|
GAMBARAN TENTANG NILAI dan
TRADISI MITONI
A. Gambaran Umum Desa Bendosari
1.
Keadaan Geografis
Desa Bendosari
secara administratif termasuk dalam Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Jarak
Desa Bendosari menuju ke kota Boyolali kurang lebih 15 kilometer. Sedangkan
luas wilayah pemukiman kurang lebih 171
hektar.
Batas- batas desa Bendosari
adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara :
Desa Karangduren
Sebelah Selatan :
Desa Kateguhan
Sebelah Barat :
Desa Jatirejo
Sebelah Timur :
Desa Tempel
|
Desa Bendosari
memiliki luas wilayah kurang lebih 171 hektar, dengan memiliki luas wilayah yang
begitu luas masyarakat Desa Bendosari lebih cenderung menggunakan sebagian
besar tanahnya untuk lahan pertanian. Wilayah Desa Bendosari memiliki
ketinggian 150 m diatas permukaan laut. Dan curah hujan 2000mm/tahun. Dan suhu
udara 32 derajat memungkinkan lahan pertanian tumbuh subur. Desa Bendosari terdiri dari 11
dusun, yakni; Rejosari, Gajahrejo, Miri, Bendo, Mloko, Bendolegi, Sonyopringgo,
Sarirejo, Srilayu, Madusari, Mbendoasri. Setiap dusun dikepalai oleh seorang
kepala dusun, dan setiap dusun ada ketua RT. Tidak hanya itu pemerintah desa dibantu
juga oleh skretaris serta beberapa staf pemerintahan desa seperti staf bagian
umum dan staf bagian keuangan. Struktur pemerintahan inilah yang mana mengatur
dan mengorganisir setiap kegiatan desa.
Misalnya dalam permasalahan
pembangunan desa, dana diambilkan dari swadaya masyarakat dan juga dari
pemerintah yang diambil dari dana APBD, selain itu ada juga bantuan dana lembaga-lembaga
perberdayaaan masyarakat. Desa Bendosari mempunyai sebuah lembaga khusus yang
disebut LKMD (Lembaga Kemasyarakatan Desa). Lembaga ini bertugas membantu
masyarakat dalam berbagai kebutuhan serta mengontrol seperti halnya kebijakan
pemerintah desa. Disamping itu ada juga Lembaga adat yang berfungsi sebagai pengatur
adanya kegiatan-kegiatan yang berlangsung dengan berdasarkan kebijakan
musyawarah diantaranya adalah musyawarah adat, sanksi adat, perkawinan adat, tradisi
kematian secara adat, tradisi pernikahan secara adat, tradisi adat dalam
kegiatan pertanian/peternakan, rumah adat, tradisi adat dalam membangun rumah,
jalan dan infrastukur lainnya.
Penjelasan diatas
dapat disimpulkan bahwa di Desa Bendosari tidak terlepas dari adanya tradisi
adat. Salah satunya adalah mitoni,
tradisi mitoni ini merupakan tradisi
adat yang berkaitan dengan proses kelahiran. Masyarakat Desa Bendosari sebagian
besar masih melaksanakan tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan.
Dengan berbagai perlengkapannya masyarakat Bendosari menjalankan tradisi ini
tanpa menghilangkan satu proses/langkah dalam rangakaian ritualnya.
2. Keadaan Demografis
a. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk
Desa Bendosari berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada bulan Juli-Desember
2012 berjumlah 2801 jiwa, dengan perincian sebagai berikut:
1) Menurut jenis kelamin
Laki-laki :
1405 jiwa
Perempuan :
1396 jiwa
2) Menurut kepala keluarga : 107 kepala keluarga
3) Menurut agama
Islam ada 2741 orang, Kristen ada 31 orang, Katholik
ada 24 orang, Hindu ada 5 orang, dan Budha tidak ada.
4) Menurut usia
Usia muda :
usia 0-14 tahun ada 438 orang
Usia dewasa :
usia 15-19 tahun 594 orang
Usia Tua :
usia 60 keatas ada 1769 orang
b. Keadaan Ekonomi
Penduduk Desa Bendosari
sebagaian besar lebih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian pokok
untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Selebihnya ada yang bekerja di bidang
wiraswasta maupun pegawai negeri. Penduduk Desa Bendosari mempunyai kondisi
tanah yang subur dan kondisi pengairan yang memadai sehingga memungkinkan untuk
menghasilkan panen yang melimpah.
Penduduk
desa yang bekerja sebagai petani sebanyak 289 orang, sebagai buruh tani
sebanyak 95 orang. Sector wiraswasta dan PNS sebanyak 18 dan 62 orang, dari
ABRI sebanyak 21, pensiunan sebanyak 65, pemulung ada 6 orang dan dibidang jasa
ada 76 orang. Berdasarkan data tersebut dapat dismpulkan bahwa mayoritas
masyarakat Desa Bendosari adalah petani dan buruh tani. Sebab penduduk lebih sering
memanfaatkan lahan sebagai pertanian dan menggunakan sumber air dari aliran
sungai umbul mungup yang terletak di sebelah barat kecamatan Sawit.
Lahan pertanian
biasanya ditanami padi, jagung, kacang dan palawija. Bagi penduduk yang bekerja
sebagai buruh tani biasanya mereka memakai sistem borongan, artinya dihitung
sesuai jam kerja dalam waktu satu hari. Penduduk yang bekerja wiraswasta
berjumlah 18 orang , mereka terdiri dari usaha membuka warung, bengkel motor di
pinggir jalan raya, serta berjualan keliling di sekolah-sekolah sekitar Desa Bendosari.
Untuk
memudahkan warga masyarakat dalam menjalankan usaha dan bekerja diperlukan sarana
transportasi. Masyarakat Desa Bendosari memiliki beragam sarana transportasi diantara
yaitu sepeda, sepeda motor, dan mobil, angkot, dan becak. Dan dalam melakukan
komunikasi warga desa masyarakat Bendosari menggunakan telepon selullar dan
sarana internet khususnya bagi yang berpendidikan.
c. Keadaan Politik
Banyaknya
pegawai negeri sebagai pekerjaan yang dimiliki oleh sebagain masyarakat
Bendosari menjadi sumber utama untuk mengatur dan membentuk keadaan desa
menjadi yang lebih baik. Seperti halnya urusa-urusan birokrasi desa yang
merupakan salah satu contoh tempat untuk melakukan sosialisasi politik. Banyak
orang-orang partai yang ada dan mendasari keterlibatan mereka untuk berpolitik.
Di Desa
Bendosari sendiri terdapat beberapa partai yang menjadi suara dalam masyarakat,
seperti Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai
Demokrasi Kemerdekaan (Partai Demokrat). Partai-partai besar ini memanfaatkan
masyarakat untuk mencari suara terbanyak. Keterlibatan masyarakat dengan
politik menjadi sumber utama kemajuan suatu wilayah, seperti halnya masyarakat
Bendosari. Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) dengan masa terbanyak menjadi
partai yang mendominasi pola pemikiran politik masyarakat Bendosari.
Seperti
dalam data pemilu tahun 2009 data pemilih sebanyak 2055 dengan jumlah TPS ada
8.[1]
Partai yang mendominasi suara terbanyak dalam masyarakat Bendosari adalah
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan jumlah suara 417, selanjutnya disusul
oleh Partai Amanat Nasional (PAN) 279 suara, Partai Golongan Karya (Partai
GOLKAR) 117 suara, Partai Demokrasi Kemerdekaan (Partai DEMOKRAT) 259 suara,
Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai GERINDRA) dengan 47 suara.
d. Keadaan Pendidikan
Keadaan
pendidikan di desa Bendosari bermacam-macam jenjang pendidikan mulai dari
tingkat SD, SMP. SMA, dan Perguruan Tinggi. Warga yang perpendidikan hingga
sampai SD ada sebanyak 709, SMP sebanyak 456 orang, SMA 506, perguruan tinggi D1-
D3 sebanyak 62 orang, S1-S3 sebanyak 21 orang. Dari uraian tingkatan pendidikan
warga Desa Bendosari dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk desa Bendosari
adalah lulusan SD. Meskipun begitu tingkat kesadaran akan pendidikan pada warga
desa Bendosari termasuk baik, hal ini terlihat pada jumlah kelulusan D1 hingga
S3 yang relatif banyak dibandingkan desa sebelahnya.
Pendidikan
yang ditempuh oleh masyarakat membentuk pola pikir masyarakat itu sendiri. Di
Desa Bendosari sendiri rata-rata pendidikan yang ditempuh cukup tinggi, ini
menjadi alasan bagi mereka untuk berpikir logis dan rasional. Rasa
gotong-royong dalam masyarakat menjadi faktor utama untuk memperlihatkan keakraban
dan keharmonisan dalam bermasyarakat. Tadisi yang ada menjadi objek bagi mereka
untuk terus menjaga dan mengembangkan lebih baik.
e. Keadaan Keagamaan
Kehidupan
keagamaan di Desa Bendosari mayoritas adalah umat muslim. Hal ini terlihat dari
jumlah penduduk muslim yang lebih banyak dari agama lain, yakni ada 2741 orang,
Kristen 31 orang, Katholik 24, dan Budha tidak ada, disamping itu tidak
ditemukan sarana ibadah agama lain kecuali masjid.[2]
Dari penjelasan tersebut menunjukan
bahwa mayoritas penduduk Bendosari adalah muslim.
Muslim
sendiri dalam lingkungan ini memiliki perkembangan yang cukup luas dan berakar
pinang. Banyak aliran-aliran dari muslim itu sendiri, diantaranya adanya aliran
Muhammadiah, Nahdhatul ulama (NU), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII). Aliran-aliran ini juga mempengaruhi kerangka
pemikir masyarakat dalam melestarikan budaya dan tradisi warisan leluhur.
Masyarakat NU yang menjadi masyarakat muslim dominan di Desa Bendosari
dibuktikan dengan adanya PONPES Al-Hikam. Ponpes ini dipimpin oleh seorang kyai
yang dituakan dan merupakan sesebuh organisasi NU di Kota Boyolali. Masyarakat
inilah yang masih dan terus melestarikan budaya leluhur, untuk masyarakat
lainnya sudah tidak percaya terhadap hal-hal ini karena dianggap bid’ah.
f. Keadaan Tradisi
Tradisi atau Kebiasaan Masyarakat Sosial
budaya yang dianut oleh masyarakat desa Bendosari masih seperti pada umumnya
masyarakat Jawa. Mereka masih menggunakan budaya Jawa yang kental dalam
kehidupan sehari-harinya.
Terdapat banyak tindakan-tindakan dalam budaya jawa yaitu tradisi makan bersama
yang dalam bahasa jawa disebut slametan.
Berkaitan dengan pemujaan roh orang yang telah meninggal dan pemujaan roh nenek
moyang maka adat untuk mengunjungi makam keluarga disebut nyekar.[3]
Keadaan
tradisi di Desa Bendosari sangat beragam adanya, dimulai dari tradisi
pernikahan, kematian, kelahiran dan tradisi mitoni
itu sendiri. Tradisi-tradisi ini sudah ada sejak dulu dan merupakan warisan
leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Zaman dulu masyarakat masih sangat
kental dengan tradisi dan hampir tidak melupakan satu tahap pun dalam
pelaksaanaannya. Disebabkan karena perkembangan zaman yang mulai menggeser
posisi tadisi tersebut dalam masyarakat. Disamping itu juga budaya islam yang
mendominasi sebagai dasar keyakinan masyarakat menjadi faktor utama untuk
menghapus tradisi-tradisi tersebut.
Dulu
masih kental dengan adanya tahlilan setiap 7 hari bila ada seseorang yang
meninggal. Disamping itu adanya tardisi sewengenan
bila ada seseorang yang baru melahirkan. Tradisi ruwatan bila ada seseorang yang sering mendapat musibah. Tradisi tedak sinten bila seorang anak yang
mulai turun dari tanah atau mulai belajar berjalan. Tradisi perkawinan adat Jawa
yang sangat kental dengan budaya dan ritualnya. Sekarang tradisi ini tergeser
dengan budaya islam yang bersifat keras dengan alasan bahwa ini bukanlah kebiasaan
yang dilakukan oleh para nabi zaman dulu. Dasar inilah yang membantu
mempercepat pergeseran tradisi dalam masyarakat.[4]
B.
Gambaran Umum dan Tahapan Pelaksanaan Mitoni di Desa
Bendosari
1. Gambaran Umum mitoni
Di beberapa daerah
di Indonesia, proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat
setempat. Harapan-harapan muncul terhadap bayi dalam kandungan, agar mampu
menjadi generasi yang handal dikemudian hari. Untuk itu, dilaksanakan beberapa
tradisi yang dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut.
Diantara tradisi tersebut adalah tradisi neloni,
mitoni/tingkeban. Neloni sendiri
berasal dari kata telu yang artinya
tiga. Sedangkan mitoni berasal dari
kata pitu yang artinya tujuh, ini
dimaksudkan bahwa neloni atau pun mitoni/tingkeban adalah ritual yang
dilaksanakan pada saat bayi menginjak usia tiga atau tujuh bulan dalam
kandungan.[5]
Tradisi tersebut merupakan upaya orang tua, khususnya para calon ibu, agar
harapan mereka yang mulia terhadap anaknya kelak benat-benar terwujud.
Orang Jawa itu
kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Begitu luasnya daya imajinasi
itu sehingga melahirkan banyak ragam tata tradisi adat yang sarat dengan makna
simbolik, diantaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra
kelahiran. Salah satunya adalah tradisi untuk memperingati usia kehamilan tujuh
bulan yang biasa disebut mitoni. Tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian tradisi
siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat
Jawa. Tradisi mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu tradisi yang
dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan
tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa
memperoleh keselamatan.
Mitoni tidak dapat
diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk
menyelenggarakan tradisi mitoni. Hari baik untuk tradisi mitoni adalah hari
Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan
diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari. Sedangkan tempat untuk
menyelenggarakan tradisi biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut
dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja
Dewi Sri, dewi padi. Kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka tradisi mitoni biasanya
diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup
untuk menyelenggarakan tradisi.
Sedangkan menurut
cerita yang beredar di masyarakat Ritual mitoni telah ada sejak
zaman kuno. Menurut penuturan yang diceritakan secara turun temurun, asal
usulnya sebagai berikut: Sepasang suami istri, Ki
Sedya dan Niken Satingkeb, pernah punya anak sembilan kali, tetapi
semuanya tidak ada yang berumur panjang. Mereka telah meminta bantuan banyak
orang pintar, dukun, tetapi belum juga berhasil. Ketika sudah tidak kuat menghadapi
derita berkepanjangan, kedua suami istri itu memberanikan diri memohon
pertolongan dari Jayabaya.[6]
Raja Jayabaya dikenal sangat dekat dengan rakyatnya, dan dengan senang hati
memberi bantuan kepada rakyatnya yang menderita.
Kedua suami istri,
dinasihati supaya melakukan ritual, caranya: Sebagai syarat pokok, mereka harus
rajin manembah kepada Gusti, selalu berbuat yang baik dan suka menolong
dan welas asih kepada sesama. Berdoa dengan khusuk, memohon kepada Tuhan.
Mereka harus menyucikan diri, manembah kepada Tuhan. Selanjutnya mandi suci
dengan air yang berasal dari tujuh sumber, kemudian berpasrah diri lahir batin.
Sesudah itu memohon kepada Tuhan, apa yang menjadi kehendak mereka,
terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Dalam ritual itu sebaiknya
diadakan sesaji untuk penguat doa dan penolak bala, supaya mendapat berkah.
Sumber lain
menyebutkan bahwa Mitoni yang sering
kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi
masyarakat Hindu. Tradisi ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Tradisi ini biasa
disebut Garba Wedana (garba: perut, wedana: sedang mengandung). Selama bayi dalam kandungan dibuatkan
tumpeng selamatan telonan dan mitoni.
Mitoni adalah salah satu tradisi. Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian tradisi siklus hidup yang sampai saat
ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari
kata ‘am’ (awalan ‘am’ menunjukkan kata kerja) dan ‘7’ (pitu) yang berarti
suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Tradisi mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu tradisi yang
dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan
tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa
memperoleh keselamatan.[7]
Tradisi mitoni ini tidak berlaku untuk proses
kehamilah setelahnya yakni kehamilan anak kedua, ketiga dan seterusnya. Tradisi
ini hanya berlaku untuk kehamilan anak pertama. Mitoni merupakan rangkaian siklus hidup yang sampai saat ini masih
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Pada masa kehamilan pertama seseorang yang
menjalankan tradisi mitoni harus
melewati rangkaian acara diantaranya; siraman, memasukkan telur ke dalam kain
calon ibu oleh suami (brojolan),
ganti busana, memasukkan kelapa gading muda, dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya,
ini merupakan tradisi peralihan yang dipercaya sebagai sarana menghilangkan
petaka dan merupakan ucapan syukur untuk membangun keluarga baru.[8]
Selain itu terdapat juga nilai-nilai sosial dalam masyarakat dan pelestarian
budaya yang secara turun temurun terus dijaga dan dikembangkan. Apabila
mengabaikan adat istiadat maka sama halnya membuat mala petaka yang
diciptakannya sendiri untuk keluarganya.
Mitoni tidak dapat
diselenggarakan sewaktu-waktu, dan biasanya memilih hari yang dianggap baik
dalam menyelenggarakan tradisi mitoni. Sedangkan tempat untuk melakukan acara
siraman biasanya di sentong tengah. Secara teknis, penyelenggaraan tradisi ini
dipimpin oleh seorang dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai tetuah,
biasanya adalah nenek dari calon ibu atau ayah.
Tradisi yang bersifat
lokal tersebut mengikutsertakan unsur-unsur dalam Islam dengan tetap melakukan
perlakuan khusus dengan sesaji. Peranan tradisi adalah untuk selalu
mengingatkan manusia berkenan dengan eksistensi dan hubungannya dengan
lingkungan. Adanya tradisi mitoni, warga masyarakat bukan hanya selalu
diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat
abstrak yang berbeda pada tingkat
pikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Hal ini terjadi karena tradisi tersebut dilakukan secara rutin.[9]
Setiap masyarakat Jawa
yang mulai mengandung anak pertama dan menginjak usia kandungan tujuh bulan
pasti akan melakukan tradisi mitoni. Tradisi ini dianggapnya sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas diberikannya keturunan dalam suatu
keluarga. Berasal dari suku Jawa manapun pasti mereka akan melakukan tradisi
ini. Mulai dewasa ini tradisi mitoni mengalami rekontruksi dalam hakekatnya. Salah
satunya adalah masyarakat sudah meninggalkan tradisi yang didalamnya terdapat
makna filosofis.
Pada dasarnya
segala bentuk tradisi religius ataupun tradisi-tradisi peringatan apapun oleh
manusia adalah bentuk simbolisme, makna dan maksud tradisi itulah yang menjadi
tujuan manusia untuk memperingatinya. Pada masyarakat Jawa, simbolisme sangat
menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat
sekali dalam tradisi-tradisi adat yang merupakan warisan turun temurun dari
generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Simbolisme ini
diterapkan oleh orang Jawa mulai dari tradisi saat bayi masih dalam kandungan
ibunya, saat ia dilahirkan ke dunia sampai saat tradisi kematiannya. Mengapa
dikatakan bahwa simbolisme terdapat dalam segala bentuk tradisi religius maupun
tradisi adat, hal tersebut dapat ditelaah melalui pelaksanaan tradisi itu
sendiri, dimana dalam pelaksanaannya banyak menggunakan simbol-simbol sebagai komunikasinya
dengan Tuhan, alam, roh-roh leluhur dan lain sebagainya sesuai dengan tujuan
dari tradisi itu sendiri.
Dalam tradisi atau
tindakannya orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal yaitu: Pertama, kepada
pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada
sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.
Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang
serba rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang
atau leluhurnya serta kekuatan kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia,
dipakailah simbol-simbol kesatuan, kekuatan dan keluhuran.[10]
Adanya tradisi
islam yang dipadukan dengan budaya Jawa asli sebagai hasil dari rekontruksi
tersebut. Masyarakat perlahan menghilangkan tradisi mitoni dan mengantinya
dengan tradisi bernuansa islami. Apabila ini terus dibiarkan maka tidak akan
heran budaya dari leluhur akan hilang dalam peradabannya.
2.
Tahapan Pelaksanaan Ritual Mitoni
a.
Waktu Penyelenggaraan
Pelaksaan mitoni di desa Bendosari ini dilakukan oleh warga yang sedang
menjalani usia kehamilan ke 7. Untuk waktu penyelenggaraannya didasarkan pada
waktu dan hari yang telah ditentukan. Di Desa Bendosari Sawit Boyolali tradisi mitoni biasanya dilakukan pada hari
sabtu wage. Hal ini dikarenakan pilihan
hari yang jatuh pada sabtu wage mengandung makna sabtu “metu” dan wage “age-age”
yang dalam arti mempunyai tujuan agar bayi yang dikandung segera mungkin lahir
dengan selamat. Sebagaimana wawancara yang peneliti lakukan pada bapak Handiman
(80 th) “Setu karepe metu, sebtu wage
artine ben ndang metu age-age artine ki cepet-cepet”[11]
Waktu yang ditentukan ini tidak
asal-asalan, penentuan hari ini menyesuaikan dengan usia kandungan bila usah
menginjak tujuh bulan. Dan penentuan hari harus pada bulan itu yakni dengan
memilih hari jumat (malam sabtu wage). Orang tua zaman dulu meyakini dengan
memilih hari yang baik maka akan terhindar dari petaka yang mendekatinya dan
keluarganya. Kepercayaan ini dari dulu sampai sekarang terus mengakar dan
menjadi dasar pemikiran orang tua dalam masyarakat Jawa.
b.
Persiapan Penyelenggaraan
Pelaksaan mitoni di Desa Bendosari ini diperlukan persiapan yang baik. Mulai
dari persiapan alat-alat, dan bahan-bahan yang berkaitan dengan mitoni diantaranya, air yang diambil
dari 7 sumur, yakni air yang diambil dari 7 sumur yang terdapat di Desa Bendosari.
Untuk hal ini sumur tidak ditentukan, yang penting masih termasuk di kawasan Desa
Bendosari, selain itu ada jarik lurik
sejumlah 7 yang berbeda jenis, nasi tumpeng, urap, takir pontang (sebuah wadah
yang tebuat dari daun pisang), ketan (merah, ijo, putih, dan kuning), dingklik,telur ayam, janur kuning, rujak.[12]
Kemudian ada lemper tanah sebanyak 7
yang berisi bermacam bubur beras yang berbeda warna, kelapa dan replika bayi
yang terbuat dari bubur yang ditaruh di atas lemper. Setelah semua perlengkapan tersedia, maka tradisi siap
dijalankan dengan harapan tidak ada rintangan apapun.
c.
Prosesi jalannya tradisi mitoni
Proses mitoni biasanya diawali pada waktu yang telah ditentukan. Dimulai
pada pagi harinya, yakni dengan masak memasak sebagai bahan persiapan untuk selametan di sore harinya. Kemudian pada
sore harinya (setelah waktu asar) prosesi mitoni
pertama-tama dimulai dengan proses memandikan pasangan yang bersangkutan. Proses
memandikan ini biasanya dilakukan oleh kerabat dekat, orang tua dari pasangan
dengan jumlah 7 orang. Tempat memandikannya tidak harus dikamar mandi akan
tetapi ditempat yang dimana setiap orang bisa melihat prosesi tradisi mitoni. Menurut kepercayaan orang Jawa
tempat memandikan biasanya di dekat sumber mata air, yakni di sumur.
Kepercayaan masyarakat Jawa zaman dulu
melakukan tradisi siraman di sungai dan waktu pelaksanaannya tepat pukul 12
malam. Mereka meyakini bila mandi menggunakan air mengalir maka keberkahan yang
datang dalam keluarganya kelak akan berlimpah banyak seperti halnya air yang
mengalir. Akan tetapi untuk dewasa ini, masyarakat melakukan proses siraman di
dalam rumah dengan dimandikan oleh seseorang yang dianggapnya tua. Ini
disebabkan karena apabila prosesi memandikannya masih seperti yang dulu tidak
menghemat waktu dan mengantisipasi bila ada kecelakaan yang menimpa sang calon
ibu.
Prosesi berikutnya adalah berganti
pakaian yang dilakukan sebanyak tujuh kali dan diakhiri dengan motif paling
sederhana.[13] Tahap pergantian pakaian
ini diikutsertakan kain yang terdiri dari 7 motif yang berbeda. Dan untuk
pergantian pada urutan ke tujuh diharuskan memakai kain yang biasa disebut kemben tumbar pecah. Prosesi berikutnya
setelah pergantian pakaian adalah selametan, selametan ini biasanya disebut
dengan kondangan/kenduri. Waktu
pelaksanaan kondangan ini dilakukan
sore hari hingga malam.
Hal yang membedakan dalam tradisi mitoni di sini adalah saat setelah tradisi
ritual mitoni selesai, selanjutnya
ditutup dengan kondangan. Di depan
pintu rumah di pasang sebuah kendi kecil berisi air, kembang setaman dan
sebutir telur. Kendi itu nantinya akan di tendang sampai pecah oleh seseorang
yang keluar terlebih dahulu dari rumah. Ini bermakna supaya dalam proses
kelahiran sang jabang bayi nantinya akan lancar dan mudah. Adapun diadakannya kondangan/kenduri ini bermakna permohonan
doa bagi calon ibu dan keluarganya pada Tuhan. Dengan memberikan nasi berkat
bagi masyarakat sekitar yang melambangkan sodaqoh
atau berbagi rejeki.
C. Unsur-Unsur dalam
Tradisi Mitoni
Nilai merupakan sesuatu yang dipandang
berharga, menarik, dicari dan diinginkan manusia. Nilai mempunyai tiga ciri
yakni; pertama, nilai bersangkutan dengan sifat-sifat yang ditambahkan pada
sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu objek. Kedua, nilai berkaitan dengan
subjek. Apabila tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada pula permasalahan
nilai. Ketiga nilai tampil dalam suatu konteks praktis, yaitu subjek ingin
berbuat sesuatu.[14]
Nilai merupakan sifat yang membuat suatu
objek dapat dinilai dan menjadi bernilai.[15]
Nilai selalu terdapat dalam kehidupan keseharian kita misalnya nilai keindahan
dan keselarasan, nilai moral dan perilaku, dan masih banyak lagi. Nilai
merupakan sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penilaian terhadap
objek yang kita amati. Seperti dijelaskan oleh Franz Magnis-Suseno terhadap
nilai, tentang ‘pesona’ dan ‘cinta’.
‘Pesona’ mengungkapkan keterbuakaan
manusia sebagai substansi yang menjadi subjek. Pesona memberikan makna yang
cukup luas dan menyeluruh dalam menjelaskan objek yang dimaksudkan. Semakin
pesonanya subjek terhadap objek tersebut maka semakin terbukanya nilai-nilai
yang terdapat dalam objek, dari nilai keindahan misalnya. Setelah nilai-nilai
itu tampak maka dapat dilihat baik-buruknya suatu objek. Apabila rasa itu
dinilai baik maka selanjutnya akan memunculkan rasa ‘cinta’ didalamnya antara
subjek dengan objek.
‘Cinta’ merupakan ungkapan perasaan yang
dimiliki oleh seseorang dalam melihat suatu objek. Setelah subjek mengamati
secara mendalam terhadap objek yang dilihatnya. ‘Cinta’ membuka ‘Pesona’ yang
terdapat dalam subjek untuk menjelaskan suatu nilai. Itulah sebabnya hanya
orang yang mencintai dapat mengerti orang lain karena hanya dalam cinta
masing-masing saling membuka. Manusia sebagai makhluk berpikir yang dapat
menciptakan nilai-nilai dalam kehidupan, misalanya nilai moral, nilai religius.
a.
Nilai Moral
Uraian ini akan menjelaskan tentang
moral yang terdapat dalam diri kita. Pengertian yang jelas tentang moral dengan
sendirinya akan mendorong kita menjadi yang lebih baik. Moral berasal dari
bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, kelakuan
atau tabiat.[16] Dengan demikian moral
dapat diartikan sebagai ajaran kesusilaan atau kelakuan. Kelakuan yang bersifat
baik akan dinilai baik, dan begitu sebaliknya. Kelakuan yang buruk akan dinilai
buruk.
Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan
kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b)
Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan
yang dipelajari secara sistimatika dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” yang berarti norma, aturan-aturan
yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan tindakan
manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak manusia. Kemudian
“etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana sebenarnya tindakan
hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.
Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami
sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan
kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya, di mana itu
boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan
kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.[17] Secara terminologi moralitas diartikan oleh
berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut pandang yang berbeda: Franz
Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai
dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap
hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan
merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang
mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya
dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik yang
betul-betul tanpa pamrih.[18]
Menurut W. Poespoprodjo,
moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain
moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.[19] Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi,
tanpa pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik
begitu saja atau baik secara mutlak. Sikap baik yang dimiliki manusia itu
didasarkan dalam hati bukan sikap baik yang dibuat-buat oleh mereka agar
disegani oleh masyarakat sekitarnya.
Moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma
mengenai kaidah yang menentukan tingkah laku kita. Kaidah-kaidah tersebut
menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi tertentu. Bertindak secara
tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang telah
ditetapkan. Dari pengertian tersebut, dapat
dijelaskan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan kesusilaan yang
mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di
dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus
kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat
yang objektif.
Manakala orang tidak dapat menempati
aturan-aturan itu, orang lalu mengatakan bahwa hidup orang itu adalah tidak
menurut aturan kesusilaan. Bila orang itu mengikuti aturan hidup, maka hidupnya
menurut perkataan orang disebut baik. Dalam masyarakat lingkungan sekitar kita
menjadi batasan-batasan pola tingkah laku kita sebagai makhluk sosial. Bila
kita terlalu mementingkan kehidupan secara individual maka orang disekitar kita
akan memberikan penilaian buruk terhadap perilaku kita.
Penilaian terhadap moral atau pola
tingkah laku kita terbagi menjadi beberapa macam. Misalnya nilai baik, nilai
benar dan nilai adil. Baik merupakan sifat primer dan tidak dapat dianalisa
lebih lanjut. Selanjutnya benar merupakan suatu sifat dan masih berkaitan
dengan baik. Apabila seseorang sudah memiliki sifat baik, maka ia kana selalu
bersifat benar dan sedikit melakukan kesalahan. Dan yang terakhir adalah adil.
Adil merupakan tindakan terakhir yang dilakukan oleh kita. Sifat baik, benar
dalam diri kita sudah tertanam kokoh, maka penyelesaiannya adalah dengan
bersikap adil. Tanpa adanya benar ataupun baik dalam diri kita, kita tidak akan
dapat adil dalam penyelesaianya.
b.
Nilai Religius
Manusia merupakan makhluk yang berfikir
dan mempunyai keimanan sebagai dasar kehidupan di dunia. Keyakinan yang mereka
yakini menjadi sumber spiritualitas mereka dalam mendekatkan diri pada sang
Pencipta. Tuhan merupakan yang disembah dan dipercaya oleh manusia dalam setiap
doa-doa yang dipanjatkannya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan juga tidak
menafikkan kewajiban yang harus dilaksanakannya.
Kata religi berasal dari bahasa latin, relegere yang mengnadung arti
mengumpulkan dan membaca.[20]
Pengertian demikian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan
cara-cara mengabdi kepada tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus
dibaca. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam
agama selanjutnya terdapat pula dari ikatan roh manusia dengan tuhan, dan agama
lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Tradisi yang sering dilakukan oleh
masyarakat terutama masyarakat Jawa tidak lain adalah mengucap rasa syukur pada
Tuhan. Begitu juga dengan tradisi mitoni di sini, merupakan doa yang
dipanjatkan oleh manusia pada sang pencipta. Atas diberikannya karunia dan
kehidupan bagi mereka. Adapun cara yang dilakukan dalam tradisi ini sedikit
berbeda dalam memanjatkan doa atas semua anugerah yang telah diberikan.
Tradisi ini merupakan salah satu cara
dalam memohon doa pada Tuhan agar diberikannya keselamatan dan kesejahteraan
dalam menjalani kehidupan. Nilai-nilai religious yang terdapat dalam tradisi
ini disimbolkan pada perlengkapan yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi
mitoni. Misalnya tumpeng yang mengartikan ‘tumuju
ing lempeng’ yakni menuju pada sang pencipta alam semesta tidak lain adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng yang berbentuk kerucut merupakan pengakuan adanya
Tuhan yang mengendalikan alam beserta isinya. Ini mengajarkan pada calon orang
tua untuk selalu bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada setiap agama
ada keterikatan kuat antara yang menyembah (manusia) dan yang disembah atau Ilahi. Ikatan itu
menjadikan yang menyembah (manusia, umat) mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan
itu dibuktikan dengan berbagai tindakan nyata (misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan
lain-lain)
bahwa ia adalah umat sang Ilahi. Hal itu berlanjut, umat membuktikan bahwa ia
atau mereka beragama dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Ia harus
melakukan doa-doa, mampu menaikkan puji-pujian kepada Tuhan yang ia sembah.
Bersedia melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan
perhatian kepada orang lain dengan cara berbuat baik, sedekah, dan lain
sebagainya.
Pada umumnya,
setiap agama ada sumber ajaran utama (yang tertulis maupun tidak tidak tertulis). Ajaran-ajaran tersebut antara lain; siapa Sang Ilahi yang disembah umat beragama, dunia manusia, hidup setelah kematian, hubungan antar manusia, hidup dan kehidupan moral serta hal-hal (dan peraturan-peraturan) etis untuk para penganutnya. Melalui ajaran-ajaran
tersebut manusia atau umat beragama mengenal Ilahi sesuai dengan
sikonnya sehari-hari. Sekaligus mempunyai hubungan yang baik dengan sesama serta lingkungan
hidup dan kehidupannya. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya
hanya merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci. Kemudian
dalam perkembangan, para pemimpin agama mengembangkannya menjadi suatu sistem
ajaran, yang bisa saja menjadi suatu kerumitan untuk umatnya dan bukan membawa
kemudahan agar umat mudah menyembah Ilahi.
[1] Wawancara dengan Bp. Ribut Budi
Harjono (65 th) pada tanggal 22 Oktober 2013, selaku Kaur Umum di desa
Bendosari.
[2] (Sumber: Monografi desa
Bendosari Tahun 2012)
[3] Wawancara dengan Bp. Suhadi (67
th) pada tanggal 26 November 2013, selaku sesepuh desa Bendosari.
[4] Ibid, no. 3.
[5] Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Absolut,
2010). h. 49.
[6] Moerti, Tradisi Simbolik Tingkeban, Journal
Jantra. Vol 2 No 1, 2007, hal 150.
[7] Dewi
Astuti, Adat-Istiadat Masyarakat Jawa
Barat, (Bandung: PT. Sarana
Panca Karya Nusa, 2009). h. 38.
[8] Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, h. 51.
[9] Clifford
Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam
Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.1983). h. 12
[10] Budiono Herusatoto, Simbolisme
Jawa (Yogyakarta: Ombak, 2008), hal. 139.
[11]Wawancara dengan Bp. Handiman (80th)
pada tanggal 18 september 2013, selaku dukun desa Bendosari.
[12] Yodi Kurniadi, Adat Istiadat Masyarakat Jawa, (Bandung:
PT Sarana Pancar Karya Nusa, 2009), h. 24.
[13] Ibid, h. 25
[14] Moekiyat, Asas-Asas Etika (Bandung: CV. Mandar Maju, 1995), h. 75.
[15] Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke 20 (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), h. 34.
[16] Burhanuddin Salam, Etika Individual, Pola Dasar Moral FIlsafat
Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 4.
[17] Juhana S. Praja,
Aliran-aliran Filsafat dan Etika; Suatu Pengantar (Bandung: Yayasan Piara,
1997), h. 10.
[18] Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke 20. h. 37.
[19] W. Poespoprdjo, Filsafat
Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: Remadja Karya, 1988),
h. 5.
[20] http:// www.artikata.com/arti-347446-religi.html,
di akses pada 18 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar