Rabu, 19 November 2014

MAKNA DAN SIMBOL MITONI-bab IV




 
BAB IV
NILAI-NILAI FILOSOFIS DALAM TRADISI MITONI DAN RELEVANSINYA TERHADAP ISLAM
  1. Tradisi Mitoni
a.       Makna Tradisi Mitoni
Dahulu masyarakat Boyolali mengenal tiga teradisi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Mitoni atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Mitoni atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap  ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu  genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa.[1]
No
Nama Hari
Neptune
No
Nama Pasaran
Neptune
1
Akhad
5
1
Pon
7
2
Senin
4
2
Wage
4
3
Selasa
3
3
Kliwon
8
4
Rabu
7
4
Legi
5
5
Kamis
8
5
Pahing
9
6
Jum’at
6



7
Sabtu
9



64
 
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari semuanya memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.
Tabel 2. Piranti dalam Tradisi Mitoni.[2]
No
NamaRitual
Waktu Seharusnya
Piranti
1
Neloni
Tiga bulan dari masa mengandung
Takir plontang 4 buah
Golong 7 buah
Jajan pasar
Jenang abang
Jenang putih
Jenangkuning
Jenang ireng
Jenang sengkolo
2
Mitoni
Enam bulan dari masa kehamilan
Woh-wohan
Punar 2 buah
Kembang setaman
Sesaji dakripin(Suro ganep)
Daun dadap srep
Daun beringin
Daun andong
Janur
Mayang



Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
3
Procotan
Delapan bulan dari masa kehamilan
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
Jenang inthil-inthil
Jenang sewu (dawet)
Jenang sempuro
Jenang kembo
Jenang procot
Jenang arang-arang kambang
Ketupat lepet

Upacara tersebut dimulai dengan acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan selanjutnya dukun ngujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh dukun. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara mitoni. Prosesi mitoni inilah yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya tidak boleh dilanggar. Sebelum acara dimulai dukun menata beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah yang punya hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah kembang setaman diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jarit yang telah tertata. 
Dukun membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk ducapkan oleh shohibul hajat. Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”[3]
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit dan bersamaan dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.[4]
No
          Jenis Kain Batik
Maknanya
1
Sidomukti
Kebahagiaan
2
Sidoluhur
Kemuliaan
3
Truntun
Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4
Parang Kusuma
Perjuangan untuk hidup
5
Semen Rama
Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
6
Udan Riris
Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam kehadirannya di masyarakat
7
Cakar Ayam
Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri.


Parang Kusuma
 
Truntun
 
Sido Mukti
 
Sido Luhur
 
      
Cakar Ayam
 
Udan Riris
 
Semen Rama
 
    
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan kepada para undangan. Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu mitoni maka langsung melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji dukun ngujubne dan disaksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan doa dan memakan hidangan yang ada.
b.      Rangkaian Acara Mitoni[5]
1.      Pembacaan Ayat Suci al Quran
2.      Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami-istri pada orangtuanya.
3.      Siraman
       Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dipakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4.      Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)[6]
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban: “dereng pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab: “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebaiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.
pantas
 
belum pantas
 
 
5.      Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak balak.
6.      Brojolan[7]
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna-Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7.      Angkrem[8]
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan.
8.      Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek) dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat. Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan telur di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
c.       Makna Mitoni
Dari berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual mitoni demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan keselamatan. Masyarakat Jawa menganggap mitoni sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Tradisi ini merupakan kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas suku Jawa Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan fungsi selamatan mitoni adalah:[9]
a.    Mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya).
b.    Menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, ora ono opo-opo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (mitoni) menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir asosiatif.
Pada hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan Yang Maha kuasa). Sebagaimana ungkapan: “Jabang bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo”. Anak yang dikandung akan terlahir dengan mudah, sehat, selamat, fisik yang sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti Jawa yang selalu memproses diri melalui pensucian diri untuk memohon kepada yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt.


  1. Nilai-Nilai Filosofis dalam Tradisi Mitoni
a.       Nilai Moral
Moral adalah aturan yang bersumber dari hati nurani untuk membimbing perilaku dan cara berpikir.[10] Meningkatkan kualitas moral dimulai dari kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri. Ketika dalam hati nurani terisi nilai-nilai negatif yang tidak mampu membedakan antara benar dan salah, maka diri akan menjadi pencipta bencana, yang setiap saat dapat memutarbalikkan benar menjadi salah atau salah menjadi benar. Nilai-nilai positif akan menciptakan keunggulan moral baik. Dan hasilnya, diri dengan moral baik akan menjalankan etika dan integritas pribadi dengan sepenuh hati.
Manusia harus memiliki hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah melalui empati, akan menjadikan diri sebagai sumber energi positif untuk melayani kehidupan sosial yang penuh dinamika. Hati nurani adalah penghasil moral, dan saat hati nurani diisi dengan hal-hal dan nilai-nilai positif, maka hati nurani akan menghasilkan kualitas moral yang cerdas untuk memutuskan apa yang baik, apa yang buruk, apa yang benar, apa yang tidak benar, apa yang adil, apa yang tidak adil, apa yang manusiawi, dan apa yang tidak manusiawi. Pada akhirnya, kualitas moral yang baik akan memiliki empati dan toleransi dalam melayani kehidupan yang beragam.
Kualitas moral yang baik akan menghasilkan kehidupan terbaik. Kualitas kehidupan terbaik dihasilkan dari kreatifitas dalam aturan moral yang baik. Jadi, diri seperti berlari di alam bebas untuk menemukan tujuan akhir yang telah direncanakan, bukan seperti berlari di atas treadmill, dan hanya terus-menerus berlari dengan rajin, sebatas jarak dan ukuran dari treadmill. Maksudnya, kualitas kehidupan terbaik tercipta dari akal dan emosi yang kreatif dalam memanfaatkan potensi tak terbatas dari kehidupan. Dan semua itu tetap terikat dalam kualitas moral yang mengekspresikan diri untuk kemanusiaan, toleransi, cinta, kepedulian, dan akal baik.
Semua yang terbaik dalam hidup dihasilkan dari cara menggunakan akal baik untuk mengundang kebaikan ke dalam hidup. Kecerdasan visi untuk bergerak ke arah yang dipahami akan membuat diri menikmati hidup. Hidup adalah perjalanan untuk memperluas kesadaran diri, agar diri dapat memahami keberadaan dirinya dalam kehidupan ini. Dan kesadaran diri yang baik tercipta dari kesadaran hati nurani untuk memperkuat nilai-nilai kehidupan baik ke dalam dirinya.
Tidak ada seorang pun yang dapat mengontrol setiap hal yang masuk ke dalam pikiran bawah sadar. Namun, diri dapat melakukan upaya dengan membangun tentara kesadaran diri, untuk berpatroli mengawasi lingkungan mentalnya dari sabotase oleh hal-hal yang tidak diinginkan. Diri memiliki kekuatan untuk menerima atau menolak setiap hal yang masuk ke dalam pikirannya. Dan untuk itu, diri harus sangat sadar bersama integritas pribadi yang kuat, dan tak tergoyakan oleh hal apa pun. Diri harus memiliki tanggung jawab secara sadar, untuk mengubah hal-hal yang tidak sesuai dengan kualitas moral yang diinginkan.
Manusia tidaklah sempurna, dan oleh karenanya, manusia harus belajar seumur hidup dari sumber positif manapun, dalam kesadaran diri yang tinggi, untuk menyempurnakan dirinya. Jadilah pembelajar setiap hari untuk membuat diri terdalam menjadi semakin positif dan kuat, dan tak mudah goya atau gentar oleh hal negatif apa pun. Pastikan diri telah memiliki nilai-nilai kehidupan yang diinginkan untuk membuat hidupnya sesuai dengan kualitas moral yang diinginkan. Setiap hari tegaskan nilai-nilai pilihan ke dalam diri. Hidup adalah sebuah perjalanan untuk dinikmati dan disyukuri dalam hati dan pikiran, yang selalu berterima kasih kepada realitas Tuhan, dan selalu menjadi pribadi yang tidak masuk dalam permainan celaan dan pujian, tapi masuk dalam permainan untuk merasa bahagia dengan semua situasi dan kondisi.
Dalam tradisi mitoni yang sudah dipaparkan bahwa terdapat nilai moral yang terkandung didalamnya. Tradisi tersebut mengajarkan pada kita untuk bersikap baik dan berbudi luhur dalam berperilaku. Sepertihalnya ibu yang mengandung sang calon bayi dan bapak sebagai pemimipin dalam sebuah keluarga. Bila sikap kedua orang tua ini berperilaku baik maka tidak menutup kemungkinan calon bayi yang akan dilahirkan mirip dengan orang tuanya. Begitu sebaliknya, apabila saat mengandung bayi, seorang ibu selalu berkata buruk dan bertingkah laku kurang sopan maka anak yang akan berpengaruh pada kehidupan anaknya kelak.
b.      Nilai Religius
Istilah religi pada umumnya mengandung makna kecendruangan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari nilai dan makna. Kekuatan alam semesta itu dianggap suci, dikagumi, dihormati dan sekaligus ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa "yang suci" itu ada dan diluar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia meminta perlindungan-Nya dengan menjaga keseimbangan alam melalui berbagai upacara. Istilah religi di sini menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuanya, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem gagasan, sistem tindakan dan artefak.
Definisi Religi yang melihat sebagai suatu upaya simbolis dikemukakan oleh J. Van Ball. Religi adalah suatu sistem simbol-simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya.[11] Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian religi, namun pada prinsipnya religi harus memuat lima unsur yaitu: adanya emosi, keyakinan, upacara, peralatan dan pemeluk atau para penganut.
Suatu upacara atau tindakan simbolis tertentu seperti berdoa menandahkan tangan ke atas bukan hanya sekedar gerakan kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut sering kali merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan makna. Demikian definisi tentang religi itu yakni definisi yang memeri memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan prilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri.[12] Ada Empat Fungsi religi yaitu:
1.                Membantu dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat.
2.                Menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu.
3.                Religi memainkan peran yang besar bagi individu-individu karena religi menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacoan yang dihadapi manusia.
4.                Religi mampu menyajikan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga menciptakan rasa aman dan pencapaian tujuan kebenaran bersama.

Agama merupakan suatu kepercayaan manusia yang diyakini dalam hati dan disimbolkan dengan berbagai tindakan yang berhubungan langsung kepada sang Pencipta, dan hubungan itu tak bersyarat dan tanpa batas. Agama adalah suatu kekekalan yang abadi oleh masing-masing individu. Manusia mempercayai bahwa agama akan menjawab segala macam pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia.  Tidak terlepas dari pengertian agama secara umum, setiap agama memiliki cara pandang dan peribadatan yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Tidak terkecuali agama islam, yang konon banyak sekali memiliki berbagai ritual keagamaan yang sangat unik dan menarik. Agama islam sendiri setiap daerah memiliki cara peribadatan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Tak terlepas dari letak geografis Indonesia yang sangat luas dan memiliki berbagai macam budaya,suku,pola hidup dan lain-lain.
Agama islam mengalami perubahan terhadap ritual yang dilakukan masyarakat karena adanya pengaruh budaya Indonesia. Jika dalam suatu masyarakat memiliki budaya lokal yang khas maka secara tidak langsung agama yang dianut oleh masyarakat setempat akan selalu dikaitkan dengan berbagai ritual yang dilakukan. Agama, budaya dan masyarakat akan selalu berjalan beriringan sesuai dengan apa yang di interpretasikan masyarakat bahwa budaya dan agama adalah satu kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan.
Berbagai pemahaman antara budaya dan agama selalu dikaitkan dengan ritual yang ada dimasyarakat seperti halnya siklus kehidupan manusia sejak dalam kandungan hingga kematian. Islam yang tersebar di jawa selalu mengaitkan antara islam dengan kebudayaan lokal setempat. Secara gamblang dijelaskan bahwa siklus kehidupan selalu dimaknai dengan keselamatan yang bertujuan agar calon jabang bayi diberi keselamatan. Jika dikaitkan dengan syariat agama yang sebagian besar dianut oleh masyarakat jawa yaitu islam, budaya jawa akan sedikit mengalami pergesaran yang semula murni turunan atau penyebaran islam arab.
Ritual atau upacara mitoni sering dikaitkan dengan agama islam, maksudnya disini adalah bahwa agama islam memperbolehkan ritual agama seperti upacara untuk siklus kehidupan manusia seperti mitoni dengan syarat tidak berlebihan. Jika dikaitkan dengan budaya jawa siklus kehidupan manusia merupakan suatu adat yang harus dilaksanankan bagi setiap individu agar mencapai suatu keselamatan dan keseimbangan antara alam dan pikiran. Jika ditarik benang merah upacara atau ritual mitoni merupakan bentuk penyesuaian solidaritas antar kelompok yang didasari antara kebudayaan dan agama.
Religi adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Kuntjaraningrat bahwa religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen sebagai berikut:[13]
1.      Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersifat religius.
2.      Sistem keyakinan yang mangandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan. Tentang wujud gaib serta segala nilai, norma, ajaran dari religi yang bersangkutan.
3.      Sistem ritual upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami suatu alam gaib.
4.      Umat atau kesatuan sosial yang menganut keyakinan akan kekuatan alam gaib, norma, ajaran dan sebagainya kemudian melaksanakannya, upacara – upacara keagamaan dan peribadatan.
Sistem-sistem ini akan membatasi tingkahlaku dan gerak manusia dalam lingkungannya. Manusia akan sadar dengan apa yang mereka lakukan setiap harinya. Apakah itu baik atau buruk, dan didasarkan pada norma-norma yang diberlakukan dalam masyarakat. Begitu pula halnya tradisi mitoni­, akan dianggap tidak bermakna bila di lihat dari sudut pandang jaman sekarang ini. Keadaan masyarakat yang sudah berkembang harus kembali seperti jaman dulu dengan segala aktifitas ritual dan persembahan. Bagi masyarakat jaman sekarang yang memandang rendah tradisi mitoni ini akan berdampak kurang baik dalam kehidupan keluarganya.
Disebabkan tradisi ini bukanlah sekedar ritual biasa melainkan, sebuah permohonan pada Tuhan untuk diberikannya kesehatan dan keharmonisan. Hal ini akan memberikan kedamain dan kesejahteraan dalam keluarga yang akan dibinanya dalam kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi mitoni, memberikan pengertian betapa pentingnnya tradisi ini. Menurut kepercayaan orang Jawa jaman dulu bila tidak melakukan tradisi ini keluarga tersebut akan mendapat mala petaka. Maka dari itu, kita sebagai generasi muda harus tetap menjaga dan melestarikan tradisi tersebut.

  1. Tradisi Mitoni dan Relevansinya Terhadap Islam
Ajaran Islam bisa dinyatakan telah kuat bila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya di tengah masyarakat Islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam. Tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran, misalnya adalah tradisi mitoni yang dilaksanakan oleh sebagian umat Islam di Jawa.
Sebenarnya pelaksanaan mitoni berangkat dari memahami hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Hadits shahih tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu daud, An-nasai, Tirmidzi dan Ibn majah dari Ibn mas'ud; “Tentang sperma menetap selama 40 hari, kemudian 40 hari menjadi gumpalan darah, kemudian 40 hari menjadi gumpalan daging kemudian di tiupkan ruh”.
 Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya. Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang Jawa mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan solekhah.
Pada dasarnya mitoni merupakan tradisi yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia. Di dalam tradisi mitoni terdapat permohonan doa kepada Tuhan, dan dikumandangkannya kalimat-kalimat Shalawat Nabi yang merupakan bukti pelaksanaan mitoni secara Islami. Selain itu, pembacaan beberapa surat al-qur’an sebagai langkah terakhir yang dilakukan dalam memanjatkan doa. Biasanya surat yang dibaca adalah surat Yusuf dan surat Mariam, agar sang calon bayi kelak dapat memiliki sifat luhur seperti nabi Yusuf dan Siti Mariam.
Seperti yang dikisahkan dalam cerita nabi, bahwa nabi Yusuf mempunyai perawakan tampan dan mempunyai sifat budi pekerti luhur. Begitu pula dengan siti Mariam merupakan sosok wanita dengan ketegaran hidup dalam menjalani setiap ujian hidupnya. Maka dari itu setiap ibu yang mengandung tidak hanya saat kehamilan pertama dibacakan surat-surat al-quran tersebut. Setiap kehamilan yang dialaminya, sang ibu ataupun sang ayah berusaha menjaga dan berdoa agar diberikannya keselamatan dalam proses melahirkan kelak. Hanya saja tradisi mitoni ini dilakukan pada kehamilan pertama saja, tetapi tidak menutup kemungkinan kehamilan selanjutnya tidak melakukan permohonan keselamatan. Permohonan doa yang dilakukan oleh sang ibu maupun yang ayah merupakan permohonan agar anak keturunannya kelak menjadi anak yang soleh dan solekhah seperti harapannya.
Saat proses kehamilan berlangsung, sang ibu berusaha untuk melakukan hal-hal baik agar anaknya kelak mempunyai perilaku baik. Mendengarkan musik klasik atau membaca ayat-ayat al-quran merupakan contoh yang dilakukan oleh sang ibu maupun sang ayah. Banyak sekali mitos-mitos yang ada dalam proses kehamilan tersebut. Maka dari itu diadakannya tradisi mitoni dapat menjaga keselamatan keluarga dan terhindar dari malapetaka.
Ketawakalan manusia sebagai umat Allah hanya bisa berdoa dan Allah yang menentukan semua jalan hidupnya. Sebagai hamba Allah usaha yang dilakukan untuk mendapat keselamatan hidup terus dilakukan tanpa meninggalkan kewajiban mereka sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Seperti tradisi mitoni mapun tradisi-tradisi lainnya merupakan usaha permohonan keselamatan terhadap Tuhan. Tradisi mitoni masih terus terjaga dan mempunyai hubungan erat dengan islam. Tradisi tersebut masih sangat relevan terus dijaga dan dilestarikan. Seiring perkembangan jaman masyarakat Jawa akan berusaha untuk mempertahankannya agar tidak tergeser dengan budaya asing. Setiap orang Jawa tidak akan pernah meninggalkan ataupun menghapus tradisi yang dikakukan selama turun temurun dari jaman sebelumnya.
Begitu halnya dengan tradisi mitoni yang akan terus dilestarikan dan dijaga sampai akhir. Apabila ini tidak dilakukan masyarakat Jawa meyakini akan terjadi malapetaka dalam keluarga tersebut. Kita sebagai generasi muda patut menjunjung tinggi dan menjaga budaya kita dijaman modern dengan kecanggihan teknologi. Sekali kita meninggalkan maka selanjutnya akan hilang dan ini bukanlah harapan dari kita semua.


[1] Soemididjojo, Bentaljemur Adammakna (Surakarta: Buana Raya, 2008), h. 37.
[2] Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna (Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009). h. 39.
[3] Wawancara pada tanggal 18 september 2013 dengan bapak Hadiman selaku dukun desa Bendosari.
[4] Dewi Astuti, Adat-Istiadat Masyarakat Jawa Barat, (PT. Sarana Panca Karya Nusa, 2009). h. 38.
[5] Suwarna, Tradisi Tingkeban (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2003). h. 4
[6] Ibid, h. 32.
[7] Purwadi, Tradisi Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005). h. 76
[8] Ibid, h. 78
[9] Suwarna, Tradisi Tingkeban, h. 40.
[10] Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke 20 (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000). h. 14.
[11] http:// www.artikata.com/arti-347446-religi.html, di akses pada 18 November 2013.
[12] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta : Dian Rakyat, 1977), h. 269.
[13] Ibid, h. 144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar