Rabu, 19 November 2014

HUMANISME DALAM PEMIKIRAN R.M.P. SOSROKARTONO-bab IV



BAB IV
DIMENSI HUMANISME R.M.P. SOSROKARTONO
A.  Ilmu Kantong Bolong, Kantong Kosong, dan Sunyi Sebagai Realisasi Humanisme R.M.P. Sosrokartono
Sekilas mendengar istilah humanisme pasti yang terlintas di dalam benak adalah sebuah paham hasil produk orang Barat. Setelah dipelajari, memang sejarah humanisme adalah produk Barat, tetapi berjalan beriringnya waktu humanisme tidak hanya milik orang Barat. Sosrokartono bukanlah orang yang menggaungkan humanisme secara terbuka, tetapi ajaran beliau bernilai kemanusiaan. Ajarannya ingin mengangkat derajat manusia dari kenistaan.
Pada bab empat ini penulis ingin menguraikan ilmu-ilmu ajaran humanisme model Kartono, beliau memang tidak mengatakan bahwa dirinya humanis, tetapi itu terlihat dari pemikirannya. Seperti yang dikatakan Cak Nun, dalam kajiannya di mukernas PKS 2011 “Jangan percaya dengan orang yang menggaungkan demokrasi, tapi percayalah dengan konsep demokrasi”.[1]
Hal ini menggambarkan, bahwa janganlah percaya dengan orang-orang yang hanya menggaungkan humanisme, tapi percayalah bahwa pemikiran humanisme itu ada dan hidup humanis, penuh kemanusiaan adalah cita-cita setiap manusia yang ada di dunia.

Seperti yang sudah penulis paparkan pada bab tiga bahwasannya ilmu Kartono tentang humanisme terkandung dalam ilmu Kantong Bolong, Kantong Kosong, dan ilmu Sunji (Sunyi). Tiga ilmu ini yang akan penulis jelaskan selanjutnya, dari tiga ilmu ini akan diketahui bagaimana Kartono memahamkan nilai-nilai humanisme kepada masyarakat.
1.      Ilmu Kantong Bolong
Secara etimologi kata ilmu berarti pengetahuan,[2] kata ilmu dalam bahasa inggris disebut science, dari bahasa latin scientia yang berarti pengetahuan.[3] Pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.[4]
Dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu.[5] Kata kantong berarti tempat untuk menaruh sesuatu, misalnya saku, dompet, tabungan, dan deposito. Kata bolong berarti lubang/berlobang/kosong.[6] Jadi, kalimat ilmu kantong bolong dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang tempat untuk menaruh sesuatu, tetapi tempat itu berlobang dan terus menerus bocor.
Adapun definisi terminologi ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat di ukur, dan dibuktikan.[7] Istilah kantong bolong adalah bentuk wahana untuk menampung sesuatu, baik materiil maupun non-materiil, namun selalu saja kosong karena berlobang.[8]
Jadi, maksud dari ilmu kantong bolong adalah sebuah pengetahuan nyata tentang bentuk tempat yang selalu kosong, tak pernah terisi sesuatu yang dimasukkannya, karena tempat itu berlobang, maka apapun yang ditaruh disana selalu mengalir, sehingga menjadi kosong dan sunyi dari apa saja.
Pemilihan kata bolong bukan berarti ilmu ini sepele, tetapi Kartono ingin menyampaikan satu tingkatan ilmu kemanusiaan yang mudah kepada masyarakat Indonesia saat itu, bolong merupakan bahasa murni orang Jawa Indonesia, dan tidak terkontaminasi oleh bahasa Belanda. Dalam kehidupan sehari-hari kata bolong tidak mempunyai makna yang spesial bagi masyarakat, dan bahkan hal yang bersangkutan dengan kata bolong lebih terkesan merugikan dan jelek.
Misalnya baju bolong, pasti sudah tidak dipakai, kantong bolong pasti dijahit, tetapi karena Kartono seorang ahli bahasa yang jenius, akhirnya kata bolong dirubahnya menjadi sebuah kata yang mempunyai makna yang dalam, dan bahkan ilmu kemanusiaan Kartono dimulai dari ilmu Kantong bolong.
Ilmu kantong bolong bukanlah ilmu hasil ciptaan akal, perasaan, dan pemerasan otak manusia, ilmu ini berbeda dengan ilmu alam , berbeda dalam hakikat maupun sifatnya. Ilmu ini bukan pula suatu falsafah, karena falsafah adalah wujud dari cara berfikir manusia. Manusia berfikir, memeras otaknya untuk menangkap dan mencakup arti maksud dan tujuan hidup di dunia dan apapun juga yang dihadapinya.[9]
Ilmu kantong bolong merupakan salah satu ilmu yang muncul menjadi wujud dari inti hati nurani manusia sendiri, tidak dari akal manusia, tidak dari perasaan manusia, tidak dari kemauan manusia. Ilmu ini lahir dari rahim manusia sejati sebagai wujud cita-cita kemanusiaan yang sebenarnya.
2.      Ilmu Kantong Kosong
Merupakan tingkatan kedua setelah ilmu kantong bolong, di atas dijelaskan bahwa ilmu kantong kosong merupakan pengetahuan tentang tempat yang selalu kosong, jadi kosong merupakan hasil dari melakukan ilmu kantong bolong.
Kantong bolong menyebabkan kosong, sebenarnya Kartono ingin menyampaikan hal yang sangat arif, ketika seseorang menolong kepada sesama, gunakanlah ilmu kantong bolong, maka apapun imbalan yang diberi oleh orang yang ditolong tidak akan bertahan di kantong, dan bahkan kosong, hal ini disebabkan karena kantong bolong. Ataupun dalam bahasa lain yaitu sepi ing pamrih, yang artinya jauh dari pamrih.
Ilmu kantong kosong bisa dicapai dengan cara menghilangkan kepentingan diri sendiri dan mementingkan kepentingan umum, toleran, bersifat terbuka, Ilmu kantong kosong bisa dicapai dengan mempertaruhkan seluruh jiwa raga, mengedepankan sifat-sifat kemanusiaan sehingga menjadi haqqul yaqin,[10] hal ini sejalan dengan humanisme Frans Magnis Suseno.
Inti dari ilmu kantong kosong yaitu cinta kasih manusia kepada Tuhannya. Cinta kasih yang meliputi seluruh kemanusiaan yang memenuhi jiwa raganya sebagai keyakinan mutlak, sebagai haqqul yaqin.
3.      Ilmu Sunyi ( Sunji )
Ilmu Sunji merupakan tingkatan terakhir, setelah kantong bolong, dan kontong kosong, kosong dalam artian mengedepankan sifat-sifat kemanusiaan. Setelah kosong maka kantong akan sunyi. Sunyi berarti hampa, tidak ada yang tersisa sedikit pun di dalam kantong.
