|
NILAI-NILAI
FILOSOFIS DALAM TRADISI MITONI DAN
RELEVANSINYA TERHADAP ISLAM
- Tradisi Mitoni
a. Makna
Tradisi Mitoni
Dahulu masyarakat Boyolali mengenal tiga teradisi yang harus
dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Mitoni atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring
perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya
menjadi satu, yaitu ketika waktu Mitoni
atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau
piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh
bulan, calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan
Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap
dan jumlahnya 12 atau 16.
No
|
Nama Hari
|
Neptune
|
No
|
Nama Pasaran
|
Neptune
|
1
|
Akhad
|
5
|
1
|
Pon
|
7
|
2
|
Senin
|
4
|
2
|
Wage
|
4
|
3
|
Selasa
|
3
|
3
|
Kliwon
|
8
|
4
|
Rabu
|
7
|
4
|
Legi
|
5
|
5
|
Kamis
|
8
|
5
|
Pahing
|
9
|
6
|
Jum’at
|
6
|
|||
7
|
Sabtu
|
9
|
|
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal
Kamis Kliwon, Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8
dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga
Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat
rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka
ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari semuanya
memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.
Tabel 2. Piranti dalam
Tradisi Mitoni.[2]
No
|
NamaRitual
|
Waktu Seharusnya
|
Piranti
|
1
|
Neloni
|
Tiga bulan dari masa mengandung
|
Takir plontang 4 buah
|
Golong 7 buah
|
|||
Jajan pasar
|
|||
Jenang abang
|
|||
Jenang putih
|
|||
Jenangkuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
2
|
Mitoni
|
Enam bulan dari masa kehamilan
|
Woh-wohan
|
Punar 2 buah
|
|||
Kembang setaman
|
|||
Sesaji dakripin(Suro ganep)
|
|||
Daun dadap srep
|
|||
Daun beringin
|
|||
Daun andong
|
|||
Janur
|
|||
Mayang
|
|||
Jenang abang
|
|||
Jenang putih
|
|||
Jenang kuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang waras
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
3
|
Procotan
|
Delapan bulan dari masa kehamilan
|
Jenang abang
|
Jenang putih
|
|||
Jenang kuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang waras
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
Jenang inthil-inthil
|
|||
Jenang sewu (dawet)
|
|||
Jenang sempuro
|
|||
Jenang kembo
|
|||
Jenang procot
|
|||
Jenang arang-arang kambang
|
|||
Ketupat lepet
|
Upacara tersebut dimulai dengan acara kenduri
telon-telon yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan
lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua
piranti dihidangkan selanjutnya dukun
ngujubne yaitu menjelaskan
maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per
satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan
kata-kata ‘nggeh’ disetiap
akhir kalimat yang diucapkan oleh dukun. Satu per satu makanan yang
dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang
terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah
tersedia.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon,
dengan menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara mitoni. Prosesi mitoni inilah yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari
sampai jam pelaksanaanya tidak boleh dilanggar. Sebelum acara dimulai dukun menata beberapa lembar
kain jarit batik di tengah rumah yang punya hajat. Secangkir air putih dan kelapa
muda serta sebuah kembang
setaman diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar
tepatnya di teras rumah telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah semua
siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan
duduk bersanding di atas kain jarit yang telah tertata.
Dukun membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa
kalimat untuk ducapkan oleh shohibul hajat. Salah satu penggalan
kalimat tersebut adalah “Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur
mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden
Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”[3]
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah
dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu,
calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit dan bersamaan dengan calon ibu menyampar cangkir.
Upacara ini disebut juga upacara brojolan,
yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan
Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu.
Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa
kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk
bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan
memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu
utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana.
Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda.
Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga
memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
No
|
Jenis Kain Batik
|
Maknanya
|
1
|
Sidomukti
|
Kebahagiaan
|
2
|
Sidoluhur
|
Kemuliaan
|
3
|
Truntun
|
Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
|
4
|
Parang Kusuma
|
Perjuangan untuk hidup
|
5
|
Semen Rama
|
Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang
sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
|
6
|
Udan Riris
|
Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam
kehadirannya di masyarakat
|
7
|
Cakar Ayam
|
Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya
sendiri.
|
|
|
|
|




|
|
|



Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang
bayi tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa
buah-buahan dan
dihidangkan kepada para undangan. Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu mitoni maka langsung melanjutkan prosesi
terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi
telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah
tersaji dukun ngujubne dan
disaksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut
dengan kata “nggeh”. Seusai
prosesi tersebut di akhiri dengan doa dan memakan hidangan yang ada.
1.
Pembacaan
Ayat Suci al Quran
2.
Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri
kepada suami dan dilanjutkan oleh suami-istri pada orangtuanya.
3. Siraman
Siraman
ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan
dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman
ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi
lobang. Setelah siraman si calon ibu dipakaikan kain 7 warna, yang melambangkan
sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.

Dalam
acara pantes-pantes ini calon ibu
dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke
enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang
hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana
tersebut menberikan jawaban: “dereng
pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain
lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab: “pantes” (pantas). Di sini merupakan
perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebaiknya tidak memikirkan hal yang
sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.
|
|


5.
Tigas Kendit
Calon ibu
kemudian diikat perutnya (dikenditi)
dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah
si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan
tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak balak.
Dalam
acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah
diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna-Sembadra)
dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek
jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir
memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7. Angkrem[8]
Di sini
Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang
sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir
cukup bulan.
8.
Dhahar Ajang Cowek
Di sini
calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil
makanan yang disediakan dengan alas makan cowek
(cobek) dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya
plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan
sehat. Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan telur di sela kain 7 warna yang
melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
c. Makna
Mitoni
Dari
berbagai simbol tindakan dan sesaji ritual mitoni
demikian, memang tampak bahwa masyarakat Jawa memiliki harapan-harapan
keselamatan. Masyarakat Jawa menganggap mitoni
sebagai ritual yang patut diperhatikan secara khusus. Tradisi ini merupakan
kombinasi ajaran baik dari Hindu, Kejawen bahkan Islam sebagai agama yang
dianut oleh mayoritas suku Jawa Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna dan
fungsi selamatan mitoni adalah:[9]
a. Mewariskan tradisi
leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya).
b. Menjaga keseimbangan,
keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet,
ora ono opo-opo) hidup yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk
lain atau alam sekitar. Selain itu, tradisi tujuh bulanan (mitoni) menunjukkan karakter masyarakat Jawa yang berpikir
asosiatif.
Pada
hakikatnya, tradisi ini adalah memohon keselamatan kepada Allah Swt. (Tuhan
Yang Maha kuasa). Sebagaimana ungkapan: “Jabang
bayi lahir sageto welujeng selamet ampunenten alangan sak tunggal penopo”.
Anak yang dikandung akan terlahir dengan mudah, sehat, selamat, fisik yang
sempurna, tidak ada gangguan apa-apa. Ini sebenarnya menggambarkan budi pekerti
Jawa yang selalu memproses diri melalui pensucian diri untuk memohon kepada
yang Maha Kuasa. Artinya, wujud pengabdian diri kepada Allah Swt.
- Nilai-Nilai Filosofis dalam Tradisi Mitoni
a. Nilai
Moral
Moral
adalah aturan yang bersumber dari hati nurani untuk membimbing perilaku dan
cara berpikir.[10]
Meningkatkan kualitas moral dimulai dari kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai positif ke dalam diri. Ketika
dalam hati nurani terisi nilai-nilai negatif yang tidak mampu membedakan antara
benar dan salah, maka diri akan menjadi pencipta bencana, yang setiap saat
dapat memutarbalikkan benar menjadi salah atau salah menjadi benar. Nilai-nilai
positif akan menciptakan keunggulan moral baik. Dan hasilnya, diri dengan moral
baik akan menjalankan etika dan integritas pribadi dengan sepenuh hati.
Manusia harus memiliki hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah
melalui empati, akan menjadikan diri sebagai sumber energi positif untuk
melayani kehidupan sosial yang penuh dinamika. Hati nurani adalah penghasil
moral, dan saat hati nurani diisi dengan hal-hal dan nilai-nilai positif, maka
hati nurani akan menghasilkan kualitas moral yang cerdas untuk memutuskan apa
yang baik, apa yang buruk, apa yang benar, apa yang tidak benar, apa yang adil,
apa yang tidak adil, apa yang manusiawi, dan apa yang tidak manusiawi. Pada
akhirnya, kualitas moral yang baik akan memiliki empati dan toleransi dalam
melayani kehidupan yang beragam.
Kualitas
moral yang baik akan menghasilkan kehidupan terbaik. Kualitas kehidupan terbaik
dihasilkan dari kreatifitas dalam aturan moral yang baik. Jadi, diri seperti
berlari di alam bebas untuk menemukan tujuan akhir yang telah direncanakan,
bukan seperti berlari di atas treadmill, dan hanya terus-menerus berlari dengan
rajin, sebatas jarak dan ukuran dari treadmill. Maksudnya, kualitas kehidupan
terbaik tercipta dari akal dan emosi yang kreatif dalam memanfaatkan potensi
tak terbatas dari kehidupan. Dan semua itu tetap terikat dalam kualitas moral
yang mengekspresikan diri untuk kemanusiaan, toleransi, cinta, kepedulian, dan
akal baik.
Semua yang
terbaik dalam hidup dihasilkan dari cara menggunakan akal baik untuk mengundang
kebaikan ke dalam hidup. Kecerdasan visi untuk bergerak ke arah yang dipahami
akan membuat diri menikmati hidup. Hidup adalah perjalanan untuk memperluas
kesadaran diri, agar diri dapat memahami keberadaan dirinya dalam kehidupan
ini. Dan kesadaran diri yang baik tercipta dari kesadaran hati nurani untuk
memperkuat nilai-nilai kehidupan baik ke dalam dirinya.
Tidak ada
seorang pun yang dapat mengontrol setiap hal yang masuk ke dalam pikiran bawah
sadar. Namun, diri dapat melakukan upaya dengan membangun tentara kesadaran
diri, untuk berpatroli mengawasi lingkungan mentalnya dari sabotase oleh
hal-hal yang tidak diinginkan. Diri memiliki kekuatan untuk menerima atau
menolak setiap hal yang masuk ke dalam pikirannya. Dan untuk itu, diri harus
sangat sadar bersama integritas pribadi yang kuat, dan tak tergoyakan oleh hal
apa pun. Diri harus memiliki tanggung jawab secara sadar, untuk mengubah
hal-hal yang tidak sesuai dengan kualitas moral yang diinginkan.
Manusia
tidaklah sempurna, dan oleh karenanya, manusia harus belajar seumur hidup dari
sumber positif manapun, dalam kesadaran diri yang tinggi, untuk menyempurnakan
dirinya. Jadilah pembelajar setiap hari untuk membuat diri terdalam menjadi
semakin positif dan kuat, dan tak mudah goya atau gentar oleh hal negatif apa
pun. Pastikan diri telah memiliki nilai-nilai kehidupan yang diinginkan untuk
membuat hidupnya sesuai dengan kualitas moral yang diinginkan. Setiap hari
tegaskan nilai-nilai pilihan ke dalam diri. Hidup adalah sebuah perjalanan
untuk dinikmati dan disyukuri dalam hati dan pikiran, yang selalu berterima
kasih kepada realitas Tuhan, dan selalu menjadi pribadi yang tidak masuk dalam
permainan celaan dan pujian, tapi masuk dalam permainan untuk merasa bahagia
dengan semua situasi dan kondisi.
Dalam
tradisi mitoni yang sudah dipaparkan
bahwa terdapat nilai moral yang terkandung didalamnya. Tradisi tersebut
mengajarkan pada kita untuk bersikap baik dan berbudi luhur dalam berperilaku.
Sepertihalnya ibu yang mengandung sang calon bayi dan bapak sebagai pemimipin
dalam sebuah keluarga. Bila sikap kedua orang tua ini berperilaku baik maka
tidak menutup kemungkinan calon bayi yang akan dilahirkan mirip dengan orang
tuanya. Begitu sebaliknya, apabila saat mengandung bayi, seorang ibu selalu
berkata buruk dan bertingkah laku kurang sopan maka anak yang akan berpengaruh
pada kehidupan anaknya kelak.
b. Nilai
Religius
Istilah
religi pada umumnya mengandung makna kecendruangan batin manusia untuk
berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari nilai dan makna.
Kekuatan alam semesta itu dianggap suci, dikagumi, dihormati dan sekaligus
ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa "yang
suci" itu ada dan diluar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia
meminta perlindungan-Nya dengan menjaga keseimbangan alam melalui berbagai
upacara. Istilah religi di sini menunjukkan adanya hubungan antara manusia
dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuanya, berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu
sistem gagasan, sistem tindakan dan artefak.
Definisi
Religi yang melihat sebagai suatu upaya simbolis dikemukakan oleh J. Van Ball.
Religi adalah suatu sistem simbol-simbol yang dengan sarana tersebut manusia
berkomunikasi dengan jagat rayanya.[11]
Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian religi, namun pada prinsipnya
religi harus memuat lima unsur yaitu: adanya emosi, keyakinan, upacara,
peralatan dan pemeluk atau para penganut.
Suatu upacara
atau tindakan simbolis tertentu seperti berdoa menandahkan tangan ke atas bukan
hanya sekedar gerakan kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut sering kali
merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan makna. Demikian definisi tentang
religi itu yakni definisi yang memeri memuat hal-hal keyakinan, upacara dan
peralatan, sikap dan prilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang
menyangkut para penganutnya sendiri.[12]
Ada Empat Fungsi religi yaitu:
1.
Membantu
dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan
suatu masyarakat.
2.
Menyajikan
berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta
ruang dan waktu.
3.
Religi
memainkan peran yang besar bagi individu-individu karena religi menyajikan
penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan
penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacoan yang dihadapi manusia.
4.
Religi
mampu menyajikan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu
pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga menciptakan rasa aman dan pencapaian
tujuan kebenaran bersama.
Agama merupakan suatu kepercayaan manusia yang diyakini
dalam hati dan disimbolkan dengan
berbagai tindakan yang berhubungan langsung kepada sang Pencipta, dan hubungan
itu tak bersyarat dan tanpa batas. Agama adalah suatu kekekalan yang abadi oleh
masing-masing individu. Manusia mempercayai bahwa agama akan menjawab segala
macam pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh akal manusia. Tidak
terlepas dari pengertian agama secara umum, setiap agama memiliki cara pandang
dan peribadatan yang berbeda antara agama satu dengan yang lain. Tidak
terkecuali agama islam, yang konon banyak sekali memiliki berbagai ritual
keagamaan yang sangat unik dan menarik. Agama islam sendiri setiap daerah
memiliki cara peribadatan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang
lain. Tak terlepas dari letak geografis Indonesia yang sangat luas dan memiliki
berbagai macam budaya,suku,pola hidup dan lain-lain.
Agama islam mengalami perubahan terhadap ritual yang
dilakukan masyarakat karena adanya pengaruh budaya Indonesia. Jika dalam suatu
masyarakat memiliki budaya lokal yang khas maka secara tidak langsung agama
yang dianut oleh masyarakat setempat akan selalu dikaitkan dengan berbagai ritual
yang dilakukan. Agama, budaya dan masyarakat akan selalu berjalan beriringan
sesuai dengan apa yang di interpretasikan masyarakat bahwa budaya dan agama
adalah satu kesatuan yang tidak akan pernah terpisahkan.
Berbagai pemahaman antara budaya dan agama selalu
dikaitkan dengan ritual yang ada dimasyarakat seperti halnya siklus kehidupan
manusia sejak dalam kandungan hingga kematian. Islam yang tersebar di jawa
selalu mengaitkan antara islam dengan kebudayaan lokal setempat.
Secara gamblang dijelaskan bahwa
siklus kehidupan selalu dimaknai dengan keselamatan yang bertujuan agar calon
jabang bayi diberi keselamatan. Jika dikaitkan dengan syariat agama yang
sebagian besar dianut oleh masyarakat jawa yaitu islam, budaya jawa akan
sedikit mengalami pergesaran yang semula murni turunan atau penyebaran islam
arab.
Ritual atau upacara mitoni
sering dikaitkan dengan agama islam, maksudnya disini adalah bahwa agama islam
memperbolehkan ritual agama seperti upacara untuk siklus kehidupan manusia
seperti mitoni dengan syarat tidak
berlebihan. Jika dikaitkan dengan budaya jawa siklus kehidupan manusia
merupakan suatu adat yang harus dilaksanankan bagi setiap individu agar
mencapai suatu keselamatan dan keseimbangan antara alam dan pikiran. Jika
ditarik benang merah upacara atau ritual mitoni
merupakan bentuk penyesuaian solidaritas antar kelompok yang didasari antara
kebudayaan dan agama.
Religi adalah bagian dari kebudayaan. Menurut
Kuntjaraningrat bahwa
religi
merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen sebagai berikut:[13]
1. Emosi
keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersifat religius.
2. Sistem keyakinan yang mangandung segala
keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan. Tentang wujud gaib
serta segala nilai, norma, ajaran dari religi yang bersangkutan.
3. Sistem
ritual upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan,
dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami suatu alam gaib.
4. Umat
atau kesatuan sosial yang menganut keyakinan akan kekuatan alam gaib,
norma, ajaran dan sebagainya kemudian melaksanakannya, upacara – upacara
keagamaan dan peribadatan.
Sistem-sistem
ini akan membatasi tingkahlaku dan gerak manusia dalam lingkungannya. Manusia
akan sadar dengan apa yang mereka lakukan setiap harinya. Apakah itu baik atau
buruk, dan didasarkan pada norma-norma yang diberlakukan dalam masyarakat.
Begitu pula halnya tradisi mitoni,
akan dianggap tidak bermakna bila di lihat dari sudut pandang jaman sekarang
ini. Keadaan masyarakat yang sudah berkembang harus kembali seperti jaman dulu
dengan segala aktifitas ritual dan persembahan. Bagi masyarakat jaman sekarang
yang memandang rendah tradisi mitoni
ini akan berdampak kurang baik dalam kehidupan keluarganya.
Disebabkan
tradisi ini bukanlah sekedar ritual biasa melainkan, sebuah permohonan pada
Tuhan untuk diberikannya kesehatan dan keharmonisan. Hal ini akan memberikan
kedamain dan kesejahteraan dalam keluarga yang akan dibinanya dalam kehidupan
di dunia ini. Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi mitoni, memberikan pengertian betapa pentingnnya tradisi ini.
Menurut kepercayaan orang Jawa jaman dulu bila tidak melakukan tradisi ini
keluarga tersebut akan mendapat mala petaka. Maka dari itu, kita sebagai
generasi muda harus tetap menjaga dan melestarikan tradisi tersebut.
- Tradisi Mitoni dan Relevansinya Terhadap Islam
Ajaran
Islam bisa dinyatakan telah kuat bila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya
di tengah masyarakat Islam. Tradisi dan budaya menjadi sangat menentukan dalam
kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran
Islam. Tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat,
sementara mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah
bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran,
tetapi justru tradisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran, misalnya adalah
tradisi mitoni yang dilaksanakan oleh sebagian umat Islam di Jawa.
Sebenarnya pelaksanaan mitoni berangkat dari
memahami hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang
proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Hadits
shahih tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu daud, An-nasai, Tirmidzi
dan Ibn majah dari Ibn mas'ud; “Tentang sperma menetap selama 40 hari, kemudian
40 hari menjadi gumpalan darah, kemudian 40 hari menjadi gumpalan daging
kemudian di tiupkan ruh”.
Dalam hadits
tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam
kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan
nasibnya. Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk
melakukan ritual, tetapi melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang.
Dengan dasar hadits tersebut, maka kebiasaan orang Jawa mengadakan upacara adat
untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri
lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan solekhah.
Pada
dasarnya mitoni merupakan tradisi
yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia. Di dalam tradisi mitoni terdapat permohonan doa kepada Tuhan,
dan dikumandangkannya kalimat-kalimat Shalawat Nabi yang merupakan bukti pelaksanaan
mitoni secara Islami. Selain itu,
pembacaan beberapa surat al-qur’an sebagai langkah terakhir yang dilakukan
dalam memanjatkan doa. Biasanya surat yang dibaca adalah surat Yusuf dan surat
Mariam, agar sang calon bayi kelak dapat memiliki sifat luhur seperti nabi
Yusuf dan Siti Mariam.
Seperti
yang dikisahkan dalam cerita nabi, bahwa nabi Yusuf mempunyai perawakan tampan
dan mempunyai sifat budi pekerti luhur. Begitu pula dengan siti Mariam
merupakan sosok wanita dengan ketegaran hidup dalam menjalani setiap ujian
hidupnya. Maka dari itu setiap ibu yang mengandung tidak hanya saat kehamilan
pertama dibacakan surat-surat al-quran tersebut. Setiap kehamilan yang dialaminya,
sang ibu ataupun sang ayah berusaha menjaga dan berdoa agar diberikannya
keselamatan dalam proses melahirkan kelak. Hanya saja tradisi mitoni ini
dilakukan pada kehamilan pertama saja, tetapi tidak menutup kemungkinan
kehamilan selanjutnya tidak melakukan permohonan keselamatan. Permohonan doa
yang dilakukan oleh sang ibu maupun yang ayah merupakan permohonan agar anak
keturunannya kelak menjadi anak yang soleh dan solekhah seperti harapannya.
Saat
proses kehamilan berlangsung, sang ibu berusaha untuk melakukan hal-hal baik
agar anaknya kelak mempunyai perilaku baik. Mendengarkan musik klasik atau
membaca ayat-ayat al-quran merupakan contoh yang dilakukan oleh sang ibu maupun
sang ayah. Banyak sekali mitos-mitos yang ada dalam proses kehamilan tersebut.
Maka dari itu diadakannya tradisi mitoni
dapat menjaga keselamatan keluarga dan terhindar dari malapetaka.
Ketawakalan
manusia sebagai umat Allah hanya bisa berdoa dan Allah yang menentukan semua
jalan hidupnya. Sebagai hamba Allah usaha yang dilakukan untuk mendapat
keselamatan hidup terus dilakukan tanpa meninggalkan kewajiban mereka sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Seperti tradisi mitoni
mapun tradisi-tradisi lainnya merupakan usaha permohonan keselamatan terhadap
Tuhan. Tradisi mitoni masih terus
terjaga dan mempunyai hubungan erat dengan islam. Tradisi tersebut masih sangat
relevan terus dijaga dan dilestarikan. Seiring perkembangan jaman masyarakat
Jawa akan berusaha untuk mempertahankannya agar tidak tergeser dengan budaya
asing. Setiap orang Jawa tidak akan pernah meninggalkan ataupun menghapus
tradisi yang dikakukan selama turun temurun dari jaman sebelumnya.
Begitu
halnya dengan tradisi mitoni yang akan terus dilestarikan dan dijaga sampai
akhir. Apabila ini tidak dilakukan masyarakat Jawa meyakini akan terjadi
malapetaka dalam keluarga tersebut. Kita sebagai generasi muda patut menjunjung
tinggi dan menjaga budaya kita dijaman modern dengan kecanggihan teknologi.
Sekali kita meninggalkan maka selanjutnya akan hilang dan ini bukanlah harapan
dari kita semua.
[1] Soemididjojo, Bentaljemur Adammakna (Surakarta: Buana
Raya, 2008), h. 37.
[3] Wawancara pada
tanggal 18 september 2013 dengan bapak Hadiman selaku dukun desa Bendosari.
[4] Dewi Astuti, Adat-Istiadat
Masyarakat Jawa Barat, (PT.
Sarana Panca Karya Nusa, 2009). h. 38.
[5] Suwarna, Tradisi Tingkeban (Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa, 2003). h. 4
[7] Purwadi, Tradisi Tradisional Jawa: Menggali Untaian
Kearifan Lokal (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005). h. 76
[9] Suwarna, Tradisi Tingkeban, h. 40.
[10] Franz Magnis-Suseno,
12 Tokoh Etika Abad ke 20 (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2000). h. 14.
[13] Ibid, h. 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar