Rabu, 19 November 2014

ETIKA MENURUT KGPAA MANGKUNEGARA IV-BAB V




 
BAB V
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, yakni tentang etika dalam Serat Salokatama, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Serat Salokatama adalah salah satu karya dari KGPAA Mangkunegara IV. Serat Salokatama menjelaskan ajaran etika dalam kehidupan masyarakat.Tujuan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Serat Salokatama adalah mengajak manusia untukmenghindari sikap-sikap buruk (kelainan), yaitumenyiksa raganya sendiri, bunuh diri sertamenganggap mudah dan mempermudah segala urusan tanpa ada tanggungjawabnya. Sikap bertanggung jawab dan saling membantu harus dilakukan untuk menghadapi seseorang yang memiliki kelainan khusus/kelainan tingkah laku.Etika di masyarakat ditunjukkan manusia dengan bersikap selaras dan disertai budi pekerti baik demi terciptanya ketentraman dan kedamainan.
2.      Ajaran-ajaran yang ada dalam SeratSalokatama selaras dengan ajaran Islam. Ajaran Islam maupun ajaran dalam seratSalokatama mengarah pada satu tujuan, yaitu menjadi manusia yang lebih baik agar tercipta kebahagiaan bersama.



93
 
 
B.     Saran
Penelitian ini hanya merupakan sebuah penelitian kecil dari sebuah karya besar yakni Serat Salokatama. Tentu saja masih bisa dilakukan penelitian-penelitian lain yang sifatnya pengembangan dari penelitian ini sehingga memungkinkan akan ditemukan kesimpulan yang berbeda, ataupun yang sifatnya penelitian baru dengan tinjauan sudut pandang yang berbeda.
Masih terdapat banyak warisan budaya Nusantara yang berupa karya-karya sastra baik dari pujangga KGPAA Mangkunegara IV maupun dari penulis-penulis lain yang belum pernah diteliti, maka dari itu disarankan agar dilakukan penelitian-penelitian terhadap warisan budaya tersebut agar dapat menambah khasanah keilmuan Indonesia. Berangkat dari situ diharapkan dapat memberikan informasi dan pengenalan bahwa para pendahulu kita termasuk penulis-penulis yang produktif dan mempunyai kemempuan intelektual yang tinggi.

ETIKA MENURUT KGPAA MANGKUNEGARA IV-BAB IV




 
BAB IV
TINGKAH LAKU MANUSIA DALAM SERAT SALOKATAMA

A.    Gambaran Kelainan Tingkah Laku dalam Serat Salokatama
KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Salokatama memberikan perhatian khusus pada satu gejala tingkah laku manusia, yakni tuna budi, yang tertulis di bait pertama dalam serat Salokatama.
Wijiling kang pangripta murwani, myat ing reh salah ton, kang milalu milara ragane, laling wiring kasereng ing kapti, nir yitnanta dadi, nistha temahipun. Artinya yang dilihat oleh pengarang adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya, yang selalu menyiksa raganya, malu karena perbuatannya sendiri, berbuat tidak terkendali, akhirnya mendapatkan nista.
68
 
Tuna budi adalah mereka yang memiliki keterbatasan berfungsinya cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, daya penalaran, daya perasaan, dan daya kemauaannya belum berkembang, berfungsi, dan belum terarah dengan baik, sehingga menimbulkan ketimpangan sikap tingkah laku. Akhirnya muncul dalam tingkah laku yang tidak sewajarnya, berbuat salah, bersikap yang aneh-aneh, karena bersikap yang tidak sewajarnya dan bertingkah salah maka cenderung tidak dapat menyesuaikan diri dengan pergaulan yang berkembang. Orang yang demikian juga disebut tuna budi yang artinya: tidak dapat menyelaraskan diri dengan keadaan, tidak dapat menyelaraskan kemampuan diri dengan tuntunanya.[1]
Tuna budi juga merupakan masalah yang perlu di pecahkan atau merupakan penyakit yang perlu diobati, dan bisa disebut juga garapan yang perlu diselesaikan, supaya masalah tersebut tidak berkembang berkelanjutan sampai menimbulkan akibat yang mencemaskan.
KGPAA Mangkunegara IV menerangkan tentang tingkah laku manusia dalam bentuk, saloka (permisalan, perumpamaan), misalnya sebagai berikut:
1.      Pemisalan: “orang yang menyiksa raganya”. Maksud dari permisalan ini adalah seseorang dengan sengaja memperburuk diri dan penampilannya supaya terlihat oleh orang banyak bahwa raganya tampak kurus, kering tidak terawat, tidak berdaya dan tidak berharga. Orang yang dengan sengaja membuat raganya tampak tersiksa, seperti yang dikatakan dalam dalam serat milalu milara ragane, (yang selalu meyiksa badan/raganya) pada bait 1.[2] Mengapa orang menyiksa ragannya, karena mereka hanya ingin mendapatkan perhatian atau ingin diperhatikan oleh lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, dengan terlihatnya mereka menjadi kurus, tidak terawat, tidak berdaya dan tidak berharga, maka orang disekitar mereka akan memperhatikannya. Namun, dengan mereka berkelakuan seperti itu orang disekitarnya akan mengasihani yang tidak tulus, tetapi ada rasa jijik dan hina.
Pada umumnya orang hidup selalu berbuat baik, bekerja dan berjuang untuk kebaikan dirinya, kebaikan jiwanya, dan kebaikan raganya. Perbuatan menyiksa raganya tidak akan menguntungkan dirinya dan akan berakibat kurang baik terhadap dirinya. Manusia yang hidup, bertanggung jawab pada kahidupannya tersebut. Untuk melanjutkan kehidupannya, manusia harus merawat apa yang sudah diberikan oleh Tuhan kepadanya, termasuk raga. Manusia diberi raga yang begitu sempurna sebagai pembeda dan cirri khas dari makhluk-makhluk yang lain. Maka dari itu, raga tersebut harus dijaga dengan penuh ikhlas, kasih sayang dan tanggung jawab.
Manusia mempunyai kebebasan dalam untuk melakukan hal yang diinginkannya. Manusia sendirilah yang menentukan sikap. Hal itu yang disebut tanggung jawab.[3]Meskipun manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan menentukan sikapnya, namun dalam kebebasannya tersebut manusia juga mempunyai tanggung jawab terhadap kebebasannya tersebut. Manusia berhak untuk menggerakkan maupun mendayakan raganya, namun dalam kebebasannya tersebut manusia juga harus bertanggung jawab untuk merawat raga yang dimilikinya.
2.      Pemisalan: ”orang yang ingin hidup dua kali”. Maksud dari pemisalan tersebut adalah orang yang dirundung kegagalan dan penyesalan yang mendalam, terkadang ada dorongan dari dalam untuk menembus hidupnya dengan jalan yang tidak sewajarnya dan yang pada akhirnya mengandai-ngandai “ andaikan dapat hidup dua kali tentu dapat memperbaiki perbuatannya yang salah”. Seperti dalam serat Salokatama yang mengatakan bahwa, Yen pasthiya tumitah ping kalih, sakathaing uwong, ora ana kaduwung solahe, lan tan ana ing kang wedi mati, gampang dennya budi, tan ana pamupus[4] (jika terjadi hidup dua kali, banyak orang tidak kecewa dengan perbuatannya, dan tidak ada yang takut mati, mereka jadi mudah bertingkah laku, tidak ada hentinya )
Etika mengajarkan kepada manusia untuk menjadi makhluk yang lebih baik.[5] Dalam hal keinginan atau pengandaian untuk hidup dua kali dikatakan wajar ketika manusia menginginkan untuk menjadi manusia yang lebih baik dalam kehidupan yang kedua. Namun, hal ini tidak akan dikatakan wajar karena pada kenyataannya bahwa orang hidup itu hanya berlangsung dan dialami sekali saja, karena pengandaiannya tersebut tidak dapat terlaksana maka malah akan menimbulkan kekecewaan dan penyesalan yang mendalam.
Pengandaian tentang untuk hidup kedua kalinya, jika tidak terlaksana maka akan membuat orang itu menjadi sangat kecewa, karena pada kenyataannya kita hidup hanya sekali, jadi bertingkah lakulah yang baik supaya tidak aka nada penyesalan. Orang yang mengandai-ngandai akan berbahaya untuk dirinya sendiri, karena jika tidak bisa terlaksana akan membuat dia kecewa dan akahirnya mencari jlan pintas yaitu bunuh diri.
3.      Pemisalan: “orang bunuh diri”. Penderitaan batin yang sangat berat dan tidak tertahankan menyebabkan orang kehabisan akal (cupeting nalare). Hati dan dunia menjadi gelap, tidak lagi ditemukan jalan atau solusi untuk bengkit dari keterpurukkan.
Pada serat Saloktama bait 7-8, :Yen nganyuta pati, nimbuhi dosa gung (jika bunuh diri akan menambah dosa besar), jisime wong kang nglampus diri tan kena den uwor lan makame para leluhure (jenazah orang bunuh diri tidak dapat ditempatkan semakam dengan makam leluhurnya) myang sawiyah mamakaming janmi sinarang sinirik  (pada makam manusia (pemakaman umum) dilarang dibenci).[6] Pada serat Salokatama bunuh diri itu dibenci dan dilarang, orang yang bunuh diri nantinya jenzahnya tidak boleh ditempatkan dekat dengan para keluarganya dan tidak boleh pula ditempat pemakaman umum. Dari akibat-akibat itu sudah teramat jelas bhawa bunuh diri benar-benar bukan merupakan perbuatan yang biak, bahkan jenazahnya pun tidak boleh dimakamkan ditempat di mana manusia pada umumnya memakamkan keluarganya.
Tindakan bunuh diri dalam serat Salokatama ini sejalan dengan aliran determinisme religius yang mengatakan bahwa dengan bunuh diri maka orang tersebut sudah mendahului kehendak dan kodrat Tuhan. Determinisme religius tidak menerima adanya kehendak bebas manusia. Meski manusia masih diakui untuk mempunyai pilihan, namun segala kejadian di dunia ini ditentukan oleh Tuhan. Karena tingkah laku manusia tertentukan oleh Tuhan.[7] Manusia hanyalah menjalani semua kehidupan di dunia ini dan Tuhan menentukan semua jalan kehidupan manusia.
Bunuh diri merupakan salah satu jalan yang tidak pantas untuk dipilih dalam kehidupan. Agama sebagai dasar keyakinan manusia menolak dengan tegas bunuh diri sebagai langkah dalam menyelesaikan permasalahan hidup manusia di dunia. Langkah tersebut dipandang masyarakat juga memiliki pemikiran yang sempit dan tidak bisa berpikir panjang. Masyarakat sekitar dan lingkungan sosial juga sangat menyayangkan tentang cara mengakhiri hidup seperti itu. Banyak sekali contoh masyarakat yang memilih jalan bunuh diri, dan ini tidak baik terapkan dalam diri sebagai makhluk sosial.

B.     Penyebab terjadinya Kelainan Tingkah Laku dalam Serat Salokatama
Ada beberapa penyebab yang melatar belakangi kelainan tingkah laku, yaitu:
1.    Ketunaan (cacad)
Ada bermacam-maacam ketunaan, misalnya tuna pisik, tuna mental, tuna sosial, dan tuna harga diri. Ketunaan tersebut dapat menimbulkan keterbatasan bagi individu yang bersangkutan. Keterbatasan menimbulkan adanya perasaan kurang, yang berakibat memunculkan perbuatan yang tidak sewajarnya.  Pada bait 1 menyatakan tentang ketunaan (cacad), yaitu temah kengis wateke kang wadi.[8] Syair tersebut menjelaskan bahwa terdapat perilaku yang dibuat-buat, tidak menampakkan perilaku dan sifat sesungguhnya. pada pandangan yang salah, kemudian menyiksa diri dan raganya).
2.      Kegagalan membawa diri
Adanya jarak antara dirinya dengan apa yang diharapkan terlalu jauh menjadi penyebab terjadinya kegagalan membawa diri, seperti yang tertulis dalam serat salokatama bait 17, cupeting panggayuh[9] (pendeknya kemampuan).
Ketidak seimbangan antara potensi dan kondisi diri dengan apa yang ingin dicapai menimbulkan jarak yang jauh, dan inilah yang sering menimbulkan kegagalan dalam membawa diri atau menyesuaikan diri.
3.      Gangguan emosional
Perasaan sangat berpengaruh pada tingkah laku seseorang. Ketidak seimbangan pribadi dapat menimbulkan gangguan emosional yang sering muncul pada orang-orang tuna budi, misalnya: sikap suka menyendiri, tidak senang bergaul dengan orang lain, suka menentang dengan lingkungan, tidak bersikap sopan santun, kurang mampu menguasai diri, dan tindakkannya sering tidak terkendali. Penjelasan ini terdapat dalam bait 4, ora ana kang bares sawiji, wong jail lan juti[10] (tidak ada yang baik satupun, bahkan kelihatan seperti orang yang usil dan sadis).
C.    Penyembuhan Kelainan Tingkah Laku dalam Serat Salokatama
Dalam serat salokatama terdapat dua kubu tingkah laku, yang pertama tuna budi seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwasanya tingkah laku tersebut merupakan sebuah tingkah laku yang buruk dan disebut juga kelainan tingkah laku. Pada kehidupan masyarakat orang tersebut tidak bisa meyesuaikan diri pada lingkungan, maka harus ada peyembuhan terhadap tingkah laku tersebut, yaitu dengan tingkah laku yang disebut ngudi budi.
1.      Ngudi budi (berusaha menjadi baik)
Hidup rahayu (sejahtera) yang menjadi idaman bagi setiap orang tidaklah datang begitu saja. Hidup rahayu harus ditempuha dengan jalan rahyu pula. Jalan menuju hidup rahyu adalah dengan berbuat dan tingkah laku yang sesuai dengan kemungkinan akan menimbulkan karahayon. Semuanya itu akan terlaksana bila ada niat yang rahayu pula, dan dengan sendirinya dalam niat yang rahayu akan muncul sikap ngudi budi.  Ngudi budi adalah upaya lahir batin menuju hidup rahayu. Ngudi budi merupakan upaya kejiwaan yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab sejalan dengan tataran kadewasaning batin (sejalan dengan tingkat kedewasaan kepribadian).[11]
Berikut ini ada beberapa gambaran yang berhubungan dengan ngudi budi untuk hidup rahayu (sejahtera)[12]:


a.       Menjauhi nglalu budi
Orang yang ngudi budi  dapat menakar kemampuan diri dan dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akan keberhasilannya. Berbeda dengan sikap orang yang nglalu budi, yang selalu diganggu kecemasan dan cenderung bersikap gampang mematikan kemampuan diri. Kebanyakan orang yang nglalu budi sering bersikap pura-pura baik, tetapi kenyataannya tidak dapat dipercaya. Pada serat nglalu budi tercantum di bait 17, dunungipun wong kang nglalu budi, ana becik awon, becikira kang tinuturake, alanipun wus kocap ing nguni, tan lyan jalaraning, cupeting panggayuh,[13] artinya disitulah orang yang tidak tau budi baik, ada yang baik dan yang buruk, kebaikan yang diucapkan, kejalekkannya sudah diucapkan diperbicaraan, tidak lain penyebabnya, pendeknya tujuan. Syair tersebut menerangkan orang yang tidak tahu budi baik, yang selalu menceritakan kejelakkan orang lain, karena hal itu maka sikap seperti itu sudah sepantasnya untuk dijauhi. Sebaba itu nantinya bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
b.      Menghindari kegagalan
Setiap upaya yang dilakukan seseorang pastinya akan menghadapi dua kemungkinan, yakni keberhasilan dan kegagalan. Pada dua kemungkinan tersebut akan memberi dampak psikologis terhadap orang yang bersangkutan, seperti perasaan kecewa tidak senang, menyesal, marah, putus asa dan mengulang atau menambah kegagalan yang telah dialami, seperti yang tertulis dalam serat Salokatama bait 19, Lamun majad kang sinedyeng kapti, mangka tan kalakon, aja age kager ing driyane, salah tampa panglaluning ati, nguring-uring dhiri, nutuh amun-amun,[14] (jika keinginan yang kita inginkan, tidak terlaksana, maka jangan terkejut, jangan menyalahkan diri sendir, jangan marah-marah menuduh sembarangan). Syair ini menerangkan tentang suatu kegagalan, tidak semua yang kita inginkan pastinya akan berjalan dengan lancar, jangan menterah dengan kegagalan karena kesuksesan berawal dari kegagalan dan jika terjadi kegagalan janganlah marah-marah tidak jelas dan menyelahkan diri sendiri, terimalah dengan kerendahan hati mungkin sekarang belum waktunya berhasil.
c.       Menghindari sikap memaksakan keinginan
Etika mengajarkan manusia tentang perilaku baik buruk. Perilaku tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan oleh manusia yang mengerjakannya. Manusia dalam bertindak dan berperilaku juga berbatasan dengan kebebasan orang lain. Manusia tidak serta merta boleh melakukan apapun. Tetapi, manusia harus mengerti di mana posisinya dan mengerti apakah tindakannya tersebut baik atau bahkan merugikan orang lain.
Manusia disebut bebas ketika ia mampu untuk bertindak tanpa dibatasi oleh orang lain, masyarakat, maupun sebab lain. Manusia jika bisa menjadi bebas ketika dia tidak mendapatkan paksaan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendak manusia.[15]Manusia bebas untuk menggerakkan tubuhnya tanpa batas. Yang membatasi maupun mengekang kebebasan adalah paksaan. Kebebasan bergerak dapat dikurangi atau dihilangkan oleh kekuatan yang lebih kuat, yaitu paksaan itu sendiri. Paksaan ini digunakan manusia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan yang manusia kehendaki.[16]
Manusia sering memaksakan kehendak dan keinginannya. Pemaksaan ini tidak hanya diberlakukan untuk orang lain, melainkan juga untuk dirinya sendiri. Manusia memaksa dirinya melakukan hal-hal yang diluar batas kemampuannya. Sehingga nantinya bisa membuat dirinya menjadi kecewa, jika keinginannya tersebut tidak terlaksana. Hal tertulis dalam serat Salokatama bait 21, Mbokmanawa kang sira karepi, ginawe lelakon durung waktu iku ing tegese, ngadatira saniska reng kapti, yen wus kembalali, kono sok jinurung,[17] (seandainya apa yang kamu harapkan, tidak terkabulkan sebenarnya itu belum waktunya, mengedurkan keinginan, jika setengah dilupakan, mungkin akhirnya terkabulkan).
Selain ketiga cara tersebut, ada beberapa cara lain yang disebutkan dalam amsal-amsal atau permisalan, diantaranya:
a.       Permisalan: orang meruwat dosa.
Orang yang telah menyadari kesalahannya di masa lalu, maka akan berusaha memperbaiki kesalahan tersebut dan berusaha untuk tidak mengulanginya. Orang tersebut menyadari bahwa dirinya telah berbuat salah dan dosa. Untuk membangkitkan kepercayaan diri kembali, maka ia harus meruwat segala dosanya (pangruwate dosa sawatawes) pada bait 10. Ada beberapa jalan untuk meruwat dosa yang diisyaratkan dalam serat Salokatama, diantaranya:
1)       Pada bait 10 dituliskan: tan lyan amung minta aksamane, mring kang samya sinrikken ing galih, prapta-a pribadi marang wismanipun.[18] Syair tersebut menerangkan bahwa jika orang berbuat salah kepada seseorang maupun membuat orang lain sakit hati, maka ia harus meminta maaf dengan sungguh dan mendatangi rumah orang yang telah disalahi secara langsung. Dengan bersilaturahim tersebut, maka orang yang disakiti hatinya akan merasakan kesungguhan dan ketulusan dari orang bersalah tersebut.
2)      Pada bait 11 dituliskan, Yen kaprenah tuwa kalah inggil, ngabektiya gupoh, linairna ing kaluputane, lamun prenah nom nging pangkat inggil, mengku mawa taklim, karma nuting tembung.[19] Syair tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih muda harus meminta maaf dengan yang lebih tua. Hal ini dikarenakan orang Jawa sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh dan urut-urutan umur. Orang yang lebih tua harus dihormati oleh orang yang lebih muda. Dan orang yang lebih muda harus sanggup menghormati orang yang lebih tua. Berbeda halnya apabila orang yang bersalah tersebut lebih muda tetapi mempunyai kedudukan dan pangkat yang lebih tinggi. Orang yang bersalah tersebut diperkenankan untuk meminta maaf hanya dengan berkata dengan lembut, dengan tutur kata yang halus dan penuh sopan.
3)      Orang yang lebih muda tetapi mempunyai pangkat atau kedudukan yang lebih tinggi, maka boleh meminta maaf hanya dengan mohon maaf menggunakan kata-kata yang sopan dan tingkah laku yang santun, (mengku mawa taklim karma nuting tembung)[20] bait 11.
4)      Jika ada rasa enggan (pekewuh), maka diperkenankan untuk memohon maaf  lewat tulisan dalam surat dengan bahasa dan kata-kata yang manis, (lamun ana rikuhe ing ati, kamota ing tulis lawan tembung arum)[21] bait 12.
5)      Jika ingin meruwat dosa pada leluhur yang telah dinodai, maka hendaklah memohon ampunan agar dihapus tulahnya, (mumulenen luluhure sami, kang sira alami, nulak walatipun) bait 13.
6)      Jika ingin meruwat segala dosa dan kesalahan terhadap Tuhan, maka hendaklah memohon ampunan atas segala dosa, bertaubat dalam batin kepada Tuhan, (lan nuwuna apura Hyang Widi, tobata ing batos, rumangsa-a driyanta salahe) bait 13.
b.      Permisalan: orang mengendalikan diri
Orang yang mempunyai dorongan untuk memperbaiki kekurangannya, berarti orang tersebut telah menunjukkan tanda-tanda meninggalkan keburukkan dan menuju ‘jalan-rahayu’ agar tercipta ‘hidup rahayu’. Salah satu jalan menuju ‘hidup rahayu’ adalah dengan mengendalikan diri. Mengendalikan diri berarti menata dan membatasi diri supaya manusia bergerak menuju kearah kebenaran dan kesejahteraan. Serat Salokatama menyebutkan bahwa pengendalian diri untuk menuju hidup rahayu sangatlah berat, namun mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan, seperti yang tertilis dalam serat di bait 14 (mula abot wit amaksa kapti, mring reh karahayon, wus mangkana lumrah prabawane ).[22]
Orang yang mengendalikan diri, maka ia dengan sadar dan sengaja akan mengurangi atau membatasi segala sesuatu yang menyenangkan diri. Dengan begitu, keterbatasan tersebut dapat menimbulkan suasana nyaman, tenang dan jernih. Mengendalikan diri tidak hanya berlaku untuk kepentingan dan kenyamanan pribadi, namun juga demi kenyamanan bersama. Manusia tidak bisa hanya merasakan nyaman secara individu, tetapi kenyamanan merupakan rasa damai bersama.
Permisalan-permisalan tersebut mengajarkan manusia untuk berbuat baik dan benar terhadap manusia lain dalam menjalani kehidupan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), tujuan dari etika sosial adalah membuat manusia supaya sadar akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan. Etika sosial sendiri merupakan filsafat atau pemikiran kritis tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia.[23]Jadi, manusia memainkan perannya dalam hidup harus di dasari rasa tanggung jawab atas konsekuensi kebebasan tindakannya.
Etika tidak hanya sebatas mengajarkan perbuatan baik dan buruk. Tujuan utama dari etika adalah tercapainya ketenangan jiwa untuk menuju pada kehidupan yang bahagia. Dalam serat Salokatama disebutkan bahwa orang yang berbudi rahayu berarti mencapai kebahagiaan hidup. Semua kebahagiaan yang diperoleh dari laku rahayu (ngudi rahayu), sering disebut ‘wahyu sejati’. Wahyu sejati menurut serat Salokatama, ditandai dengan beberapa hal, yaitu: bermanfaat besar bagi kehidupan manusia karena dapat memberi rasa aman, tenang, tenteram, sejahtera, dan damai dalam arti luas; tidak menyusahkan hati dan menimbulkan masalah baru; wahyu sejati dapat diturunkan selama dapat menjaga dan memelihara dengan cara baik dan terhormat.
2.      Ngudi budi jalan menuju kebahagiaan
Ngudi budi berupaya agar terbentuk budi rahayu. Dengan mempunyai budi rahayu, maka manusia akan mencerminkan kerahayuan atau kesejahteraan. Tanda-tanda orang yang berbudi rahayu adalah:[24]
a.       Dalam hal tata batinnya, manusia untuk mencapai keinginan harus disertai banyak samadi (beribadah) di waktu malam, (panedhane saking jro samadi, kalanireng wengi) bait 26.
b.      Manusia tidak pernah menolak perintah dan tidak pernah menghindari kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, (tan mengeng sapakon, mring kang wajib marentah awake) bait 27.
c.       Bersikap jujur dan rajin menjalankan tugas, (temen lan taberi) bait 27.
d.      Suka merendahkan diri, (sasamben norragi) bait 27.
e.       Sopan dalam sikap dan santun dalam tutur kata, (nyangking tembung arum) bait 27.
f.       Menunjukkan cinta kasih terhadap sesama, cinta kasih bebas pamrih, (tan meling kang asor, tansah asih marang sasamane) bait 28.
g.      Menginginkan sesuatu yang sesuai dengan kelayakan, sehingga mudah tercapai dan terpenuhi, (luwangira yen bisa nglakoni, barabg kang kinapti, ing samajatipun) bait 28.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia yang berbudi luhur merupakan jalan menuju manusia bahagia. Hal ini sependapat dengan pendapat hedoneisme yang mengatakan bahwa manusia akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak mungkin, dan sebisa mungkin menghindari perasaan-prasaan yang tidak enak.[25]
Titik puncak yang menjadi acuan Serat Salokatama adalah hidup rahayu, yaitu kebahagiaan hidup sejati. Pada dasarnya tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, oleh karena itu prinsip dasar bagi segala tindakan adalah agar kebahagiaan tercapai. KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Salokatama memperumpamakan kebahagiaan dengan buah durian yang matang di pohon. Apabila dihubungkan dengan jalan kehidupan manusia, terdapat dalam serat pada bait 30, durian kang mateng wit, jumbuhing lalakon, barabg seja ana jalarane, ora teko yen mung den siri, wit kang Maha Suci tan adarbe suku,[26] (seperti durian yang masak dipohon, pada kehidupan sesuatu terjadi bila ada bebabnya, tidak akan datang kalau hanya selalu diingini belaka, yang Maha Suci (Tuhan) tidak akan menurunkan begitu saja). Jadi kebahagian itu tidak akan pernah datang pada manusia dengan begitu saja, jika manusia tersebut tidak berusaha untuk mencari kebahgiaan tersebut. Tuhan pun tidak akan memberika sesuatu pada hambanya yang hanya berpangku tangan tanp suatu usaha. Tujuan manusia adalah tercapainya kebahagiaan, jika manusia tidak berusaha mencapai kebahagian maka manusia tersebut tidak mempunyai tujuan hidup.

D.    Relevansinya Serat Salokatama dengan Islam
Manusia bukanlah seseorang yang harus taat dan patuh dalam segala aturan yang ada. Aturan memang harus dipatuhi tapi menanggapinya dengan pemikiran kritis. manusia dapat memilih apakah aturan tersebut baik digunakan atau tidak dalam masyarakat. Seperti halnya kelainan tingkah laku yang sudah dipaparkan diatas. Orang yang mengalami kelainan tingkah laku memerlukan penanganan khusus agar tidak menambahi penderitaan dari orang tersebut.
KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Salokatama menegaskan bahwasana bunuh diri di larang, karena bunuh diri bukan suatu cara yang baik untuk kita menyelesaikan atau melupakan suatu masalah yang kita hadapi di dunia. Pernyataan ini tertulis dalam serat di bait 7-8,  yen  nganyuta pati, nimbuhi dosa gung, wit jisime wong kang nglampus diri, tan kena den-uwor, lan makame leluhure, myang sawiyah makamaning janmi, sinarang sinirik[27]  (jika bunuh diri akan menambah dosa besar, Jenazahnya orang yang bunuh diri , makamnya tidak boleh dikumpulkan dengan makamnya keluarga, dan makam manusia pada umunya, dilarang tidak disukai).  Pada Islam bunuh diri tegas sangat dilarang, seperti yang terdapat dalam hadist, dibawah ini:
Dari Abu Hurairah RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menerjunkan diri dari gunung untuk bunuh diri, maka dia di neraka jahannam menerjunkan diri di dalamnya, kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa minum racun untuk bunuh diri, maka racunnya itu di tangannya dia meminumnya di neraka jahannam kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa bunuh diri dengan senjata tajam, maka senjata tajam itu di tangannya dia melukai dengannya di neraka jahannam, kekal lagi dikekalkan di dalamnya selama-lamanya”. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)[28]

Tujuan hidup manusia adalah menuju kepada kebahagiaan. Agama Islam sebagai dasar keyakinan untuk menunjukkan jalan lurus yang menuju pada sumber kebahagiaan. Terkait dengan itu, Islam menjelaskan bahwa kebahagiaan ada dua macam, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan di dunia yang bersifat sementara dan kebahagiaan di akhirat kekal untuk selamanya. Firman Allah SWT dalam surat Yasin ayat (54-57), dibawah ini:
tPöquø9$$sù Ÿw ãNn=ôàè? Ó§øÿtR $\«øx© Ÿwur šc÷rtøgéB žwÎ) $tB óOçFZà2 tbqè=yJ÷ès? ÇÎÍÈ   ¨bÎ) |=»ysô¹r& Ïp¨Ypgø:$# tPöquø9$# Îû 9@äóä© tbqßgÅ3»sù ÇÎÎÈ   öLèe ö/àSã_ºurør&ur Îû @@»n=Ïß n?tã Å7ͬ!#uF{$# tbqä«Å3§GãB ÇÎÏÈ   öNçlm; $pkŽÏù ×pygÅ3»sù Nçlm;ur $¨B tbqãã£tƒ ÇÎÐÈ  

Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya penghuni-penghuni surge pada hari itu dalam kesibukan lagi sangat senang. Mereka bersama pasangan-pasangan mereka berada dalam tempat-tempat yang teduh, bertelekan diatas dipan-dipan. Buat mereka disana ada buah-buhan dan buat mereka juga apa yang mereka minta.” [29]

Begitu pula dengan serat salokatama yang sudah dijelaskan. Semua bersumber menuju pada kebahagiaan yang sejati. Kebahagian dalam serat Salokatama tertulis si bait 30, lir angganing durian kang mateng wit, jumbuhing lalakon, barang seja ana jalarane, ora teko yen mung den-esiri, wit kang Maha Suci, tan adarbe suku, (Kelihatan seperti buah durian yang masak di pohon, pada kehidupan, sesuatu terjadi bila ada sebabnya, tidak akan datang cuma hanya dilihat saja, sebab yang Maha Kuasa tidak  menurunkan begitu saja). KGPAA Mangkunegara IV menggambarkan kebahagian dengan buah durian, karena buah durian merupakan raja dari semua buah, buah yang mahal dan nikmat pula, seperti halnya orang Jawa yang selalu menggambarkan kesenangan atau kebahagiaan dengan ungkapan senenge koyo ketiban duren. Kebahagiaan merupakan kondisi spriritual sebagai kesatuan perasaan tentram dan penuh kepuasan hidup lahir-batin, duniawi dan surgawi. Kebahagiaan hanya memberikan pengarahan dalam hidup manusia menjadi yang lebih baik, dan kebahagiaan di sini tidak bersifat mutlak atau selamanya.
Pada serat Salokatama diterang bahwasannya hidup itu harus mengendalikan diri, membatasi diri dalam setiap geraknya. Pada serat Salokatama di bait 14, mulo abot wit amaksa kapti, mring reh karahayon, wus mangkana lumrah prabawane, (Memang awalnya berat memaksa berbuat baik, untuk menuju keselamatan, sudah nantinya wibawa), menerangk bahwa untuk menjadi manusia yang berbudi baik itu memang sulit dan berat, namun nantinya akan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih baik dan membuat diri kita lebih berwibawa. Orang yang mengendalikan diri bisa membatasi diri untuk tidak menuruti semua hawa nafsu, berbeda dengan orang yang hanya menuruti hawa nafsu, yang nantinya akan menjadi rakus, jahat, dan dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tentang mengendalikan diri juga diajarkan pula dalam Islam, bahwa manusia harus menjaga hawa nafsu, karena menuruti nafsu hanya akan membawa kita pada hal yang buruk. Ajaran ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53,
4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  

Artinya: “Sesungguhnnya nafsu itu selalu mendorong pada kejahatan, kcuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”.[30]

Masyarakat Indonesia dikenal dengan budaya Islamnya yang cukup dominan dan sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam.Islam sangat luwes dan halus dalam penyampaian maupun penyebarannya, agar dapat menyatu dan meresap dalam sanubari setiap pemeluknya. Begitu juga dengan serat salokatama yang dibuat dan ditujukan pada rakyat atau manusia yang memiliki kelainan tingkah laku. Apabila serat ini diterapkan dalam Islam sebagai landasan keyakinan sangat terkait sekali dan mempunyai kesamaan.
Masyarakat Jawa juga dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai sosial masyarakat. Semua masyarakat Jawa sangat berhati-hati terutama dalam bersikap dan bertingkah laku. Jaman Hindu-Budha dikenal banyak tradisi dan budaya yang lahir, terutama dalam bentuk tembang. Orang Jawa dulu sangat mudah memahami dan menerima nasihat-nasihat yang diberikan oleh pemimpin, bahkan guru pada muridnya dalam bentuk sastra atau syair. Ajaran Islam juga tidak jauh beda dalam penyampaian tauhidnya pada masyarakat Jawa yang belum mengenal Islam. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berpindah keyakinan dari animisme-dinamisme menuju keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Islam tidak hanya membahas tentang bagaimana manusia menjadi bahagia. Seperti halnya KGPAA Mangkunegara IV dalam serat Salokatama, Islam juga memberi perhatian khusus pada perilaku maupun tingkah laku manusia. Manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, hal ini karena manusia dianugerahi Allah dengan akal pikiran. Dengan akal tersebut, manusia mampu berpikir, bertindak mana yang benar dan tidak benar sesuai dengan norma maupun aturan agama dan masyarakat. Tingkah laku manusia inilah yang menjadi suatu awal manusia tersebut menjadi manusia yang baik dan tidak baik. Dengan mengerti dan mengamalkan norma-norma yang berlaku, maka manusia diharapkan menjadi manusia yang berbudi baik. Dalam QS Al-Qolam: 4 disebutkan:
 وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”[31]

Ayat tersebut bermaksud, bahwasanya manusia merupakan makhluk yang berbudi pekerti yang agung, karena manusia mampu berpikir, tahu mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak seharusnya dilakukan. Manusia mengerti apa yang terbaik untuk dirinya dan orang lain demi menciptakan kedamaian bersama. Selain itu, manusia yang berbudi pekerti luhur atau berbudi pekerti yang agung, akan mendapatkan tempat khusus di hari kiamat nanti.
Mempelajari etika (ilmu akhlak/tingkah laku) manusia mempunyai beberapa manfaat, diantaranya:
1.      Kemajuan dalam bidang rohani dan spiritual. Ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kemajuan manusia dibidang rohaniah maupun mental spiritual. Di mana orang yang berilmu mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak berilmu.[32] Dengan mempunyai ilmu pengetahuan dan ilmu terhadap akhlak, maka manusia mengerti tentang perbuatan-perbuatan yang baik-buruk. Dengan begitu, manusia akan mengalami kemajuan akhlak dan rohani.
2.      Penuntun kebaikan. Ilmu akhlak tidak hanya mengajarkan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi ilmu akhlak diharapkan mampu mempengaruhi dan mendorong manusia supaya membentuk hidup yang suci. Caranya dengan melaksanakan kebaikan, yang dapat mendatangkan manfaat terhadap sesama manusia.[33] Sehingga manusia mampu menjaga diri agar selalu baik.
3.      Kesempurnaan Iman. Manusia yang mempunyai kesempurnaan iman, maka akan melahirkan kesempurnaan akhlak. Akhlak yang baik dan sempurna merupakan jalan menuju kesempurnaan iman. Maka, untuk menyempurnakan iman, manusia harus menyempurnakan akhlak dengan mempelajari ilmunya sebagai penerang.[34]
4.      Keutamaan di akherat kelak. Orang-orang yang berbudi luhur, berakhlak luhur, maka mereka dijanjikan tempat dan kedudukan yang terhormat di akherat kelak.[35]
Semua agama termasuk juga Islam, mempunyai hubungan erat dengan moral. Dalam ajaran agama apapun, terdapat ‘apa yang di boleh dilakukan’ dan ‘apa yang dilarang’ oleh Tuhan. Semua agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.[36] Agama dan moral mengajarkan aturan-aturan yang selaras, yang sama-sama menuju ke arah perilaku yang baik dan kehidupan yang lebih baik.
Etika ataupun moral dan agama mampu berjalan beriringan membentuk perilaku manusia  yang baik dan benar. Namun, etika tidak dapat menggantikan agama. Ada kalanya, agama membutuhkan etika untuk menjawab masalah di bidang keagamaan. Misalnya, masalah interpretasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu. Selain itu juga dalam masalah moral baru yang belum terfikirkan saat wahyu itu diturunkan.[37]
Manusia yang beragama, mempunyai perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu.[38] Dalam Islam terdapat Firman Allah yang harus diartikan, dipahami dan dimengerti maksud-maksud dari Firman tersebut. Para ahli agama sering berbeda pendapat dalam mengartikan Firman Allah. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka diperlukan untuk mengadakan interpretasi yang dibahas bersama sampai semua sepakat bahwa memang itulah yang mau disampaikan Allah pada manusia. Dalam usaha menemukan pesan wahyu yang sebenarnya bagi kehidupan manusia, maka metode-metode perlu dipergunakan. Etika merangsang manusia untuk mempertanyakan kembali pandangan-pandangan moral agama kita.[39]
Manusia membutuhkan etika dalam menanggapi masalah-masalah agama yang belum terfikirkan saat diturunkannya wahyu. Misalnya saja dalam bidang medis seperti pencangkokan ginjal, pencangkokan jantung, sampai pada bayi tabung. Dalam menanggapi permasalahan seperti itu, maka manusia membutuhkan etika agar bisa mengambil keputusan dan sikap yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena pada dasarnya, etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup jika ia ingin menjadi baik. Sedangkan akal budi adalah ciptaan Allah dan diberikan kepada manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi kehidupan.


[1]KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur, penerjemah Harmanto Bratasiswara, (Surakarta: Reksa Pustaka Kabupaten Reksa Budaya Pura Mangkunegara), h, 154.
[2]Ibid, h. 156.
[3]Franz Magnis-Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 22.
[4] Ibid, h. 148
[5] Robert C. Solomon, Etika: Suatu Pengantar, h. 2.
[6]KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur,h. 163.

[7] Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, h. 20-21.
[8] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur,h. 147.

[9] Ibid, h. 148.
[10] Ibid.
[11] Ibid. h. 158.
[12]Ibid, h. 166.
[13] Ibid, h. 149
[14] Ibid, h. 150.
[15] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, h. 22.
[16]Ibid, h. 24.
[17] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur, h.150.
[18] Ibid, h. 148.
[19] Ibid, h. 149.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid, h. 149.
[23]Franz Magnis-Suseno, dkk, Etika Sosial, h. 8.
[24] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur, h.151.
[25] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, h. 114.
[26] KGPAA Mangkunegara IV, Serat Salokatama, dalam Piwulang Budi Luhur,h. 151.
[27] Ibid, h. 148.
[28] Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih Al Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadadatuhu, terj: Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, jilid:2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.706-707.
[29]Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), h. 712
[30] Ibid, h. 357.
[31] Ibid, h. 960.
[32]Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka setia, 2011), h. 50.
[33]Ibid, h. 51.
[34]Ibid, h. 53.
[35]Ibid.
[36]K. Bertens, Etika, Edisi Revisi (Yogyakarta: Kanisius, 2013), h. 28.
[37]Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, h. 16-17.
[38]Ibid, h. 17.
[39]Ibid.