Ilmu sunyi sebenarnya hanya kata simbol Kartono untuk mengenalkan ajaran waḥdat al wujud atau manunggal kawulo gusti, Kartono memilih kata yang mudah dan sering didengar oleh masyarakat Indonesia saat itu, dengan kata sunyi maka tanpa penjelasan yang panjang lebar dan bahkan tanpa penjelasan Kartono masyarakat mampu menangkap apa yang dimaksud Kartono.
Sedangkan kantong bolong dan kantong kosong merupakan ilmu yang mengantarkan kepada ilmu sunyi, kantong bolong dan kosong harus dicurahkan kepada sesama manusia, ilmu ini sepenuhnya untuk pengabdian kepada manusia, hanya orang yang bijaksana yang bisa menjalani ilmu ini, karena bijaksana merupakan salah satu ciri manusia humanis menurut Magnis Suseno.
Mencapai tingkatan sunyi, manusia harus percaya bahwasannya Tuhan pasti akan membalas setiap perbuatan baik yang dilakukan tanpa pamrih. Sunyi hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang kuat imannya. Tidak ada yang diharapkan dari perbuatannya. Segala sesuatu yang dilakukannya serta merta hanya untuk Allah, dari Allah, dan kembali kepada Allah.
Ilmu kantong bolong, kosong dan sunyi merupakan satu kesatuan, dan saling berhubungan,  ilmu kantong bolong harus diyakinkan dalam pribadi manusia pada setiap gerak hati, gerak hidup, fikiran, perasaan, kemauan, perbuatan, dan apapun jua dalam jiwa raga manusia. Manusia tidak dapat menolong sesama manusia hanya dengan menyampaikan perasaan ataupun menunjukkan kemauan saja. Menolong dapat tewujud dengan mempertaruhkan seluruh diri pribadi manusia, segenap jiwa raga manusia, dengan meyakinkan ilmu kantong kosong dan menuju ilmu sunyi maka itulah kelengkapan hidup manusia.
Pengklasifikasian di atas sebenaranya hanya untuk mempermudah memahami pemikiran humanisme Sosrokartono. Essensinya tiga konsep di atas terangkum dalam tulisan Kartono yang berbunyi: “ Nulung Pepadane ora nganggo wayah, wadhuk, mikir, yen ana isine lumuntur marang sesami”[11], artinya menolong sesama manusia itu tidak perlu memikirkan atau memperhitungkan waktu, perut, dan saku. Pada kondisi dan situasi bagaimanapun, yang namanya kantong harus tetap bolong, kosong, namun apabila kantong itu berisi, maka harus segera diberikan atau dialirkan kepada sesama.
Terlihat dari ungkapan tersebut ada 6 syarat untuk mencapai 3 ilmu di atas. Pertama tentang menolong , seseorang harus siap menjadi penolong bagi siapa saja, tidak boleh bersikap masa bodoh, cuek, dan tidak peduli. Ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan, maka bersegeralah untuk menolong.[12] Sikap bijaksana sangat dibutuhkan, karena terkadang orang yang tidak bijaksana akan melakukan pilihan ketika menolong. Kartono juga mengajarkan bahwasannya menolong tidak harus memandang suku, kasta, agama, dan jabatan, sesama manusia harus saling menghargai perbedaan, karena perbedaan merupakan anugrah Allah. Hal ini terlihat, bahwasannya Kartono mampu melihat hal positif dalam sebuah perbedaan. Magnis Suseno menyebutkan salah satu ciri manusia yang humanis adalah bijaksana, dan mampu melihat hal positif dibalik perbedaan.  Selain itu sependapat dengan pemikrian Liz Wiwiek, humanisme memandang bahwa manusia sama, bagian dari dunia ciptaan Tuhan, semua manusia adalah saudara, untuk itu harus saling mengasihi.
Kedua tanpa berfikir panjang, ilmu kantong bolong, kosong, dan sunyi mengajarkan sikap gesit, siap sedia, dan tak perlu ada pertimbangan. Pertolongan diberikan tanpa berpikir panjang.[13] Terlalu lama seseorang berpikir membuat orang yang akan ditolong semakin menderita. Selain itu, tanpa berfikir panjang juga mengandung makna berfikir positif dan terbuka sesama manusia, ketika seseorang berfikir positif dan terbuka maka tidak akan berfikir panjang untuk menolong seseorang, karena apabila berfikir negatif maka akan banyak hal yang akan di pertimbangkan. Terbuka dan berfikir positif juga merupakan salah satu cirri manusia yang humanis bagi Magnis Suseno.
Ketiga Waktu, menolong tidak perlu mempertimbangkan waktu, tidak siang ataupun malam, pagi maupun sore, musim hujan atau musim panas, senang atau susah, pertolongan tetap harus dilaksanakan. Keempat Perut, orang yang berjiwa besar dan penuh semangat akan siap sedia menolong sesama walau perut sedang lapar. Kelima Kantong, dalam hal menolong tidak perlu memikirkan kantong, apakah kantong berisi atau tidak, walaupun tidak ada bekal tetapi ada kesempatan untuk menolong maka akan diberi jalan yang mudah.[14] Dengan tidak memikirkan perut dan kantong maka seseorang sudah menghormati dan menghargai orang yang minta pertolongan dan butuh pertolongan, sebagaimana yang dinyatakan Magnis Suseno bahwasannya humanisme yaitu mengahargai orang lain dalam identitasnya. Walaupun diketahui bahwa mungkin orang yang di tolong  tidaklah mempunyai identitas yang sama, tetapi pertolongan tetap di lakukan maka disitulah humanisme. Keenam mengalir, puncak dari ketiga ilmu di atas yaitu apabila kantong terisi maka harus dialirkan kepada yang membutuhkan.
Menurut Muhammad Ali, ilmu humanisme Kartono berlandaskan dua asas yaitu: mengosongkan diri pribadi daripada pamrih dan menolong sesama manusia.[15] Pertama, mengosongkan diri pribadi dari pamrih, diungkapkan Kartono dalam sebuah kata mutiaranya “ trima mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih”,[16] artinya menerima dengan pasrah, tidak pamrih, jauh dari takut.[17] Kartono tidak hanya yakin dan sadar bahwa hanya Tuhanlah yang wajib disembah, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa seluruh jiwa raganya sewajarnya dipersembahkan kepada Allah. Persembahan tidak berdasarkan rasa takut ataupun cemas hatinya, akan tetapi oleh sebab seluruh kemanusiaannya diliputi oleh cinta kasih terhadap Gustinya.
Pada hakikatnya Kartono menunjukkan ilmu ini kepada Allah, seseorang harus bersikap ikhlas, menerima, ridho dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt. baik berupa kebahagiaan maupun kesedihan. Pada setiap ibadah, janganlah seseorang mengharap imbalan atau pamrih kepada Allah, karena dengan mengharap imbalan itu, maka nilai ibadah berkurang, dengan tidak mengharapkan imbalan maka seseorang tidak akan merasa rugi dengan apa yang dilakukannya. Seperti yang dikatakan oleh Kartono” lenyaplah leburlah setiap azas takut, cemas, khawatir, apabila telah musnah setiap wujud pamrih” ajarannya ini diperkuat dengan perkataannya lagi ikhlas marang apa sing wes kelakon, trima apa kang dilakoni, pasrah marang apa bakal ana", artinya ikhlas terhadap apa yang telah di jalani, menerima apa yang sedang di alami, pasrah terhadap apa yang akan di hadapi.[18]
 Trimah mawi pasrah juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Orang yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.[19]
Kedua, menolong sesama manusia. Kartono mengatakan “nindaaken ibadat, inggih puniko nindaaken kewajiban bakti lan suwito kulo dateng sesami”, artinya melaksanakan ibadah yaitu melaksanakan kewajiban pembaktian dan pengabdian saya kepada sesama manusia.[20] Dari kata mutiara di atas terlihat bahwa bagi Kartono menolong sesama manusia, melakukan pengabdian dan pembaktian adalah ibadah. Sebagai seorang muslim beribadah kepada Allah adalah wajib, jika Kartono menganggap bahwa menolong sesama itu ibadah maka ia sudah mewajibkan bagi dirinya sendiri untuk selalu menjadi penolong bagi yang membutuhkan.
Ajaran humanisme Kartono sejalan dengan ajaran humanisme Y.B. Mangunwijaya, baginya humanisme yaitu keberpihakan kepada manusia yang miskin, tertindas, butuh pertolongan, dan teraniaya.[21] Mangunwijaya mewujudkan humanismenya dengan membangun yayasan pendidikan, hal ini tidak jauh berbeda dengan Kartono yang mewujudkan humanismenya dengan membangun balai pengobatan dan yayasan pendidikan. Mangunwijaya lebih fokus kepada pendidikan, sedangkan Kartono fokus terhadap pengobatan.
Humanisme Kartono mengikuti semangat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, Rosulullah mengajarkan bahwa manusia hidup di dunia mempunyai derajat yang sama dalam lingkup kehidupan beragama, sosial, ekonomi, dan politik, serta menepis batas-batas ruang, waktu, dan kekayaan. Menurut Rosulullah semua kelompok, kelas, dan kebangsaan umat manusia secara prinsipnya adalah sama, terlepas dari warna kulit atau agama mereka.[22]
Rosulullah mengajarkan ajarannya berdasarkan Q.S. Al-Hujurat, 49: ayat 13, yang artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[23]

Ayat di atas sangat jelas bahwa seluruh umat manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, jadi tidak dibenarkan adanya saling membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada dasar argument yang masuk akal untuk melakukan diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, kekayaan, atau asal-usul geografis. Akan lebih logis dan rasional untuk memusatkan segenap upaya berdasarkan kesamaan asasi seluruh manusia, yakni agar semua manusia menikmati kesamaan hak dalam semua lapangan aktivitas hidupnya.
Ayat ini juga mengandung makna bahwa sesama manusia harus saling menghormati, terlepas dari status sosial atau kekuasaan politik yang dimiliki. Betapapun tinggi atau rendahnya status seseorang, bangsawan ataupun rakyat jelata, miskin atau kaya, setiap orang harus diberi kehormatan dan penghargaan sebagai seorang manusia utuh, tanpa pandang bulu.
Kartono memang tidak menganggap dirinya humanis, karena baginya untuk mendapat kasunyatan hal yang terbaik adalah mengabdi kepada sesama manusia, yang kemudian dengan prinsipnya mengabdi kepada sesama, membuat pemikiran Kartono mengandung nilai-nilai humanis, muncullah istilah kantong bolong, kantong kosong, dan sunji sebagai puncak pemikiran Kartono tentang kemanusiaan.
Humanisme Kartono sejalan dengan pengertian humanisme dalam Encyclopedia Britanica yang menyebutkan humanisme bukanlah hanya sekedar ilmu, tetapi lebih dari itu, mengaplikasikannya dengan memberikan perhatian lebih kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Sekilas humanisme Kartono terlihat seperti humanisme abad pertengahan yang memusatkan segalanya kepada Tuhan, memang benar humanisme Kartono terlahir karena untuk mencari kasunyatan dan jumbuhing kawulo gusti. Jadi, semua pemikirannya terpusat dan tercurahkan kepada Tuhan, tetapi jenis pemikiran Kartono bukan teologis metafisis seperti halnya abad pertengahan, yang menyebabkan pemaknaan manusia menjadi spekulatif, dan makna kemanusiaan hilang.
Humanisme Kartono terlihat seperti teologi pembebasan/transformatif,[24] ia ingin memahamkan kepada manusia bahwa untuk mencari hakikat hidup di dunia itu tidaklah susah, Kartono ingin membumikan makna tauhid seperti halnya teologi transformatif. Sejarah teologi islam sangatlah kelam, karena banyak perang kekuasaan dan politik, untuk memahamkan kepada manusia awam, tidaklah harus mengenalkan sejarahnya juga, apabila mereka mengetahui sejarah kalam yang kelam maka akan terjadi pergolakan dalam hati mereka.
Mengenalkan kesatuan manusia akan lebih mudah untuk dakwah Islam pada saat itu, seperti halnya teologi transformatif yang menginterpretasikan doktrin tauhid . Tauhid tidak hanya bisa diartikan dengan keesaaan Tuhan, tetapi juga bisa diartikan dengan kesatuan ummat.[25] Dengan kata lain, tauhid menolak segenap diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Hal ini juga yang diajarakan Magnis Suseno, teologi transformatif memiliki kesamaan dengan teori humanisme Magnis Suseno yaitu humanisme tidak mengenal perbedaan ras, kasta, dan kelas, karena humanisme menghormati orang lain dalam identitasnya.
Paparan di atas menggambarkan bahwa Kartono mengajarkan humanismenya tidak dengan menggembor-gemborkan bahwa dia adalah manusia yang humanis, sebenarnya Kartono tidak mengajarkan layaknya Guru dan Murid. Kata mengajar identik dengan adanya Guru dan Murid, padahal Kartono menyatakan bahwa ia tidak mempunyai Guru dan Murid. Seperti yang terkutip dalam kata mutiaranya Guru sejati.
Terlihat sangat sulit untuk manusia zaman sekarang mengikuti konsep humanisme Kartono, tapi itulah humanisme Kartono. Bukan humanisme model Barat tetapi humanisme model Jawa yang bernilai Islam, Kartono menekankan kepada  saling membantu satu sama lain dalam humanismenya atau ḥablu min al nnâsi. Dari sikap saling membantu maka akan tumbuh rasa kemanusiaan yang tinggi.
Tiga ilmu tersebut mengantarkan manusia untuk menjadi pribadi yang humanis, manusia yang tahu diri bahwa dirinya tidak tahu, bijaksana, terbuka dalam melihat berbagai kemungkinan, bersifat positif terhadap sesama manusia, anti fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mengutuk pandangan orang lain, bersikap terbuka, toleran, menghormati berbagai keyakinan dan sikap, serta mampu melihat yang positif dibalik perbedaan seperti yang dimaksudkan Frans Magnis Suseno.
Manusia hidup di dunia pasti mempunyai tujuan masing-masing, bagi Kartono maksud hidup di dunia adalah untuk menyempurnakan kebahagiaan sesama manusia, bukannya menambah penderitaan dan kesengsaraan.[26] Seperti ucapannya “belajar merasakan kesusahan dan penderitaan sesama berarti belajar menyempurnakan rasa batin kita dan menyempurnakan rasa perikemanusiaan”. Kartono juga mengatakan “ngawulo dateng kawuloning gusti, memaju ajuning urip, memaju ajuning awon”[27], artinya mengabdi kepada abdi illahi, menyempurnakan kebahagiaan hidup, menyempurnakan kebahagiaan dalam kejahatan agar lenyaplah segala sesuatu yang jahat.[28]
Tujuan hidup Kartono terlihat dari apa yang dikatakannya, belajar merasakan kesusahan bisa menyempurnakan rasa kemanusiaan manusia, kemudian selanjutnya dikatakan bahwa dengan mengabdi kepada abdi illahi (sesama manusia) menyempurnakan kebahagiaan hidup manusia, dan leburlah semua kejahatan. Jadi, jika manusia menginginkan dunia ini tidak ada kejahatan maka tumbuhkanlah rasa saling mengabdi kepada sesama, dengan adanya rasa itu, maka kejahatan tidak akan lahir ke dunia. Tidak ada  penganiayaan, dan penyiksaaan antar sesama manusia.
Sedangkan bagaimana hakikat hidup di dunia bagi Kartono?, hakikat hidup di dunia bagi Kartono adalah mengabdi kepada para abdi Allah (sesama manusia) dan berusaha menyempurnakan kebahagiaan manusia di dunia, tanpa pamrih, tanpa kecemasan, ketakutan tentang suatu hal. Jujur, tetap dalam hajat, niat, dan tekad, menyerah kehendak Allah. Tanpa memiliki kesaktian, tanpa membawa ilmu ghaib, Kartono tidak takut, tidak perlu takut dan khawatir karena payungnya adalah Allah, dan sandarannya juga Allah.[29]
Hakikat hidup bagi Kartono adalah mengabdikan diri kepada sesama abdi Allah. Bukannya Kartono mengesampingkan Allah, tetapi untuk membalas semua karunia Allah yang telah diberikan kepadanya, ia ingin mengabdikan hidupnya kepada ciptaannya, supaya mendapatkan kasunyatan, bisa menuju Sangkan Paraning Dumadi dengan khusnul khatimah,[30] supaya bisa lebih mengimani Allah Kartono tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, karena itulah yang bisa menguatkan tekad dan niatnya.
Pemikiran Kartono sesuai dengan Q.S. Adz-Zaariyyat: (51)56,[31] yang berbunyi:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ 
Artinya; “ dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dan Jin hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah yaitu ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, dan waktunya, seperti Zakat, Haji, Puasa, dan Sholat. Sedangkan Ibadah ghairu mahdhah yaitu segala aktivitas lahir dan batin manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Inti dari ibadah adalah mencari keridhoan Allah Swt.[32] Kartono mengabdikan dirinya untuk sesama manusia merupakan jenis ibadah ghairu mahdhoh dan semata-mata bertujuan untuk mencari ridho Allah. Caranya dengan ilmu kantong bolong, kantong kosong dan sunyi.
Humanisme Kartono tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses perenungan yang panjang, seperti yag sudah terpaparkan di atas. Humanisme Kartono lahir dari keinginannya untuk mencari hakikat hidup di dunia, untuk mencari kasunyatan, untuk ber-manunggaling kawulo gusti dan untuk menuju Sangkan Paraning Dumadi dengan Iman, Islam, dan Ihsan. Kartono menerapkan trilogi dalam Islam yaitu iman-ilmu-amal”;[33] artinya iman berujung pada amal/aksi, atau tauhid itu harus diaktualisasikan dalam bentuk pembebasan manusia. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
B.                          Humanisme Religius Model R.M.P. Sosrokartono
Setelah diuraikan panjang tentang humanisme Kartono, dapat dilihat bahwa humanisme Kartono bukanlah seperti humanisme Barat, yang sekedar segala sesuatu dipusatkan kepada manusia, misalnya pada masa rennaissance, humanisme diekpresikan melalui seni Yunani dan Romawi klasik. Humanisme Kartono tidak hanya sekedar ilmu humaniora ataupun ilmu kemanusiaan lainnya, melebihi itu, humanisme Kartono mencakup hakikat manusia hidup di dunia.
Humanisme Kartono mengandung nilai-nilai ibadah yang dalam, sebenarnya nilai-nilai ibadah itu tidak hanya bisa diaplikasikan untuk agama Islam, tapi bisa diaplikasikan untuk semua agama, karena pada hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan kejahatan.
Memahami humanisme Kartono sangatlah mudah, karena hakikatnya adalah mengabdikan diri kepada sesama, tetapi menjalankannya sangatlah susah. Sifat egois manusia sangatlah dominan, pada umumnya manusia tidak mau dirugikan dan direpotkan oleh sesama manusia. Sehingga, benar kata Kartono, untuk mempraktekan ilmunya dalam kehidupan nyata butuh Laku dan pengorbanan.
Hakikat manusia hidup di dunia adalah kembali kepada Gusti Allah, humanisme Kartono juga mengajarkan nilai-nilai itu, tidak hanya asal-asalan membantu sesama, tetapi mempunyai tujuan yang sangat sakral.
Berdasarkan penjelasan humanisme Kartono di atas dapat penulis katakan bahwa model humanisme Kartono adalah humanisme religius, humanisme religius yang bersifat Islam dan bernuansa Jawa, atau bisa dikatakan humanisme kejawen. Karena, Kartono adalah pengikut agama Islam dan sekaligus orang Jawa.
Kartono pengikut agama Islam yang taat, pemikiran humanismenya pun tidak bergeser dari ajaran agama Islam, karena ia sangat menyadari manusia memang merupakan ciptaan Allah yang paling sempurna, dan manusia adalah khalîfah di bumi.[34] Sebagai seorang khalîfah atau pemimpin, manusia di tuntut untuk menjalin hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan yang sangat sakral, untuk mencapai itu manusia harus bisa menyeimbangkan hubungan antar sesama dan alam. Bagi Kartono, untuk bisa mencapai hubungan yang sempurna dengan Tuhan dan hubungan yang baik dengan alam, maka manusia harus menekankan hubungan dengan sesama manusia.
Ajaran humanisme Kartono menggambarkan bahwa manusia sebagai seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang besar, setiap manusia di beri kewajiban untuk menyembah dan berbakti kepada Allah, tetapi di sisi lain manusia yang sengsara, dan tertimpa musibah di Bumi juga membutuhkan bantuan dari sesama. Sehingga, setelah perenungan dan Laku yang panjang dan lama, akhirnya Kartono memfokuskan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan dengan mengabdikan dirinya kepada sesama. Berhubungan baik kepada sesama, membuat manusia juga akan bersikap arif terhadap alam, dan bahkan akan menjadi manusia yang sempurna atau insan kamil.[35]
Kartono menyadari bahwa dirinya hidup di lingkungan Jawa dan bahkan mempunyai pedoman yang berbunyi; “ingkang tansah kulo mantepi inggihpuniko agami lan kejawen kulo”, artinya yang selalu saya mantapi adalah agama dan jiwa Jawa saya.[36] Dari perkataannya, terlihat bahwa yang menjadi pedoman hidup Kartono adalah agama dan kejawennya.
Kartono adalah seorang muslim sejati dan seorang Islam tulen.[37] Islam mengandung arti jiwa ikhlas dan pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa, atas keselamatan di dunia dan akhirat. Islam juga berarti berserah diri kepada Tuhan tanpa syarat. Islam berarti agama Allah yang diwasiatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk megajarkan syari’at dan pokok agama kepada manusia.[38] Sejak kecil Kartono rajin belajar Al-Qur’an dan hadis Nabi, apalagi ia adalah keturunan seorang tokoh Islam di Teluk Awur, yang sangat dihormati dan disegani. Teluk Awur terletak di sebelah utara pulau Jawa, tepatnya di daerah Jepara, tokoh Islam itu bernama kyai Modirono, beliau adalah pengikut agama Islam yang shaleh, taqwa, berjiwa ikhlas, dan pasrah sedalam-dalamnya kepada Tuhan.[39]
Kartono sangat bangga menjadi orang Jawa, sebagaimana ucapannya:“ Ingkang dados polanipun lampah kulo inggih punika Jawi bares, Jawi deles, Jawi sejati”,[40] artinya yang menjadi pola perilaku saya hanya ini; Jawa jujur, Jawa asli, Jawa sejati.[41] Sedangkan kejawen menurut Kartono adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepribadian bangsa Indonesia umumnya dan suku Jawa khususnya. Definisi lain dari kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama di anut oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa, ajaran kejawen menekankan pada cara keseimbangan hidup.[42]
Menurut Taufik Abdullah akulturasi budaya Jawa dan Islam mengambil bentuk dialogis, sehingga dipahami perkembangan Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bentuk struktur sosial-agama.[43] Dapat di ambil hipotesa, kejawen merupakan sinkretisme dari budaya Jawa dan tasawuf Islam.
Adapun Islam kejawen mempunyai beberapa prinsip, dari prinsip tersebut akan terlihat, adakah ajaran Kartono yang sesuai dengan prinsip tersebut?. Pertama, manembah ing gusti, manembah  merupakan kunci pokok peribadahan setiap keyakinan. Inti pokok beribadah adalah manembah. Agama mengenal ibadah dengan sembahyang, sedangkan kebatinan cenderung menyebutnya manembah. Kedua istilah tersebut sebenarnya mirip, sebab terkait dengan hubungan manusia dan Tuhan. Agama dan kebatinan tidaklah sama, keduanya mempunyai perbedaan khusus, agama memberi tekanan kepada panembah  sedangkan kebatinan memberi tekanan kepada budi luhur dan kesempurnaan hidup.[44] Gusti atau Allah di mata orang Jawa terletak di dalam hati dan hidup adalah penyembahan terus-menerus kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan bukanlah sosok hakim yang jauh dan tak terjangkau, tetapi sebaliknya, Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada yang lainnya.[45]
Kedua, sepi ing pamrih lan rame ing gawe, artinya mengosongkan ambisi pribadi yang dapat merugikan orang lain dan suka bekerja atau cepat kaki ringan tangan. Pamrih menghalang-halangi tercapainya kebaikan dunia dan kemurnian hidup.[46] Pamrih terlihat dalam tiga nafsu, yaitu selalu ingin menjadi orang pertama, menganggap dirinya selalu benar, dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri.[47]
Sikap sepi ing pamrih yang telah penulis jelaskan di atas sangat mempengaruhi pemikiran humanisme Kartono, sikap ini melahirkan ilmu kantong bolong, kantong kosong, dan sunji. Sikap ini bisa ditunjukkan kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Bagi beliau orang yang pamrih sama dengan orang yang lemah.[48]
Rame ing gawe mengandung maksud suka bekerja atau cepat kaki ringan tangan. Orang yang berjiwa rame ing gawe selalu menggunakan maksudnya untuk bekerja serta pantang menganggur. Negara akan maju dan berkembang dengan keringat orang yang suka bekerja. Produktivitas kerja akan menolong orang lain untuk sama-sama merasakan rembesan keringat hasil kerjanya. Di mana saja orang dapat memberi jika mempunyai. Kalau tidak punya maka apa yang lantas akan diberikan, selain kerja yang tekun. Kerja keras juga merupakan sarana untuk berbuat baik dan berguna bagi masyarakat dan merupakan perilaku yang teramat mulia. Orang akan menghargai pihak lain yang mau bekerja dengan tekun dan tulus. Orang yang rame ing gawe tidak akan merongrong pihak lain, apalagi jika diimbangi dengan sikap sepi ing pamrih, tidak mengharapkan balas jasa.[49]
Ketiga, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa bandha artinya menang tanpa mengalahkan, kaya tanpa harta. Kartono tidak pernah melawan penjajah dengan cara mengalahkan dan merendahkan, beliau lebih memilih untuk berhadapan satu sama lain, lebih memilih untuk bermusyawarah karena dengan bermusyawarah maka tidak akan ada peperangan, pertarungan, kekerasan, dan kematian. Hal ini di perjelas dalam ajaran beliau:
“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman,
Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang,
Menang, tanpa mejahi tanpa nyakiti,
Wenang, tan ngrusak ayu, tan ngrusak adil,
Yen unggul, sujud bakti marang sesami.[50]
Artinya; melawan musuh tanpa tentara, tanpa senjata, menundukkan tanpa perang tanpa pedang, menang tanpa membunuh tanpa menyakiti, berkuasa tanpa merusak kebahagian dan keadilan, Jika menang, bersujud dan berbakti kepada sesama manusia.
Pada akhir kutipan di atas terdapat kalimat “Yen unggul, sujud bakti marang sesami”, hal ini memberi penjelasan bahwa ajaran Kartono pada akhirnya adalah untuk kepentingan kemanusiaan. Hubungan antar manusia sangat ditekankan Kartono guna mencari hakikat hidup.
Sugih tanpa bondho, sepintas yang demikian itu tidak logis jika ditilik dari sudut prinsip ekonomi dalam alam materialisme. Akan tetapi, dipandang dengan kacamata idealisme mempunyai arti yang lebih dalam, ialah kekayaan batin (innerlijke rijkdom). Supaya jangan berat sebelah, di sini akan digambarkan perbedaan antara kekayaan lahir dan batin, dengan tidak perlu mengatakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam hal ini titik berat terletak kepada cara memahaminya dan tergantung pula pada hajat hidup menurut kebutuhannya.
-         Kekayaan lahir berdasarkan kebendaan, biasanya hanya memberi kepuasan nafsu, jika tidak disertai kemampuan menguasai diri sering membawa keruntuhan yang merugikan lahir dan batin.
-         Kekayaan batin berdasarkan budi pekerti, dapat mendatangkan kebahagiaan, jika disertai iman yang teguh dapat juga terlaksana apa yang dihajatkan dalam batas-batas yang layak, bahkan sering memberi manfaat bagi orang lain, akan merupakan keuntungan lahir maupun batin.
Prinsip Islam kejawen sugih tanpa bondho tertulis pada nisan Kartono di Sidomukti, Kudus yang berbunyi:
“Sugih tanpa bondho,
Digdaya tanpa adji,
Ngulurug tanpa bala,
Menang tanpa ngasorake.[51]
Artinya; kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, melawan tanpa tentara, memang tanpa merendahkan. Ajaran Kartono ini tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka yang berharta. Akan tetapi, sesungguhnya kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang yang kaya hatinya, dan yang kaya mentalnya.
Keempat, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, prinsip yang keempat ini sudah ada dalam ajaran beliau yang ditulis di nisannya. Beliau mengajarkan orang yang sakti mandraguna tanpa harus memiliki ajian, jimat, atau benda-benda keramat lainnya. Sakti karena dirinya sendiri, bisa karena kecerdasan, karena ketaqwaan karena keunggulan dalam hubungan antar manusia dan lain sebagainya. Dengan demikian, seseorang dapat menaklukkan lawan bukan dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang.
Dari keempat prinsip Islam kejawen yang penulis paparkan di atas, terlihat bahwa Kartono juga menjalankan prinsip tersebut semasa hidupnya. Kartono berusaha semaximal mungkin untuk menjalankan prinsip tersebut dan mamahamkan kepada masyarakat pada saat itu. Jadi, antara Islam kejawen dan ajaran Kartono tidak ada pertentangan. Hal ini membuktikan bahwa Kartono adalah pengikut Islam kejawen. Sehingga, ajaran humanismenya yang sudah penulis ungkapkan di atas yaitu, humanisme religius, beragama Islam dan bernuansa Jawa, singkatnya humanisme Islam kejawen.
B.   Implementasi Ajaran Humanisme R.M.P. Sosrokartono dengan Kehidupan Kekinian di Indonesia
Ajaran humanisme Kartono mudah dipahami dari berbagai kalangan, baik kalangan rakyat, akademisi, dan pemimpin, karena pada intinya ajaran humanisme Kartono adalah mengabdikan diri kepada sesama manusia untuk mencari hakikat hidup di dunia.
Kekinian yang dimaksud di sini adalah masa modern yang diwarnai pemikiran modern. Ciri pemikiran modern adalah sangat diagungkannya rasio, dan runtuhnya otoritas gereja. Pemikiran modern dekat dengan ilmu pengetahuan yang praktis dan jauh dari sisi agama.[52] Menurut Sayyed Hossein Nasr masyarakat modern adalah orang-orang yang maju peradabannya akan tetapi hilang spiritualnya.[53]
            Masyarakat modern telah terjebak terhadap pemikiran rasionya, menurut Herbert Marcuse rasionalitas masyararakat modern merupakan biang keladi segala bentuk penindasan dan perbudakan manusia atas manusia, dan eksploitasi alam secara berlebihan, rasionalitas masyarakat modern membuat ilmu pengetahuan tidak bernilai.[54]
Masyarakat dunia pada umumnya sudah bergeser dari pemikiran modernis yang mengunggulkan rasio kepada pemikiran post-modernis yang mengunggulkan hati dan rasa, tetapi Indonesia masih terjebak pada pemikiran modernis. Ketika Negara lain sudah mulai membenahi pola pikirnya, masyarakat Indonesia masih terjebak dalam pemikiran modern.
Sejarah Indonesia melahirkan pemikir-pemikir hebat, seperti Ir. Sukarno, Muhammad Hatta, Kiai Hasyim Asy’ari, Raden Ronggowarsito, Ki Ageng Selo, Sunan Kalijogo, R.M.P.Sosrokartono dan masih banyak sekali pemikir-pemikir hebat yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Ajaran-ajaran para pemikir Indonesia tidak pernah mengajarkan hal yang merugikan antara manusia satu dengan yang lainnya. Kartono sebagai tokoh yang penulis angkat dalam penelitian ini banyak mengajarkan hal tentang kemanusiaan, beliau tidak membenarkan adanya penindasan, eksploitasi, maupun pelecehan sasama manusia. Demi mencapai manusia sempurna dalam mencari hakikat hidup ajaran kemanusiaan yang menjadi kunci beliau.
Manusia modern melupakan hal spiritual, sehingga dalam benak mereka hanya kepentingan duniawi yang menjadi tujuan hidup mereka. Mengejar kepentingan duniawi membuat mereka terjebak dalam kenistaan dan membuat hal-hal yang merugikan sesama manusia. Mengejar duniawi menumbuhkan penyakit hati yang membuat manusia sengsara, tetapi mereka tidak menyadari itu.
Banyak hal yang terjadi di Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, prostitusi, penculikan, pencurian, penipuan, korupsi, terorisme, pengeboman, dan eksploitasi adalah dampak dari masyarakat Indonesia yang terjebak oleh pemikiran modern dan kejahatan itu semua merupakan bentuk dehumanisasi, kejahatan yang sangat merugikan manusia. Pemikiran modern membuat manusia jauh dari agama dan tidak pernah menggunakan hati dan perasaan dalam melakukan segala sesuatu.
Contoh beberapa bentuk dehumanisasi yang ada di Indonesia, kasus Wibowo yang mengintip siswi SMK yang sedang mandi, Wibowo akhirnya dikeroyok anggota TNI yang berjumlah 14, dan meninggal setelah dirawat beberapa jam di ruang ICU Rumah Sakit Soedjono, Magelang.[55] Peristiwa penyerangan LP Cebongan, Sleman, tersangka terdiri dari 14 orang, sebelas diantaranya diduga anggota Kopassus. Peristiwa ini mengakibatkan 4 pidana tewas,  penganiayaan terhadap beberapa petugas, menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi Narapidana lainnya, merusak, dan merampas CCTV, Server, monitor, dan Handphone. Kasus Korupsi pencucian uang yang dilakukan oleh Luthfi Hassan Ishaaq dan Ahmad Fathanah.[56] Korupsi proyek simulator SIM (Surat Izin Mengemudi) yang dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo.[57]
Pengintipan, pembunuhan, dan korupsi merupakan contoh kasus yang ada di Indonesia yang sangat tidak manusiawi. Kasus seperti itu merugikan sesama manusia, membuat ketidaknyamanan, dan yang pasti turunnya moral bangsa Indonesia.
Kartono meninggalkan ajaran yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang, bagi kartono hal yang menyebabkan adanya masalah pembunuhan, pemerkosaan, dll., seperti yang telah diungkapkan di atas adalah karena sikap manusia yang tidak mendapatkan kepuasan hidup dan jauh dari Tuhan mereka.[58] Sehingga turunlah moral manusia dan melakukan tindak kejahatan yang merugikan sesama manusia.
Masyarakat Indonesia sekarang sedang ditimpa penyakit masyarakat modern yang tidak pernah mereka sadari, kepuasan hidup yang dicari masyarakat Indonesia tidak pernah digapai, sehingga membuat mereka menyalahkan Tuhan dan jauh dari Tuhan. Jauh dari Tuhan membuat manusia tega berbuat hal jahat yang tidak bermoral, merugikan diri sendiri maupun sesama manusia.
Ajaran humanisme Kartono merupakan salah satu solusi permasalahan bagi masyarakat Indonesia, karena humanisme Kartono lahir dari latar belakang masyarakat Indonesia sendiri pada saat zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Kartono sendiri juga asli rakyat Indonesia, sehingga pemikirannya pun mudah untuk dipahami dan diaplikasikan rakyat Indonesia.
 Cara untuk menghilangkan rasa ingin mencari kepuasan hidup di dunia yaitu  manusia harus mempunyai sikap trima mawi pasrah dan ikhlas marang apa sing wes kelakon, trima apa kang dilakoni, pasrah marang apa bakal ana. Artinya; menerima dengan pasrah dan ikhlas terhadap apa yang sudah terjadi, menerima apa yang sudah dijalani, ikhlas terhadap apa yang akan terjadi.[59] Dengan membiasakan sikap menerima dengan ikhlas dan pasrah dengan apa yang akan terjadi, dengan apa yang akan diberikan Tuhan-Nya, maka masalah-masalah kejahatan di Indonesia akan berkurang.
Membiasakan sikap tersebut akan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tinggi dan menumbuhkan kesadaran dari dalam hati untuk tidak berbuat kejahatan, selama ini kejahatan di Indonesia tidak bisa di selesaikan dengan baik, karena Indonesia hanya mengandalkan hukum Negara yang tidak memberikan rasa jera, hukum sudah tidak bersifat mengadili, tapi hukum seperti perdagangan bisa dijual belikan, rasa jera tidak melekat di hati para pidana atau orang yang berbuat kejahatan, akan tetapi rasa ingin lebih berbuat kejahatan yang lebih kejam yang melekat di hati para pelaku kejahatan.
Hal ini tidak hanya sekedar dari para manusia yang berbuat kejahatan, tetapi dari pemimpin bangsa Indonesia yang tidak bisa memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Para pemimpin memang mempunyai kadar pengetahuan, ilmu, dan kepandaian yang lebih dari rakyatnya, tetapi mereka hanya pandai dalam hal teori, pandai dalam hal tulis-menulis, aplikasi di masyarakat hampir tidak ada. Mereka tidak bisa me-manunggalkan antara ilmu dan laku, seperti yang diajarkan Kartono. Tidak bisa mengaplikasikan Iman, Islam, dan Ihsan secara total, seperti yang diajarkan oleh agama Islam.
Bagi Kartono ilmu dan laku adalah satu paket, tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Ketika ilmu berjalan sendiri makan ilmu itu pincang, dan bahkan terkadang menimbulkan pengetahuan yang tidak sempurna. Mencari kepuasan dunia tidak akan ada habisnya dan akhirnya kepuasan dunia tidak bisa di bawa manusia ke akhirat.
Bagi Kartono kepuasan dunia bukanlah harta, istri, ataupun anak, tetapi bagaimana Kartono bisa menolong dan memberikan kepuasan hati kepada sesama manusia. Jika hal ini di aplikasikan oleh masyarakat Indonesia, maka terciptalah Negara yang aman, santosa, dan sejahtera. Karena setiap individu tidak memikirkan kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain menjadi hal penting dan bahkan untuk menuju manusia yang sempurna, untuk mendapatkan hakikat hidup di dunia.
Ilmu Kantong Bolong, Kantong Kosong, lan Ilmu Sunji merupakan sarana untuk memahami kemanusiaan, untuk mencetak bangsa yang humanis, menciptakan jiwa pengabdian antar sesama manusia dan mencetak bangsa yang menghargai sesama manusia. Dengan menciptakan jiwa pengabdian antar sesama dan menghargai sesama manusia, tidak akan ada masalah kejahatan yang merugikan manusia dan membuat manusia sengsara. Mungkin kejahatan sesama manusia tidak bisa di hapuskan secara total, tetapi paling tidak dengan menumbuhkan rasa kemanusiaan seperti ajaran Kartono maka akan tercetak manusia-manusia yang humanis.



[2]Hendro Darmawan, dkk., Kamus Ilmiah Populer, cet. III (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2011), h. 219.
[3]Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, cet. I ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 324.
[4]Paul Erwards, The Encyclopedia of Philshophy, Vol. III ( New York: Macmillan Publishing, 1972), h. 54.
[5]Wihadi Admojo, et.al., Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. I, h. 324.
[6]John Tondowidjojo, Sosrokartono dan Spiritualitas dari Abad ke Abad (Surabaya: Yayasan Bina Tama, 2012), h. 115.
[7]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, cet. XI  ( Jakarta: Raja Grafindo, 2012), Cet. XII, h. 13.
[8] Ibid, h. 115.
[9]Muhammada Ali, Ilmu Kantong Kosong, Kantong Bolong, dan Sunji R.M.P. Sosrokartono ( Djakarta: Bhratara, 1966), h. 11-12.
[10] Ibid.
[11] R.M.P. Sosrokartono, Omong Kosong, Binjei, 12 November 1931.
[12] John Tondowidjojo, Sosrokartono dan Spiritualitas dari Abad ke Abad, h. 117.
[13] Ibid.
[14] John Tondowidjojo, Sosrokartono dan Spiritualitas dari Abad ke Abad, h. 118.
[15]Muhammada Ali, Ilmu Kantong Kosong, Kantong Bolong, dan Sunji R.M.P. Sosrokartono, h. 23.
[16] R.M.P. Sosrokartono, Omong Kosong,  Binjei, 12 November 1931.
[17] Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, h. 244.
[18] Mohammad Ali, Ilmu Kantong Bolong. Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunji. h . 23-24.
[19] Hadiwijaya. Tokoh-Tokoh Kejawen, h: 191.
[20] Ibid. h: 202.
[21] Forum Mangunwijaya IV, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, h. 14.
[22] Afzalur Rahman, Ensiklopedi Muhammad: Muhammad sebagai pejuang kemanusiaan  ( Bandung: Pelangi Mizan, 2009), h. 13-14.
[23] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya ( Bandung: Jumanatul Ali Art, 2005), h. 518.
[24] Teologi transformatif atau pembebasan muncul karena menganggap teologi klasik islam dulunya sangat bersifat deduktif-ahistoris, teologi hanya sebatas ilmu ketuhanan yang bersifat abstrak dan metafisik, tidak merambah ke ranah kemanusiaan, dan teologi klasik cenderung berpihak kepada kalangan elit.  Teologi pembebasan ingin mengubah paradigma teologi yang sangat tidak bersifat manusiawi, teologi ini bersifat induktif-historis, hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan mengkaitkan teologi dengan persoalan kontemprer manusia, dan yang pasti teologi ini berpihak kepada kelompok marjinal, dan tertindas.  Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender ( Studi Pemikiran Asghar Ali Engineer) (Yogyakarta: UII Press, 2001), h.  xiii.
[25] Mansour Fakih, Mencari Teologi  Untuk Kaum Tertindas (Khidmat dan Kritik untuk Guruku Prof. Dr. Harun Nasution  dalam Refleksi, h. 174.
[26] Mohammad Ali.  Ilmu Kantong Bolong,  Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunji, h.  68.
[27] R.M.P. Sosrokartono, Serat Saking Medan, Medan, 12 Mei 1931.
[28]ibid. h. 48.
[29]“ Sang Alif RMP Sosrokartono”, dalam Majalah Jaya Baya, h. 14.
[30] Seperti yang dikatakan Purwadi, bahwa hakikat manusia hidup di dunia adalah untuk menuju Sangkan Paraning Dumadi yaitu asal mula hakikat kehidupan serta tujuan utamanya adalah mencapai khusnul khotimah yang berujung pada kenikmatan surga. Purwadi, Manunggaling Kawulo Gusti, h. v.
[31] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 524.
[32]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an , JIlid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 356.
[33]Muhammad Sufyan, “Teologi Humanisme”” artikel diakses 26 Juni 2013 dari http://www.teologi-humanisme.html.
[34] Lihat Q.S al-Baqarah: 30, yang artinya “Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di Bumi. . .” Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 7.
[35] Menurut Abdul Karim al-Jilli manusia yang sempurna adalah manusia yang telah berhasil merealisasikan seluruh kemungkinan yang ada, potensi Ketuhanan yang ada pada dirinya. Manusia sempurna atau insan kamil merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya sebagai refleksi gambaran nama-nama dan sifat-Nya. (Suwardi Endraswara,  Kebatinan Jawa , h. 210). Murtadha Muthahari juga menefinisikan bahwasannya  Insan Kamil yaitu bukanlah filsuf yang suntuk memeras akal, melupakan kata hati, bukan pula sufi yang tenggelam dalam samudra cinta, yang melupakan diri dan lingkungannya, tidak pula para penguasa yang atas nama Tuhan memupuk kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan, bukan pula kaum humanis yang demi rasa kemanusiaannya mengabaikan tugasnya sebagai hamba Tuhan, tetapi manusia sempurna adalah manusia yang mampu memperdayakan nalar dan cinta untuk mengenal Tuhan. Murtadha Muthahari, Potret Insan Kamil; Meneropong Karakteristik Manusia Sempurna (Yogyakarta: Bina Media,2005), h. 53.
[36] Aksan, Sosrokatono, Wong Jowo”, h. 10.
[37] John Tondowidjojo, Sosrokartono dan Spiritualitas dari Abad ke Abad, h. 96.
[38] Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah ( Kairo: Dar al-Syuruq, 1968), h. 7.
[39]Ibid. h. 97.
[40] R.M.P. Sosrokartono, Serat Saking Medan, Medan, 12 Mei 1931.
[41] Ibid. h. 10.
[42] Hadiwijaya, Tokoh-tokoh Kejawen, Ajaran dan Pengaruhnya, h. 16.                                
[43] Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara ( Jakarta: LP3ES, 1989), h.  58.
[44] Suwardi Endraswara, Kebatinan  Jawa dan Jagad Mistik Kejawen (Yogyakarta: Lembu Jawa, 2011), h. 70.
[45] Niels Mulder, Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis ( Yogyakarta: LKis, 2001), h. 33.
[46] Suwardi Endraswara, Kebatinan  Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, h. 130.
[47] Adityo Jatmiko, Tafsir Ajaran Serat Wedhatama (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005), h. 65.
[48] Aksan, Ilmu dan Laku Drs. RMP.Sosrokartono, h. 18.
[49]Hariwijaya, Islam Kejawen, h. 271.
[50]R.M.P. Sosrokartono,  Laku Lan Maksudipun, Binjei, 12 November 1931.
[51] Indy G. Hakim, Tafsir Surat-surat & Mutiara-mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono (Pustaka Kaona, April 2008), h: 15.
[52] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, trj. Sigit Jatmiko, dkk., Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 645.
[53] Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi Ditengah Kancah Dunia Modern ( Bandung : Pustaka, 1987), h.  3.
[54] Listiyono, dkk., Epistemologi Kiri; kritik Herbert Marcuse Atas Selubung Ideologis di Balik Rasionalitas Manusia, Cet. IX  (Jakarta: ar Ruzz Media, 2012), h. 105.
[55] “Intip Siswi SMK, Wibowo Tewas Dikeroyok Anggota TNI” Suara Merdeka, 15 April 2013.
[56]“Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) Menemukan Hasil Berbeda Dalam Investigasi Kasus Penyerangan LP Cebongan, Sleman dan Dua Istri Luthfi Bungkam”, Suara Merdeka, 13 April 2013.
[57] “Djoko Gampar Legimo”, Suara Merdeka, 1 Juni 2013.
[58] Mohammad Ali, Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong, Kosong, Ilmu Sunji, h. 19.
[59] Aksan, Ilmu dan Laku R.M.P. Sosrokartono,  h. 24.
 




[1] Emha ‘Ainun Najib, Video Seminar Munajat Nasional dalam rangka mukernas PKS, 23 Febuari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar