|
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemahaman mengenai simbol dalam tradisi masyarakat Jawa
dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh unsur-unsur sosial
budaya terhadap masyarakat. Berkenaan dengan ini maka penelitian mengenai simbol
merupakan hal yang sangat penting di perhatikan. Sebab pada masa ini sedang
berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat akibat dari penggunaan simbol.[1]
Secara tidak langsung sudah menjadi tradisi manusia dalam penggunaan simbol
sebagai cara mudah untuk mengungkapkan berbagai ekspresi dalam menjalani kehidupannya.
Sebagaimana yang ditulis oleh Andrew Beaty, “Bagi orang
Jawa dunia mengandung simbolisme, melalui simbolisme ini Seseorang merenungkan
kondisi manusia dan berkomunikasi dengan Tuhan, seperti yang tertulis dalam
surat Centini, “ Jika engkau ingin menembus realitas masuklah kedalam simbol”.[2]
|
Simbol bukan saja membangkitkan gambaran dalam
kesadaran pemeluk agama dengan mengantar dan menetapkan manusia dengan realitas
yang dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas illahi kepada manusia.
Sepanjang sejarah budaya manusia, simbol telah mewarnai tindakan-tindakan
manusia baik tingkah laku, bahasa ilmu pengetahuan dan religi.[3]
Simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan
realitas religius yang lebih nyata, melainkan kekuatan nyata yang menjumpai
suci, sebagaimana diterangkan oleh Mircea Eliade dalam buku karangan Dhavamony
mariasusai “Fenomenologi Agama” bahwa simbol-simbol maupun berbagai
ritus menghadirkan kembali evaluasi baik kesadaran manusia dalam hal kenyataan
yang transenden dan mutlak, suatu evaluasi tentang dirinya yang berbeda dari
evaluasi yang diungkapkan berkaitan dengan situasi historis dan kehidupannya.[4]
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap, melalui
ungkapan simbolis. Manusia memaknai kehidupannya melalui simbol-simbol dan
dengan arah itu pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan dan diatur dengan
syarat hidup komunitasnya. Manusia tidak melihat, menekankan dan mengenal dunia
secara langsung, tetapi melalui simbol. Realitas yang dihadapinya tidak sekedar
kumpulan fakta melainkan mempunyai fakta kejiwaan, yang di dalamnya simbol
berperan memberikan keluasan dan ketidak luasan pemahaman.[5]
Untuk itu manusia sering disebut sebagai homo
simbolism dikarenakan manusia menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya
dalam manjalani aktifitas kehidupan hariannya.
Secara struktural tradisi mitoni dibangun oleh
konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai moral, etika dan religius. Tradisi mitoni
merupakan upacara peringatan tujuh bulanan yang dilaksanakan untuk memperingati
umur kehamilan pada bulan ketujuh yang didalamnya mengandung nilai-nilai religius
baik dari perilaku, peristiwa proses upacaranya. Pada masyarakat Jawa, moral atau budi pekerti dijadikan
acuan dalam segala tindakan dalam kehidupan.
Budi pekerti Jawa adalah fenomena hati atau batin
secara sadar orang Jawa yang terpantul ke dalam tindakan. Dengan demikian, budi
pekerti Jawa berarti kesadaran total tentang dunia batin kejawaan dan praktek
kejawaan. Dari makna semacam ini, dapat dikemukakan bahwa budi pekerti Jawa
merupakan watak dan perbuatan orang Jawa sebagai perwujudan hasil pemikirannya.[6]
Orang Jawa pada umumnya dikenal dengan keidentikannya dalam hal budi pekerti,
akhlak, moral yang dalam bahasa Jawa
disebut dengan unggah ungguh yang kesemua sifat itu akan merefleksikan
dalam bentuk perbuatan yang baik dimasyarakat. Sehingga ada istilah bahwa
seseorang belum dapat dikatakan sebagai orang Jawa jika belum mempunyai tata
karma, dan unggah ungguh yang baik pada pergaulan sosialnya.
Jadi, budi pekerti Jawa dengan sendirinya merupakan
akumulasi dari cipta rasa-karsa orang-orang Jawa yang diaktualisasikan ke dalam
sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi pekerti Jawa ini akan
menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus mencerminkan sikap
batin seseorang. Sikap batin ini yang akan tercermin dalam tingkah laku
seseorang. Pencerminan batin tersebut dalam wawasan religius disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan
yang mulia), sedangkan dalam budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa
yang berbudi pekerti luhur, pada dasarnya sikap dan perilakunya akan dilandasi
pertimbangan baik dan buruk, kemudian memilih ke hal baik untuk dijalankannya.
Atas dasar kenyataan diatas dirasa perlu untuk menanamkan nilai-nilai
budaya Jawa dan nilai-nilai agama Islam kepada seluruh anggota masyarakat
Indonesia pada umumnya serta generasi penerus khususnya mengenai pengenalan
budaya diseluruh wilayah Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan untuk
melestarikan nilai-nilai budaya serta gagasan vital yang benar.[7]
Simbol merupakan salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang
dimanifestasikan melalui berbagai upacara adat maupun upacara keagamaan.
Secara prinsip, tradisi mitoni tidak terlepas dari nilai-nilai religus pada setiap urutan
acaranya, khususnya nilai-nilai ajaran Jawa tidak bisa dipisahkan dari ajaran
budi pekerti yang terdapat pada ajaran Islam.[8]
Nilai-nilai ajaran Islam yang universal pada dasarnya terdapat relevansi dengan
nilai-nilai yang terdapat pada tradisi mitoni,
misalnya, dalam tradisi mitoni yang
sarat akan nilai-nilai budi pekerti ini pada intinya sama dengan istilah ahklakul
karimah (sikap dan perbuatan terpuji).
Seiring dengan perkembangan zaman yang serba modern dan
instan, tradisi mitoni juga mengalami pergeseran dan pengurangan
unsur-unsur ritual, dari ritual yang serba lengkap kini menjadi tradisi instan
dengan tidak meninggalkan inti tradisi. Hal ini menyebabkan ikut hilangnya
beberapa makna simbol dan nilai-nilai religius dalam upacara mitoni
secara perlahan dan sangat disayangkan jika generasi mendatang melestarikan
sebuah budaya tanpa mengetahui makna simbol yang terkandung dalam budaya itu.
Berdasarkan
uraian diatas, pengetahuan mengenai makna simbol yang terdapat pada upacara mitoni
sedikit banyak berkurang dan bahkan banyak yang masyarakat menjalankan tradisi mitoni
akan tetapi tidak mengetahui makna yang tersirat di balik simbol-simbol dalam tradisi
mitoni. Desa Bendosari Sawit Boyolali adalah salah satu daerah yang
masyarakatnya masih menjalankan tradisi mitoni secara kental. Kultur masyarakat di Desa Bendosari Sawit
Boyolali pada masa modern ini didominasi oleh masyarakat yang tingkat
pendidikan, pekerjaan dan kultur sosialnya beragam. Sehingga, banyak dari
anggota masyarakat melakukan tradisi mitoni hanya sebatas mengikuti wasiat
leluhur dan upacara biasa yang sekedarnya, tanpa mengetahui makna simbol yang
ada pada tradisi mitoni.
Secara mendasar tradisi mitoni dimanapun
tempatnya akan terdapat kesamaan inti upacara. Namun, tradisi mitoni
yang terdapat di Desa Bendosari Sawit Boyolali ini unik dan berbeda dengan
tradisi mitoni di desa lain, khususnya dalam penggunaan simbol pada unsur-unsur
ubo rampe dalam upacara mitoni. Dari informasi yang penulis dapatkan dari berbagai
sumber dan sejauh pengetahuan penulis, di
Desa Bendosari Sawit Boyolali belum ada penelitian tentang tradisi mitoni khususnya yang berkaitan dengan pengungkapan makna
simbol yang ada pada pelaksanaan tradisi mitoni. Jadi, hal
itulah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang mitoni khususnya
dalam hal pengungkapan makna simbol di
Desa Bendosari Sawit Boyolali.
Salah
satu perbedaan yang terdapat didalam
proses pelaksanaannya mitoni
di Desa ini dengan desa lain yaitu urutan
acara proses berganti pakaian. Pada proses ini, di urutan terakhir pelaku mitoni menggunakan
kemben tumbar pecah yang harus dipakai sampai pagi. Hal
tersebut merupakan salah satu bentuk simbol yang memerlukan pengungkapan makna
dibalik urutan proses berganti pakaian pada upacara mitoni di Desa Bendosari
Sawit Boyolali.
Hal inilah
yang menarik bagi peneliti untuk meneliti makna simbolik dalam upacara mitoni
di Desa Bendosari
Sawit Boyolali
lebih lanjut, bagaimana proses tujuh bulanan (mitoni) beserta makna tiap simbol yang digunakan dalam proses
pelaksanaan yang dilakukan serta nilai-nilai ajaran Islam
apa yang relevan dengan tradisi Mitoni masyarakat Jawa Muslim khususnya di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa
makna simbol dalam tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali?
2. Apa
nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi mitoni
di Desa Bendosari Sawit Boyolali?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui makna simbol dalam tradisi
mitoni di Desa
Bendosari Sawit Boyolali.
2.
Mengetahui nilai- nilai ajaran
Islam yang terdapat dalam prosesi tradisi mitoni
di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
D.
Manfaat dan Kegunaan
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Manfaat penulisan proposal
skripsi ini secara akademis adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang tradisi mitoni
di desa Bendosari Sawit Boyolali.
2.
Manfaat penulisan proposal
skripsi ini bagi pembaca adalah untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa IAIN Surakarta dan mahasiswa Jurusan Ushuluddin khususnya Prodi
Aqidah Filsafat.
E.
Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan mitoni
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh:
Tesis yang ditulis oleh Iwan
Zuhri (2010), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Nilai-Nilai
Pendidikan Islam Dalam Tradisi Mitoni Di Padukuhan Pati Kalurahan Genjahan
Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul”. Hasil dari tesis ini menyimpulkan
bahwa pelaksanaan mitoni yang
dilakukan di Padukuhan Pati Kelurahan Genjangan Kecamatan Ponjong Kabupaten
Gunung Kidul cenderung bernuansa ibadah dan Islami dan telah meninggalkan
rangkaian ibadah mitoni yang mengarah
kepada kemusrikan atau menyekutukan Allah SWT.
Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi mitoni di Padukuhan Pati Kelurahan
Genjangan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul antara lain adalah iman,
ihsan, taqwa, tawakal, ihklas, syukur, silaturahim, shodaqoh. [9]
Perbedaan dengan penelitian yang penulis teliti terletak pada obyek kajiannya,
pada penelitian tersebut membahas pergeseran ritual ibadah dari yang bersifat
kemusyrikan ke ritual yang bersifat ibadah dan Islami. Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih menfokuskan pada makna mitoni.
Skripsi oleh Dewi Kusuma dengan judul “Upacara Mitoni
di Kalangan Masyarakat Madura di kelurahan Perak Timur Surabaya” jurusan
SPI, Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa dalam upacara mitoni yang dilakukan masyarakat Madura
di kelurahan perak timur Surabaya tersebut mengandung unsur-unsur percampuran
budaya. Seperti misal terdapatnya
unsur-unsur animisme dan dinamisme
dalam upacara sesaji dan pembakaran dupa dalam ritualnya.[10]
Pencampuran budaya tersebut dipadukan dengan budaya Jawa agar tetap selaras dan
seimbang. Penelitian ini lebih menfokuskan pada tradisi jawa tanpa adanya
pencampuran dari budaya lain.
Dari beberapa penelitian diatas peneliti belum
menemukan adanya penelitian tentang tradisi mitoni
yang berkaitan dengan makna simbol, khususnya Di Desa Bendosari
Sawit Boyolali. Maka dari itu, penelitian yang dilakukan peneliti belum pernah
diteliti sebelumnya sehingga layak untuk dijadikan sebagai bahan penelitian.
F.
Kerangka Teori
Simbol secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, sumballo (sumballein)
yang berarti berwawancara, merenungkan, membendingkan, bertemu, melemparkan
jadi satu, menyatukan.[11] Simbol artinya tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol
memiliki kedudukan khusus dalam
kehidupan religius dan keagamaan.[12]
Dalam beberapa pengertian simbol diartikan sebagai: a) sesuatu yang
biasanya merupakan tanda yang terlihat yang menggantikan gagasan atau obyek; b)
kata, tanda, atau isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain
seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan obyek; c) apapun yang diberikan
arti dengan persetujuan umum atau dengan kesepakatan atau kebiasaan dan; d) simbol
sering diartikan secara terbatas sebagai tanda konvensional, sesuatu yang
dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar
dan dipakai atau disepakati oleh anggota masyarakat itu sendiri. Arti simbol dalam hal ini sering dilawankan dengan tanda ilmiah.[13] Pada
intinya simbol merupakan wakil dari sebuah ungkapan manusia yang diwujudkan
dalam bentuk tanda, kata maupun isyarat dan dipakai, disepakati oleh masyarakat
yang menciptakan simbol itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran,
simbol memiliki dua pengertian arti yang sangat berbeda. Dalam pemikiran dan
praktik keagamaan. Simbol lazim dianggap sebagai pancaran realitas transenden. Dalam
sistem pemikiran logis dan ilmiah, lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti
tanda abstrak. Sebagian tokoh dan para pemikir yang meyakini hal tersebut
antara lain Pierce, Russel, Urban, Cassirer, Paul Tillich, dan Susanne Langer. [14]
Makna adalah maksud.[15]
Disini lebih diartikan dalam simbol-simbol tradisi mitoni di Desa
Bendosari Sawit Boyolali. Tradisi dalam pengertian ritual dapat diartikan
dengan suatu sistem aktivitas atau serangkaian tindakan yang ditata oleh adat
atau hukum yang berlaku di masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai macam
peristiwa tetap yang terjadi dalam masyarakat. Tradisi mitoni merupakan salah satu tradisi selamatan bagi orang Jawa yang
dimana selametan merupakan upacara pokok dan penting dalam setiap ritus dan
sistem religi orang Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz
dalam bukunya:
“Selamatan
adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam
hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya, dengan
melibatkan handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek moyang
yang sudah mati dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi satu
meja untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak
mengganggu”.[16]
Mitoni merupakan
salah satu upacara adat yang dimana inti dari tradisi mitoni adalah selametan. Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang samapai saat
ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata “am” (awalan am menunjukkan kata kerja)
dan “7”(pitu) yang berarti suati kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke -7. Tradisi
mitoni merupakan suatu adat kebiasaan
atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama
seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang
mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. [17]
Dalam tradisi yang bersifat lokal tersebut
mengikutsertakan unsur-unsur dalam Islam dengan tetap melakukan perlakuan
khusus dengan sesaji. Peranan tradisi adalah untuk selalu mengingatkan manusia
berkenan dengan eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan adanya, tradisi,
warga masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk
menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berbeda pada tingkat pikiran untuk berbagai kegiatan
sosial yang nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terjadi karena
upacara tersebut dilakukan secara rutin.[18]
Tradisi mitoni
dalam masyarakat jawa sudah melekat sejak zaman dulu hingga sekarang. Mereka
meyakini dengan ucapan syukur yang dipanjatkan melalui tradisi ini meminta
keberkahan secara menyeluruh bagi sang ibu dan calon bayi serta keluarganya.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang menjalani kehidupan di dunia.
Secara kodratnya
pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan sebagai sang pencipta, dijawab melalui
konsep ketuhanan yang berada jauh dari manusia sebagai makhluknya. Konsep ini
bisa diartikan dalam pemahaman manusia bahwa Tuhan mempunyai sifat yang
transenden. Dan ini membuktikan bahwa secara nalar jarak manusia dengan Tuhan
berbeda jauh akan tetapi merasa dekat dalam kalbu.[19]
Alam pemikiran orang jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam
dua kosmos, yakni makrokosmos dan mikrokosmos. Maksokosmos menurut orang jawa
mencakup alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan bersifat
misterius. Sedangkan mikrokosmos mencakup pandangan hidup dan sikap manusia
terhadap dunia nyata.[20]
Bagi orang jawa pusat di dunia zaman dulu berpusat pada raja yang
memerintah. Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan
dari Tuhan dengan segala kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan alam. Keraton
sebagai pusat keramat kerajaan sebagai kediaman raja, ini merupakan sumber
kekuatan raja yang mengaliri setiap daerah pemerintahannya dengan kebajikan,
keadilan ketentraman dan kesuburan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya menyadari bahwa,
mereka diciptakan berasal dari sari pati tanah dan kemudian ditiupkannya ruh
agar mereka bisa bertanggu jawab atas semua perbuatannya di dunia. Adanya
tradisi mitoni yang dilakukan oleh
masyakat mempunyai tujuan mengarah pada Tuhan sebagai sang pencipta. Budaya manusia
sebagai hasil tingkah laku atau kreasi manusia memerlukan bahan material, atau
alat pengatur untuk menyampaikan maksud dan pengertian yang terkandung di
dalamnya.
Alat pengatur budaya dapat berbentuk bahasa benda atau barang
warna, suara, tindakan atau perbuatan yang merupakan symbol budaya-budaya jawa
yang dikatakan edi-peni dan edi-luhur dalam menyampaikan atau
menyuguhkan selalu mempergunakan alat-alat pengantar yang berfungsi sebagai
simbol dan budaya.[21]
Dalam penelitian ini menggunakan teori sosial dan menfokuskan pada
etika masyarakat, disamping itu juga menggunakan teori simbol sebagai sudut
pandang dalam melihat makna dari tadisi tersebut. Secara etimologis Istilah “etika” berasal dari bahasa
Yunani “ethos” yang berarti watak
atau adat dan ”taetha” dalam bentuk jamak
yang artinya adat kebiasaan.[22]
Dengan
demikian etika bisa diartikan sebagai suatu sikap kesediaan seseorang untuk
senantiasa taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan kesusilaan.
Manusia sebagai makhluk berpikir dan bermoral yang mempunyai
perasaan. Etika sebagai dasar pembentukan karakter seseorang untuk bersikap
lebih baik dengan budi pekerti yang baik pula. Budaya yang diciptakan oleh
manusia membentuk pola tingkah laku manusia itu sendiri. Adanya suatu budaya
yang dibuatnya dan kemudian dikembangkannya setiap waktu menunjukkan setiap
perubahan yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Tanpa adanya budaya, maka pola
tingkah laku masyarakat juga tidak akan tertata seperti yang dijelaskan menurut
pandangan orang Jawa tentang tata krama.
G.
Metode Penelitian
Ada
beberapa hal yang perlu dijelaskan yang berkaitan dengan metode penelitian yang
digunakan dalam penelitan ini supaya tidak menimbulkan kerancuan metode
penulisannya:
1.
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
jenis penelitian lapangan. Penelitian ini merupakan salah satu metode
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak
memerlukan pengetahuan mendalam akan literatur
yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak peneliti. Penelitian ini
berdasarkan konteks, oleh karena itu
informasi-informasi obyek penelitian akan lebih banyak ditemukan di lapangan.
2.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan data:
a.
Sumber Data Primer
Sumber data Primer diambil dari:
1) Wawancara dengan masyarakat setempat
yang dianggap berkompeten dalam bidang
penelitian ini salah
satunya yaitu Suhadi
(67 th) sebagai sesepuh, Heru Setiawan (42 th) sebagai tokoh masyarakat dan
yang lain-lain yang memiliki keahlian dalam bidangnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2)
Observasi Lapangan.
Observasi lapangan yang
mana didalamnya penuh simbol-simbol mitoni yang dilaksanakan di Desa
Bendosari Sawit Boyolali dengan berusaha aktif bertanya mengenai mitoni
secara natural.
b.
Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder
diambil dari karya-karya seseorang atau buku-buku yang berhubungan dengan mitoni.
3.
Teknik Pengumpulan Data
a.
Metode Observasi
Secara umum observasi
adalah pengamatan-pengamatan penglihatan sedangkan secara khusus dalam dunia
penelitian observasi adalah mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami,
mencari jawaban mencari bukti-bukti terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku,
kejadian, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa
mempengaruhi fenomena yang diobservasikan dengan mencatat, memotret fenomena
tersebut guna penemuan data untuk dianalisis. [23]
Dalam penelitian ini yang akan dibahas oleh peneliti adalah prosesi upacara mitoni
dengan melihat secara langsung simbol-simbol yang terdapat dalam upacara.
b.
Metode Wawancara
Wawancara adalah
percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu
percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewanwancara yang mengajukan
pertanyaan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan pertanyaan
itu dengan metode ini dapat dengan mudah mengetahui tradisi mitoni yang akan kita teliti di
lapangan.[24]
Tokoh masyarakat yang diwawancarai
adalah Suhadi
(67 th) sebagai sesepuh, Heru Setiawan (42 th) sebagai tokoh masyarakat di Desa
Bendosari Sawit Boyolali dan beberapa tokoh yang berkompetem terhadap upacara
adat mitoni.
c.
Dokumentasi
Data diperoleh dengan
cara memeriksa buku berkaitan dengan tradisi mitoni dengan ini
diharapkan data yang tidak terdapat dalam proses wawancara dapat diperoleh
dengan metode ini.
4.
Analisis Data
Analisis data dilakukan
terus menerus selama proses penelitian berlangsung setiap data atau informasi
yang diperoleh dianalisis dan berusahan ditafsirkan untuk mengetahui makna
dihubungkan dengan masalah penelitian. Dalam melakukan analisis yang terus
menerus inilah penelitian dapat disempurnakan, dalam arti dipertajam,
diperluas, dipilih-pilih menjadi beberapa sub masalah dan diganti atau
dirumuskan kembali.[25]
Interpretasi juga tidak luput dari
metode yang digunakan penulis dalam menganalisis data. Interpretasi dalam
penelitian ini merupakan analisis untuk mencapai pemahaman benar mengenai
ekspresi manusiawi yang dipelajari.[26]
Metode selanjutnya yang digunakan
oleh penulis dalam menganalisis masalah adalah Verstehen. Verstehen merupakan
metode pemahaman untuk mengetahui pengalaman orang lain lewat suatu tiruan
pengalaman sendiri. Meskipun tiruan tersebut berada dalam subyek, namun
diproyeksikan sebagaimana yang terdapat dalam objek.[27]
Dengan demikian agar
sejarah budaya Jawa tetap menjadi milik orang yang hidup dimasa, tempat dan
suasana kultur yang berbeda ini penulis mencoba menafsirka makna yang ada dalam
upacara mitoni agar mudah di pahami dan di mengerti.
H.
Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan
skripsi ini akan disusun menjadi beberapa bagian yaitu:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penelitian dan
daftar pustaka.
Bab kedua berisi tentang gambaran umum
desa bendosari, gambaran umum
dan tahapan pelaksanaan mitoni di desa bendosari, gambaran nilai-nilai dalam tradisi mitoni.
Bab ketiga berisi tentang tradisi mitoni yang
mencakup tentang: pertama, berisi tentang makna simbol, bentuk simbol, fungsi
simbol dan upacara mitoni dan
penjelasan makna.
Bab keempat berisi tentang makna dan tradisi mitoni, nilai-nilai dalam tradisi mitoni.
Bab kelima berisi penutup yang berisi tentang kesimpulan,
saran, dan lampiran-lampiran.
[1] Paschalis Maria Laksono, Tradisi Dalam Struktur Mayarakat Jawa (Yogyakarta: Gajahmada University, 1985), h. 17.
[3]Budiono Herusatoto, Simbolisme Manusia dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, Graha Widya 2001), h. 26.
[6] Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa dalam Budaya Jawa
(Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), h. 2.
[7] Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Pakaian Adat Daerah Jawa Timur, 1982, h. 2.
[8] Paschalis Maria Laksono, Tradisi dalam Struktur Mayarakat, h. 9
[9] Thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, oleh Iwan Zuhri
diakses melalui http://digilib.
uin-suka. ac. id/id/eprint/3808, pdf, pada 2 Januari 2013.
[10] Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, oleh Dewi Kusuma
diakses melalui http://adab.sunan-ampel.ac.id/?page_id=485,
pdf pada 22 Oktober 2013.
[11] Siswanto, Joko, Metafisika
Wayang Dimensi Ontologis Wayang Sebagai Simbol Kehidupan (Yogyakarta : UGM,
2003), h. 78.
[12]Bakker, Anton, Manusia dan Simbol
Dalam Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia (Jakarta : PT
Gramedia, 1978) h. 95.
[13]Gus Nuri, dkk, Ritual Gus Dur dan Tanda Kewaliannya (Yogyakarta:
Galang Press Group, 2010), h. 86.
[14]Gus Nuri, dkk, Ritual Gus Dur dan Tanda Kewaliannya, h. 86.
[15]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 548.
[16] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam
masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), h. 13.
[17] Dewi Astuti, Adat-Istiadat
Masyarakat Jawa Barat (Jakarta:
PT. Sarana Panca Karya Nusa, 2009), h. 38.
[18]Clifford Geertz, Abangan,
Santri, Priyayi Dalam Msyarakat Jawa, h. 12.
[19] Joko Siswanto, Metafisik
Wayang Dimensi Filosofis Ontologis Wayang Sebagai Simbol Kehidupan
(Yogayakarta: UGM Press, 2003), h. 74-76.
[20] Yana MH, Falsafah dan
Pandangan Hidup Orang Jawa
(Yogyakarta: Absolut, 2010), h. 17.
[21] Ibid, h. 74
[22] Inu Kencana Syafie, Pengantar
Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 17.
[25] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermeneutika
Transedental, Dari konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islamic Studies, Ir Ci
Sod (Yogyakarta: 2003), h. 14
[26]Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), h. 42.
[27] Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta:
Paradigma, 2005), h. 139.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar