BAB II
HUMANISME
A. Pengertian Humanisme
Secara
etimologis, istilah humanisme erat kaitannya dengan kata Latin klasik, yaitu humus,
yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah tersebut muncul kata homo yang
berarti manusia atau makhluk bumi dan humanus lebih menunjukkan sifat
membumi dan manusiawi.[1] Humanus bersifat
manusiawi sesuai dengan kodrat manusia.[2]
Humanisme
juga berasal dari kata humanitas yang kemudian diberi akhiran isme
menjadi humanisme yang menunjukkan istilah aliran atau paham.[3] Dalam kamus bahasa
Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan
rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia
yang lebih baik.[4]
Humanisme bisa diartikan sebagai paham di dalam aliran-aliran filsafat yang
hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia
sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala di atas muka bumi
ini.
Leona C.
Gabel mendefinisikan bahwasannya humanisme berhubungan dengan pemikiran sastra
Yunani dan Romawi klasik:
“Humanism
is in its strict sense, the Renaissance literary cult of the so-called New
Learning, a revival of Greek and Roman studies. It was new mainly in that it approached the classics for their own
sake, rather than for their use to Christianity, and in that it believed that
such studies, rather than religion, were the highest expression of human values
and a means to developing the free, responsible individual.”[5]
Pengertian humanisme di atas menyatakan bahwasannya humanisme merupakan pemujaan terhadap
sastra klasik dari Yunani dan Romawi, humanisme bukanlah
pelajaran tentang agama melainkan ekspresi tertinggi dari nilai-nilai manusia,
sarana untuk mengembangkan kebebasan dan membentuk individu yang bertanggung
jawab.
Istilah
humanisme memiliki keterkaitan dengan istilah yang berakar dari kata yang sama,
yakni humaniora, humanities, (latin: humanior), yaitu ilmu-ilmu
pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam artian
membuat manusia lebih berbudaya.
Kata
humanisme dalam Encyclopedia Americana juga menggunakan kalimat humanitaties, sebagaimana yang tertulis
di bawah ini:
“Humanities,
branches of learning that deal human thought and culture, excluding the sciences.
The term was applied originaly to the study of literatures of classical Greece
and Romawi. It has since been expanded to cover all languages and literatures.
The art, history, and philosophy.”[6]
Kalimat di
atas menjelaskan bahwasannya awalnya cabang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
manusia diterapkan pada studi literatur tentang Yunani dan Romawi klasik saja.
Kemudian penggunaannya diperluas meliputi bahasa dan kesusasteraan, seni,
sejarah, dan filsafat.
Kata klasik
yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah ketika muncul para Sofisme.
Penamaan aliran Sofisme ini berasal dari kata Sophos yang artinya cerdik
dan pandai. Sofisme ini merubah pemikiran Yunani kuno yang hanya berfikir
tentang terjadinya alam atau makrokosmos manjadi mikrokosmos yaitu manusia.[7] Munculnya aliran Sofisme
merupakan awal dari munculnya istilah humanisme.
Ilmu
humanities/humaniora ini diterapkan pada sistem pendidikan sebagai upaya untuk
menjadikan manusia lebih manusiawi dengan memberikan pendidikan menurut ide
manusia sebagai konsekuensi dari pandangan hidup mereka.
Humaniora
merupakan cabang ilmu yang bertujuan untuk mencapai kemanusiaan sesungguhnya,
manusia yang lebih berbudaya. Dalam pengertian klasik, humaniora adalah ilmu
bahasa dan sastra Latin dan Yunani. Sekarang humaniora meliputi ilmu agama,
filsafat, bahasa, sastra, pendidikan, sejarah, dan seni.[8] Penjelasan di atas
menggambarkan bahwasannya antara humanisme, humanities, dan humaniora mempunyai
makna esensi yang sama.
The New
Encyclopedia Britanica mempunyai pengertian
yang sedikit berbeda dengan pengertian humanisme di atas:
“The
term Humanities includes, but is not limited to the study of following:
languages, both modern and classic; linguistics; literature;
history;jurisprudence; philosophy; archeology; the history, criticism, theory,
and practice of the arts; and those aspects of the social sciences which have
humanistic contenct and employ humanistic methods.”[9]
Pernyataan di atas menyatakan bahwasannya humanisme atau humaniora tidak hanya terbatas pada studi-studi bahasa, baik modern dan
klasik, linguistik, sastra, sejarah, hukum, filsafat, arkeologi, sejarah,
kritik, teori, dan praktek seni, dan aspek-aspek dari ilmu-ilmu sosial yang
memiliki kandungan
humanistik
dan menggunakan metode humanistik, lebih dari itu humanisme memberi perhatian
lebih kepada nilai-nilai kemanusiaan dan ekspresi semangat manusia.
Humanisme
juga berasal dari studi humanitatis yang mengandung arti kesenian
liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah
membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan
intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah,
dan filsafat moral. Dalam studia humanitatis, ilmu-ilmu ini dianggap
paling mampu mengembangkan potensi manusia untuk berfikir dan bertindak secara
bebas dan mandiri.[10]
Kesenian liberal bukan berarti kesenian yang tidak mengenal etika, pemberian
nama liberal karena pembelajaran ini bebas untuk semua golongan, tidak mengenal
kasta.
Menurut
Corlisa Lamont, secara ringkas humanisme yaitu meyakini bahwa alam merupakan
jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang
merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supranatural sama
sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti
bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi, dan pada tingkat alam
semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memliki Tuhan yang
supernatural dan abadi.[11]
Humanisme
Corlisa Lamont mewakili definisi humanisme yang beraliran sekuler, definisi di
atas menyatakan bahwa kekuatan supranatural (Tuhan) itu tidak ada, sehingga
humanisme model ini meniadakan andil Tuhan.
Liz Wiwiek,
W. mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya humanisme adalah suatu aliran
yang mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia adalah sama, bagian dari
dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin,
atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara
karenanya harus saling mengasihi.[12]
Pendapat
Liz Wiwiek membantah pernyataan Corlisa Lamont, baginya kekuatan supranatural
di luar kemampuan manusia itu ada, dan manusia merupakan bagian dari itu.
Pada
hakikatnya humanisme sendiri bisa dipahami sebagai gerakan untuk memanusiakan
manusia, sebagai usaha pemikiran untuk mengintegrasikan manusia dengan
dunianya. J. Bronowski dan Bruce Mazlish[13] memberikan pengertian
humanisme sebagai berikut : Arti humanisme sesungguhnya sudah terkandung dalam
namanya sendiri, suatu keinginan untuk menemukan sumber bakat manusia.
Keinginan ini mengandung suatu keyakinan bahwa pada akhirnya setiap manusia
sendiri harus menemukan pilihannya, dalam bidang kebenarannya dan kebaikannya,
sebagaimana halnya juga selera.
Memahami
pengertian humanisme memang sangat sulit, karena banyak tokoh yang
mendefinisikan menurut pemahamannya masing-masing, dari banyak definisi di atas
dapat diambil persamaan bahwasannya inti humanisme adalah ingin mengangkat
derajat manusia dan mensejahterakan manusia. Hal ini dipertegas oleh pernyataan
Profesor Edward, P. Cheyney yang berbunyi:
“Humanism
has meant many things: it may be the reasonable balance of life that the early
humanists discovered in the Greeks; it may be merely the study of the
humanities or polite letters; it may be the freedom from religiosity and the
vivid interests in all sides of life of Queen Elizabeth or a Benjamin Franklin;
it may be the responsiveness to all human passions of Shakespeare or a Goethe;
or it may be a philosophy of which man is the center and sanction. It is in the
last sense, elusive as it is, that humanism has had perhaps its gretest significance
since the sixteenth century.”[14]
Pernyataan
di atas menggambarkan bahwasannya makna humanisme tidak selalu sama dari waktu
ke waktu dan mempunyai banyak perspektif, mungkin keseimbangan kehidupan yang
wajar ketika para pelopor humanis
ditemukan di Yunani, mungkin hanya mempelajari humaniora atau kesopanan,
mungkin kebebasan dari religiusitas dan kepentingan
hidup dalam semua sisi kehidupan Ratu Elizabeth atau Franklin Benjamin, mungkin
menjadi tanggap terhadap semua nafsu manusia Shakespeare atau Goethe, atau
mungkin filosofi yang mana manusia merupakan pusat dan sanksi.
Yang pasti humanisme mulai dikenal banyak kalangan sejak abad ke-16.
B. Sejarah Humanisme
1. Zaman Yunani Klasik
Pada masa Yunani klasik humanisme belum terlalu dikenal, akan
tetapi nilai-nilai humanisme sudah ada pada gerakan paideia ( seni
mendidik) yang bertujuan mengupayakan manusia ideal. Manusia ideal dalam
pandangan Yunani klasik adalah manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan
raga, suatu kondisi dimana manusia mencapai kebahagiaan ( eudaimonia).
Pada abad keempat, masa Hellenistik dan kekaisaran Romawi, istilah
Paideia terus mengalami perluasan konotasi, dihubungkan dengan arête(
keutamaan, kebajikan) sebagai manusia.[15] Umanisti merupakan
perkembangan dari Paideia yang berarti istilah bagi kaum humanis yang
mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan, yang pertama kali dipakai pada masa Romawi.
Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan disebut Studia Humanitaties. Beberapa
tokoh pada masa ini yaitu John Milton dan Yustinus Martir.
Konsepsi mengenai pentingnya menyelaraskan jiwa dan raga
menunjukkan keseriusan para filsuf Yunani klasik dalam memahami manusia.
Gerakan Paideia menandai keseriusan itu. Paideia bukan hanya
sebagai pintu masuk untuk menyelami totalitas diri sebagai manusia, tetapi
lebih merupakan wahana untuk mendamaikan (menyelaraskan) kedua potensi dominan
dalam diri manusia yang saling tarik-menarik, yakni badan dan jiwa. Humanisme
perspektif masa Yunani klasik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang
kodrati tentang manusia.
Konsep humanisme secara riil baru mulai muncul ketika filsuf
Socrates dan diteruskan oleh para muridnya yaitu Plato dan Aristoteles pada
abad ke 4 dan 5 M. Humanisme ini sebenarnya dipelopori oleh para sofis sebagai
bentuk enkluklios paidea yaitu suatu program edukasional dan kultural
yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan manusia seoptimal mungkin dan
menghasilkan manusia seunggul-unggulnya melalui berbagai pelatihan hidup.[16]
Humanisme pada masa Yunani klasik belum terlihat sebagai istilah,
ajaran, maupun gerakan. Akan tetapi, sistem paidea mewakili nilai-nilai
yang ada pada humanisme, selain itu usaha para Sofis dan filsuf Socrates yang
mulai memfokuskan pemikiran mereka terhadap manusia.
2. Zaman Pra Renaissance
Sebelum abad ke-14 humanisme bercorak Madzhab Skolastik. Madzhab
ini menempatkan manusia sebagai ciptaan yang bergantung pada Tuhan sebagai
pusat kehidupan dalam semesta alam. Dengan demikian, orientasi hidup manusia
bukan dunia, tetapi keabadian. Dengan pusat dan orientasi hidup manusia seperti
itu, para humanis dalam era abad pertengahan mempelajari tata bahasa dan sastra
Yunani kuno dan Latin dalam perspektif teologi.
Para humanis di masa abad pertengahan hanya mempelajari mekanisme dan
teknik berbahasa lisan dan tulisan.
Humanisme abad pertengahan muncul sebagai upaya pembaharuan dari
sivilisasi setelah berakhirnya kejayaan kekaisaran Roma beserta munculnya
kembali kebudayaan Kristen baru dan sistem masyarakat feodal. Akan tetapi diskusi tentang manusia pada abad
pertengahan lebih bersifat spekultif daripada etis, hal ini menyebabkan nilai
manusia secara konkret menjadi terabaikan, tenggelam dalam perdebatan, tokoh
pada abad ini antara lain Thomas Aquinas.
Mulai abad ke-14 humanisme pertama kalinya mengalami pasang di
Italia. Pada saat sastra dan seni Yunani yang Pra-Kristiani ditemukan kembali
dan dijunjung tinggi.[17] Ciri di zaman ini adalah
perubahan paradigma teologis-metafisis dogmatis menjadi antroposentris yang
kritis, di mana manusia dan bukan Tuhan menjadi titik berangkat maupun titik
pusat pemikiran. Yang menarik kendati kaum humanis cenderung sinis terhadap
Gereja sebagai organisasi dan herarki, namun mereka tidak lantas menjadi ateis.
Kendati mereka mengubah paradigma berfikir mereka tetapi mereka tidak berubah
menjadi immoral.[18]
Manusia menjadi obyek dari seni, seni klasik (zaman Yunani dan
Romawi Kuno) dengan semangat tinggi dilahirkan kembali. Dalam bidang
pendidikan, pendidikan digunakan bagi pengembangan manusia, teks-teks kuno,
misalnya karya Aristoteles dan karya Plato mulai diteliti dan diterjemahkan
secara intensif, ciri yang khas bagi humanisme ini adalah sikap religius
inklusif pada tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, tulisan dua filsof besar
Pra-Kristiani ini dihargai sangat dekat dengan isi moral Injil.[19]
Para humanisme Italia melakukan gerakan pembaharuan dibidang
kerohanian, kemasyarakatan, dan kegerejaan. Mereka bermaksud untuk meningkatkan
perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah
manusia dengan mengusahakan adanya kepustakaan yang baik dan dengan mengikuti
kebudayaan klasik. Pada masa ini humanisme dan agama tidak terdapat
pertentangan, keduanya bisa berjalan seiring.[20] Beberapa tokoh dari abad
ini adalah Erasmus, Petratch , Lorenzo Valla, dan Marsiglio Ficino.
Humanisme pada masa Renaissance menekankan pada moralitas
yang berpusat pada keyakinan akan martabat manusia, nilai hidup aktif di dunia,
dan kehendak bebas untuk bertindak. Humanisme bermaksud menggali kembali
nilai-nilai manusia dari segala aspek. Humanisme Renaissance merupakan ekspresi
dari upaya dan kehendak untuk menemukan kembali nilai manusia dalam bentuk
autentik dan dalam realitas sejarah efektif.
Aksi para humanis pada abad ini tidak hanya sekedar melahirkan
kembali kultur atau warisan antik, tetapi kaum humanis warisan antik itu diolah
kembali sehingga bukan reproduksi kultur antik yang dilahirkan atau
dikembangkan, melainkan interpretasi baru atasnya. Proses interpretasi itu
tentunya melibatkan dimensi kemanusiaan, yang dalam pandangan kaum humanis
sangat mungkin untuk melakukan segalanya, termasuk menafsirkan tradisi dan
doktrin agama.
3. Zaman Modern
Pada zaman ini yang berkembang adalah Neo-Humanisme, Neo-Humanisme
berkembang pada abad ke-17 sampai 18 M ketika para seniman, filsuf, dan kaum
intelektual melirik kembali masa Yunani dan Romawi klasik. Konsep humanisme
dipandang memiliki kesamaan dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan
pikiran yang harmonis.[21] Gerakan pencerahan
merupakan suatu masa dimana keyakinan-keyakinan imani tradisional coba
dipadukan dengan kesadaran baru tentang kemampuan manusia untuk berpikir,
ragu-ragu, dan berbeda pendapat. Jadi, Neo-Humanisme berpegang kepada
rasionalitas dan subjek sebagai pusat segala sesuatu. Sehingga dekat dengan
paham deisme, agnotisisme, dan bahkan atheisme. Gerakan pencerahan terjadi di
Jerman, Prancis, dan Inggris, lantas berkembang cepat ke Amerika.[22]
Sejak abad ke-19 humanisme dipandang sebagai perilaku sosial
politik yang ditujukkan untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik dan
hukum yang sesuai dengan ide tentang martabat kemanusiaan. Sejak saat itulah,
konsep hak asasi manusia telah memasuki tahap etika politik modern. Humanisme
pada abad ini berhadapan dengan revolusi industri dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang pesat. Pada abad inilah benih-benih berakhirnya humanisme
sebagai konsep riil atas manusia.
Abad ke-20 paham humanisme telah lepas dari kaitannya dengan
kebudayaan Eropa, khususnya Yunani dan Romawi kuno. Humanisme sudah menjadi
cita-cita transkultural dan universal yang berhubungan dengan sikap dan mutu
etis lembaga politik yang menjamin martabat manusia.[23]
Pada abad ini terjadi perubahan sikap terhadap kemanusiaan yang
luar biasa besar dibandingkan abad-abad sebelumnya, di satu sisi humanisme
mencapai puncak kematangannya sebagai sebuah gerakan yang mendudukkan manusia
pada keluhuran dan kemuliaan martabatnya. Humanisme menjadi semacam “agama
baru” bagi masyarakat modern yang sangat mengagungkan dan mengagumi
kemanusiaan. Sementara tradisi agama-agama besar sekalipun akar dari humanisme
modern, justru pada akhirnya tidak memperlihatkan penghormatan yang cukup
mengesankan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.[24] Hal ini membuat
terpecahnya gerakan maupun aliran humanisme.
Humanisme modern telah berkembang menjadi dua bentuk, sebagai
humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti agama. Humanisme
moderat menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur seperti
kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada seni,
universalisme, religiuisitas yang dekat dengan alam. Pada umumnya para humanis
tidak menyangkal ada kuasa yang lebih tinggi, hanya menurut mereka, bahwa
hal-hal alamiah yang cukup untuk dijadikan sasaran dan penguasaan manusia.
Tanpa wahyu manusia sudah dapat mengusahakan karya budaya yang sebenarnya.
Beberapa tokohnya antara lain Schiller dan Wilhelm Von Humbold.
Sedangkan humanisme anti agama menganggap bahwa agama dipahami
sebagai tahayul atau keterikatan manusia pada irrasionalitas dan untuk itulah
manusia harus keluar dari keterikatannya kepada agama. Mereka melihat bahwa
agama menjadi sumber berbagai masalah di dunia. Hal itu dipicu karena sikap
agamawan yang otoriter, yang menganggap bahwa dirinyalah yang paling suci, maka
segala keputusannya tidak dapat diganggu gugat, beberapa tokohnya antara lain
Feurbach, Karl Mark, dan Sartre.[25]
Inilah sejarah lahirnya humanisme, Barat merupakan Ibu dari paham
humanisme, akan tetapi Barat juga yang menjadikan paham humanisme bergeser.
Sejak Abad ke-20 maka mulai muncul aliran yang anti dengan humanisme.
C. Macam-macam Humanisme
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa humanisme modern
berkembang menjadi dua kubu, yaitu humanisme Sekuler dan humanisme Religius.
1. Humanisme Sekuler
Sekuler berasal dari bahasa latin saeculum yang mengandung
makna ganda yaitu abad dan dunia. Dalam kenyataan sehari-hari kata sekuler
diartikan sebagai jauh dari hidup keagamaan, bukan wilayah ruhani dan suci,
melainkan urusan keduniawiaan dan kebendaan.[26] Tidak heran ketika muncul
istilah humanisme sekuler maka orang mengenalnya dengan humanisme atheis.
Humanisme sekuler mengalami zaman keemasan pada abad Pencerahan
dan Abad Pemikiran Matthev Arnold yang melukiskan peradaban pada masa ini
sebagai “The Humanization a Man in Society” (humanisasi
manusia dalam masyarakat). Abad ini ditandai oleh keoptimisan orang Barat bahwa
manusia mampu memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan tanpa agama. Humanisme
sekuler meyakini bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan menggali pengalaman
hidupnya sendiri dan menarik banyak pelajaran, nilai dan makna yang penting
dari petualangannya itu.[27]
Humanisme sekuler meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan
urusan manusia yang ada di dunia, keyakinan ini membuat mereka mengabaikan
kehadiran Tuhan. Tuhan bagi mereka hanyalah imajinasi yang tak sampai oleh akal
manusia.
2. Humanisme Religius
Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak teosentris
(Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa dari pihak Islam dan
Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini berkembang untuk mengimbangi
humanisme sekuler yang berkembang di dunia, karena apabila humanisme sekuler
tidak diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan.
Marcel A Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar
ideologi, karena Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan
masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar untuk
ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat. Humanisme tidak
mengesampingkan monoteisme mutlak yang sebenarnya dan memungkinkan untuk
memperkembangkan kebajikan.[28]
Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu
konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini
mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus
selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an memandang
manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan ke-khalifah-annya
Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia
memliliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu
kebebasab mnerupakan pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan
fungsi kekhalifahannya.[29]
Kisah dan kejadian Adam a.s dalam Al-Qur’an adalah pernyataan
humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh manusia di Bumi, ia
adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis dan bukan dalam
pengertian biologis.[30]
Humanisme dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi, sebab penghargaan
terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan langsung oleh Allah.
Islam menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya
makhluk yang dijadikan-Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi
“paling istimewa” diantara mahkluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib
menempatkan martabat manusia dan kemanusiaan pada tempat yang “sebaik-baiknya”.[31]
Humanisme dalam Islam berarti secara otomatis
membincang tentang humanisme religius, humanisme dalam Islam tidak bisa lepas
dari konsep ḥablu
min al-nnâsi. Manusia hidup di bumi ini tidak lain
mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah-Nya yang memiliki seperangkat
tanggungjawab, dalam hai ini tanggungjawab tersebut lebih ditekankan pada
tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan hidup.
Tanggungjawab manusia inilah yang kemudian
menempatkan humanisme tertinggi dalam Islam (humanisme religius) dalam artian
dimensi illahiyah masih melekat erat pada potensi penciptaannya yang membedakan
konsep humanisme-humanisme lain yang kebetulan muncul dari Barat, seperti
humanisme Yunani yang dikembangkan atas dasar naturalisme yang berlebihan,
terlalu mendewakan manusia dengan segala sifat naluriyahnya (termasuk
sifat-sifat kekejian).[32]
Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat wawasan
kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia memiliki sifat kesucian, yang
kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Dan
hakikat dasar kemanusiannya itu merupakan sunnatullah karena adanya fitrah
manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan Allah.[33]
Claude Geffre sebagai seorang Kristiani mengatakan bahwa manusia
secara autentik tidak akan merasa cukup hanya dengan ketentuan-ketentuan
rasionalitas dan kecukupan materealistis, karenannya ia akan selalu mencari
persperktif baru yang memberi tempat bagi imajinasi, kreativitas, dan
simbolisme bagi kebahagiannya. Baginya humanisme tidak hanya sekedar ilmu
kemanusiaan, ilmu sosial, sastra dan filsafat. Lebih dari itu humanisme
mengajarkan manusia untuk bertuhan dan beragama dengan baik.[34]
Selama ini humanisme religius hanya dipahami dengan humanisme
Islam, padahal sebenarnya religius juga berarti theis, bertuhan, meyakini
adanya kekuatan supranatural. Dalam sub bab ini penulis hanya mengutip
pemikiran humanisme Islam dan Kristen, karena humanisme yang banyak digaungkan
adalah humanisme model Barat yang diwakili oleh agama Kristen, dan humanisme
model Timur yang diwakili oleh Islam.
Bagi humanisme religius keberadaan Tuhan sangat dominan, pemikiran
mereka berangkat dari paham agama mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan mempunyai
konsep yang luar biasa tentang manusia, tetapi terkadang karena manusia terlalu
berpikir jauh dan dalam sehingga mereka lupa bahwa essensi semuanya ada pada
Tuhan. Humanisme dan agama tidak dapat dipisahkan, karena agama sendiri itulah
humanisme, dan humanisme itu juga agama. Agama mengajarkan banyak tentang
kemanusiaan, dan humanisme dalam ajarannya juga mengandung nilai-nilai agama.
[5]Loena C. Gabel, The
Encyclopedia of Americana (U.S.A.: Grolier Incoporated, 1998), jilid. 14, h. 553.
[8] Liz
Wiwiek, W., Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid. 6 (Jakarta: PT. Cipta
Adi Pusaka, 1989), h. 496.
[10] Siswanto
Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan ( Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 98.
[13] The
Western Intellectual Tradition, 1962, h: 495, dikutip oleh To Thi Anh, Nilai
Budaya Timur dan Barat (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 23.
[15]Jaeger
Warner, Paideia, The Ideal of Greek Culture ( Oxford: Oxford University
Press, 1945), h. 298.
[18] Bambang
Sugiharto, “Humanisme Dulu, Kini, dan Esok” dalam Basis, NO.
09-10, Th. ke-46 (September – Oktober 1997), h. 39-40.
[23]
Franzs-Magnis Suseno, Humanisme Religius VS Humanisme Sekuler (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 210.
[28] Marcel A Boisard, Humanisme
Dalam Islam, terj.
H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 151.
[29]Hassan Hanafi (dkk), Islam
dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme di Tengah Krisis Humanisme Universal (
Semarang: IAIN Walinsongo, 2007), h. IX.
[30]Ali Syari’ati, Tentang
Sosiologi Islam, terj.
Saifullah Wahyuddin ( Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 111.
[31]Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama
dan Filsafat, Buku II, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), h. 353.
[32] Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of
Islam; Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2003), h. 337.
Bermanfaat, terima kasih.
BalasHapusBermanfaat, terima kasih.
BalasHapus