Rabu, 19 November 2014

HUMANISME DALAM PEMIKIRAN R.M.P. SOSROKARTONO-bab II



BAB II
HUMANISME
A.   Pengertian Humanisme
Secara etimologis, istilah humanisme erat kaitannya dengan kata Latin klasik, yaitu humus, yang berarti tanah atau bumi. Dari istilah tersebut muncul kata homo yang berarti manusia atau makhluk bumi dan humanus lebih menunjukkan sifat membumi dan manusiawi.[1] Humanus bersifat manusiawi sesuai dengan kodrat manusia.[2]
Humanisme juga berasal dari kata humanitas yang kemudian diberi akhiran isme menjadi humanisme yang menunjukkan istilah aliran atau paham.[3] Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik.[4] Humanisme bisa diartikan sebagai paham di dalam aliran-aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala di atas muka bumi ini.
Leona C. Gabel mendefinisikan bahwasannya humanisme berhubungan dengan pemikiran sastra Yunani dan Romawi klasik:

“Humanism is in its strict sense, the Renaissance literary cult of the so-called New Learning, a revival of Greek and Roman studies. It was new mainly in that it approached the classics for their own sake, rather than for their use to Christianity, and in that it believed that such studies, rather than religion, were the highest expression of human values and a means to developing the free, responsible individual.”[5]  

Pengertian humanisme di atas menyatakan bahwasannya humanisme merupakan pemujaan terhadap sastra klasik dari Yunani dan Romawi, humanisme bukanlah pelajaran tentang agama melainkan ekspresi tertinggi dari nilai-nilai manusia, sarana untuk mengembangkan kebebasan dan membentuk individu yang bertanggung jawab.
Istilah humanisme memiliki keterkaitan dengan istilah yang berakar dari kata yang sama, yakni humaniora, humanities, (latin: humanior), yaitu ilmu-ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam artian membuat manusia lebih berbudaya.
Kata humanisme dalam Encyclopedia Americana juga menggunakan kalimat humanitaties, sebagaimana yang tertulis di bawah ini:
“Humanities, branches of learning that deal human thought and culture, excluding the sciences. The term was applied originaly to the study of literatures of classical Greece and Romawi. It has since been expanded to cover all languages and literatures. The art, history, and philosophy.”[6]

Kalimat di atas menjelaskan bahwasannya awalnya cabang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan manusia diterapkan pada studi literatur tentang Yunani dan Romawi klasik saja. Kemudian penggunaannya diperluas meliputi bahasa dan kesusasteraan, seni, sejarah, dan filsafat.
Kata klasik yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah ketika muncul para Sofisme. Penamaan aliran Sofisme ini berasal dari kata Sophos yang artinya cerdik dan pandai. Sofisme ini merubah pemikiran Yunani kuno yang hanya berfikir tentang terjadinya alam atau makrokosmos manjadi mikrokosmos yaitu manusia.[7] Munculnya aliran Sofisme merupakan awal dari munculnya istilah humanisme.
Ilmu humanities/humaniora ini diterapkan pada sistem pendidikan sebagai upaya untuk menjadikan manusia lebih manusiawi dengan memberikan pendidikan menurut ide manusia sebagai konsekuensi dari pandangan hidup mereka.
Humaniora merupakan cabang ilmu yang bertujuan untuk mencapai kemanusiaan sesungguhnya, manusia yang lebih berbudaya. Dalam pengertian klasik, humaniora adalah ilmu bahasa dan sastra Latin dan Yunani. Sekarang humaniora meliputi ilmu agama, filsafat, bahasa, sastra, pendidikan, sejarah, dan seni.[8] Penjelasan di atas menggambarkan bahwasannya antara humanisme, humanities, dan humaniora mempunyai makna esensi yang sama.
The New Encyclopedia Britanica mempunyai pengertian yang sedikit berbeda dengan pengertian humanisme di atas:
“The term Humanities includes, but is not limited to the study of following: languages, both modern and classic; linguistics; literature; history;jurisprudence; philosophy; archeology; the history, criticism, theory, and practice of the arts; and those aspects of the social sciences which have humanistic contenct and employ humanistic methods.”[9]

Pernyataan di atas menyatakan bahwasannya humanisme atau humaniora tidak hanya terbatas pada studi-studi bahasa, baik modern dan klasik, linguistik, sastra, sejarah, hukum, filsafat, arkeologi, sejarah, kritik, teori, dan praktek seni, dan aspek-aspek dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki kandungan humanistik dan menggunakan metode humanistik, lebih dari itu humanisme memberi perhatian lebih kepada nilai-nilai kemanusiaan dan ekspresi semangat manusia.
Humanisme juga berasal dari studi humanitatis yang mengandung arti kesenian liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah, dan filsafat moral. Dalam studia humanitatis, ilmu-ilmu ini dianggap paling mampu mengembangkan potensi manusia untuk berfikir dan bertindak secara bebas dan mandiri.[10] Kesenian liberal bukan berarti kesenian yang tidak mengenal etika, pemberian nama liberal karena pembelajaran ini bebas untuk semua golongan, tidak mengenal kasta.
Menurut Corlisa Lamont, secara ringkas humanisme yaitu meyakini bahwa alam merupakan jumlah total dari realitas, bahwa materi-energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supranatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi, dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memliki Tuhan yang supernatural dan abadi.[11]
Humanisme Corlisa Lamont mewakili definisi humanisme yang beraliran sekuler, definisi di atas menyatakan bahwa kekuatan supranatural (Tuhan) itu tidak ada, sehingga humanisme model ini meniadakan andil Tuhan.
Liz Wiwiek, W. mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya humanisme adalah suatu aliran yang mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia adalah sama, bagian dari dunia dan ciptaan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara golongan kaya dan miskin, atasan dan bawahan, laki-laki dan perempuan. Semua manusia adalah saudara karenanya harus saling mengasihi.[12]
Pendapat Liz Wiwiek membantah pernyataan Corlisa Lamont, baginya kekuatan supranatural di luar kemampuan manusia itu ada, dan manusia merupakan bagian dari itu.
Pada hakikatnya humanisme sendiri bisa dipahami sebagai gerakan untuk memanusiakan manusia, sebagai usaha pemikiran untuk mengintegrasikan manusia dengan dunianya. J. Bronowski dan Bruce Mazlish[13] memberikan pengertian humanisme sebagai berikut : Arti humanisme sesungguhnya sudah terkandung dalam namanya sendiri, suatu keinginan untuk menemukan sumber bakat manusia. Keinginan ini mengandung suatu keyakinan bahwa pada akhirnya setiap manusia sendiri harus menemukan pilihannya, dalam bidang kebenarannya dan kebaikannya, sebagaimana halnya juga selera.
Memahami pengertian humanisme memang sangat sulit, karena banyak tokoh yang mendefinisikan menurut pemahamannya masing-masing, dari banyak definisi di atas dapat diambil persamaan bahwasannya inti humanisme adalah ingin mengangkat derajat manusia dan mensejahterakan manusia. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Profesor Edward, P. Cheyney yang berbunyi:
“Humanism has meant many things: it may be the reasonable balance of life that the early humanists discovered in the Greeks; it may be merely the study of the humanities or polite letters; it may be the freedom from religiosity and the vivid interests in all sides of life of Queen Elizabeth or a Benjamin Franklin; it may be the responsiveness to all human passions of Shakespeare or a Goethe; or it may be a philosophy of which man is the center and sanction. It is in the last sense, elusive as it is, that humanism has had perhaps its gretest significance since the sixteenth century.”[14]

Pernyataan di atas menggambarkan bahwasannya makna humanisme tidak selalu sama dari waktu ke waktu dan mempunyai banyak perspektif, mungkin keseimbangan kehidupan yang wajar ketika  para pelopor humanis ditemukan di Yunani, mungkin hanya mempelajari humaniora atau kesopanan, mungkin kebebasan dari religiusitas dan kepentingan hidup dalam semua sisi kehidupan Ratu Elizabeth atau Franklin Benjamin, mungkin menjadi tanggap terhadap semua nafsu manusia Shakespeare atau Goethe, atau mungkin filosofi yang mana  manusia merupakan pusat dan sanksi. Yang pasti humanisme mulai dikenal banyak kalangan sejak abad ke-16.
B.  Sejarah Humanisme
1.   Zaman Yunani Klasik
Pada masa Yunani klasik humanisme belum terlalu dikenal, akan tetapi nilai-nilai humanisme sudah ada pada gerakan paideia ( seni mendidik) yang bertujuan mengupayakan manusia ideal. Manusia ideal dalam pandangan Yunani klasik adalah manusia yang mengalami keselarasan jiwa dan raga, suatu kondisi dimana manusia mencapai kebahagiaan ( eudaimonia).
Pada abad keempat, masa Hellenistik dan kekaisaran Romawi, istilah Paideia terus mengalami perluasan konotasi, dihubungkan dengan arête( keutamaan, kebajikan) sebagai manusia.[15] Umanisti merupakan perkembangan dari Paideia yang berarti istilah bagi kaum humanis yang mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan, yang pertama kali dipakai pada masa Romawi. Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan disebut Studia Humanitaties. Beberapa tokoh pada masa ini yaitu John Milton dan Yustinus Martir.
Konsepsi mengenai pentingnya menyelaraskan jiwa dan raga menunjukkan keseriusan para filsuf Yunani klasik dalam memahami manusia. Gerakan Paideia menandai keseriusan itu. Paideia bukan hanya sebagai pintu masuk untuk menyelami totalitas diri sebagai manusia, tetapi lebih merupakan wahana untuk mendamaikan (menyelaraskan) kedua potensi dominan dalam diri manusia yang saling tarik-menarik, yakni badan dan jiwa. Humanisme perspektif masa Yunani klasik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia.
Konsep humanisme secara riil baru mulai muncul ketika filsuf Socrates dan diteruskan oleh para muridnya yaitu Plato dan Aristoteles pada abad ke 4 dan 5 M. Humanisme ini sebenarnya dipelopori oleh para sofis sebagai bentuk enkluklios paidea yaitu suatu program edukasional dan kultural yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan manusia seoptimal mungkin dan menghasilkan manusia seunggul-unggulnya melalui berbagai pelatihan hidup.[16]
Humanisme pada masa Yunani klasik belum terlihat sebagai istilah, ajaran, maupun gerakan. Akan tetapi, sistem paidea mewakili nilai-nilai yang ada pada humanisme, selain itu usaha para Sofis dan filsuf Socrates yang mulai memfokuskan pemikiran mereka terhadap manusia.
2.   Zaman Pra Renaissance
Sebelum abad ke-14 humanisme bercorak Madzhab Skolastik. Madzhab ini menempatkan manusia sebagai ciptaan yang bergantung pada Tuhan sebagai pusat kehidupan dalam semesta alam. Dengan demikian, orientasi hidup manusia bukan dunia, tetapi keabadian. Dengan pusat dan orientasi hidup manusia seperti itu, para humanis dalam era abad pertengahan mempelajari tata bahasa dan sastra Yunani kuno dan Latin dalam perspektif teologi.  Para humanis di masa abad pertengahan hanya mempelajari mekanisme dan teknik berbahasa lisan dan tulisan.
Humanisme abad pertengahan muncul sebagai upaya pembaharuan dari sivilisasi setelah berakhirnya kejayaan kekaisaran Roma beserta munculnya kembali kebudayaan Kristen baru dan sistem masyarakat feodal.  Akan tetapi diskusi tentang manusia pada abad pertengahan lebih bersifat spekultif daripada etis, hal ini menyebabkan nilai manusia secara konkret menjadi terabaikan, tenggelam dalam perdebatan, tokoh pada abad ini antara lain Thomas Aquinas.
Mulai abad ke-14 humanisme pertama kalinya mengalami pasang di Italia. Pada saat sastra dan seni Yunani yang Pra-Kristiani ditemukan kembali dan dijunjung tinggi.[17] Ciri di zaman ini adalah perubahan paradigma teologis-metafisis dogmatis menjadi antroposentris yang kritis, di mana manusia dan bukan Tuhan menjadi titik berangkat maupun titik pusat pemikiran. Yang menarik kendati kaum humanis cenderung sinis terhadap Gereja sebagai organisasi dan herarki, namun mereka tidak lantas menjadi ateis. Kendati mereka mengubah paradigma berfikir mereka tetapi mereka tidak berubah menjadi immoral.[18]
Manusia menjadi obyek dari seni, seni klasik (zaman Yunani dan Romawi Kuno) dengan semangat tinggi dilahirkan kembali. Dalam bidang pendidikan, pendidikan digunakan bagi pengembangan manusia, teks-teks kuno, misalnya karya Aristoteles dan karya Plato mulai diteliti dan diterjemahkan secara intensif, ciri yang khas bagi humanisme ini adalah sikap religius inklusif pada tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, tulisan dua filsof besar Pra-Kristiani ini dihargai sangat dekat dengan isi moral Injil.[19]
Para humanisme Italia melakukan gerakan pembaharuan dibidang kerohanian, kemasyarakatan, dan kegerejaan. Mereka bermaksud untuk meningkatkan perkembangan yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan adanya kepustakaan yang baik dan dengan mengikuti kebudayaan klasik. Pada masa ini humanisme dan agama tidak terdapat pertentangan, keduanya bisa berjalan seiring.[20] Beberapa tokoh dari abad ini adalah Erasmus, Petratch , Lorenzo Valla, dan Marsiglio Ficino.
Humanisme pada masa Renaissance menekankan pada moralitas yang berpusat pada keyakinan akan martabat manusia, nilai hidup aktif di dunia, dan kehendak bebas untuk bertindak. Humanisme bermaksud menggali kembali nilai-nilai manusia dari segala aspek. Humanisme Renaissance merupakan ekspresi dari upaya dan kehendak untuk menemukan kembali nilai manusia dalam bentuk autentik dan dalam realitas sejarah efektif.
Aksi para humanis pada abad ini tidak hanya sekedar melahirkan kembali kultur atau warisan antik, tetapi kaum humanis warisan antik itu diolah kembali sehingga bukan reproduksi kultur antik yang dilahirkan atau dikembangkan, melainkan interpretasi baru atasnya. Proses interpretasi itu tentunya melibatkan dimensi kemanusiaan, yang dalam pandangan kaum humanis sangat mungkin untuk melakukan segalanya, termasuk menafsirkan tradisi dan doktrin agama.
3.   Zaman Modern
Pada zaman ini yang berkembang adalah Neo-Humanisme, Neo-Humanisme berkembang pada abad ke-17 sampai 18 M ketika para seniman, filsuf, dan kaum intelektual melirik kembali masa Yunani dan Romawi klasik. Konsep humanisme dipandang memiliki kesamaan dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis.[21] Gerakan pencerahan merupakan suatu masa dimana keyakinan-keyakinan imani tradisional coba dipadukan dengan kesadaran baru tentang kemampuan manusia untuk berpikir, ragu-ragu, dan berbeda pendapat. Jadi, Neo-Humanisme berpegang kepada rasionalitas dan subjek sebagai pusat segala sesuatu. Sehingga dekat dengan paham deisme, agnotisisme, dan bahkan atheisme. Gerakan pencerahan terjadi di Jerman, Prancis, dan Inggris, lantas berkembang cepat ke Amerika.[22]
Sejak abad ke-19 humanisme dipandang sebagai perilaku sosial politik yang ditujukkan untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan ide tentang martabat kemanusiaan. Sejak saat itulah, konsep hak asasi manusia telah memasuki tahap etika politik modern. Humanisme pada abad ini berhadapan dengan revolusi industri dan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Pada abad inilah benih-benih berakhirnya humanisme sebagai konsep riil atas manusia.
Abad ke-20 paham humanisme telah lepas dari kaitannya dengan kebudayaan Eropa, khususnya Yunani dan Romawi kuno. Humanisme sudah menjadi cita-cita transkultural dan universal yang berhubungan dengan sikap dan mutu etis lembaga politik yang menjamin martabat manusia.[23]
Pada abad ini terjadi perubahan sikap terhadap kemanusiaan yang luar biasa besar dibandingkan abad-abad sebelumnya, di satu sisi humanisme mencapai puncak kematangannya sebagai sebuah gerakan yang mendudukkan manusia pada keluhuran dan kemuliaan martabatnya. Humanisme menjadi semacam “agama baru” bagi masyarakat modern yang sangat mengagungkan dan mengagumi kemanusiaan. Sementara tradisi agama-agama besar sekalipun akar dari humanisme modern, justru pada akhirnya tidak memperlihatkan penghormatan yang cukup mengesankan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.[24] Hal ini membuat terpecahnya gerakan maupun aliran humanisme.
Humanisme modern telah berkembang menjadi dua bentuk, sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti agama. Humanisme moderat menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada seni, universalisme, religiuisitas yang dekat dengan alam. Pada umumnya para humanis tidak menyangkal ada kuasa yang lebih tinggi, hanya menurut mereka, bahwa hal-hal alamiah yang cukup untuk dijadikan sasaran dan penguasaan manusia. Tanpa wahyu manusia sudah dapat mengusahakan karya budaya yang sebenarnya. Beberapa tokohnya antara lain Schiller dan Wilhelm Von Humbold.
Sedangkan humanisme anti agama menganggap bahwa agama dipahami sebagai tahayul atau keterikatan manusia pada irrasionalitas dan untuk itulah manusia harus keluar dari keterikatannya kepada agama. Mereka melihat bahwa agama menjadi sumber berbagai masalah di dunia. Hal itu dipicu karena sikap agamawan yang otoriter, yang menganggap bahwa dirinyalah yang paling suci, maka segala keputusannya tidak dapat diganggu gugat, beberapa tokohnya antara lain Feurbach, Karl Mark, dan Sartre.[25]
Inilah sejarah lahirnya humanisme, Barat merupakan Ibu dari paham humanisme, akan tetapi Barat juga yang menjadikan paham humanisme bergeser. Sejak Abad ke-20 maka mulai muncul aliran yang anti dengan humanisme.

C.   Macam-macam Humanisme
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa humanisme modern berkembang menjadi dua kubu, yaitu humanisme Sekuler dan humanisme Religius.
1.   Humanisme Sekuler
Sekuler berasal dari bahasa latin saeculum yang mengandung makna ganda yaitu abad dan dunia. Dalam kenyataan sehari-hari kata sekuler diartikan sebagai jauh dari hidup keagamaan, bukan wilayah ruhani dan suci, melainkan urusan keduniawiaan dan kebendaan.[26] Tidak heran ketika muncul istilah humanisme sekuler maka orang mengenalnya dengan humanisme atheis.
Humanisme sekuler mengalami zaman keemasan pada abad Pencerahan dan Abad Pemikiran Matthev Arnold yang melukiskan peradaban pada masa ini sebagai “The Humanization a Man in Society” (humanisasi manusia dalam masyarakat). Abad ini ditandai oleh keoptimisan orang Barat bahwa manusia mampu memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan tanpa agama. Humanisme sekuler meyakini bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan menggali pengalaman hidupnya sendiri dan menarik banyak pelajaran, nilai dan makna yang penting dari petualangannya itu.[27]
Humanisme sekuler meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan urusan manusia yang ada di dunia, keyakinan ini membuat mereka mengabaikan kehadiran Tuhan. Tuhan bagi mereka hanyalah imajinasi yang tak sampai oleh akal manusia.
2.   Humanisme Religius
Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak teosentris (Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa dari pihak Islam dan Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini berkembang untuk mengimbangi humanisme sekuler yang berkembang di dunia, karena apabila humanisme sekuler tidak diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan.
Marcel A Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar ideologi, karena Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat. Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang sebenarnya dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan.[28]
Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an memandang manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan ke-khalifah-annya Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memliliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasab mnerupakan pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan fungsi kekhalifahannya.[29]
Kisah dan kejadian Adam a.s dalam Al-Qur’an adalah pernyataan humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh manusia di Bumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis dan bukan dalam pengertian biologis.[30]
Humanisme dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi, sebab penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan (humanisme) ditentukan langsung oleh Allah. Islam menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dijadikan-Nya “sebaik-baiknya” dan ditempatkan dalam posisi “paling istimewa” diantara mahkluk yang lain. Oleh karena itu, manusia wajib menempatkan martabat manusia dan kemanusiaan pada tempat yang “sebaik-baiknya”.[31]
Humanisme dalam Islam berarti secara otomatis membincang tentang humanisme religius, humanisme dalam Islam tidak bisa lepas dari konsep ḥablu min al-nnâsi. Manusia hidup di bumi ini tidak lain mengemban amanat Tuhan sebagai khalifah-Nya yang memiliki seperangkat tanggungjawab, dalam hai ini tanggungjawab tersebut lebih ditekankan pada tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan hidup.
Tanggungjawab manusia inilah yang kemudian menempatkan humanisme tertinggi dalam Islam (humanisme religius) dalam artian dimensi illahiyah masih melekat erat pada potensi penciptaannya yang membedakan konsep humanisme-humanisme lain yang kebetulan muncul dari Barat, seperti humanisme Yunani yang dikembangkan atas dasar naturalisme yang berlebihan, terlalu mendewakan manusia dengan segala sifat naluriyahnya (termasuk sifat-sifat kekejian).[32]
Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat wawasan kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia memiliki sifat kesucian, yang kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Dan hakikat dasar kemanusiannya itu merupakan sunnatullah karena adanya fitrah manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan Allah.[33]
Claude Geffre sebagai seorang Kristiani mengatakan bahwa manusia secara autentik tidak akan merasa cukup hanya dengan ketentuan-ketentuan rasionalitas dan kecukupan materealistis, karenannya ia akan selalu mencari persperktif baru yang memberi tempat bagi imajinasi, kreativitas, dan simbolisme bagi kebahagiannya. Baginya humanisme tidak hanya sekedar ilmu kemanusiaan, ilmu sosial, sastra dan filsafat. Lebih dari itu humanisme mengajarkan manusia untuk bertuhan dan beragama dengan baik.[34]
Selama ini humanisme religius hanya dipahami dengan humanisme Islam, padahal sebenarnya religius juga berarti theis, bertuhan, meyakini adanya kekuatan supranatural. Dalam sub bab ini penulis hanya mengutip pemikiran humanisme Islam dan Kristen, karena humanisme yang banyak digaungkan adalah humanisme model Barat yang diwakili oleh agama Kristen, dan humanisme model Timur yang diwakili oleh Islam.
Bagi humanisme religius keberadaan Tuhan sangat dominan, pemikiran mereka berangkat dari paham agama mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan mempunyai konsep yang luar biasa tentang manusia, tetapi terkadang karena manusia terlalu berpikir jauh dan dalam sehingga mereka lupa bahwa essensi semuanya ada pada Tuhan. Humanisme dan agama tidak dapat dipisahkan, karena agama sendiri itulah humanisme, dan humanisme itu juga agama. Agama mengajarkan banyak tentang kemanusiaan, dan humanisme dalam ajarannya juga mengandung nilai-nilai agama.


[5]Loena C. Gabel, The Encyclopedia of Americana (U.S.A.: Grolier Incoporated, 1998), jilid. 14, h. 553.
[6] Ibid. h. 555.
[7] Muzairi,  Filsafat Umum (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), h. 59.
[8] Liz Wiwiek, W., Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid. 6 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1989), h. 496.
[9] O.A.B., The New Encyclopedia Britanic, volume. 8 (Chicago: Macropedia, 1974), h. 1179.
[10] Siswanto Masruri, Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan ( Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 98.
[11] Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism (New York: Humanist Press, 1997), h. 116.
[12] Liz Wiwiek, W., Ensiklopedi Nasional Indonesia,  h. 496-497.
[13] The Western Intellectual Tradition, 1962, h: 495, dikutip oleh To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 23.
[14] Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism, h. 12.
[15]Jaeger Warner, Paideia, The Ideal of Greek Culture ( Oxford: Oxford University Press, 1945), h. 298.
[16] Hendrikus Endar, S., Humanisme dan Agama (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 206.
[17] Frans Magnis-Suseno, “Agama Humanisme dan Masa Depan Tuhan”,  dalam  Basis h. 37.
[18] Bambang Sugiharto, “Humanisme Dulu, Kini, dan Esok” dalam Basis, NO. 09-10, Th. ke-46 (September – Oktober 1997), h. 39-40.
[19] Ibid. h. 37.
[20] Rina Indah Setiawati, Humanisme Studi tentang Pemikiran Ali Syari’ati”,  Skripsi, h. 15.
[21] Ibid. h. 37.
[22] Johanes P. Wisok, Humanisme Sekuler (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 90.
[23] Franzs-Magnis Suseno, Humanisme Religius VS Humanisme Sekuler (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 210.
[24] Sylvester, Anti-Humanisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 261.
[25] Said Tuhuleley et, al (ed), Masa Depan Kemanusiaan (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 10.

[26] Franzs -Magnis Suseno, Menalar Tuhan ( Yogyakarta: Galang Press, 2006), h. 55.
[27] Johanes P. Wisok, Humanisme Sekuler, h. 100.
[28] Marcel A Boisard, Humanisme Dalam Islam, terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 151.
[29]Hassan Hanafi (dkk), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme di Tengah Krisis Humanisme Universal ( Semarang: IAIN Walinsongo, 2007), h. IX.
[30]Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Wahyuddin ( Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 111.
[31]Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku II, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001), h. 353.
[32] Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam; Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), h. 337.
[33] Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan ( Jakarta: Paradimana, 1995), h. 51.
[34] Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism , h. 7-8.
 




[1] Tony Davies, Humanism ( London: Routledge: 1997), h. 1-3.
[2] Mangunhardjana, A., Isme-isme Dalam Etika dari A Sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.  93.
[3] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, cet.I (Bandung: Rosda Karya, 2000), h. 41.
[4] Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi Pertama (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 541.

2 komentar: