Rabu, 19 November 2014

MAKNA DAN SIMBOL MITONI-bab I




 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pemahaman mengenai simbol dalam tradisi masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh unsur-unsur sosial budaya terhadap masyarakat. Berkenaan dengan ini maka penelitian mengenai simbol merupakan hal yang sangat penting di perhatikan. Sebab pada masa ini sedang berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat akibat dari penggunaan simbol.[1] Secara tidak langsung sudah menjadi tradisi manusia dalam penggunaan simbol sebagai cara mudah untuk mengungkapkan berbagai ekspresi dalam menjalani kehidupannya.
Sebagaimana yang ditulis oleh Andrew Beaty, “Bagi orang Jawa dunia mengandung simbolisme, melalui simbolisme ini Seseorang merenungkan kondisi manusia dan berkomunikasi dengan Tuhan, seperti yang tertulis dalam surat Centini, “ Jika engkau ingin menembus realitas masuklah kedalam simbol”.[2]
1
 
Perubahan zaman memunculkan adanya keterangan karena telah terjadi pergeseran dalam memahami Budaya Jawa. Kadangkala hal itu menimbulkan inti emosi keagamaan dipandang tidak dapat diekspresikan. Maka semua upaya semata-mata merupakan perkiraan, karena itu bersifat simbolik. Simbolis merupakan salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk- makhluk sakral yang khas dalam pikiran dan jiwa para pemeluk agama yang bersangkutan. Simbolis, meskipun kurang tepat di bandingkan dengan cara ekspresi yang lebih ilmiah, tetap mempunyai potensi istimewa.
Simbol bukan saja membangkitkan gambaran dalam kesadaran pemeluk agama dengan mengantar dan menetapkan manusia dengan realitas yang dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas illahi kepada manusia. Sepanjang sejarah budaya manusia, simbol telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa ilmu pengetahuan dan religi.[3]
Simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan realitas religius yang lebih nyata, melainkan kekuatan nyata yang menjumpai suci, sebagaimana diterangkan oleh Mircea Eliade dalam buku karangan Dhavamony mariasusai “Fenomenologi Agama” bahwa simbol-simbol maupun berbagai ritus menghadirkan kembali evaluasi baik kesadaran manusia dalam hal kenyataan yang transenden dan mutlak, suatu evaluasi tentang dirinya yang berbeda dari evaluasi yang diungkapkan berkaitan dengan situasi historis dan kehidupannya.[4]
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap, melalui ungkapan simbolis. Manusia memaknai kehidupannya melalui simbol-simbol dan dengan arah itu pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan dan diatur dengan syarat hidup komunitasnya. Manusia tidak melihat, menekankan dan mengenal dunia secara langsung, tetapi melalui simbol. Realitas yang dihadapinya tidak sekedar kumpulan fakta melainkan mempunyai fakta kejiwaan, yang di dalamnya simbol berperan memberikan keluasan dan ketidak luasan pemahaman.[5] Untuk itu manusia sering disebut sebagai homo simbolism dikarenakan manusia menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya dalam manjalani aktifitas kehidupan hariannya.
Secara struktural tradisi mitoni dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai moral, etika dan religius. Tradisi mitoni merupakan upacara peringatan tujuh bulanan yang dilaksanakan untuk memperingati umur kehamilan pada bulan ketujuh yang didalamnya mengandung nilai-nilai religius baik dari perilaku, peristiwa proses upacaranya. Pada masyarakat Jawa, moral atau budi pekerti dijadikan acuan dalam segala tindakan dalam kehidupan.  
Budi pekerti Jawa adalah fenomena hati atau batin secara sadar orang Jawa yang terpantul ke dalam tindakan. Dengan demikian, budi pekerti Jawa berarti kesadaran total tentang dunia batin kejawaan dan praktek kejawaan. Dari makna semacam ini, dapat dikemukakan bahwa budi pekerti Jawa merupakan watak dan perbuatan orang Jawa sebagai perwujudan hasil pemikirannya.[6] Orang Jawa pada umumnya dikenal dengan keidentikannya dalam hal budi pekerti, akhlak, moral  yang dalam bahasa Jawa disebut dengan unggah ungguh yang kesemua sifat itu akan merefleksikan dalam bentuk perbuatan yang baik dimasyarakat. Sehingga ada istilah bahwa seseorang belum dapat dikatakan sebagai orang Jawa jika belum mempunyai tata karma, dan unggah ungguh yang baik pada pergaulan sosialnya.
Jadi, budi pekerti Jawa dengan sendirinya merupakan akumulasi dari cipta rasa-karsa orang-orang Jawa yang diaktualisasikan ke dalam sikap, kata-kata, dan tingkah laku seseorang. Budi pekerti Jawa ini akan menggambarkan tabiat, watak, akhlak, dan moral, sekaligus mencerminkan sikap batin seseorang. Sikap batin ini yang akan tercermin dalam tingkah laku seseorang. Pencerminan batin tersebut dalam wawasan religius disebut akhlakul karimah (sikap dan tindakan yang mulia), sedangkan dalam budaya Jawa disebut budi pekerti luhur. Orang Jawa yang berbudi pekerti luhur, pada dasarnya sikap dan perilakunya akan dilandasi pertimbangan baik dan buruk, kemudian memilih ke hal baik untuk dijalankannya.
Atas dasar kenyataan diatas  dirasa perlu untuk menanamkan nilai-nilai budaya Jawa dan nilai-nilai agama Islam kepada seluruh anggota masyarakat Indonesia pada umumnya serta generasi penerus khususnya mengenai pengenalan budaya diseluruh wilayah Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya serta gagasan vital yang benar.[7] Simbol merupakan salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai budaya yang dimanifestasikan melalui berbagai upacara adat maupun upacara keagamaan.
Secara prinsip, tradisi mitoni tidak terlepas dari nilai-nilai religus pada setiap urutan acaranya, khususnya nilai-nilai ajaran Jawa tidak bisa dipisahkan dari ajaran budi pekerti yang terdapat pada ajaran Islam.[8] Nilai-nilai ajaran Islam yang universal pada dasarnya terdapat relevansi dengan nilai-nilai yang terdapat pada tradisi mitoni, misalnya, dalam tradisi mitoni yang sarat akan nilai-nilai budi pekerti ini pada intinya sama dengan istilah ahklakul karimah (sikap dan perbuatan terpuji).
Seiring dengan perkembangan zaman yang serba modern dan instan, tradisi mitoni juga mengalami pergeseran dan pengurangan unsur-unsur ritual, dari ritual yang serba lengkap kini menjadi tradisi instan dengan tidak meninggalkan inti tradisi. Hal ini menyebabkan ikut hilangnya beberapa makna simbol dan nilai-nilai religius dalam upacara mitoni secara perlahan dan sangat disayangkan jika generasi mendatang melestarikan sebuah budaya tanpa mengetahui makna simbol yang terkandung dalam  budaya itu.
Berdasarkan uraian diatas, pengetahuan mengenai makna simbol yang terdapat pada upacara mitoni sedikit banyak berkurang dan bahkan banyak yang masyarakat menjalankan tradisi mitoni akan tetapi tidak mengetahui makna yang tersirat di balik simbol-simbol dalam tradisi mitoni. Desa Bendosari Sawit Boyolali adalah salah satu daerah yang masyarakatnya masih menjalankan tradisi mitoni secara kental. Kultur masyarakat di Desa Bendosari Sawit Boyolali pada masa modern ini didominasi oleh masyarakat yang tingkat pendidikan, pekerjaan dan kultur sosialnya beragam. Sehingga, banyak dari anggota masyarakat melakukan tradisi mitoni hanya sebatas mengikuti wasiat leluhur dan upacara biasa yang sekedarnya, tanpa mengetahui makna simbol yang ada pada tradisi mitoni.
Secara mendasar tradisi mitoni dimanapun tempatnya akan terdapat kesamaan inti upacara. Namun, tradisi mitoni yang terdapat di Desa Bendosari Sawit Boyolali ini unik dan berbeda dengan tradisi mitoni di desa lain, khususnya dalam penggunaan simbol pada unsur-unsur ubo rampe dalam upacara mitoni. Dari informasi yang penulis dapatkan dari berbagai sumber dan sejauh pengetahuan penulis, di Desa Bendosari Sawit Boyolali belum ada penelitian tentang tradisi mitoni khususnya yang berkaitan dengan pengungkapan makna simbol yang ada pada pelaksanaan tradisi mitoni. Jadi, hal itulah yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang mitoni khususnya dalam hal pengungkapan makna simbol di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
Salah satu perbedaan yang terdapat didalam proses pelaksanaannya mitoni di Desa ini dengan desa lain yaitu urutan acara proses berganti pakaian. Pada proses ini, di urutan terakhir pelaku mitoni menggunakan kemben tumbar pecah yang harus dipakai sampai pagi.  Hal tersebut merupakan salah satu bentuk simbol yang memerlukan pengungkapan makna dibalik urutan proses berganti pakaian pada upacara mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali.  
Hal inilah yang menarik bagi peneliti untuk meneliti makna simbolik  dalam upacara mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali lebih lanjut, bagaimana proses tujuh bulanan (mitoni) beserta makna tiap simbol yang digunakan dalam proses pelaksanaan yang dilakukan serta nilai-nilai ajaran Islam apa yang relevan dengan tradisi Mitoni masyarakat Jawa Muslim khususnya di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.      Apa makna simbol dalam tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali?
2.      Apa nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui makna simbol dalam tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
2.      Mengetahui nilai- nilai ajaran Islam yang terdapat dalam prosesi tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali.
D.    Manfaat dan Kegunaan
Manfaat dan kegunaan dalam penelitian ini adalah:
1.      Manfaat penulisan proposal skripsi ini secara akademis adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang tradisi mitoni di desa Bendosari Sawit Boyolali.
2.      Manfaat penulisan proposal skripsi ini bagi pembaca adalah untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa IAIN Surakarta dan mahasiswa Jurusan Ushuluddin khususnya Prodi Aqidah Filsafat.
E.     Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan mitoni diantaranya penelitian yang dilakukan oleh:
Tesis yang ditulis oleh Iwan Zuhri (2010), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Mitoni Di Padukuhan Pati Kalurahan Genjahan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul”. Hasil dari tesis ini menyimpulkan bahwa pelaksanaan mitoni yang dilakukan di Padukuhan Pati Kelurahan Genjangan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul cenderung bernuansa ibadah dan Islami dan telah meninggalkan rangkaian ibadah mitoni yang mengarah kepada kemusrikan atau menyekutukan Allah SWT.  Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi mitoni di Padukuhan Pati Kelurahan Genjangan Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul antara lain adalah iman, ihsan, taqwa, tawakal, ihklas, syukur, silaturahim, shodaqoh. [9] Perbedaan dengan penelitian yang penulis teliti terletak pada obyek kajiannya, pada penelitian tersebut membahas pergeseran ritual ibadah dari yang bersifat kemusyrikan ke ritual yang bersifat ibadah dan Islami. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sendiri lebih menfokuskan pada makna mitoni.
Skripsi oleh Dewi Kusuma dengan judul “Upacara Mitoni di Kalangan Masyarakat Madura di kelurahan Perak Timur Surabaya” jurusan SPI, Fakultas Adab, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam upacara mitoni yang dilakukan masyarakat Madura di kelurahan perak timur Surabaya tersebut mengandung unsur-unsur percampuran budaya.  Seperti misal terdapatnya unsur-unsur animisme dan dinamisme dalam upacara sesaji dan pembakaran dupa dalam ritualnya.[10] Pencampuran budaya tersebut dipadukan dengan budaya Jawa agar tetap selaras dan seimbang. Penelitian ini lebih menfokuskan pada tradisi jawa tanpa adanya pencampuran dari budaya lain.
Dari beberapa penelitian diatas peneliti belum menemukan adanya penelitian tentang tradisi mitoni yang berkaitan dengan makna simbol, khususnya Di Desa Bendosari Sawit Boyolali. Maka dari itu, penelitian yang dilakukan peneliti belum pernah diteliti sebelumnya sehingga layak untuk dijadikan sebagai bahan penelitian.
F.     Kerangka Teori
Simbol secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, sumballo (sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, membendingkan, bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan.[11] Simbol artinya tanda atau ciri yang  memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Simbol memiliki kedudukan  khusus dalam kehidupan religius dan keagamaan.[12]
Dalam beberapa pengertian simbol diartikan sebagai: a) sesuatu yang biasanya merupakan tanda yang terlihat yang menggantikan gagasan atau obyek; b) kata, tanda, atau isyarat yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan dan obyek; c) apapun yang diberikan arti dengan persetujuan umum atau dengan kesepakatan atau kebiasaan dan; d) simbol sering diartikan secara terbatas sebagai tanda konvensional, sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standar dan dipakai atau disepakati oleh anggota masyarakat itu sendiri.  Arti simbol dalam hal ini sering dilawankan dengan tanda ilmiah.[13] Pada intinya simbol merupakan wakil dari sebuah ungkapan manusia yang diwujudkan dalam bentuk tanda, kata maupun isyarat dan dipakai, disepakati oleh masyarakat yang menciptakan simbol itu sendiri.
Dalam sejarah pemikiran, simbol memiliki dua pengertian arti yang sangat berbeda. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan. Simbol lazim dianggap sebagai pancaran realitas transenden. Dalam sistem pemikiran logis dan ilmiah, lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti tanda abstrak. Sebagian tokoh dan para pemikir yang meyakini hal tersebut antara lain Pierce, Russel, Urban, Cassirer, Paul Tillich, dan Susanne Langer. [14]
Makna adalah maksud.[15] Disini lebih diartikan dalam simbol-simbol tradisi mitoni di Desa Bendosari Sawit Boyolali. Tradisi dalam pengertian ritual dapat diartikan dengan suatu sistem aktivitas atau serangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku di masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang terjadi dalam masyarakat. Tradisi mitoni merupakan salah satu tradisi selamatan bagi orang Jawa yang dimana selametan merupakan upacara pokok dan penting dalam setiap ritus dan sistem religi orang Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya:
“Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya, dengan melibatkan handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja untuk diminta perlindungannya, restunya dan kesediaannya untuk tidak mengganggu”.[16]

Mitoni merupakan salah satu upacara adat yang dimana inti dari tradisi mitoni adalah selametan. Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang samapai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata “am” (awalan am menunjukkan kata kerja) dan “7”(pitu) yang berarti suati kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke -7. Tradisi mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. [17]
Dalam tradisi yang bersifat lokal tersebut mengikutsertakan unsur-unsur dalam Islam dengan tetap melakukan perlakuan khusus dengan sesaji. Peranan tradisi adalah untuk selalu mengingatkan manusia berkenan dengan eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan. Dengan adanya, tradisi, warga masyarakat bukan hanya selalu diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berbeda  pada tingkat pikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini terjadi karena upacara tersebut dilakukan secara rutin.[18]
Tradisi mitoni dalam masyarakat jawa sudah melekat sejak zaman dulu hingga sekarang. Mereka meyakini dengan ucapan syukur yang dipanjatkan melalui tradisi ini meminta keberkahan secara menyeluruh bagi sang ibu dan calon bayi serta keluarganya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang menjalani kehidupan di dunia. Secara kodratnya pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan sebagai sang pencipta, dijawab melalui konsep ketuhanan yang berada jauh dari manusia sebagai makhluknya. Konsep ini bisa diartikan dalam pemahaman manusia bahwa Tuhan mempunyai sifat yang transenden. Dan ini membuktikan bahwa secara nalar jarak manusia dengan Tuhan berbeda jauh akan tetapi merasa dekat dalam kalbu.[19]
Alam pemikiran orang jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos, yakni makrokosmos dan mikrokosmos. Maksokosmos menurut orang jawa mencakup alam semesta yang mengandung kekuatan supranatural dan bersifat misterius. Sedangkan mikrokosmos mencakup pandangan hidup dan sikap manusia terhadap dunia nyata.[20]
Bagi orang jawa pusat di dunia zaman dulu berpusat pada raja yang memerintah. Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan dari Tuhan dengan segala kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan alam. Keraton sebagai pusat keramat kerajaan sebagai kediaman raja, ini merupakan sumber kekuatan raja yang mengaliri setiap daerah pemerintahannya dengan kebajikan, keadilan ketentraman dan kesuburan.
Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya menyadari bahwa, mereka diciptakan berasal dari sari pati tanah dan kemudian ditiupkannya ruh agar mereka bisa bertanggu jawab atas semua perbuatannya di dunia. Adanya tradisi mitoni yang dilakukan oleh masyakat mempunyai tujuan mengarah pada Tuhan sebagai sang pencipta. Budaya manusia sebagai hasil tingkah laku atau kreasi manusia memerlukan bahan material, atau alat pengatur untuk menyampaikan maksud dan pengertian yang terkandung di dalamnya.
Alat pengatur budaya dapat berbentuk bahasa benda atau barang warna, suara, tindakan atau perbuatan yang merupakan symbol budaya-budaya jawa yang dikatakan edi-peni dan edi-luhur dalam menyampaikan atau menyuguhkan selalu mempergunakan alat-alat pengantar yang berfungsi sebagai simbol dan budaya.[21]
Dalam penelitian ini menggunakan teori sosial dan menfokuskan pada etika masyarakat, disamping itu juga menggunakan teori simbol sebagai sudut pandang dalam melihat makna dari tadisi tersebut. Secara etimologis Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau adat dan ”taetha” dalam bentuk jamak yang artinya adat kebiasaan.[22] Dengan demikian etika bisa diartikan sebagai suatu sikap kesediaan seseorang untuk senantiasa taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan kesusilaan.
Manusia sebagai makhluk berpikir dan bermoral yang mempunyai perasaan. Etika sebagai dasar pembentukan karakter seseorang untuk bersikap lebih baik dengan budi pekerti yang baik pula. Budaya yang diciptakan oleh manusia membentuk pola tingkah laku manusia itu sendiri. Adanya suatu budaya yang dibuatnya dan kemudian dikembangkannya setiap waktu menunjukkan setiap perubahan yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Tanpa adanya budaya, maka pola tingkah laku masyarakat juga tidak akan tertata seperti yang dijelaskan menurut pandangan orang Jawa tentang tata krama.
G.    Metode Penelitian
Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan yang berkaitan dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitan ini supaya tidak menimbulkan kerancuan metode penulisannya:
1.      Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan.  Penelitian ini merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan pengetahuan mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak peneliti. Penelitian ini berdasarkan konteks, oleh karena itu informasi-informasi obyek penelitian akan lebih banyak ditemukan di lapangan.
2.      Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan data:
a.       Sumber Data Primer
Sumber data Primer diambil dari:
1)   Wawancara dengan masyarakat setempat yang dianggap berkompeten dalam bidang penelitian ini salah satunya yaitu Suhadi (67 th) sebagai sesepuh, Heru Setiawan (42 th) sebagai tokoh masyarakat dan yang lain-lain yang memiliki keahlian dalam bidangnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
2)   Observasi Lapangan.
Observasi lapangan yang mana didalamnya penuh simbol-simbol mitoni yang dilaksanakan di Desa Bendosari Sawit Boyolali dengan berusaha aktif bertanya mengenai mitoni secara natural.
b.      Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diambil dari karya-karya seseorang atau buku-buku yang berhubungan dengan mitoni.
3.      Teknik  Pengumpulan Data
a.       Metode Observasi
Secara umum observasi adalah pengamatan-pengamatan penglihatan sedangkan secara khusus dalam dunia penelitian observasi adalah mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari jawaban mencari bukti-bukti terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku, kejadian, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasikan dengan mencatat, memotret fenomena tersebut guna penemuan data untuk dianalisis. [23] Dalam penelitian ini yang akan dibahas oleh peneliti adalah prosesi upacara mitoni dengan melihat secara langsung simbol-simbol yang terdapat dalam upacara.
b.      Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewanwancara yang mengajukan pertanyaan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertanyaan pertanyaan itu dengan metode ini dapat dengan mudah mengetahui tradisi  mitoni yang akan kita teliti di lapangan.[24] Tokoh masyarakat  yang diwawancarai adalah Suhadi (67 th) sebagai sesepuh, Heru Setiawan (42 th) sebagai tokoh masyarakat di Desa Bendosari Sawit Boyolali dan beberapa tokoh yang berkompetem terhadap upacara adat mitoni.
c.       Dokumentasi
Data diperoleh dengan cara memeriksa buku berkaitan dengan tradisi mitoni dengan ini diharapkan data yang tidak terdapat dalam proses wawancara dapat diperoleh dengan metode ini.
4.      Analisis Data
Analisis data dilakukan terus menerus selama proses penelitian berlangsung setiap data atau informasi yang diperoleh dianalisis dan berusahan ditafsirkan untuk mengetahui makna dihubungkan dengan masalah penelitian. Dalam melakukan analisis yang terus menerus inilah penelitian dapat disempurnakan, dalam arti dipertajam, diperluas, dipilih-pilih menjadi beberapa sub masalah dan diganti atau dirumuskan kembali.[25]
Interpretasi juga tidak luput dari metode yang digunakan penulis dalam menganalisis data. Interpretasi dalam penelitian ini merupakan analisis untuk mencapai pemahaman benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari.[26]
Metode selanjutnya yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis masalah adalah Verstehen. Verstehen merupakan metode pemahaman untuk mengetahui pengalaman orang lain lewat suatu tiruan pengalaman sendiri. Meskipun tiruan tersebut berada dalam subyek, namun diproyeksikan sebagaimana yang terdapat dalam objek.[27]
Dengan demikian agar sejarah budaya Jawa tetap menjadi milik orang yang hidup dimasa, tempat dan suasana kultur yang berbeda ini penulis mencoba menafsirka makna yang ada dalam upacara mitoni agar mudah di pahami dan di mengerti.
H.   Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun menjadi beberapa bagian yaitu:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penelitian dan daftar pustaka.
Bab kedua berisi tentang gambaran umum desa bendosari, gambaran umum dan tahapan pelaksanaan mitoni di desa bendosari, gambaran nilai-nilai dalam tradisi mitoni.
Bab ketiga berisi tentang tradisi mitoni yang mencakup tentang: pertama, berisi tentang makna simbol, bentuk simbol, fungsi simbol dan upacara mitoni dan penjelasan makna.
Bab keempat berisi tentang makna dan tradisi mitoni, nilai-nilai dalam tradisi mitoni.  
Bab kelima berisi penutup yang berisi tentang kesimpulan, saran, dan lampiran-lampiran.



[1] Paschalis Maria Laksono, Tradisi Dalam Struktur Mayarakat Jawa (Yogyakarta: Gajahmada University,  1985), h. 17.
[2] Andrew Beaty, Variasi Agama di Jawa (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.  222.
[3]Budiono Herusatoto, Simbolisme Manusia dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, Graha Widya 2001), h.  26.
[4]Dhavamony Mariasusai, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius,1995), h.  165.
[5] Budiono Herusatoto,Simbolisme Manusia dalam Budaya Jawa, h.  10.
[6] Suwardi Endraswara, Budi Pekerti Jawa dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), h.  2.
[7] Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Pakaian Adat Daerah Jawa Timur, 1982, h.  2.
[8] Paschalis Maria Laksono, Tradisi dalam Struktur Mayarakat, h. 9
[9] Thesis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, oleh Iwan Zuhri diakses melalui http://digilib. uin-suka. ac. id/id/eprint/3808, pdf, pada 2 Januari 2013.
[10] Skripsi, IAIN Sunan Ampel Surabaya, oleh Dewi Kusuma diakses melalui http://adab.sunan-ampel.ac.id/?page_id=485, pdf pada 22 Oktober 2013.
[11] Siswanto, Joko, Metafisika Wayang Dimensi Ontologis Wayang Sebagai Simbol Kehidupan (Yogyakarta : UGM, 2003), h.  78.
[12]Bakker, Anton, Manusia dan Simbol Dalam Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia (Jakarta : PT Gramedia, 1978) h.  95.
[13]Gus Nuri, dkk, Ritual Gus Dur dan Tanda Kewaliannya (Yogyakarta: Galang Press Group, 2010), h.  86.
[14]Gus Nuri, dkk, Ritual Gus Dur dan Tanda Kewaliannya, h.  86.
[15]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.  548.
[16] Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam masyarakat Jawa, terj.  Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), h.  13.
[17] Dewi Astuti, Adat-Istiadat Masyarakat Jawa Barat (Jakarta: PT.  Sarana Panca Karya Nusa, 2009),  h.  38.
[18]Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Msyarakat Jawa,  h.  12.

[19] Joko Siswanto, Metafisik Wayang Dimensi Filosofis Ontologis Wayang Sebagai Simbol Kehidupan (Yogayakarta: UGM Press, 2003), h. 74-76.
[20] Yana MH, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Absolut, 2010), h. 17.
[21] Ibid, h. 74
[22] Inu Kencana Syafie, Pengantar Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 17. 
[23] Imam Suprayogo, Metode Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), h.  167.
[24]Ibid., h.  172.
[25] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transedental, Dari konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islamic Studies, Ir Ci Sod (Yogyakarta: 2003), h.  14
[26]Anton Bakker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), h.  42.
[27] Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005), h.  139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar