BAB IV
DIMENSI HUMANISME R.M.P. SOSROKARTONO
A. Ilmu Kantong Bolong, Kantong Kosong, dan Sunyi Sebagai
Realisasi Humanisme R.M.P. Sosrokartono
Sekilas
mendengar istilah humanisme pasti yang terlintas di dalam benak adalah sebuah
paham hasil produk orang Barat. Setelah dipelajari, memang sejarah humanisme
adalah produk Barat, tetapi berjalan beriringnya waktu humanisme tidak hanya
milik orang Barat. Sosrokartono bukanlah orang yang menggaungkan humanisme
secara terbuka, tetapi ajaran beliau bernilai kemanusiaan. Ajarannya ingin
mengangkat derajat manusia dari kenistaan.
Pada bab
empat ini penulis ingin menguraikan ilmu-ilmu ajaran humanisme model Kartono,
beliau memang tidak mengatakan bahwa dirinya humanis, tetapi itu terlihat dari
pemikirannya. Seperti yang dikatakan Cak Nun, dalam kajiannya di mukernas PKS
2011 “Jangan percaya dengan orang yang menggaungkan demokrasi, tapi percayalah
dengan konsep demokrasi”.[1]
Hal ini
menggambarkan, bahwa janganlah percaya dengan orang-orang yang hanya
menggaungkan humanisme, tapi percayalah bahwa pemikiran humanisme itu ada dan
hidup humanis, penuh kemanusiaan adalah cita-cita setiap manusia yang ada di
dunia.
Seperti
yang sudah penulis paparkan pada bab tiga bahwasannya ilmu Kartono tentang humanisme
terkandung dalam ilmu Kantong Bolong, Kantong Kosong, dan ilmu Sunji (Sunyi).
Tiga ilmu ini yang akan penulis jelaskan selanjutnya, dari tiga ilmu ini akan
diketahui bagaimana Kartono memahamkan nilai-nilai humanisme kepada masyarakat.
1.
Ilmu Kantong Bolong
Secara etimologi kata ilmu berarti
pengetahuan,[2]
kata ilmu dalam bahasa inggris disebut science, dari bahasa latin scientia
yang berarti pengetahuan.[3] Pengetahuan berasal dari
kata dalam bahasa inggris knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy
dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.[4]
Dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu.[5] Kata kantong berarti
tempat untuk menaruh sesuatu, misalnya saku, dompet, tabungan, dan deposito.
Kata bolong berarti lubang/berlobang/kosong.[6] Jadi, kalimat ilmu kantong
bolong dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang tempat untuk menaruh
sesuatu, tetapi tempat itu berlobang dan terus menerus bocor.
Adapun definisi terminologi ilmu adalah
sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat di ukur, dan
dibuktikan.[7]
Istilah kantong bolong adalah bentuk wahana untuk menampung sesuatu,
baik materiil maupun non-materiil, namun selalu saja kosong karena berlobang.[8]
Jadi, maksud dari ilmu kantong bolong
adalah sebuah pengetahuan nyata tentang bentuk tempat yang selalu kosong, tak
pernah terisi sesuatu yang dimasukkannya, karena tempat itu berlobang, maka
apapun yang ditaruh disana selalu mengalir, sehingga menjadi kosong dan sunyi
dari apa saja.
Pemilihan kata bolong bukan
berarti ilmu ini sepele, tetapi Kartono ingin menyampaikan satu tingkatan ilmu
kemanusiaan yang mudah kepada masyarakat Indonesia saat itu, bolong merupakan
bahasa murni orang Jawa Indonesia, dan tidak terkontaminasi oleh bahasa
Belanda. Dalam kehidupan sehari-hari kata bolong tidak mempunyai makna
yang spesial bagi masyarakat, dan bahkan hal yang bersangkutan dengan kata bolong
lebih terkesan merugikan dan jelek.
Misalnya baju bolong, pasti sudah
tidak dipakai, kantong bolong pasti dijahit, tetapi karena Kartono
seorang ahli bahasa yang jenius, akhirnya kata bolong dirubahnya menjadi
sebuah kata yang mempunyai makna yang dalam, dan bahkan ilmu kemanusiaan
Kartono dimulai dari ilmu Kantong bolong.
Ilmu kantong bolong bukanlah ilmu
hasil ciptaan akal, perasaan, dan pemerasan otak manusia, ilmu ini berbeda
dengan ilmu alam , berbeda dalam hakikat maupun sifatnya. Ilmu ini bukan pula
suatu falsafah, karena falsafah adalah wujud dari cara berfikir manusia.
Manusia berfikir, memeras otaknya untuk menangkap dan mencakup arti maksud dan
tujuan hidup di dunia dan apapun juga yang dihadapinya.[9]
Ilmu kantong bolong merupakan
salah satu ilmu yang muncul menjadi wujud dari inti hati nurani manusia
sendiri, tidak dari akal manusia, tidak dari perasaan manusia, tidak dari
kemauan manusia. Ilmu ini lahir dari rahim manusia sejati sebagai wujud
cita-cita kemanusiaan yang sebenarnya.
2.
Ilmu Kantong Kosong
Merupakan tingkatan kedua setelah ilmu
kantong bolong, di atas dijelaskan bahwa ilmu kantong kosong merupakan
pengetahuan tentang tempat yang selalu kosong, jadi kosong merupakan hasil dari
melakukan ilmu kantong bolong.
Kantong bolong menyebabkan
kosong, sebenarnya Kartono ingin menyampaikan hal yang sangat arif, ketika
seseorang menolong kepada sesama, gunakanlah ilmu kantong bolong, maka
apapun imbalan yang diberi oleh orang yang ditolong tidak akan bertahan di
kantong, dan bahkan kosong, hal ini disebabkan karena kantong bolong.
Ataupun dalam bahasa lain yaitu sepi ing pamrih, yang artinya jauh dari
pamrih.
Ilmu kantong kosong bisa dicapai dengan
cara menghilangkan kepentingan diri sendiri dan mementingkan kepentingan umum,
toleran, bersifat terbuka, Ilmu kantong kosong bisa dicapai dengan
mempertaruhkan seluruh jiwa raga, mengedepankan sifat-sifat kemanusiaan
sehingga menjadi haqqul yaqin,[10] hal ini sejalan dengan
humanisme Frans Magnis Suseno.
Inti dari ilmu kantong kosong yaitu
cinta kasih manusia kepada Tuhannya. Cinta kasih yang meliputi seluruh
kemanusiaan yang memenuhi jiwa raganya sebagai keyakinan mutlak, sebagai haqqul
yaqin.
3.
Ilmu Sunyi ( Sunji )
Ilmu Sunji merupakan tingkatan
terakhir, setelah kantong bolong, dan kontong kosong, kosong dalam
artian mengedepankan sifat-sifat kemanusiaan. Setelah kosong maka kantong akan
sunyi. Sunyi berarti hampa, tidak ada yang tersisa sedikit pun di dalam
kantong.
Ilmu sunyi sebenarnya hanya kata simbol
Kartono untuk mengenalkan ajaran waḥdat al wujud atau manunggal
kawulo gusti, Kartono memilih kata yang mudah dan sering didengar oleh
masyarakat Indonesia saat itu, dengan kata sunyi maka tanpa penjelasan yang
panjang lebar dan bahkan tanpa penjelasan Kartono masyarakat mampu menangkap
apa yang dimaksud Kartono.
Sedangkan kantong bolong dan
kantong kosong merupakan ilmu yang mengantarkan kepada ilmu sunyi, kantong bolong
dan kosong harus dicurahkan kepada sesama manusia, ilmu ini sepenuhnya
untuk pengabdian kepada manusia, hanya orang yang bijaksana yang bisa menjalani
ilmu ini, karena bijaksana merupakan salah satu ciri manusia humanis menurut
Magnis Suseno.
Mencapai tingkatan sunyi, manusia harus
percaya bahwasannya Tuhan pasti akan membalas setiap perbuatan baik yang dilakukan
tanpa pamrih. Sunyi hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang kuat imannya.
Tidak ada yang diharapkan dari perbuatannya. Segala sesuatu yang dilakukannya
serta merta hanya untuk Allah, dari Allah, dan kembali kepada Allah.
Ilmu
kantong bolong, kosong dan sunyi merupakan satu kesatuan, dan saling
berhubungan, ilmu kantong bolong harus
diyakinkan dalam pribadi manusia pada setiap gerak hati, gerak hidup, fikiran,
perasaan, kemauan, perbuatan, dan apapun jua dalam jiwa raga manusia. Manusia
tidak dapat menolong sesama manusia hanya dengan menyampaikan perasaan ataupun
menunjukkan kemauan saja. Menolong dapat tewujud dengan mempertaruhkan seluruh
diri pribadi manusia, segenap jiwa raga manusia, dengan meyakinkan ilmu kantong
kosong dan menuju ilmu sunyi maka itulah kelengkapan hidup manusia.
Pengklasifikasian
di atas sebenaranya hanya untuk mempermudah memahami pemikiran humanisme
Sosrokartono. Essensinya tiga konsep di atas terangkum dalam tulisan Kartono
yang berbunyi: “ Nulung Pepadane ora nganggo wayah, wadhuk, mikir, yen ana
isine lumuntur marang sesami”[11],
artinya menolong sesama manusia itu tidak perlu memikirkan atau
memperhitungkan waktu, perut, dan saku. Pada kondisi dan situasi bagaimanapun,
yang namanya kantong harus tetap bolong, kosong, namun apabila kantong itu
berisi, maka harus segera diberikan atau dialirkan kepada sesama.
Terlihat
dari ungkapan tersebut ada 6 syarat untuk mencapai 3 ilmu di atas. Pertama
tentang menolong , seseorang harus siap menjadi penolong bagi siapa
saja, tidak boleh bersikap masa bodoh, cuek, dan tidak peduli. Ketika ada
seseorang yang membutuhkan pertolongan, maka bersegeralah untuk menolong.[12] Sikap bijaksana sangat
dibutuhkan, karena terkadang orang yang tidak bijaksana akan melakukan pilihan
ketika menolong. Kartono juga mengajarkan bahwasannya menolong tidak harus
memandang suku, kasta, agama, dan jabatan, sesama manusia harus saling
menghargai perbedaan, karena perbedaan merupakan anugrah Allah. Hal ini
terlihat, bahwasannya Kartono mampu melihat hal positif dalam sebuah perbedaan.
Magnis Suseno menyebutkan salah satu ciri manusia yang humanis adalah
bijaksana, dan mampu melihat hal positif dibalik perbedaan. Selain itu sependapat dengan pemikrian Liz
Wiwiek, humanisme memandang bahwa manusia sama, bagian dari dunia ciptaan
Tuhan, semua manusia adalah saudara, untuk itu harus saling mengasihi.
Kedua tanpa
berfikir panjang, ilmu kantong bolong, kosong, dan sunyi
mengajarkan sikap gesit, siap sedia, dan tak perlu ada pertimbangan.
Pertolongan diberikan tanpa berpikir panjang.[13] Terlalu lama seseorang
berpikir membuat orang yang akan ditolong semakin menderita. Selain itu, tanpa berfikir panjang juga
mengandung makna berfikir positif dan terbuka sesama manusia, ketika seseorang
berfikir positif dan terbuka maka tidak akan berfikir panjang untuk menolong
seseorang, karena apabila berfikir negatif maka akan banyak hal yang akan di
pertimbangkan. Terbuka dan berfikir positif juga merupakan salah satu cirri
manusia yang humanis bagi Magnis Suseno.
Ketiga Waktu,
menolong tidak perlu mempertimbangkan waktu, tidak siang ataupun malam,
pagi maupun sore, musim hujan atau musim panas, senang atau susah, pertolongan
tetap harus dilaksanakan. Keempat Perut, orang yang berjiwa besar dan penuh
semangat akan siap sedia menolong sesama walau perut sedang lapar. Kelima Kantong,
dalam hal menolong tidak perlu memikirkan kantong, apakah kantong berisi
atau tidak, walaupun tidak ada bekal tetapi ada kesempatan untuk menolong maka
akan diberi jalan yang mudah.[14] Dengan tidak memikirkan
perut dan kantong maka seseorang sudah menghormati dan menghargai orang yang
minta pertolongan dan butuh pertolongan, sebagaimana yang dinyatakan Magnis
Suseno bahwasannya humanisme yaitu mengahargai orang lain dalam identitasnya.
Walaupun diketahui bahwa mungkin orang yang di tolong tidaklah mempunyai identitas yang sama, tetapi
pertolongan tetap di lakukan maka disitulah humanisme. Keenam mengalir, puncak
dari ketiga ilmu di atas yaitu apabila kantong terisi maka harus dialirkan
kepada yang membutuhkan.
Menurut Muhammad
Ali, ilmu humanisme Kartono berlandaskan dua asas yaitu: mengosongkan diri
pribadi daripada pamrih dan menolong sesama manusia.[15] Pertama, mengosongkan
diri pribadi dari pamrih, diungkapkan Kartono dalam sebuah kata
mutiaranya “ trima mawi pasrah, suwung pamrih tebih ajrih”,[16]
artinya menerima dengan pasrah, tidak pamrih, jauh dari
takut.[17] Kartono tidak hanya yakin dan sadar bahwa hanya Tuhanlah yang wajib
disembah, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa seluruh jiwa raganya sewajarnya
dipersembahkan kepada Allah. Persembahan tidak berdasarkan rasa takut ataupun
cemas hatinya, akan tetapi oleh sebab seluruh
kemanusiaannya diliputi oleh cinta kasih terhadap Gustinya.
Pada hakikatnya Kartono
menunjukkan ilmu ini kepada Allah, seseorang harus bersikap ikhlas, menerima, ridho dengan apa yang
diberikan oleh Allah Swt. baik berupa kebahagiaan maupun kesedihan. Pada setiap
ibadah, janganlah seseorang mengharap imbalan atau pamrih kepada Allah, karena dengan mengharap imbalan
itu, maka nilai ibadah berkurang, dengan tidak mengharapkan imbalan maka
seseorang tidak akan merasa rugi dengan apa yang dilakukannya. Seperti yang
dikatakan oleh Kartono” lenyaplah leburlah setiap azas takut, cemas, khawatir,
apabila telah musnah setiap wujud pamrih” ajarannya ini diperkuat dengan
perkataannya lagi “ikhlas marang apa sing wes kelakon,
trima apa kang dilakoni, pasrah marang apa bakal ana", artinya
ikhlas terhadap apa yang telah di jalani, menerima apa yang sedang di alami,
pasrah terhadap apa yang akan di hadapi.[18]
Trimah
mawi pasrah juga dapat diartikan bahwa manusia
hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena
itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Orang yang
pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar
akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan
kebahagiaan hati.[19]
Kedua, menolong sesama
manusia. Kartono mengatakan “nindaaken ibadat, inggih puniko nindaaken
kewajiban bakti lan suwito kulo dateng sesami”, artinya melaksanakan ibadah
yaitu melaksanakan kewajiban pembaktian dan pengabdian saya kepada sesama
manusia.[20]
Dari kata mutiara di atas terlihat bahwa bagi Kartono menolong sesama manusia,
melakukan pengabdian dan pembaktian adalah ibadah. Sebagai seorang muslim
beribadah kepada Allah adalah wajib, jika Kartono menganggap bahwa menolong
sesama itu ibadah maka ia sudah mewajibkan bagi dirinya sendiri untuk selalu
menjadi penolong bagi yang membutuhkan.
Ajaran
humanisme Kartono sejalan dengan ajaran humanisme Y.B. Mangunwijaya, baginya
humanisme yaitu keberpihakan kepada manusia yang miskin, tertindas, butuh pertolongan, dan teraniaya.[21] Mangunwijaya mewujudkan
humanismenya dengan membangun yayasan pendidikan, hal ini tidak jauh berbeda
dengan Kartono yang mewujudkan humanismenya dengan membangun balai pengobatan
dan yayasan pendidikan. Mangunwijaya lebih fokus kepada pendidikan, sedangkan
Kartono fokus terhadap pengobatan.
Humanisme
Kartono mengikuti semangat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, Rosulullah
mengajarkan bahwa manusia hidup di dunia mempunyai derajat yang sama dalam
lingkup kehidupan beragama, sosial, ekonomi, dan politik, serta menepis
batas-batas ruang, waktu, dan kekayaan. Menurut Rosulullah semua kelompok,
kelas, dan kebangsaan umat manusia secara prinsipnya adalah sama, terlepas dari
warna kulit atau agama mereka.[22]
Rosulullah
mengajarkan ajarannya berdasarkan Q.S. Al-Hujurat, 49: ayat 13, yang artinya:
“Wahai
manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.[23]
Ayat di
atas sangat jelas bahwa seluruh umat manusia diciptakan dari seorang laki-laki
dan perempuan, jadi tidak dibenarkan adanya saling membeda-bedakan antara satu
dengan yang lainnya. Tidak ada dasar argument yang masuk akal untuk melakukan
diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, kekayaan, atau asal-usul geografis.
Akan lebih logis dan rasional untuk memusatkan segenap upaya berdasarkan
kesamaan asasi seluruh manusia, yakni agar semua manusia menikmati kesamaan hak
dalam semua lapangan aktivitas hidupnya.
Ayat ini
juga mengandung makna bahwa sesama manusia harus saling menghormati, terlepas
dari status sosial atau kekuasaan politik yang dimiliki. Betapapun tinggi atau
rendahnya status seseorang, bangsawan ataupun rakyat jelata, miskin atau kaya,
setiap orang harus diberi kehormatan dan penghargaan sebagai seorang manusia
utuh, tanpa pandang bulu.
Kartono
memang tidak menganggap dirinya humanis, karena baginya untuk mendapat kasunyatan
hal yang terbaik adalah mengabdi kepada sesama manusia, yang kemudian
dengan prinsipnya mengabdi kepada sesama, membuat pemikiran Kartono mengandung
nilai-nilai humanis, muncullah istilah kantong bolong, kantong kosong,
dan sunji sebagai puncak pemikiran Kartono tentang kemanusiaan.
Humanisme
Kartono sejalan dengan pengertian humanisme dalam Encyclopedia Britanica yang
menyebutkan humanisme bukanlah hanya sekedar ilmu, tetapi lebih dari itu,
mengaplikasikannya dengan memberikan perhatian lebih kepada nilai-nilai
kemanusiaan.
Sekilas
humanisme Kartono terlihat seperti humanisme abad pertengahan yang memusatkan
segalanya kepada Tuhan, memang benar humanisme Kartono terlahir karena untuk
mencari kasunyatan dan jumbuhing kawulo gusti. Jadi, semua
pemikirannya terpusat dan tercurahkan kepada Tuhan, tetapi jenis pemikiran
Kartono bukan teologis metafisis seperti halnya abad pertengahan, yang
menyebabkan pemaknaan manusia menjadi spekulatif, dan makna kemanusiaan hilang.
Humanisme
Kartono terlihat seperti teologi pembebasan/transformatif,[24] ia ingin memahamkan kepada
manusia bahwa untuk mencari hakikat hidup di dunia itu tidaklah susah, Kartono ingin
membumikan makna tauhid seperti halnya teologi transformatif. Sejarah teologi
islam sangatlah kelam, karena banyak perang kekuasaan dan politik, untuk
memahamkan kepada manusia awam, tidaklah harus mengenalkan sejarahnya juga,
apabila mereka mengetahui sejarah kalam yang kelam maka akan terjadi pergolakan
dalam hati mereka.
Mengenalkan
kesatuan manusia akan lebih mudah untuk dakwah Islam pada saat itu, seperti
halnya teologi transformatif yang menginterpretasikan doktrin tauhid . Tauhid
tidak hanya bisa diartikan dengan keesaaan Tuhan, tetapi juga bisa diartikan
dengan kesatuan ummat.[25] Dengan kata lain, tauhid
menolak segenap diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta, ataupun kelas. Hal
ini juga yang diajarakan Magnis Suseno, teologi transformatif memiliki kesamaan
dengan teori humanisme Magnis Suseno yaitu humanisme tidak mengenal perbedaan
ras, kasta, dan kelas, karena humanisme menghormati orang lain dalam identitasnya.
Paparan di
atas menggambarkan bahwa Kartono mengajarkan humanismenya tidak dengan
menggembor-gemborkan bahwa dia adalah manusia yang humanis, sebenarnya Kartono
tidak mengajarkan layaknya Guru dan Murid. Kata mengajar identik dengan adanya
Guru dan Murid, padahal Kartono menyatakan bahwa ia tidak mempunyai Guru dan
Murid. Seperti yang terkutip dalam kata mutiaranya Guru sejati.
Terlihat
sangat sulit untuk manusia zaman sekarang mengikuti konsep humanisme Kartono,
tapi itulah humanisme Kartono. Bukan humanisme model Barat tetapi humanisme
model Jawa yang bernilai Islam, Kartono menekankan kepada saling membantu satu sama lain dalam
humanismenya atau ḥablu min al nnâsi. Dari sikap saling membantu maka
akan tumbuh rasa kemanusiaan yang tinggi.
Tiga ilmu
tersebut mengantarkan manusia untuk menjadi pribadi yang humanis, manusia yang
tahu diri bahwa dirinya tidak tahu, bijaksana, terbuka dalam melihat berbagai
kemungkinan, bersifat positif terhadap sesama manusia, anti fanatisme,
kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mengutuk pandangan orang lain,
bersikap terbuka, toleran, menghormati berbagai keyakinan dan sikap, serta
mampu melihat yang positif dibalik perbedaan seperti yang dimaksudkan Frans
Magnis Suseno.
Manusia
hidup di dunia pasti mempunyai tujuan masing-masing, bagi Kartono maksud hidup
di dunia adalah untuk menyempurnakan kebahagiaan sesama manusia, bukannya
menambah penderitaan dan kesengsaraan.[26] Seperti ucapannya
“belajar merasakan kesusahan dan penderitaan sesama berarti belajar
menyempurnakan rasa batin kita dan menyempurnakan rasa perikemanusiaan”.
Kartono juga mengatakan “ngawulo dateng kawuloning gusti, memaju ajuning
urip, memaju ajuning awon”[27],
artinya mengabdi kepada abdi illahi, menyempurnakan kebahagiaan hidup,
menyempurnakan kebahagiaan dalam kejahatan agar lenyaplah segala sesuatu yang
jahat.[28]
Tujuan
hidup Kartono terlihat dari apa yang dikatakannya, belajar merasakan kesusahan bisa
menyempurnakan rasa kemanusiaan manusia, kemudian selanjutnya dikatakan bahwa
dengan mengabdi kepada abdi illahi (sesama manusia) menyempurnakan kebahagiaan
hidup manusia, dan leburlah semua kejahatan. Jadi, jika manusia menginginkan
dunia ini tidak ada kejahatan maka tumbuhkanlah rasa saling mengabdi kepada
sesama, dengan adanya rasa itu, maka kejahatan tidak akan lahir ke dunia. Tidak
ada penganiayaan, dan penyiksaaan antar
sesama manusia.
Sedangkan
bagaimana hakikat hidup di dunia bagi Kartono?, hakikat hidup di dunia bagi
Kartono adalah mengabdi kepada para abdi Allah (sesama manusia) dan berusaha
menyempurnakan kebahagiaan manusia di dunia, tanpa pamrih, tanpa kecemasan,
ketakutan tentang suatu hal. Jujur, tetap dalam hajat, niat, dan tekad, menyerah
kehendak Allah. Tanpa memiliki kesaktian, tanpa membawa ilmu ghaib, Kartono
tidak takut, tidak perlu takut dan khawatir karena payungnya adalah Allah, dan
sandarannya juga Allah.[29]
Hakikat
hidup bagi Kartono adalah mengabdikan diri kepada sesama abdi Allah. Bukannya
Kartono mengesampingkan Allah, tetapi untuk membalas semua karunia Allah yang
telah diberikan kepadanya, ia ingin mengabdikan hidupnya kepada ciptaannya,
supaya mendapatkan kasunyatan, bisa menuju Sangkan Paraning Dumadi dengan
khusnul khatimah,[30] supaya bisa lebih
mengimani Allah Kartono tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim,
karena itulah yang bisa menguatkan tekad dan niatnya.
Pemikiran
Kartono sesuai dengan Q.S. Adz-Zaariyyat: (51)56,[31] yang berbunyi:
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
Artinya; “ dan tidaklah
aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”.
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dan Jin hanyalah untuk
beribadah kepada-Nya. Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan
ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah yaitu ibadah
yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, dan waktunya, seperti Zakat,
Haji, Puasa, dan Sholat. Sedangkan Ibadah ghairu mahdhah yaitu segala
aktivitas lahir dan batin manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Inti dari ibadah adalah mencari keridhoan
Allah Swt.[32]
Kartono mengabdikan dirinya untuk sesama manusia merupakan jenis ibadah ghairu
mahdhoh dan semata-mata bertujuan untuk mencari ridho Allah. Caranya dengan
ilmu kantong bolong, kantong kosong dan sunyi.
Humanisme Kartono tidak
muncul begitu saja, tetapi melalui proses perenungan yang panjang, seperti yag
sudah terpaparkan di atas. Humanisme Kartono lahir dari keinginannya untuk
mencari hakikat hidup di dunia, untuk mencari kasunyatan, untuk ber-manunggaling
kawulo gusti dan untuk menuju Sangkan Paraning Dumadi dengan Iman,
Islam, dan Ihsan. Kartono menerapkan trilogi dalam Islam yaitu iman-ilmu-amal”;[33]
artinya iman berujung pada amal/aksi, atau tauhid itu harus diaktualisasikan
dalam bentuk pembebasan manusia. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi
ujung aktualisasinya adalah manusia.
B.
Humanisme Religius
Model R.M.P. Sosrokartono
Setelah diuraikan panjang tentang humanisme Kartono, dapat dilihat bahwa
humanisme Kartono bukanlah seperti humanisme Barat, yang sekedar segala sesuatu
dipusatkan kepada manusia, misalnya pada masa rennaissance, humanisme
diekpresikan melalui seni Yunani dan Romawi klasik. Humanisme Kartono tidak
hanya sekedar ilmu humaniora ataupun ilmu kemanusiaan lainnya, melebihi itu,
humanisme Kartono mencakup hakikat manusia hidup di dunia.
Humanisme
Kartono mengandung nilai-nilai ibadah yang dalam, sebenarnya nilai-nilai ibadah
itu tidak hanya bisa diaplikasikan
untuk agama Islam, tapi bisa diaplikasikan untuk semua agama, karena pada
hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan, tidak mengajarkan kejahatan.
Memahami
humanisme Kartono sangatlah mudah, karena hakikatnya adalah mengabdikan diri
kepada sesama, tetapi menjalankannya sangatlah susah. Sifat egois manusia
sangatlah dominan, pada umumnya
manusia tidak mau dirugikan dan direpotkan oleh sesama manusia. Sehingga, benar
kata Kartono, untuk mempraktekan ilmunya dalam kehidupan nyata butuh Laku dan
pengorbanan.
Hakikat
manusia hidup di dunia adalah kembali kepada Gusti Allah, humanisme
Kartono juga mengajarkan nilai-nilai itu, tidak hanya asal-asalan membantu
sesama, tetapi mempunyai tujuan yang sangat sakral.
Berdasarkan
penjelasan humanisme Kartono di atas dapat penulis katakan bahwa model
humanisme Kartono adalah humanisme religius, humanisme religius yang bersifat
Islam dan bernuansa Jawa, atau bisa dikatakan humanisme kejawen. Karena,
Kartono adalah pengikut agama Islam dan sekaligus orang Jawa.
Kartono
pengikut agama Islam yang taat, pemikiran humanismenya pun tidak bergeser dari
ajaran agama Islam, karena ia sangat menyadari manusia memang merupakan ciptaan
Allah yang paling sempurna, dan manusia adalah khalîfah di bumi.[34] Sebagai seorang khalîfah
atau pemimpin, manusia di tuntut untuk menjalin hubungan yang seimbang
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Hubungan
manusia dengan Tuhan merupakan hubungan yang sangat sakral, untuk mencapai itu
manusia harus bisa menyeimbangkan hubungan antar sesama dan alam. Bagi Kartono,
untuk bisa mencapai hubungan yang sempurna dengan Tuhan dan hubungan yang baik
dengan alam, maka manusia harus menekankan hubungan dengan sesama manusia.
Ajaran
humanisme Kartono menggambarkan bahwa manusia sebagai seorang pemimpin
mempunyai tanggung jawab yang besar, setiap manusia di beri kewajiban untuk
menyembah dan berbakti kepada Allah, tetapi di sisi lain manusia yang sengsara,
dan tertimpa musibah di Bumi juga membutuhkan bantuan dari sesama. Sehingga,
setelah perenungan dan Laku yang panjang dan lama, akhirnya Kartono
memfokuskan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan dengan mengabdikan dirinya
kepada sesama. Berhubungan baik kepada sesama, membuat manusia juga akan
bersikap arif terhadap alam, dan bahkan akan menjadi manusia yang sempurna atau
insan kamil.[35]
Kartono
menyadari bahwa dirinya hidup di lingkungan Jawa dan bahkan mempunyai pedoman
yang berbunyi; “ingkang tansah kulo mantepi inggihpuniko agami lan kejawen
kulo”, artinya yang selalu saya mantapi adalah agama dan jiwa Jawa saya.[36] Dari perkataannya,
terlihat bahwa yang menjadi pedoman hidup Kartono adalah agama dan kejawennya.
Kartono
adalah seorang muslim sejati dan seorang Islam tulen.[37] Islam mengandung arti
jiwa ikhlas dan pasrah kepada Tuhan yang Maha Esa, atas keselamatan di dunia
dan akhirat. Islam juga berarti berserah diri kepada Tuhan tanpa syarat. Islam
berarti agama Allah yang diwasiatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk megajarkan
syari’at dan pokok agama kepada manusia.[38] Sejak kecil Kartono rajin
belajar Al-Qur’an dan hadis Nabi, apalagi ia adalah keturunan seorang tokoh
Islam di Teluk Awur, yang sangat dihormati dan disegani. Teluk Awur terletak di
sebelah utara pulau Jawa, tepatnya di daerah Jepara, tokoh Islam itu bernama
kyai Modirono, beliau adalah pengikut agama Islam yang shaleh, taqwa,
berjiwa ikhlas, dan pasrah sedalam-dalamnya kepada Tuhan.[39]
Kartono
sangat bangga menjadi orang Jawa, sebagaimana ucapannya:“ Ingkang dados
polanipun lampah kulo inggih punika Jawi bares, Jawi deles, Jawi sejati”,[40] artinya yang menjadi pola
perilaku saya hanya ini; Jawa jujur, Jawa asli, Jawa sejati.[41] Sedangkan kejawen menurut
Kartono adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepribadian bangsa
Indonesia umumnya dan suku Jawa khususnya. Definisi lain dari kejawen adalah
sebuah kepercayaan yang terutama di anut oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya
yang menetap di Jawa, ajaran kejawen menekankan pada cara keseimbangan hidup.[42]
Menurut
Taufik Abdullah akulturasi budaya Jawa dan Islam mengambil bentuk dialogis,
sehingga dipahami perkembangan Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bentuk
struktur sosial-agama.[43] Dapat di ambil hipotesa, kejawen
merupakan sinkretisme dari budaya Jawa dan tasawuf Islam.
Adapun
Islam kejawen mempunyai beberapa prinsip, dari prinsip tersebut akan
terlihat, adakah ajaran Kartono yang sesuai dengan prinsip tersebut?. Pertama,
manembah ing gusti, manembah merupakan kunci pokok peribadahan setiap
keyakinan. Inti pokok beribadah adalah manembah. Agama mengenal ibadah
dengan sembahyang, sedangkan kebatinan cenderung menyebutnya manembah.
Kedua istilah tersebut sebenarnya mirip, sebab terkait dengan hubungan manusia
dan Tuhan. Agama dan kebatinan tidaklah sama, keduanya mempunyai perbedaan
khusus, agama memberi tekanan kepada panembah sedangkan kebatinan memberi tekanan kepada
budi luhur dan kesempurnaan hidup.[44] Gusti atau Allah
di mata orang Jawa terletak di dalam hati dan hidup adalah penyembahan
terus-menerus kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan bukanlah sosok hakim yang jauh dan
tak terjangkau, tetapi sebaliknya, Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada
yang lainnya.[45]
Kedua,
sepi ing pamrih lan rame ing gawe, artinya mengosongkan
ambisi pribadi
yang dapat merugikan orang lain dan suka
bekerja atau cepat kaki ringan tangan. Pamrih
menghalang-halangi tercapainya kebaikan dunia dan kemurnian hidup.[46] Pamrih terlihat dalam
tiga nafsu, yaitu selalu ingin menjadi orang pertama, menganggap dirinya selalu
benar, dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri.[47]
Sikap sepi
ing pamrih yang telah penulis jelaskan di atas sangat mempengaruhi
pemikiran humanisme Kartono, sikap ini melahirkan ilmu kantong bolong, kantong
kosong, dan sunji. Sikap ini bisa ditunjukkan kepada sesama
manusia maupun kepada Allah. Bagi beliau orang yang pamrih sama dengan
orang yang lemah.[48]
Rame ing
gawe mengandung maksud suka bekerja atau cepat kaki
ringan tangan. Orang yang berjiwa rame ing gawe selalu
menggunakan maksudnya untuk bekerja serta pantang menganggur. Negara akan maju
dan berkembang dengan keringat orang yang suka bekerja. Produktivitas kerja
akan menolong orang lain untuk sama-sama merasakan rembesan keringat hasil
kerjanya. Di mana saja orang dapat memberi jika mempunyai. Kalau tidak punya
maka apa yang lantas akan diberikan, selain kerja yang tekun. Kerja keras juga merupakan
sarana untuk berbuat baik dan berguna bagi masyarakat dan merupakan perilaku
yang teramat mulia. Orang akan menghargai pihak lain yang mau bekerja dengan
tekun dan tulus. Orang yang rame ing gawe tidak akan
merongrong pihak lain, apalagi jika diimbangi dengan sikap sepi ing pamrih, tidak mengharapkan balas jasa.[49]
Ketiga, menang tanpa ngasorake, sugih tanpa bandha artinya menang tanpa
mengalahkan, kaya tanpa harta. Kartono tidak pernah melawan penjajah dengan
cara mengalahkan dan merendahkan, beliau lebih memilih untuk berhadapan satu
sama lain, lebih memilih untuk bermusyawarah karena dengan bermusyawarah maka
tidak akan ada peperangan, pertarungan, kekerasan, dan kematian. Hal ini di
perjelas dalam ajaran beliau:
“Anglurug tanpa bala, tanpa gaman,
Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang,
Menang, tanpa mejahi tanpa nyakiti,
Wenang, tan ngrusak ayu, tan ngrusak
adil,
Yen unggul, sujud bakti
marang sesami.[50]
Artinya; melawan musuh
tanpa tentara, tanpa senjata, menundukkan tanpa perang tanpa pedang, menang tanpa
membunuh tanpa menyakiti, berkuasa tanpa merusak kebahagian dan keadilan, Jika
menang, bersujud dan berbakti kepada sesama manusia.
Pada akhir kutipan di
atas terdapat kalimat “Yen unggul, sujud bakti marang sesami”, hal ini
memberi penjelasan bahwa ajaran Kartono pada akhirnya adalah untuk kepentingan
kemanusiaan. Hubungan antar manusia sangat ditekankan Kartono guna mencari
hakikat hidup.
Sugih tanpa bondho, sepintas yang demikian itu tidak logis jika ditilik dari sudut prinsip
ekonomi dalam alam materialisme. Akan tetapi, dipandang dengan kacamata idealisme mempunyai arti yang lebih dalam, ialah
kekayaan batin (innerlijke rijkdom). Supaya jangan berat sebelah, di sini akan digambarkan perbedaan antara kekayaan lahir dan batin, dengan
tidak perlu mengatakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam hal ini titik
berat terletak kepada cara memahaminya dan tergantung pula pada hajat hidup
menurut kebutuhannya.
-
Kekayaan lahir
berdasarkan kebendaan, biasanya hanya memberi kepuasan nafsu, jika tidak disertai
kemampuan menguasai diri sering membawa keruntuhan yang merugikan lahir dan
batin.
-
Kekayaan batin
berdasarkan budi pekerti, dapat mendatangkan kebahagiaan, jika disertai iman
yang teguh dapat juga terlaksana apa yang dihajatkan dalam batas-batas yang layak,
bahkan sering memberi manfaat bagi orang lain, akan merupakan keuntungan lahir
maupun batin.
Prinsip
Islam kejawen sugih tanpa bondho tertulis pada nisan Kartono di
Sidomukti, Kudus yang berbunyi:
“Sugih tanpa bondho,
Digdaya tanpa adji,
Ngulurug tanpa bala,
Menang
tanpa ngasorake.[51]
Artinya;
kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, melawan tanpa tentara, memang tanpa
merendahkan. Ajaran Kartono ini tidak mengajak orang-orang
Indonesia jadi orang yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah
dipermainkan oleh mereka yang berharta. Akan tetapi, sesungguhnya kembali pada
penjelasan bahwa orang kaya itu bukanlah karena banyak harta bendanya,
melainkan orang kaya itu adalah orang yang kaya hatinya, dan yang kaya
mentalnya.
Keempat, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa
bala, prinsip yang keempat ini sudah ada dalam ajaran beliau yang ditulis di nisannya.
Beliau mengajarkan orang yang sakti mandraguna tanpa harus memiliki ajian,
jimat, atau benda-benda keramat lainnya. Sakti karena dirinya sendiri, bisa
karena kecerdasan, karena ketaqwaan karena keunggulan dalam hubungan antar
manusia dan lain sebagainya. Dengan demikian, seseorang dapat menaklukkan lawan
bukan dengan kekerasan tetapi justru dengan kasih sayang.
Dari keempat prinsip Islam kejawen yang penulis paparkan di atas,
terlihat bahwa Kartono juga menjalankan prinsip tersebut semasa hidupnya.
Kartono berusaha semaximal mungkin untuk menjalankan prinsip tersebut dan
mamahamkan kepada masyarakat pada saat itu. Jadi, antara Islam kejawen dan
ajaran Kartono tidak ada pertentangan. Hal ini membuktikan bahwa Kartono adalah
pengikut Islam kejawen. Sehingga, ajaran humanismenya yang sudah penulis
ungkapkan di atas yaitu, humanisme religius, beragama Islam dan bernuansa Jawa,
singkatnya humanisme Islam kejawen.
B. Implementasi Ajaran
Humanisme R.M.P. Sosrokartono dengan Kehidupan Kekinian di Indonesia
Ajaran
humanisme Kartono mudah dipahami dari berbagai kalangan, baik kalangan rakyat,
akademisi, dan pemimpin, karena pada intinya ajaran humanisme Kartono adalah
mengabdikan diri kepada sesama manusia untuk mencari hakikat hidup di dunia.
Kekinian
yang dimaksud di sini adalah masa modern yang diwarnai pemikiran modern. Ciri
pemikiran modern adalah sangat diagungkannya rasio, dan runtuhnya otoritas
gereja. Pemikiran modern dekat dengan ilmu pengetahuan yang praktis dan jauh
dari sisi agama.[52]
Menurut Sayyed
Hossein Nasr masyarakat modern adalah orang-orang yang maju peradabannya akan
tetapi hilang spiritualnya.[53]
Masyarakat modern telah terjebak
terhadap pemikiran rasionya, menurut Herbert Marcuse rasionalitas masyararakat
modern merupakan biang keladi segala bentuk penindasan dan perbudakan manusia
atas manusia, dan eksploitasi alam secara berlebihan, rasionalitas masyarakat
modern membuat ilmu pengetahuan tidak bernilai.[54]
Masyarakat
dunia pada umumnya sudah bergeser dari pemikiran modernis yang mengunggulkan
rasio kepada pemikiran post-modernis yang mengunggulkan hati dan rasa, tetapi
Indonesia masih terjebak pada pemikiran modernis. Ketika Negara lain sudah
mulai membenahi pola pikirnya, masyarakat Indonesia masih terjebak dalam
pemikiran modern.
Sejarah
Indonesia melahirkan pemikir-pemikir hebat, seperti Ir. Sukarno, Muhammad
Hatta, Kiai Hasyim Asy’ari, Raden Ronggowarsito, Ki Ageng Selo, Sunan Kalijogo,
R.M.P.Sosrokartono dan masih banyak sekali pemikir-pemikir hebat yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu.
Ajaran-ajaran
para pemikir Indonesia tidak pernah mengajarkan hal yang merugikan antara
manusia satu dengan yang lainnya. Kartono sebagai tokoh yang penulis angkat
dalam penelitian ini banyak mengajarkan hal tentang kemanusiaan, beliau tidak
membenarkan adanya penindasan, eksploitasi, maupun pelecehan sasama manusia.
Demi mencapai manusia sempurna dalam mencari hakikat hidup ajaran kemanusiaan
yang menjadi kunci beliau.
Manusia
modern melupakan hal spiritual, sehingga dalam benak mereka hanya kepentingan
duniawi yang menjadi tujuan hidup mereka. Mengejar kepentingan duniawi membuat
mereka terjebak dalam kenistaan dan membuat hal-hal yang merugikan sesama
manusia. Mengejar duniawi menumbuhkan penyakit hati yang membuat manusia
sengsara, tetapi mereka tidak menyadari itu.
Banyak hal
yang terjadi di Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, prostitusi,
penculikan, pencurian, penipuan, korupsi, terorisme, pengeboman, dan
eksploitasi adalah dampak dari masyarakat Indonesia yang terjebak oleh
pemikiran modern dan kejahatan itu semua merupakan bentuk dehumanisasi,
kejahatan yang sangat merugikan manusia. Pemikiran modern membuat manusia jauh
dari agama dan tidak pernah menggunakan hati dan perasaan dalam melakukan
segala sesuatu.
Contoh
beberapa bentuk dehumanisasi yang ada di Indonesia, kasus Wibowo yang mengintip
siswi SMK yang sedang mandi, Wibowo akhirnya dikeroyok anggota TNI yang
berjumlah 14, dan meninggal setelah dirawat beberapa jam di ruang ICU Rumah
Sakit Soedjono, Magelang.[55] Peristiwa penyerangan LP
Cebongan, Sleman, tersangka terdiri dari 14 orang, sebelas diantaranya diduga
anggota Kopassus. Peristiwa ini mengakibatkan 4 pidana tewas, penganiayaan terhadap beberapa petugas,
menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi Narapidana lainnya, merusak, dan
merampas CCTV, Server, monitor, dan Handphone. Kasus Korupsi
pencucian uang yang dilakukan oleh Luthfi Hassan Ishaaq dan Ahmad Fathanah.[56] Korupsi proyek simulator
SIM (Surat Izin Mengemudi) yang dilakukan oleh Irjen Djoko Susilo.[57]
Pengintipan,
pembunuhan, dan korupsi merupakan contoh kasus yang ada di Indonesia yang
sangat tidak manusiawi. Kasus seperti itu merugikan sesama manusia, membuat
ketidaknyamanan, dan yang pasti turunnya moral bangsa Indonesia.
Kartono
meninggalkan ajaran yang relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang,
bagi kartono hal yang menyebabkan adanya masalah pembunuhan, pemerkosaan, dll.,
seperti yang telah diungkapkan di atas adalah karena sikap manusia yang tidak
mendapatkan kepuasan hidup dan jauh dari Tuhan mereka.[58] Sehingga turunlah moral
manusia dan melakukan tindak kejahatan yang merugikan sesama manusia.
Masyarakat
Indonesia sekarang sedang ditimpa penyakit masyarakat modern yang tidak pernah
mereka sadari, kepuasan hidup yang dicari masyarakat Indonesia tidak pernah
digapai, sehingga membuat mereka menyalahkan Tuhan dan jauh dari Tuhan. Jauh
dari Tuhan membuat manusia tega berbuat hal jahat yang tidak bermoral,
merugikan diri sendiri maupun sesama manusia.
Ajaran
humanisme Kartono merupakan salah satu solusi permasalahan bagi masyarakat
Indonesia, karena humanisme Kartono lahir dari latar belakang masyarakat
Indonesia sendiri pada saat zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Kartono
sendiri juga asli rakyat Indonesia, sehingga pemikirannya pun mudah untuk
dipahami dan diaplikasikan rakyat Indonesia.
Cara untuk menghilangkan rasa ingin mencari
kepuasan hidup di dunia yaitu manusia
harus mempunyai sikap trima mawi pasrah dan ikhlas
marang apa sing wes kelakon, trima apa kang dilakoni, pasrah marang apa bakal
ana.
Artinya; menerima dengan pasrah dan ikhlas terhadap apa yang sudah terjadi,
menerima apa yang sudah dijalani, ikhlas terhadap apa yang akan terjadi.[59]
Dengan membiasakan sikap menerima dengan ikhlas dan pasrah dengan apa yang akan
terjadi, dengan apa yang akan diberikan Tuhan-Nya, maka masalah-masalah
kejahatan di Indonesia akan berkurang.
Membiasakan sikap
tersebut akan menumbuhkan rasa kemanusiaan yang tinggi dan menumbuhkan
kesadaran dari dalam hati untuk tidak berbuat kejahatan, selama ini kejahatan
di Indonesia tidak bisa di selesaikan dengan baik, karena Indonesia hanya
mengandalkan hukum Negara yang tidak memberikan rasa jera, hukum sudah tidak
bersifat mengadili, tapi hukum seperti perdagangan bisa dijual belikan, rasa
jera tidak melekat di hati para pidana atau orang yang berbuat kejahatan, akan
tetapi rasa ingin lebih berbuat kejahatan yang lebih kejam yang melekat di hati
para pelaku kejahatan.
Hal ini tidak hanya sekedar
dari para manusia yang berbuat kejahatan, tetapi dari pemimpin bangsa Indonesia
yang tidak bisa memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Para pemimpin memang
mempunyai kadar pengetahuan, ilmu, dan kepandaian yang lebih dari rakyatnya,
tetapi mereka hanya pandai dalam hal teori, pandai dalam hal tulis-menulis,
aplikasi di masyarakat hampir tidak ada. Mereka tidak bisa me-manunggalkan antara
ilmu dan laku, seperti yang diajarkan Kartono. Tidak bisa
mengaplikasikan Iman, Islam, dan Ihsan secara total, seperti yang diajarkan
oleh agama Islam.
Bagi
Kartono ilmu dan laku adalah satu paket, tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri. Ketika ilmu berjalan sendiri makan ilmu itu pincang,
dan bahkan terkadang menimbulkan pengetahuan yang tidak sempurna. Mencari
kepuasan dunia tidak akan ada habisnya dan akhirnya kepuasan dunia tidak bisa
di bawa manusia ke akhirat.
Bagi
Kartono kepuasan dunia bukanlah harta, istri, ataupun anak, tetapi bagaimana
Kartono bisa menolong dan memberikan kepuasan hati kepada sesama manusia. Jika
hal ini di aplikasikan oleh masyarakat Indonesia, maka terciptalah Negara yang
aman, santosa, dan sejahtera. Karena setiap individu tidak memikirkan
kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain menjadi hal penting dan bahkan
untuk menuju manusia yang sempurna, untuk mendapatkan hakikat hidup di dunia.
Ilmu Kantong
Bolong, Kantong Kosong, lan Ilmu Sunji merupakan
sarana untuk memahami kemanusiaan, untuk mencetak bangsa yang humanis,
menciptakan jiwa pengabdian antar sesama manusia dan mencetak bangsa yang
menghargai sesama manusia. Dengan menciptakan jiwa pengabdian antar sesama dan
menghargai sesama manusia, tidak akan ada masalah kejahatan yang merugikan
manusia dan membuat manusia sengsara. Mungkin kejahatan sesama manusia tidak
bisa di hapuskan secara total, tetapi paling tidak dengan menumbuhkan rasa
kemanusiaan seperti ajaran Kartono maka akan tercetak manusia-manusia yang
humanis.
[2]Hendro Darmawan, dkk., Kamus
Ilmiah Populer, cet. III (Yogyakarta:
Bintang Cemerlang, 2011), h. 219.
[3]Jujun S.Suriasumantri,
Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, cet. I ( Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), h. 324.
[4]Paul Erwards, The Encyclopedia
of Philshophy, Vol. III ( New York: Macmillan Publishing, 1972), h. 54.
[6]John
Tondowidjojo, Sosrokartono dan Spiritualitas dari Abad ke Abad
(Surabaya: Yayasan Bina Tama, 2012), h. 115.
[9]Muhammada Ali, Ilmu Kantong
Kosong, Kantong Bolong, dan Sunji R.M.P. Sosrokartono ( Djakarta: Bhratara,
1966), h.
11-12.
[10] Ibid.
[13] Ibid.
[20] Ibid. h: 202.
[22] Afzalur Rahman, Ensiklopedi
Muhammad: Muhammad sebagai pejuang kemanusiaan ( Bandung: Pelangi Mizan, 2009), h. 13-14.
[24] Teologi transformatif atau
pembebasan muncul karena menganggap teologi klasik islam dulunya sangat
bersifat deduktif-ahistoris, teologi hanya sebatas ilmu ketuhanan yang bersifat
abstrak dan metafisik, tidak merambah ke ranah kemanusiaan, dan teologi klasik
cenderung berpihak kepada kalangan elit.
Teologi pembebasan ingin mengubah paradigma teologi yang sangat tidak
bersifat manusiawi, teologi ini bersifat induktif-historis, hal ini dimaksudkan
untuk mengembangkan dan mengkaitkan teologi dengan persoalan kontemprer manusia,
dan yang pasti teologi ini berpihak kepada kelompok marjinal, dan
tertindas. Agus Nuryatno, Islam,
Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender ( Studi Pemikiran Asghar Ali Engineer)
(Yogyakarta: UII Press, 2001), h. xiii.
[25] Mansour Fakih, Mencari Teologi Untuk Kaum Tertindas (Khidmat dan Kritik
untuk Guruku Prof. Dr. Harun Nasution
dalam Refleksi, h. 174.
[30] Seperti yang dikatakan Purwadi,
bahwa hakikat manusia hidup di dunia adalah untuk menuju Sangkan Paraning
Dumadi yaitu asal mula hakikat kehidupan serta tujuan utamanya adalah mencapai
khusnul khotimah yang berujung pada kenikmatan surga. Purwadi, Manunggaling
Kawulo Gusti, h. v.
[32]M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an , JIlid
13 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h.
356.
[33]Muhammad Sufyan, “Teologi
Humanisme”” artikel diakses 26 Juni 2013 dari http://www.teologi-humanisme.html.
[34] Lihat Q.S al-Baqarah: 30, yang
artinya “Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para malaikat,
Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di Bumi. . .” Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 7.
[35] Menurut Abdul Karim al-Jilli
manusia yang sempurna adalah manusia yang telah berhasil merealisasikan seluruh
kemungkinan yang ada, potensi Ketuhanan yang ada pada dirinya. Manusia sempurna
atau insan kamil merupakan cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya
sebagai refleksi gambaran nama-nama dan sifat-Nya. (Suwardi
Endraswara, Kebatinan Jawa , h. 210). Murtadha Muthahari juga menefinisikan bahwasannya Insan Kamil yaitu bukanlah filsuf yang
suntuk memeras akal, melupakan kata hati, bukan pula sufi yang tenggelam dalam
samudra cinta, yang melupakan diri dan lingkungannya, tidak pula para penguasa
yang atas nama Tuhan memupuk kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan, bukan pula
kaum humanis yang demi rasa kemanusiaannya mengabaikan tugasnya sebagai hamba
Tuhan, tetapi manusia sempurna adalah manusia yang mampu memperdayakan nalar dan
cinta untuk mengenal Tuhan. Murtadha Muthahari, Potret Insan Kamil; Meneropong
Karakteristik Manusia Sempurna (Yogyakarta: Bina Media,2005), h. 53.
[43] Taufik Abdullah, “Islam dan
Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara ( Jakarta: LP3ES, 1989), h. 58.
[44] Suwardi
Endraswara, Kebatinan Jawa dan Jagad
Mistik Kejawen (Yogyakarta: Lembu Jawa, 2011), h. 70.
[45] Niels Mulder, Mistisisme
Jawa; Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis ( Yogyakarta: LKis, 2001), h. 33.
[50]R.M.P. Sosrokartono, Laku Lan
Maksudipun, Binjei, 12 November 1931.
[51] Indy G. Hakim, Tafsir
Surat-surat & Mutiara-mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono (Pustaka Kaona,
April 2008), h: 15.
[52] Bertrand Russel, Sejarah
Filsafat Barat, trj. Sigit Jatmiko, dkk., Cet. II (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h. 645.
[53] Sayyed Hossein Nasr, Islam
Tradisi Ditengah Kancah Dunia Modern ( Bandung : Pustaka, 1987), h. 3.
[54] Listiyono, dkk., Epistemologi
Kiri; kritik Herbert Marcuse Atas Selubung Ideologis di Balik Rasionalitas
Manusia, Cet. IX (Jakarta: ar Ruzz
Media, 2012), h. 105.
[55] “Intip Siswi SMK, Wibowo Tewas
Dikeroyok Anggota TNI” Suara Merdeka, 15 April 2013.
[56]“Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia ( Komnas HAM) Menemukan Hasil Berbeda Dalam Investigasi Kasus
Penyerangan LP Cebongan, Sleman dan Dua Istri Luthfi Bungkam”, Suara Merdeka,
13 April 2013.
[57] “Djoko Gampar Legimo”, Suara
Merdeka, 1 Juni 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar