaupun banyak warga desa Tawun yang buta huruf, tetapi  sebagian warga juga ada yang menuntaskan pendidikannya sampai tingkat sarjana. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk yang tamat dari perguruan tinggi cukup besar yaitu penduduk tamat D- 1 sebanyak  4 orang, tamat D- 2 sebanyak 5 orang, tamat D- 3 sebanyak  7 orang, tamat S- 1 sebanyak 8 orang, tamat S- 2 sebanyak 25 orang.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk desa Tawun adalah tamatan SD. Walaupun juga ada yang tidak sekolah atau buta huruf, penduduk desa Tawun juga memiki kesadaran dalam tingkat pendidikan dengan jumlah sarjana dari tingkat D1, D2, D3, S1, S2 yaitu 49 orang.


d.      Keadaan Keagamaan
Kehidupan keagamaan di desa Tawun mayoritas umat muslim. Bahkan hampir semua penduduknya beragama muslim. Jumlah masjid sebanyak 3 buah dan mushola sebanyak 3 buah. Disamping itu tidak ditemukannya sarana peribadatan untuk agama lainnya kecuali Islam.[3]
Dari penejelasan  di atas dapat menunjukkan bahwa tidak ditemukan sarana peribadatan berupa gereja, wihara atau pura. Melainkan yang terdapat di desa Tawun hanyalah beberapa masjid dan mushola. Hal ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk desa Tawun adalah umat muslim. 
B.     Asal Usul Tradisi Bersih Sendang
1.      Legenda Sendang Tawun
Pada abad ke-15 di daerah Padas, seorang pengembara menemukan sebuah sendang. Pengembara itu bernama Ki Ageng Tawun. Karena yang menemukan sendang itu Ki Ageng Tawun, maka oleh masyarakat setempat dinamakan Sendang Tawun.
Ki Ageng Tawun beserta keluarganya hidup di daerah sekitar sendang tersebut dengan aman, nyaman dan tenteram. Akhirnya, Ki Ageng Tawun dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Raden Lodrojoyo dan Raden Hascaryo. Mereka berdua memiliki beberapa kegemaran yang sangat berbeda. Dari anak pertama yaitu Raden Lodrojoyo memiliki kegemaran bertani di ladang. Raden Lodrojoyo sering sekali berkomunikasi dengan masyarakat setempat sehingga mengetahui apa masalah yang sedang menimpa mereka. sedangkan Raden Hascaryo lebih suka belajar tentang keprajuritan, olah perang dan mendalami ilmu ketatanegaraan.
Tanpa terasa umur mereka sudah menginjak dewasa. Raden Hascaryo dengan kegemarannya mendalami ilmu ketatanegaraan, ia ikut mengabdi di Kesultanan Pajang. Oleh Ki Ageng Tawun, Raden Hascaryo dibekali sebuah Cinde Pusaka. Konon, pada waktu terjadi pertempuran antara Kesultanan Pajang dan Kerajaan Blambangan, Raden Hascaryo dipercaya oleh Sultan Pajang sebagai seorang senopati perang. Berkat ketangkasan dan kegigihannya dalam berperang, Kesultanan Pajang menuai kemenangan di bawah pimpinanya melawan Kerajaan Blambangan.
Lain cerita dengan Raden Lodrojoyo. Sehari-hari dengan kesibukannya bertani dan bercocok tanam, ia selalu memperhatikan nasib rakyat kecil dan petani. Suatu saat Raden Lodrojoyo berfikir dan merenungkan nasib rakyat yang tidak dapat menanam padi dengan sempurna karena kekurangan air. Padahal area persawahan warga sangat dekat dengan lokasi sendang. Raden Lodrojoyo tak habis pikir untuk mencari ide dan akal bagaimana air sendang agar dapat mengalir menuju ke persawahan warga.
Pada suatu hari, tepatnya hari Kamis Kliwon, Raden Lodrojoyo mengutarakan niat baik dan sucinya kepada ayahnya Ki Ageng Tawun.
“Romo, jika romo mengizinkan nanti malam putranda hendak menjalankan ulah tirakat atau bertapa di Sendang Tawun.”
“Kamu hendak bertapa di Sendang Tawun malam ini?”
“Iya Romo.”
“Lalu, tapa apa yang hendak kamu lakukan?”
“Matirto Romo.”
“Matirto?”
“Iya Romo.”
Matirto adalah ulah tirakat atau bertapa dengan cara merendam diri ke dalam air. Di pulau Jawa bertapa seperti ini juga dikenal dengan sebutan topo kungkum. Merendam seluruh tubuh dengan sebatas leher atau bahu di dalam air. Dengan matirto, Raden Lodrojoyo berharap cita-cita luhurnya akan dikabulkan oleh Tuhan Pencipta Alam Semesta.
”Apa tujuanmu matirto Lodro?” lagi-lagi tanya Ki Ageng Tawun kepada anak lelakinya.”
“Putranda mengerti bagaimana warga sekitar sendang selalu gagal dalam panen. Hal ini terjadi karena sawah-sawah mereka yang kekurangan air meski ada sendang. Namun bagaimana mengalirkan airnya ke persawahan? Sedangkan letak sawah mereka lebih tinggi dibandingkan dengan letak Sendang Tawun.”
“Kamu ingin mengubah nasib mereka?”
“Putranda berniat hendak memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Kuasa bagaimana caranya mengalirkan air Sendang Tawun ke sawah-sawah mereka.”
“Baiklah, Romo merestui niat tulusmu Lodro.”
”Terima kasih Romo.”
Tepat pukul tujuh malam hari Jumat Legi, Raden Lodrojoyo pergi ke Sendang Tawun. Sambil berdoa memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Agung, ia merendamkan dirinya atau matirto di Sendang Tawun.
Malam dengan langit yang cerah, bulan purnama yang tersenyum ramah. Di tengah-tengah sendang dinaungi teduhnya pepohonan yang memagari Sendang Tawun, Raden Lodrojoyo terus memanjatkan doanya.
Tepat pada pukul dua belas malam, tiba-tiba bulan menjadi redup tertutup awan tebal. Suasana menjadi menyeramkan. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan yang amat dasyat. Karena besarnya suara ledakan tersebut, sampai membangunkan seluruh warga setempat. Mereka beramai-ramai menuju pusat ledakan yang diduga berasal dari Sendang Tawun. Namun, apa yang mereka lihat? Raden Lodrojoyo lenyap seketika, sedangkan Sendang Tawun berpindah ke sebelah utara pada tempat yang lebih tinggi dari sawah penduduk.
Ki Ageng Tawun dengan dibantu oleh masyarakat setempat terus mencari Raden Lodrojoyo di dalam sendang tersebut sampai hari Selasa Kliwon, tetapi tidak ditemukan sama sekali. Sampai Sendang Tawun dikuras bersih airnya, Raden Lodrojoyo pun tidak ditemukan[4].
Untuk mengenang peristiwa tersebut, setahun sekali warga setempat selalu mengadakan Tradisi adat secara turun-temurun. Tradisi tersebut untuk mengenang pengorbanan Raden Lodrojoyo putra Ki Ageng Tawun yang peduli terhadap nasib kaum miskin dan para petani.Tradisi tersebut dinamakan “Bersih Sendang” dan diadakan tepat jatuh pada Selasa Kliwon. Mereka menyiapakan sesaji-sesaji dengan kewangian baunya. Dalam Tradisi tersebut juga disembelih kambing yang sebelumnya dimandikan. Beberapa juru silem dengan berpakaian kebesaran melakukan penyelaman.
Kemudian diadakan selamatan atau kenduri yang diakhri dengan perebutan tumpeng. Dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan berpasangan sebagai ungkapan latihan perang antara seorang senopati dengan seorang prajurit. Kini tarian itu telah dikembangkan menjadi Tari Kecetan atau Tari Keduk Beji. Tarian ini menggambarkan tentang serangkaian kegiatan ritual bersih sendang yang dimainkan oleh pemuda-pemuda dengan dinamis yang indah.
C.    Tahapan Pelaksanaan dan Unsur-Unsur Tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji
1.      Waktu Penyelenggaraan
Pelaksanaan tradisi Bersih Sendang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik dari luar daerah ataupun luar kota. Sedangkan waktu penyelenggaraannya berdasarkan waktu dan hari yang sudah ditentukan. Dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 
a)      Kamis kliwon : Nyadaran yaitu upacara doa dengan sesaji berupa tumpeng kepada para leluhur setempat yang dilakukan warga setempat, Lurah dan juru kunci.[5]
b)      Jum’at Wage : Slametan atau Kenduren yaitu upacara yang dilakukan warga setempat dan juru silem dengan beberapa sesaji. Warga saling membawa berkat dari rumah untuk di makan bersama-sama di pesarean.
c)      Sabtu Pahing dan Minggu Pon : Gugur Gunung yaitu kerja bakti yang dilakukan oleh warga setempat yang dilakukan secara bergotong- royong guna membersihkan wilayah sekitar Keduk Beji.
d)     Senin Wage : Gunungan yaitu pembuatan sesaji dalam bentuk gunung yang menjulang dari batang pisang dengan berbagai hiasan dan juga pembukaan bahwa telah dibukanya tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji.
e)      Selasa Kliwon : acara puncak tradisi Bersih Sendang yang dihadiri oleh seluruh masyarakat Tawun dan segenap perangkat Pemerintah Daerah.


2.      Persiapan penyelenggaraan
Dalam melaksanakan tradisi tersebut perlunya adanya persiapan yaitu adah kinang yang di dalamnya terdapat daun sirih (suroh gambir), enjet (gamping yang di rendam dalam air), kendi, tumpeng, ayam ingkung, kembang setaman, kembang telon (mawar, kenongo, kantil). Selain itu juga warga juga meletakkan beberapa alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi ritual tersebut.
Menjelang acara puncak juga di persiapkan dalam membuat tiga gunungan yang terbuat dari batang pisang dan diberi beberapa makanan-makanan untuk diperebutkan pada puncak acara. Warga setempat juga tidak lupa untuk menghiasi tempat tradisi dengan janur beserta juru silem. Dalam pelaksanaan tradisi ini tidak diperlukan persyaratan khusus untuk mengikutinya, melainkan bebas dari kalangan manapun. Namun, ada beberapa peziarah yang membawa kemenyan dari rumah mereka masing-masing. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Mbah Supomo selaku juru kunci:
“ya kalau ingin mengikuti acara ini tidak ada persyaratan apapun, ya silahkan saja dari manapun untuk mengukuti tradisi adat ini. Baik dari luar daerah ataupun luar kota asalkan tidak menggangu”

3.      Prosesi Jalannya Tradisi Bersih Sendang
a.       Prosesi pada hari Kamis Kliwon yaitu dengan di bersihkannya makam para leluhur agar bersih sebelum di laksanakannya tradisi berupa doa-doa. Doa tersebut juga di hadiri oleh warga dan lurah setempat. Dalam mengiringi doa yang dilakukan oleh modhen, tidak lupa oleh warga di siapkan berupa sesaji-sesaji.
Prosesi pembukaan pertama dilakukan di pesarean Nyi Ageng Tetawang yakni ibunda dari Eang Lodrojoyo. Prosesi kedua dilakukan di pesarean Ki Ageng Metawun yang tidak lain adalah ayahanda dari Eang Lodorojoyo. Letak pesarean Nyi Ageng Tetawang berdekatan dengan letak pesarean Ki Ageng Metawun, yaitu berada diatas bukit. Prosesi ketiga dilanjutkan di pesarean Eang Lodrojoyo, yaitu putra dari perkawinan antara Ki Ageng Metawun dengan Nyi Ageng Tetawang. Pesarean Eang Lodrojoyo inilah yang diletakakan berdekatan dengan Keduk beji. Dulu letak makam Ki Ageng Lodrojoyo diletakkan di Paseban. Paseban yaitu berupa ruang pertemuan yang sangat megah dan difungsikan oleh raja-raja sebagai tempat membahas berbagai permasalahan masyarakat setempat dan terdapat banyak patung- patung.
Selain itu dikarenakan meningkatnya tingkat kriminalitas di daerah Tawun sehingga yang tersisa tinggal dua patung, dan menurut kesepakatan bersama akhirnya pesarean Eang Lodrojoyo di pindahkan di dekat Keduk Beji beserta patung-patungnya. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan  Mbah Wo Supomo selaku juru kunci:
“Sebenarnya dulu disini ada “Paseban” seperti ruang pertemuan yang ada banyak patung dan akhirnya banyak yang dicuri. Maka dari itu makam Eang Lodrojoyo di pindahkan di dekat Beji.”

b.      Prosesi ada hari Jumat Legi yaitu slametan atau kenduren yang di hadiri oleh Lurah dan warga setempat yang di buka dengan sedikit pidato dari Lurah yang diikuti seluruh masyarakat desa Tawun. Pusat dari acara ini bertempat di Tawun satu sebagai sentralnya. Kenduren  juga di maksudkan untuk menghantarkan roh leluhur. Seperti dikutip dalam wawancara dengan juru kunci :
 “Acara ini tujuannya “Kintun leluhur wonten sarean Ageng Sentono Tawun”. Artinya menghantarkan roh leluhur di makam Ageng Sentono Tawun. Ya termasuk sebagai penghormatan atas jasad Eang Lodrojoyo yang telah musnah.

Dalam prosesi kedua ini seperti biasa modhen membacakan (Ujub) doa yang diiringi dengan membakar kemenyan bersama warga setempat dan Lurah. Ritual ini memiliki makna sebagai tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan dalam meraih sandang pangan, sebagaimana yang dilakukan yaitu dengan makan bersama di pesarean tersebut yang menunjukkan akan melimpahnya sandang yang diperoleh warga.
c.       Pada prosesi hari Sabtu Pahing dan Minggu Pon ini warga melakukan tradisi yang dikenal dengan gugur gunung yaitu acara kerja bakti bersama yang dilakukan oleh semua warga sekitar beserta perangkat desa. Diawali dengan arahan dari Lurah yang kemudian disertai oleh kepala dusun kepada warga. Masyarakat bergotong- royong dalam melaksanakan kerja bakti ini, mereka memperbaiki parit- parit yang sudah tidak layak dan juga membersihkan selokan- selokan yang menghambat air untuk memasuki sawah-sawah mereka yang mana bersumber dari Keduk Beji.
d.      Pada hari Senin Wage khususnya pada pagi hari, warga beserta Lurah setempat membuat tiga gunungan yang akan dipakai pada acara puncak. Masyarakat setempat juga mempersiapkan banner untuk menyambut kedatangan Bupati Ngawi dan para tamu undangan.
Menjelang sore hari, Lurah beserta juru silem mandi bersama sebagai tanda telah di bukanya mandi bersama di Keduk Beji. Setelah itu barulah semua warga sekitar bisa mandi bersama. Berendamnya mereka tidak ditentukan waktu , tetapi melainkan tergantung kepada daya tahan tubuh mereka masing-masing.  Peziarah ada yang datang dari luar daerah seperti Bojonegoro, Surabaya, Nganjuk, Madiun dan Jogja.
e.       Pada hari Selasa Kliwon diadakan puncak acara di Keduk Beji. Di mulai dengan kambing kendit (kambing yang terdapat garis putih diperutnya) yang diiringi dengan beberapa alat-alat gamelan. Kambing di bawa keliling oleh warga di dalam keduk beji dan diarahkan ke satu arah saja yaitu utara dan selatan dan dilakukan sebanyak tiga kali. Prosesi ini berlangsung pukul 04.45 dengan lancar tanpa halangan apapun.  Setelah itu kambing pun dibawa ke atas dan didoakan untuk disembelih dan dibakar.
Acara puncak pun di laksanakan pukul 10.00 yang diawali dengan musik gamelan agar warga sekitar berkumpul di Keduk Beji. Satu persatu para pemuda dan orang tua memasuki Keduk ini untuk membersihkan dasarnya dari semua kotoran yang menggenang jalannya air.  
Setelah para juru silem selesai di tata rias, maka para pemuda berhenti sejenak  membersihkan Keduk Beji untuk melihat para juru silem memasukinya. Setelah juru silem turun dengan dandanan khasnya, mereka memasuki sumber air untuk memasukkan sesaji yang telah dipersiapkan. Juru silem tidak lupa membawa badek (air tape) yang dimasukkan ke dalam sumber air guna memastikan air sumber sudah bersih atau belum. Setelah itu para pemuda langsung menyiram air secara bersamaan kearah juru silem. Jika dalam prosesi menyelam tersebut  juru silem kurang membawa syarat- syarat sesaji, juru silem akan kesulitan untuk naik ke atas permukaan.[6]
Dalam sumber tersebut dipercaya terdapat bulus dan pitek (ikan-ikan kecil yang ikut bulus). Selanjutnya para pemuda mengadakan tarian yang diiringi dengan gamelan dan mereka saling pukul memukul sesamanya dengan menggunakan kayu. Mereka tidak merasakan kesakitan setelah saling memukul di dalam air. Tetapi setelah mereka keluar dari Keduk itu, perasaan sakit muncul dari tubuh mereka yang tadi dipukuli. Selesainya prosesi yang cukup berjalan lama, akhirnya para pemuda langsung berlari ke arah gunungan untuk saling berebut dan memakannya. Bukan hanya dari pemuda-pemudi yang ikut berebut gunungan, tetapi juga warga sekitar dan warga dari daerah lain. Mereka juga tidak lupa membawa air dari Keduk itu untuk mandi ataupun di taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut mereka. Maknanya agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda.
Pada akhir acara,  Lurah, juru silem dan warga sekitar mengadakan slametan atas berakhirnya prosesei di Keduk Beji dengan berdoa  bersama warga Tawun dan pemuda dengan menggunakan kambing tadi yang sudah disembelih dan dibakar untuk dimakan bersama.
4.      Unsur-unsur dalam Tradisi Bersih Sendang
Lokasi desa Tawun terletak di tengah-tengah hutan belantara. Walaupun demikian, jarak antara pedesaan dan perkotaan sangatlah berdekatan. Sehingga warga setempat dapat beradaptasi dengan keadaan tanpa terisolasi dengan suasana pedesaan.
Sehingga suasana yang muncul ketika diadakannya tradisi Bersih Sendang sangat membaur dengan alam yang terbuka. Dalam pelaksanaan tradisi Bersih Sendang, terdapat beberapa ubarampe sesaji yang terkandung di dalamnya. Sesaji tersebut berbeda-beda serta memiliki makna tersendiri. Dalam tradisi masyarakat Jawa, sesaji merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam melaksanakan suatu ritual ataupun tradisi.
a.       Kambing Kendhit yaitu kambing yang terdapat garis ditengah perutnya. Kambing kendhit telah dipersiapkan oleh panitia sebelumnya untuk disembelih dan dibakar ketika acara puncak tradisi Bersih Sendang. Jumlah kambing yang dipersiapkan sekitar 12 ekor kambing. Sebelum disembelih, kambing harus dimandikan di dalam Keduk Beji dan diputar sebanyak tiga kali.
b.      Tumpeng yaitu berupa nasi yang berbentuk kerucut atau gunung. Di dalam tumpeng terdapat bermacam-macam makanan. adah kinang yang di dalamnya terdapat suroh gambir, enjet atau gamping yg di rendem dalam air, kendi, tumpeng ayam, kembang setaman, kembang telon, mawar, kenongo, kantil.
c.       Alat gamelan. Warga juga meletakkan beberapa alat musik gamelan yang berguna untuk mengiringi berlangsungnya tradisi tersebut.
d.      Gunungan yaitu sesajen berbentuk gunung yang terdapat berbagai makanan atau jajanan pasar. Gunungan ini akan diperebutkan oleh warga sekitar sebagai tanda sandang pangan yang melimpah. Dalam tradisi Bersih Sendang terdapat dua macam yaitu Gunungan Lanang dan Gunungan Wadhon.
e.       Sesaji. Dalam pelaksanaan tradisi Bersih Sendang, terdapat 30 macam sesaji yang dipersiapkan termasuk hasil bumi dan bunga-bunga segar dengan keharuman dan kewangian banunya.
f.       Doa-doa. Dalam mengucapakan suatu harapan dan keinginan, modhen menggunakan sesaji dan doa-doa untuk mengiringi. Pengucapan doa-doa tidak harus keras, melainkan boleh di dalam hati.

Dikarenakan pergeseran waktu dari jaman dahulu sampai sekarang, Sesaji- sesaji yang digunakan dalam tradisi Bersih Sendang, juga terdapat beberapa yang mengalami perubahan seperti :
a.       Kambing khendit yang dipersiapkan panitia untuk puncak acara berjumlah 1 ekor.
b.       Macam sesaji yang telah dipersiapkan oleh warga setempat seperti kembang telon, menyan, jadah, pisang raja, tape, jenang merah, rengginan, lempeng telo, karak, merica, polo. Sesajen tersebut akan dibawa oleh  juru silem serta dimasukkan ke dalam sumber air. Para juru silem juga tidak lupa membawa badek (air tape) sebagai tanda bahwa air di dalam sumber sudah menjadi jernih.

D.    Tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji Mengandung Ajaran Filsafat
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu philo dansophia. Philo berarti cinta dalam arti luas, yakni suatu keinginan dan sophia berarti hikmat (kebijakan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijakan atau kebenaran (love of wisdom).[7] Pengertian filsafat dari para filsuf sangatlah bermacam-macam, baik dari ungkapan ataupun titik tekannya. Namun, pada dasarnya mereka telah memilki patokan dalam definisi filsafat dan mempertimbangkan aneka perspektif, teori yang telah mereka hasilkan.[8]
Sebagaimana yang kita ketahui, filsafat sebagai ilmu termasuk ilmu pengetahuan dasar. Berbeda dengan ilmu terapan dan berbeda pula dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu dalam filsafat sesuai dengan obyek formalnya dan selalu berusaha menempatkan obyek sasarannya itu secara utuh, menyeluruh dan mendasar.[9]
Tradisi berpikir dalam filsafat mempunyai sifat kritis terhadap diri sendiri. Kritis di dalam filsafat bukan berpikir asal beda. Kritis yang harus didasarkan pada kekuatan argumen yang memadai.
Sesuai dengan sifat dan ilmu filsafat yang demikian, maka pendekatan yang ditempuh dalam penulisan ini adalah dengan hermeneutik, deskriptif dan verstehen. Hermeneutik berfungsi untuk mendapatkan gambaran sekilas tentang tradisi Bersih Sendang di Keduk. Sedangkan deskriptif bertujuan untuk membuat suatu lukisan mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat suatu populasi atau daerah tertentu dengan secara sistematis, faktual dan teliti.
Dengan cara terakhir, verstehen dimaksudkan untuk memahami objek penelitian serta menangkap dan memahami makna kebudayaan manusia, nilai-nilai, simbol-simbol, pemikiran-pemikiran, serta kelakuan manusia yang terdapat dalam tradisi Bersih Sendang di Keduk Beji.
Sedangkan dalam tradisi Bersih Sendang terdapat bermacam-macam unsur yang memiliki makna simbol dan arti filosofis tersendiri. Dengan menggunakan beberapa pendekatan seperti yang di atas, penulis berusaha menguraikan kembali unsur-unsur dalam tradisi Bersih Sendang secara filosofis “sebagaimana adanya”. Dengan maksud untuk dapat memahami jalan fikiran atau makna simbolik yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Masyarakat desa Tawun pada umumnya memiliki keyakinan kepada kekuatan gaib. Kepercayaan itulah yang telah melahirkan tata nilai untuk menopang budaya hidupnya. Nilai-nilai tradisi Bersih Sendang itu kemudian melembaga dalam upacara adat yang telah diwariskan turun menurun dan mengikat seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, tradisi sangat sulit untuk merubahnya dan kalau berubah sangat lambat.[10]
Dengan beberapa pendekatan yang dilakukan, penulis berharap dapat mendapatkan berbagai kesimpulan dariberbagai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, untuk menemukan satu kesatuan pendapat yang sistematis, komprehensif dan radikal.
Budaya Jawa tidak akan pernah tuntas untuk didiskusikan dalam suatu forum atau perkumpulan. Budaya Jawa juga dikenal dengan keotentikannya walaupun mesti mengalami perubahan. Semenjak jaman sejarah hingga kini suatu kebudayaan pasti diwarnai dengan sesaji dan pelafalan mantra-mantra.[11]
Sedangkan istilah leluhur sendiri dalam masyarakat kejawen dianggap sebagai para pembuka tanah atau cikal bakal desa tersebut. Oleh karena itu, tidak sedikit dari kalangan masyarakat sendiri yang kurang terpelajar, selalu mengutamakan budaya lisan sebagai tolak ukur dalam menilai suatu kebudayaan. Sehingga seringkali apa yang disebut leluhur itu sebagai perkiraan saja. Melainkan masyarakat kejawen lebih menonjolkan dan memitoskan sosok tokoh dalam leluhur tersebut.
Dalam tahapan tradisi Bersih Sendang, juga terdapat makna filosofis yang dilambangkan kepada sosok tokoh dalam leluhur. Tokoh yang berjasa tanpa balas budi apapun, serta tidak ingin dipuji yaitu Eang Lodrojoyo. Sebab hal demikian itu akibatnya tidak baik.[12] Tradisi Nyadran juga memiliki makna secara filosofis sebagai doa dan minta izin (restu) agar tradisi yang akan dilaksanakan berjalan lancar dan tidak ada halangan, serta keselamatan bagi warga setempat selama terjadinya prosesi tradisi tersebut. Sedangkan Kenduren sendiri sebagai  tujuan keselamatan warga setempat dan juga di mudahkan dalam meraih sandang pangan.
Acarapun dilanjutkan dengan permainan pecut-pecutan yang saling berpasangan sebagai simbol latihan perang antara seorang senopati dengan seorang prajurit. Warga juga tidak lupa membawa air dari Keduk Beji untuk di buat mandi, ataupun di taruh di dalam botol yang warga gunakan untuk membasuh tangan ataupun rambut mereka. Makna dari itu agar rezeki mereka mengalir terus seperti air tadi dan bahkan dapat dipercaya menjadikan awet muda.








[1] (Sumber : Monografi Desa Tawun 2012)
[2] ( Sumber: Monografi Desa Tawun 2012)
[3] (Sumber : Monografi Desa Tawun 2012)

[4] Wawancara pribadi dengan Mbah Supomo, Ngawi, 26 November 2012.
[5] Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2012), h. 61.
[6] Wawancara pribadi dengan Mbah Supomo, Ngawi, 26 November 2012.
[7]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 6.
[8]Zaprulkan, Filsafat Umum;Sebuah Pendekatan Tematik (Depok: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 11.
[9]Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Filsafat Positivisme August Comte (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), h. 8.
[10]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 55.
[11]Muhammad Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa  (Yogyakarta: Lesfi, 2009), h. 39.
[12]Asep Rachmatullah, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010), h. 113.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar